Selasa, 11 November 2014

Resume Bab I & II. Buku “Becoming The Winner penulis Imam Robandi. Terbitan ANDI.


Oleh
Novia Ayu Irma
ITS Surabaya


BAB I

Memulai, merenung, melatih, menulis, dan menyampaikan. Mulailah untuk merenungkan kebenaran, bahwa tanpa disadari setiap hari kita selalu melakukan penelitian-penelitian kecil. Yang kenyataannya, menulis ini butuh latihan. Maka perbanyaklah berlatih melakukan penelitian. Namun dalam hal ini, Semangat untuk meneliti tidak datang secara tiba-tiba, melainkan melalui proses latihan penelitian. Penelitian berarti anda menulis laporan penelitian, sedangkan menulis itu tidak mudah, harus mengerti dan paham caranya menulis laporan penelitian. Menulis adalah sebagian dari menyampaikan, hal ini adalah tahap terakhir dari penelitian. Dengan berlatih, meneliti, dan menyampaikan berarti anda adalah seorang pemenang, seorang pemenang adalah orang pertama yang memulai dan terakhir yang tak bermanfaat.

BAB II

Mampu mengenali penelitiannya merupakan karakter seorang the winner. The winner bukanlah seorang yang asal meneliti, melainkan paham dengan apa, siapa, kapan, dimana, mengapa, dan bagaimana penelitiannya. Apa, apa yang akan anda teliti, di bidang akademik atau untuk karir akademisi? Kemudian siapa anda, ikuti kelas anda, kenali diri anda, dan explore kemampuan anda. Setelah itu, kapan waktu yang tepat untuk meneliti? Kemudian dimana tempat penelitian anda? Di saat apa, siapa, kapan, dan dimana sudah ada, maka muncul pertanyaan mengapa ? Dan setelah kelima pertanyaan itu terjawab, tinggal bagaimana anda melakukan penelitian itu? Inilah kemampuan yang harus dimiliki the winner tentang penelitian.

Selasa, 07 Januari 2014

TEORI FORMALISME RUSIA


ANALISIS PUISI “PERAHU KERTAS” KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO BERDASARKAN TEORI FORMALISME RUSIA


A.    Pendahuluan
Puisi merupakan salah satu jenis karya sastra yang penyajiannya sangat mengutamakan keindahan bahasa dan kepadatan makna. Dengan puisi seorang penyair dapat mengungkapkan ekspresi perasaannya. Keindahan bahasa dan kepadatan makna yang dimiliki puisi terkadang membuat pembaca atau penikmat puisi mengalami kesulitan dalam memahami dan menangkap makna yang terkandung dalam puisi tersebut. Untuk dapat memahami dan menangkap makna di dalam puisi, pembaca harus memiliki kepekaan batin dan daya kritis terhadap puisi tersebut.
Oleh karena itu, untuk memahami dan menangkap makna puisi pembaca perlu melakukan kajian atau analisis terhadap puisi tersebut. Dalam pengkajian puisi ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan, salah satunya dengan menggunakan pendekatan struktural.
 Pendekatan struktural dipelopori oleh kaum Formalis Rusia. Sebuah karya sastra, puisi, menurut kaum strukturalisme adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagai unsur pembangunnya. Di satu pihak, struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penegasan, dan gambaran semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang indah (Abrams, 1981:68 dalam Nurgiyantoro, 2007:36). Di pihak lain, struktur karya sastra juga menyaran pada pengertian hubungan antar unsur (intrinsik) yang bersifat timbal balik, saling menentukan, saling mempengaruhi, yang secara bersama membentuk satu kesatuan yang utuh (Nurgiyantoro,2007:36).
Secara rinci dalam makalah ini akan dibahas dan di uraikan pengertian Formalisme serta Analisis struktural puisi “Perahu Kertas” karya Sapardi Djoko Damono berdasarkan teori Formalisme Rusia. Yang mana puisi-puisi Sapardi Djoko Damono terkenal dan populer menggunakan kata-kata yang sederhana. Dalam menganalisis/mengkaji puisi ini penulis fokus pembahasan pada struktur intrinsiknya saja, yaitu unsur fisik/unsur lahir yang meliputi bunyi, kata, baris/larik, bait, tipografi dan unsur lapis makna.



B.     Pengertian Formalisme Rusia

Formalisme Rusia merupakan sebutan bagi kelompok yang mengembangkan sebuah metode, yang disebut “metode formal”. Formalisme Rusia lahir pada tahun 1914, diantar oleh esei Victor Sklovskij yang diterbitkan di St. Petersburg. Eseinya tersebut dipandang sebagai penghubung antara kaum Futuris dan kaum Formalisme Rusia.
Dalam ilmu sastra, formalisme adalah teori yang digunakan untuk menganalisa karya sastra yang mengutamakan bentuk dari karya sastra yang meliputi tehnik pengucapan –meliputi ritma, rima, aquistik/bunyi, aliterasi, asonansi dsb, kata-kata formal (formal words) dan bukan isi serta terbebas dari unsur luar seperti sejarah, biografi, konteks budaya dsb sehingga sastra dapat berdiri sendiri (otonom) sebagai sebuah ilmu dan terbebas dari pengaruh ilmu lainnya. Teori formalis ini bertujuan untuk mengetahui keterpaduan unsur yang terdapat dalam karya sastra tersebut sehingga dapat menjalin keutuhan bentuk dan isi dengan cara meneliti unsur-unsur kesastraan, puitika, asosiasi, oposisi, dsb.
Menurut kaum formalis, sifat kesastraan muncul sebagai akibat penyusunan dan penggubahan bahan yang semula bersifat netral. Para pengarang menyulap teks-teks dengan efek mengasingkan dan melepaskannya dari otomatisasi. Proses penyulapan oleh pengarang ini disebut defamiliarisasi, yakni teknik membuat teks  menjadi aneh dan asing. Istilah defamiliarisasi dikemukakan oleh Sjklovski untuk menyebut teknik bercerita dengan gaya bahasa yang menonjol dan menyimpang dari biasanya. Dalam proses penikmatan atau pencerapan pembaca, efek deotomatisasi dirasakan sebagai sesuatu yang aneh atau defamiliar. Proses defamiliarisasi itu mengubah tanggapan kita terhadap dunia. Dengan teknik penyingkapan rahasia, pembaca dapat meneliti dan memahami sarana-sarana (bahasa) yang dipergunakan pengarang. Teknik-teknik itu misalnya menunda, menyisipi, memperlambat,  memperpanjang, atau mengulur-ulur suatu kisah sehingga menarik perhatian karena tidak dapat ditanggapi secara otomatis. Contoh : ketika ingin mengungkapkan “aku cinta padamu”, klausa “aku cinta padamu” itu tidak diungkapkan secara langsung, tapi diungkapkan dengan cara lain, misalnya, dengan ungkapan: “selalu, aku gemetar, memekarkan ribuan kelopak mawar, ketika kutemukan telaga bening di kedua matamu. maka biarkan aku tiba di jantungmu, hingga reda seluruh demamku” cara ungkap semacam inilah yang dimaksud dengan memberi persepsi baru: dari yang tadinya otomatis (ungkapan “aku cinta padamu”), menjadi tidak otomatis; atau yang kemudian diistilahkan sebagai “deotomatisasi” itu.
Terhadap puisi, kaum formalis menganggap bahwa puisi merupakan tindak bahasa (tanda-tanda), bukan imaji atau emosi. Puisi juga dipandang sebagai sistem sarana artinya karya sastra dipandang sebagai sistem tanda, lepas dari fungsi referensial dan mimetiknya.Yang terpenting dalam puisi bagi kaum formalis adalah sarana bunyi (rima, irama, matra, aliterasi, asonansi). Konsep dominant menentukan ciri khas hasil sastra itu (rima dan irama) sehingga hal itu yang seharusnya ditekankan.
C.    Analisis Struktural Puisi “Perahu Kertas” karya Sapardi Djoko Damono

PERAHU KERTAS

Waktu masih kanak-kanak kau membuat perahu kertas
dan kaulayarkan di tepi kali; alirnya sangat tenang,
dan perahumu bergoyang menuju lautan.

“Ia akan singgah di Bandar-bandar besar,” kata seorang
lelaki tua. Kau sangat gembira, pulang dengan
berbagai gambar warna-warni di kepala. Sejak itu
kau pun menunggu kalau-kalau ada kabar dari
perahu yang tak pernah lepas dari rindumu itu.
Akhirnya kaudengar juga pesan si tua itu, Nuh, katanya,
“Telah kupergunakan perahumu itu dalam sebuah
Banjir besar dan kini terdampar di sebuah bukit”

Dari puisi tersebut dapat dianalisis sebagai berikut;
1.      Unsur Fisik/Unsur Lahir
a). Bunyi
Dalam puisi “Perahu Kertas” unsur fisik yang terlihat bahwa puisi tersebut hanya terdiri dari dua bait. Bait pertama terdiri dari 3 baris sedangkan bait ke-2 terdiri dari 8  baris. Puisi tersebut berbeda dengan puisi yang lain karena biasanya puisi lain jumlah baris dalam masing-masing bait sama. Apabila bait pertama terdiri dari tiga baris, maka bait berikutnya terdiri dari baris yang sama. Selain itu juga, dalam puisi tersebut terdapat rima dalam sekaligus asonansi pada bait pertama baris pertama : Waktu masih kanak-kanak kau membuat perahu kertas. Pada bait pertama baris ketiga terdapat rima dalam sekaligus aliterasi : dan perahumu bergoyang menuju lautan.

b). Kata
 Dalam puisi “Perahu Kertas” terdapat  kata depan dan imbuhan. Kata depan tersebut terlihat mulai dari baris pertama sampai dengan baris terakhir, meskipun pada baris ke-8 tidak terdapat kata depan maupun imbuhan.
Waktu masih kanak-kanak kau; me(m);buat perahu kertas.
dan kaulayarkan; (di); tepi kali; alirnya sangat tenang,
dan perahumu (ber);goyang me(n);tuju laut;(an).
“Ia akan singgah; (di);Bandar-bandar besar,” kata seorang
lelaki tua. Kau sangat gembira, pulang dengan
;(ber);bagai gambar warna-warni; (di); kepala. Sejak itu
kau pun ;(me);nunggu kalau-kalau ada kabar dari
perahu yang tak pernah lepas dari rindumu itu.
Akhir;(nya); kaudengar juga pesan si tua itu, Nuh, katanya,
“Telah kupergunakan perahumu itu dalam ;(se);buah
Banjir besar dan kini ;(ter);dampar ;(di); sebuah bukit”

“Ia akan singgah (di); Bandar-bandar besar,” kata seorang
lelaki tua. Kau sangat gembira, pulang dengan
(ber);bagai gambar warna-warni (di); kepala. Sejak itu
kau pun me(n);tunggu kalau-kalau ada kabar dari
perahu yang tak pernah lepas dari rindumu itu.
Akhirnya kaudengar juga pesan si tua itu, Nuh, katanya,
“Telah kupergunakan perahumu itu dalam sebuah
Banjir besar dan kini (ter);dampar (di); sebuah bukit”

·      Simbol atau Lambang
1). dan perahumu bergoyang menuju lautan : simbol alam
2). dan kaulayarkan di tepi kali; alirnya sangat tenang : simbol alam
3). “Telah kupergunakan perahumu itu dalam sebuah banjir besar dan kini terdengar di sebuah bukit” : simbol alam


·     Majas
Ada penggunaan majas dalam puisi “Perahu Kertas”, yaitu pada bait pertama baris pertama :
a)  majas alusio : Waktu masih kanak-kanak kau membuat perahu kertas.
b) majas metafora : “Telah kupergunakan perahumu itu dalam sebuah banjir besar dan kini terdampar di sebuah bukit” (mengandung makna ketulusan dan keikhlasan lewat sikap seorang anak dan Nabi Nuh ketika menyelamatkan umat manusia dari banjir besar).
     c) majas personifikasi : dan perahumu bergoyang menuju lautan. (Benda mati seolah-olah menyerupai manusia)


c). Baris/larik
Pada puisi “Perahu Kertas” mirip seperti prosa karena pada awal kalimat menggunakan huruf capital dan menggunakan tanda baca.

d). Bait
Dalam satu bait dengan bait yang lain tidak sama jumlah barisnya.

e). Tipografi
Puisi “Perahu Kertas” bentuknya mirip prosa, tepi kanan tidak teratur, banyak menggunakan tanda baca, di awal kalimat menggunakan huruf kapital dan di akhir kalimat menggunakan tanda titik seperti prosa.

2.  Unsur lapis makna
a). Sense
Lewat puisi “Perahu Kertas” penyair menggambarkan tentang ketuhanan yaitu ketulusan dan keikhlasan manusia dalam mengabdi kepada Tuhan.
Parafrase :
Sewaktu masih (kecil) kau membuat perahu dari kertas. Perahu itu dilayarkan di tepi kali yang airnya sangat tenang. Angin menggoyangkan perahu itu, lalu membawanya hingga ke laut lepas. Seorang lelaki tua yang melihat perahu itu mengatakan bahwa perahu itu akan singgah di pelabuhan-pelabuhan besar dan ramai. Kau lirik sangat gembira mendengar berita itu. Dengan perasaan bahagia dan senang kau lirik pulang kerumahnya. Sejak saat itu kau lirik selalu menunggu kabar tentang perahu yang selalu ada dalam ingatanya. Akhirnya kau lirik mendengar juga kabar dari seseorang yang sangat tua, Nuh, namanya. Kata lelaki tua itu, perahu itu sudah di pergunakan untuk menyelamatkan manusia dan makhluk hidup lainnya dalam sebuah banjir besar. Sekarang perahu itu terdampar di sebuah pulau
b). Subject matter
Puisi ini menggambarkan tentang perilaku manusia dalam mengabdi/mencari ridho Allah di dunia dengan tulus dan ikhlas yang dalam puisi ini tampak pada sikap seorang anak yang menunggu kabar dari perahu yang tak pernah lepas dari rindunya itu.

c). Feeling
Sikap penyair terhadap pokok-pokok pikiran dalam puisi tersebut adalah tulus dan ikhlas dalam mengabdikan dirinya kepada Tuhan.

d). Tone
Sikap penyair terhadap pembaca adalah masa bodoh yang berarti tidak melibatkan pembaca. Hal itu terlihat dari  semua bunyi pada puisi tersebut yang tidak memperhatikan dan melibatkan pembaca.

e). Total of meaning
Masa kecil merupakan masa paling indah untuk di kenang. Di waktu kecil manusia melakukan sesuatu sesuai dengan hati nurani tanpa di pengaruhi unsur lain. Semua di lakukan dengan penuh keikhlasan& kepolosan. Ketika dewasa, pasti mengalami kerinduan akan masa kecil yang penuh dengan kegembiraan
Perahu kertas merupakan lambang pengapdian manusia kepada Tuhan. Manusia melakukan sesuatu yang diperintahkan Tuhan, tapi belum tentu semua yang dilakukan itu di terima oleh Tuhan, Semua tergantung niat. Ibarat sebuah perahu yang berlayar di lautan lepas, angin dan gelombang sangat menentukan sampai tidaknya perahu itu ketujuan.
Dalam puisi ini penyair berusaha menyampaikan bahwa pengabdian manusia kepada Tuhan atau sesama haruslah seperti sikap seseorang anak dalam puisi di atas, polos, ikhlas dan suci. Pengabdian yang di lakukan harus dilandasi oleh niat yang tulus. Juga harus membersihkan diri dari napsu duniawi.
Penyair juga menyertakan kisah-kisah masa lampau atau cerita-cerita rakyat dalam puisi ini. Dalam perahu kertas kekhasan itu terdapat dalam usaha penyair memasukkan kisah Nabi Nuh ketika menggunakan perahu untuk menyelamatkan umat manusia dari banjir besar sebagai latar puisi.

D.    Simpulan
            Makna yang terkandung pada puisi yang berjudul “Perahu Kertas” adalah pengabdian manusia kepada Tuhan harus dilakukan dengan ketulusan dan keikhlasan. Pada puisi ini pembaca seolah-olah diajak ke suatu tempat yaitu suatu perjalanan hidup seseorang yang terasa sangat hidup. Sehingga bagi pembaca sangat cepat dapat menangkap isi atau makna yang terkandung didalamnya. pendeskripsian melalui penggunaan gaya bahasa dan pilihan kata yang lugas.



Daftar Pustaka
KS, Yuliono. _____. Telaah Kritik Sastra Indonesia. Angkasa: Bandung
Djoko, Rachmat Pradopo. 2003. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, Dan Penerapannya. Pustaka Pelajar: Yogyakarta
Damono, Sapardi Djoko. 2005. Perahu Kertas. Grasindo: Yogyakarta


d susun oleh  
Ahmad Khoiron Hamzah
Arista Ambarwati           
 Emiko Watanabe              

Analisis Kritik Historis



Novel Sang Pencerah dalam  Analisis Historis

A.    Pendahuluan
Pendekatan Historis menurut Ratna (2011;65)  pendekatan ini  menelusuri  arti dan makna bahasa sebagiaimana yang sudah tertulis, dipahami pada saat ditulis, oleh pengarang yang benar-benar menulis, dan sebaginya.  Sehingga pengarang sangat paham akan apa yang ditulisnya. Dalam hubungan ini perlu juga menghubungkannya dengan karya-karya lainnya. Pendekata Historis sangat mempertimbangakan relevansi karya sasra sebagai dokumentasi social. Dengan hakekat imajinasi karya sastra adalah wakil zamannya dan dengan demikian merupakan refleksi zamannya.
Pendekatan hitoris menonjol pada abad ke-19, dengan konsekkuensi karya sastra sebagai sarana untuk memahami aspek-aspek budaya yang luas. Dalam  hubungan inilah pendekatan historis pada umumnya dikaitkan dengan kompetensi sejarah umum yang dianggap relevan, sastra lama  dengan kerajaan-kerajaan besar, sastra modern dengan gerakan social, politik, ekonomi dan kebudayaan pada umumnya. Hakikat karya sastra adalah imajinasi yang memiliki konteks social dan sejarah.
Pendekatan historis mempertimbangan indicator sejarah dan sastra, adapun objek sasran pendekatan historis, diantaranya;1) perubahan karya sastra dengan bahasanya sebagai akibat proses penerbitan ulang. 2) fungsi dan tujuan karyapada saat diterbitkan.3) Kedudukan pengarang padasaat menulis. 4) karya satra sebagai wakil tradisi zamannya.


B.     Analisis Historis dalam  Novel  Sang Pencerah
a.        fungsi dan tujuan karyapada saat diterbitkan
Novel Sang Pencerah menceritakan riwayat hidup KH.Ahmad Dahlan. Perjuangan beliau dalam dakwah  patut menjadi teladan, kesabaran dan keistiqomahan tidak diragukan lagi. Beliau melakukan pembaruan dalam dunia Islam di Indonesia melalui organisasi yang bernama Muhammdiyah (1912), organisasi tertua yang kemudian disusul dengan berdirinya NU (Nahdatul Ulama) yang berdiri tahun 1926. Namun, ada hal–hal yang perlu diperhatikan, beberapa penyimpangan mengenai riwayat KH. Ahmad Dahlan pada novel tersebut. Tulisan ini bertujuan untuk meluruskan beberapa penyimpangan dalam menulis riwayat KH. Ahmad Dahlan dalam novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral.

b.      Kedudukan pengarang pada saat menulis.
Akmal Nasery Basal sangant mengagumi KH. Ahmad Dahlan, Bagi Akmal  KH. Ahmad Dahlan dan muhammadiyah mempunyai pengaruh tersendiri dalam kehidupan, karena  Akmal pernah menamatkan pendidikan dasar di SD Muhammadiyah VI Tebet Timur , Jakarta Selatan. Karena itu penulis seakan  terbawa kembali pada pengalaman masa kecil ketika hidup dalam suasana kemuhammadiyahan,

c.        karya satra sebagai wakil tradisi zamannya.
            Sebelumnya, pada tahun 1883 sampai 1888 KH. Ahmad Dahlan pergi haji sekaligus belajar di Mekkah, beliau mempelajari buku-buku terbitan Mesir dan Irak selain dari terbitan Mekkah, dan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh, Jamaludin Al Afghani, Rasyid Ridha dan Imam Ibnu Taimiyah. Sepulangnya dari Mekkah pada kepergiannya yang pertama, KH. Ahmad Dahlan menikahi sepupunya sendiri, Walidah. KH. Ahmad Dahlan tidak pernah bertemu dengan Rasyid Ridho untuk pergi haji yang kedua kalinya (1902), dan hanya mempelajari pemikiran – pemikirannya, selama di Mekkah KH. Ahmad Dahlan bertemu dengan Muhammad Khatib Minangkabau, Nawawi Al Bantani, Kiyai Mas Abdullah Surabaya, Kiyai Faqih Gresik.
“Pergilah berhaji lagi Kiai Dahlan. Keraton yang akan membiayai. Perdalam lagi ilmu agama sekaligus menjalin hubungan dengan para ulama pembaru dari Mesir, Syria, Madinah, dan tempat-tempat lain. Saya dengar kiai berhubungan cukup dekat dengan para syaikh dari kalangan pembaru seperti Syaikh jamaluddin Al-Afghani dan Syaikh Muhammad Abduh?
“Insya Allah, Sinuwun.” Air muka Kiai Dahlan kini terlihat lebih cerah. Suara berat Sri Sultan
terdengar mengisi relung-relung kayu di ruangan itu. “Saya yakin kepergian Kiai Dahlan ke Tanah Suci setidaknya untuk sementara bisa meredam konflik yang telanjur besar saat ini di Kauman. Itu saja yang ingin saya sampaikan saat ini, Kiai.”[hal4]


            Biola yang dimiliki beliau seperti yang dikisahkan dalam novel, tidak ada dalam buku biografi atau mengenai sejarah Muhammadiyah bahwa beliau pernah memiliki alat musik biola. Di novel tersebut, KH. Ahmad Dahlan mencoba bahwa keislaman masyarakat saat itu masih dibumbui dengan mitos dan takhayul, sehingga membuat tidak jelas makna Islam yang disebutnya “agama yang membawa ketenangan dan keindahan bagi siapa saja”. Ketika ditanya mengenai apa keindahan dan ketenangan, KH. Ahmad    Dahlan hanya menyuruh muridnya memainkan biola dan meresapinya,.
Setelah acara ruwatan selesai, aku pergi ke rumah kakak iparku Kiai Haji Muhammad Saleh untuk belajar bahasa Arab. Menurut Bapak, kakak iparku itu adalah salah seorang kiai yang bahasa Arabnya sangat baik bukan hanya di Kauman, tapi juga di seluruh Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. “Pada waktu Bapak seumur Haji Saleh, kemampuan bahasa Arab Bapak belum sebaik dia/ ujar Bapak. Dan harus kuakui, apa yang Bapak katakan memang benar. Kalimat-kalimat dalam bahasa Arab mengalir begitu saja dari mulutnya seperti tak perlu dipikirkan lagi. Tetapi saat ini bukan topik bahasa Arab yang membuatku tertarik untuk berdiskusi.
“Kamu mau minum kopi, Wis? Biar nanti mbakyumu sekalian bikin,” ujarnya. “Tidak, terima kasih, Mas. Air putih saja,” jawabku. Aku mau tanya soal ruwatan.” “Ada apa dengan ruwatan?
“Aku tadi baru dari Masjid Gedhe, dan mengikuti semua persiapan ruwatan ini buat pertama kalinya. Kenapa, sih, Mas, Kiai Penghulu tadi menabur bunga melati dan beras di tiap pojokan masjid?
“Oh, itu hanya tradisi masyarakat saja, Wis. Tidak usah terlalu dipikirkan.”
“Maksudku apakah ruwatan sebelum bulan Ramadhan itu wajib hukumnya? Ada dalilnya?
Tidak wajib. Tetapi apa salahnya kita memasuki bulan suci dengan kondisi yang lebih bersih, bukan hanya diri kita sendiri, melainkan juga lingkungan kita. Terutama masjid tempat kita akan menghabiskan waktu lebih banyak di bulan Ramadhan?
“Maaf, ya, Mas. Tapi menurut saya ruwatan seperti ini mubazir saja, membuang-buang dana. Saya kira mestinya dana yang ada bisa digunakan untuk kebutuhan yang lebih bermanfaat, yang benar-benar membantu masyarakat. Apalagi jika menurut Mas tadi, ruwatan itu tidak wajib. Mengapa tidak ada keberatan dari para kiai?
“Darwis, namanya juga tradisi. Kalau tradisi ituft&flKtf tidak ada salahnya kita lanjutkan. Kalau itu kebiasaan buruk, maka harus kita hentikan secepatnya.
Tapi tetap saja aku merasakan itu mubazir, membuang-buang beras ketika masyarakat sedang susah karena harga beras naik.”
“Dalam kehidupan bermasyarakat, hal-hal seperti ini akan terjadi, Wis.” “Aku, kok, merasa kurang sreg, ya, Mas.”
Mas Saleh hanya tersenyum mendengar ketidak-puasanku. Ayo kita lanjutkan pelajaranmu. Sudah sampai mana?” katanya simpatik.
(hal.74-75.)
                       
            Pada kisah penghancuran Langgar Kidul, yang merupakan peninggalan ayah beliau–karena langgar tersebut langsung mengarah pada kiblat—dihancurkan dengan cara membabi buta dengan teriakan takbir dan kafir oleh yang tidak setuju dengan perubahan arah kiblat. Dalam buku Muhammadiyyah sebagai Gerakan Islam, dikatakan bahwa Penghulu KH. Muhammad Khalil Kamaludiningrat menyampaikan secara lisan agar membongkar suraunya (Langgar Kidul). KH. Ahmad Dahlan tidak bisa melaksanakan perintah tersebut, KH. Muhammad Khalil menyuruh 10 orang kuli dengan peralatan lengklap untuk membongkar. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1898. (Kamal : 2005)1
    ROMBONGAN suruhan Kiai Penghulu memasuki halaman Langgar Kidul. Sayup-sayup suara tadarus masih terdengar sebelum suara keras tiba-tiba terdengar menghentak. “Mana kiai kafir itu?!”

“Hei! Hati-hati kalau bicara,” suara Jazuli tak kalah membentak. ‘Tidak ada yang kafir di sini. Kalian yang seperti orang kafir karena masuk seenaknya ke tempat suci!” katanya emosional. Jamaah tadarusan yang lain menyingkir melihat kedatangan para tukang yang sudah tak bisa berlaku santun lagi di rumah Allah.

Awas minggir, kalau tidak mau cedera semua pada keluar,” ujar seseorang sambil memberikan isyarat kepada para tukang. “Mulai hancurkan! Secepatnya!”
Orang-orang itu pun langsung mengayunkan linggis, cangkul, martil, dan apa pun peralatan yang mereka bawa ke dinding Langgar Kidul. Benturan benda padat yang bertalu-talu di tengah malam itu menimbulkan efek magis aneh yang belum pernah didengar warga sebelumnya. Serpihan kayu yang pecah akibat dilinggis mulai beterbangan. Satu per satu bagian tembok runtuh, menimbulkan luka yang semakin besar di hati para santri. Daniel, Hisyam, Sangidu, dan para santri lain mulai menangis,
kecuali Jazuli yang melihat dengan tatapan benci tapi tak bisa berbuat apa-apa karena para pekerja itu dikawal oleh beberapa orang polisi Belanda.(Hal.244-245)

            Dalam novel tersebut KH. Ahmad Dahlan sangat dekat dengan Boedi Oetomo, bahkan mendapat dukungan untuk mendirikan organisasi yang bernama Muhammadiyah pada tahun 1912. Tidak hanya itu, pada kongres Boedi Oetomo diselenggarakan di rumah KH. Ahmad Dahlan. KH. Ahmad Dahlan tidak hanya aktif di organisasi tersebut, tetapi juga ada Jam’iyatul Khair, Syarikat Islam (SI), Tahun 1909 – 1912 KH. Ahmad Dahlan bergabung dengan Boedi Oetomo, kemudian menarik diri dari Boedi Oetomo dan mendirikan organisasi Muhammadiyah yang berdiri pada tanggal 18 November 1912.
PERTEMUAN pertama perkumpulan Budi Utomo yang berlangsung di rumah dr. Wahidin Sudirohusodo di Ketandan berlangsung ramai. Mas Wahidin memper-kenalkanku kepada hadirin. “Kawan-kawan seperjuangan, saya perkenalkan Kiai Ahmad Dahlan, salah seorang kiai Kauman yang namanya saya yakin sudah pernah kita dengar, namun mungkin baru sedikit dari kita di sini yang pernah bertemu langsung dengan beliau,” katanya sambil memberikan isyarat agar aku memperkenalkan diri.(hal 330)

“Belajar itu bisa di mana saja, Sudja,” jawabku. Yang penting kunci belajar itu harus berpikiran terbuka dan berprasangka baik kepada siapa pun. Ketika Allah menurunkan wahyu pertama kepada Kanjeng Nabi Muhammad Iqro’, bacalah, maka suruhan untuk membaca itu adalah perintah untuk belajar, memperhatikan, melihat dengan teliti. Apa yang harus kita baca, pelajari, perhatikan, dan lihat dengan teliti? Apa saja, khususnya yang ada di dekat kita, apa yang ada di alam, apa yang ada di kitab. Apa yang ada di kalangan Muslim, apa yang ada di kalangan kafir. Tapi soal Budi Utomo, jangan dengan gampang kamu sebut itu kelompok kafir, Sudja. Bahkan sesungguhnya kita harus sangat hati- hati dalam menggunakan kata itu ketika menunjuk orang lain.”(hal 344)

                        .
            Setelah mendirikan Muhammadiyah, pada tanggal 20 Desember 1912 KH. Ahmad Dahlan mengajukkan permohonan kepada Hindia Belanda agar organiasasi Muhammdiyah berbadan hukum, namun baru dipenuhi oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1914. Izin tersebut hanya berlaku dan bergerak untuk di daerah Yogyakarta, ada kekhawatiran dari pemerintah Belanda dengan adanya organisasi Muhammadiyah, sehingga kegiatan – kegiatannya dibatasi. Ruang gerak dibatasi tidak menghalagi pergerakan Muhammadiyah, bahkan bertambah menyebar ke Srandakan, Wonogiri dan Imogiri. Ini sangat bertentangan dengan pemerintah Hindia Belada, KH. Ahmad Dahlan menyiasatinya dengan menggunakan nama lain untuk cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta. Nurul Islam di Pekalongan, Al Munir di Ujung Pandang, Ahmadiyah di Garut, Sidiq Amanah Tabligh Fatanah (SATF) di Solo yang mendapat pimpinan Muhammdiyah. Pada tanggal 1917, KH. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi kewanitaan Muhammadiyah yang bernama Aisyiyah.2

AKHIRNYA pada 12 November 1912 sekitar 30 orang muridku dari berbagai umur berkumpul. Sangidu duduk di samping kananku, sedangkan Sudja di sebelah kiriku. “Muhammadiyah ini bukan untuk kita sendiri, tapi untuk orang banyak,” ujarku. Hidup ini singkat dan hanya sekali, manfaatkan tidak hanya untuk kepentingan sendiri. Allah beserta orang-orang yang peduli. Insya Allah usaha kita ini akan diridhai.”

“Insya Allah,jawab mereka berbarengan.

“Sekalipun surat izin berdirinya Persyarikatan Muhammadiyah ini belum keluar, tapi hari ini saya tetapkan sebagai hari lahir Muhammadiyah,” kataku sambil mengucapkan ayat terakhir dari Surah Al Fatihah, ihdinash shiratal mustaqim, shiratal ladzina an’amta ‘alaihim, ghairil maghdhubi ‘alaihim, waladh dhallin (Tunjukilah kami jalan yang lurus. Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan jalan orang-orang yang Engkau laknat dan bukan juga jalan orang-orang yang sesat).

“Aaamiiin!” jawab para hadirin bersamaan.

“Allahu Akbar!” pekik Fahrudin dengan nada gembira. Allahu Akbar!” sahut yang lain bersahutan. Dari jauh, terdengar sesayup suara beduk magrib dari Masjid Gedhe Kauman yang menandakan waktu magrib sudah masuk.

Ayo, kita shalat magrib di Masjid Gedhe,” ujarku disambut tatapan heran para murid seniorku yang sudah lama tak mendengarkan kata-kata semacam itu keluar dari mulutku. Akhirnya, rombongan kami yang cukup besar dengan bersemangat berjalan menuju Masjid Gedhe, dan mendapatkan banyak tatapan dari orang-orang yang berpapasan dengan kami. (hal.450-451)

            Melalui novel Sang Pencerah ini mudah – mudahan bisa menambah wawasan masyarakat tentang sosok KH. Ahmad Dahlan dan pergerakan dakwah beliau. Akan lebih baik jika menyajikannya dengan meluruskan sejarah di Indonesia, karena sejarah Islam di Indonesia sudah banyak yang didistorsi. Jadikan sejarah Islam di Indonesia ini benar – benar objektif, bukan subjektif.

C.      Daftar Referen
Basral, Akmal Nasery. 2010. Sang Pencerah. Jakarta: Mizan Pustaka.
Teeuw,A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya- Giri Mukti Pustaka
Pradopo, Rachmat Djoko. 1993. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.Yogyakarta:Pustaka Pelajar

 Disusun oleh: Novita Rahayu, Angga Priandi, Danar Takdir Suprayogi