Selasa, 20 Agustus 2013

Definisi, Unsur, Jenis, dan Struktur PUISI

                                                                               PUISI                                                                                                                                                                                                                                          
A. Pengertian 
Puisi adalah bentuk kesusastraan yang paling tua. Puisi termasuk karya sastra, dan semua karya sastra bersifat imajinatif. Bahasa sastra bersifat konotatif karena banyak digunakan makna kias dan makna lambang. Dibandingkan dengan bentuk karya sastra yang lain, puisi, lebih bersifat konotatif. Bahasanya lebih banyak mengandung kemungkinan makna. Hal ini disebabkan terjadinya pengonsentrasian atau pemadatan segenap kekuatan bahasa dalam puisi. Apabila dilihat dari segi bentuk penulisannya, puisi memiliki suatu tata wajah atau penampilan khusus di atas kertas, yang biasa disebut tipografi.
Pada dasarnya untuk memberikan pengertian puisi secara memuaskan cukup sulit. Adapun pengertian puisi menurut Waluyo (1987:25) beberapa yang dapat dirangkum dalam satu kalimat dapat dipaparkan sebagai berikut.
a. Dalam puisi terjadi pemadatan segala unsur kekuatan bahasa;
b. Dalam penyusunannya, unsur-unsur bahasa itu dirapikan, diperbagus, diatur sebaik-baiknya dengan memperhatikan irama dan bunyi;
c. Puisi adalah ungkapan pikiran dan perasaan penyair yang berdasarkan pengalaman jiwa dan bersifat imajinatif;
d. Bahasa yang dipergunakan bersifat konotatif; hal ini ditandai dengan kata konkret lewat pengimajian, pelambangan, dan pengiasan, atau dengan kata lain dengan kata konkret dan bahasa figuratif;
e. Bentuk fisik dan bentuk batin puisi merupakan kesatuan yang bulat dan utuh, tidak dapat dipisahkan dan merupakan kesatuan yang padu. Bentuk fisik dan bentuk batin itu dapat ditelaah unsur-unsurnya hanya dalam kaitannya dengan keseluruhan. Unsur-unsur itu hanyalah berarti dalam totalitasnya dengan keseluruhannya.

Selain hali tersebut puisi termasuk salah satu genre sastra yang berisi ungkapan perasaan penyair, mengandung rima dan irama, serta diungkapkan dalam pilihan kata yang cermat dan tepat. Ciri-ciri puisi dapat dilihat dari bahasa yang digunakan serta wujud puisi tersebut. Bahasanya mengandung rima, irama, dan kiasan. Wujud puisi dapat dilihat dari bentuknya yang berlarik membentuk bait, letak tertata, dan tidak mementingkan ejaan. Mengenal puisi dapat juga membedakan wujudnya dengan membandingkan dari prosa. Ada empat unsur yang merupakan hakikat puisi, yaitu: tema, perasaan penyair, nada puisi, serta amanat.

Berdasarkan waktu kemunculannya puisi dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu puisi lama, puisi baru, dan puisi modern.
1. Puisi lama lahir sebelum penjajahan Belanda dan masih murni berciri khas Melayu. Puisi lama terdiri dari: mantra, bidal, pantun dan karmina, talibun, seloka, gurindam, dan syair.
2. Puisi baru adalah puisi yang terpengaruh gaya bahasa Eropa. Penetapan jenis puisi baru berdasarkan jumlah larik yang terdapat dalam setiap bait. Jenis puisi baru dibagi menjadi distichon, terzina, quatrain, quint, sextet, septina, stanza, serta soneta.
3. Puisi modern adalah puisi yang berkembang di Indonesia setelah masa kemerdekaan. Berdasarkan cara pengungkapannya, puisi modern dapat dibagi menjadi puisi epik, puisi lirik, dan puisi dramatik.



Berdasarkan cara pengungkapannya, dikenal adanya puisi kontemporer dan puisi konvensional. Yang tergolong puisi kontemporer yaitu: puisi mantra, puisi mbeling, serta puisi konkret. Selain itu berdasarkan keterbacaan yaitu tingkat kemudahan memaknainya, puisi terdiri dari puisi diafan, puisi prismatis, dan puisi gelap.

B. Unsur-Unsur Puisi 
kata, larik , bait, bunyi, dan makna. Kelima unsur ini saling mempengaruhi keutuhan sebuah puisi. Secara singkat bisa diuraikan sebagai berikut.

1. Kata adalah unsur utama terbentuknya sebuah puisi. Pemilihan kata (diksi) yang tepat sangat menentukan kesatuan dan keutuhan unsur-unsur yang lain. Kata-kata yang dipilih diformulasi menjadi sebuah larik.
2. Larik (atau baris) mempunyai pengertian berbeda dengan kalimat dalam prosa. Larik bisa berupa satu kata saja, bisa frase, bisa pula seperti sebuah kalimat. Pada puisi lama, jumlah kata dalam sebuah larik biasanya empat buat, tapi pada puisi baru tak ada batasan.
3. Bait merupakan kumpulan larik yang tersusun harmonis. Pada bait inilah biasanya ada kesatuan makna. Pada puisi lama, jumlah larik dalam sebuah bait biasanya empat buah, tetapi pada puisi baru tidak dibatasi.
4. Bunyi dibentuk oleh rima dan irama.
5. Rima (persajakan) adalah bunyi-bunyi yang ditimbulkan oleh huruf atau kata-kata dalam larik dan bait.
6. Irama (ritme) adalah pergantian tinggi rendah, panjang pendek, dan keras lembut ucapan bunyi. Timbulnya irama disebabkan oleh perulangan bunyi secara berturut-turut dan bervariasi (misalnya karena adanya rima, perulangan kata, perulangan bait), tekanan-tekanan kata yang bergantian keras lemahnya (karena sifat-sifat konsonan dan vokal), atau panjang pendek kata.

Dari sini dapat dipahami bahwa rima adalah salah satu unsur pembentuk irama, namun irama tidak hanya dibentuk oleh rima. Baik rima maupun irama inilah yang menciptakan efek musikalisasi pada puisi, yang membuat puisi menjadi indah dan enak didengar meskipun tanpa dilagukan.
Makna adalah unsur tujuan dari pemilihan kata, pembentukan larik dan bait. Makna bisa menjadi isi dan pesan dari puisi tersebut. Melalui makna inilah misi penulis puisi disampaikan.
Adapun secara lebih detail, unsur-unsur puisi bisa dibedakan menjadi dua struktur, yaitu struktur batin dan struktur fisik. 
a. Struktur batin puisi, atau sering pula disebut sebagai hakikat puisi, meliputi hal-hal sebagai berikut.
(1) Tema/makna (sense); 
media puisi adalah bahasa. Tataran bahasa adalah hubungan tanda dengan makna, maka puisi harus bermakna, baik makna tiap kata, baris, bait, maupun makna keseluruhan.
(2) Rasa (feeling)
yaitu sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam puisinya. Pengungkapan tema dan rasa erat kaitannya dengan latar belakang sosial dan psikologi penyair, misalnya latar belakang pendidikan, agama, jenis kelamin, kelas sosial, kedudukan dalam masyarakat, usia, pengalaman sosiologis dan psikologis, dan pengetahuan. Kedalaman pengungkapan tema dan ketepatan dalam menyikapi suatu masalah tidak bergantung pada kemampuan penyairmemilih kata-kata, rima, gaya bahasa, dan bentuk puisi saja, tetapi lebih banyak bergantung pada wawasan, pengetahuan, pengalaman, dan kepribadian yang terbentuk oleh latar belakang sosiologis dan psikologisnya.
(3) Nada (tone)
yaitu sikap penyair terhadap pembacanya. Nada juga berhubungan dengan tema dan rasa. Penyair dapat menyampaikan tema dengan nada menggurui, mendikte, bekerja sama dengan pembaca untuk memecahkan masalah, menyerahkan masalah begitu saja kepada pembaca, dengan nada sombong, menganggap bodoh dan rendah pembaca, dll.
(4) Amanat/tujuan/maksud (itention)
sadar maupun tidak, ada tujuan yang mendorong penyair menciptakan puisi. Tujuan tersebut bisa dicari sebelum penyair menciptakan puisi, maupun dapat ditemui dalam puisinya.

b. struktur fisik puisi, atau terkadang disebut pula metode puisi, adalah sarana-sarana yang digunakan oleh penyair untuk mengungkapkan hakikat puisi. Struktur fisik puisi meliputi hal-hal sebagai berikut.
(1) Perwajahan puisi (tipografi)
yaitu bentuk puisi seperti halaman yang tidak dipenuhi kata-kata, tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal tersebut sangat menentukan pemaknaan terhadap puisi.
(2) Diksi
yaitu pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Karena puisi adalah bentuk karya sastra yang sedikit kata-kata dapat mengungkapkan banyak hal, maka kata-katanya harus dipilih secermat mungkin. Pemilihan kata-kata dalam puisi erat kaitannya dengan makna, keselarasan bunyi, dan urutan kata.
(3) Imaji
yaitu kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman indrawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi tiga, yaitu imaji suara (auditif), imaji penglihatan (visual), dan imaji raba atau sentuh (imaji taktil). Imaji dapat mengakibatkan pembaca seakan-akan melihat, mendengar, dan merasakan seperti apa yang dialami penyair.
(4) Kata kongkret
yaitu kata yang dapat ditangkap dengan indera yang memungkinkan munculnya imaji. Kata-kata ini berhubungan dengan kiasan atau lambang. Misal kata kongkret “salju: melambangkan kebekuan cinta, kehampaan hidup, dll, sedangkan kata kongkret “rawa-rawa” dapat melambangkan tempat kotor, tempat hidup, bumi, kehidupan, dll.
(5) Bahasa figuratif
yaitu bahasa berkias yang dapat menghidupkan/meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu (Soedjito, 1986:128). Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi prismatis, artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna (Waluyo, 1987:83). Bahasa figuratif disebut juga majas. Adapaun macam-amcam majas antara lain metafora, simile, personifikasi, litotes, ironi, sinekdoke, eufemisme, repetisi, anafora, pleonasme, antitesis, alusio, klimaks, antiklimaks, satire, pars pro toto, totem pro parte, hingga paradoks.
(6) Versifikasi
yaitu menyangkut rima, ritme, dan metrum. Rima adalah persamaan bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, dan akhir baris puisi. 



Rima mencakup
2. onomatope (tiruan terhadap bunyi, misal /ng/ yang memberikan efek magis pada puisi Sutadji C.B.)
3. bentuk intern pola bunyi (aliterasi, asonansi, persamaan akhir, persamaan awal, sajak berselang, sajak berparuh, sajak penuh, repetisi bunyi [kata], dan sebagainya [Waluyo, 187:92])
4. pengulangan kata/ungkapan. Ritma adalah tinggi rendah, panjang pendek, keras lemahnya bunyi. Ritma sangat menonjol dalam pembacaan puisi.

C. Jenis puisi 
Menurut zamannya, puisi dibedakan atas puisi lama dan puisi baru.
a. Puisi Lama
Puisi lama adalah puisi yang terikat oleh aturan-aturan. Aturan- aturan itu antara lain :
- Jumlah kata dalam 1 baris
- Jumlah baris dalam 1 bait
- Persajakan (rima)
- Banyak suku kata tiap baris
- Irama

1. Ciri-ciri Puisi Lama
Ciri puisi lama:
a) Merupakan puisi rakyat yang tak dikenal nama pengarangnya
b) Disampaikan lewat mulut ke mulut, jadi merupakan sastra lisan
c) Sangat terikat oleh aturan-aturan seperti jumlah baris tiap bait, jumlah suku kata maupun rima.

2. Jenis dan Contoh Puisi Lama
a) Mantra adalah ucapan-ucapan yang dianggap memiliki kekuatan gaib. Contoh : Assalammu’alaikum putri satulung besar
Yang beralun berilir simayang
Mari kecil, kemari
Aku menyanggul rambutmu
Aku membawa sadap gading
Akan membasuh mukamu
b) Pantun adalah puisi yang bercirikan bersajak a-b-a-b, tiap bait 4 baris, tiap baris terdiri dari 8-12 suku kata, 2 baris awal sebagai sampiran,  2 baris berikutnya sebagai isi. Pembagian pantun menurut isinya terdiri dari pantun anak, muda-mudi, agama/nasihat, teka-teki, jenaka. Contoh :Kalau ada jarum patah
Jangan dimasukkan ke dalam peti
Kalau ada kataku yang salah
Jangan dimasukan ke dalam hati
c) Karmina adalah pantun kilat seperti pantun tetapi pendek. Contoh :Dahulu parang, sekarang besi (a)
Dahulu sayang sekarang benci (a)
d) Seloka adalah pantun berkait. Contoh : Lurus jalan ke Payakumbuh,
Kayu jati bertimbal jalan
Di mana hati tak kan rusuh,
Ibu mati bapak berjalan
e) Gurindam adalah puisi yang berdirikan tiap bait 2 baris, bersajak a-a-a-a, berisi nasihat. Contoh : Kurang pikir kurang siasat (a)
Tentu dirimu akan tersesat (a)
Barang siapa tinggalkan sembahyang ( b )
Bagai rumah tiada bertiang ( b )
Jika suami tiada berhati lurus ( c )
Istri pun kelak menjadi kurus ( c )
f) Syair adalah puisi yang bersumber dari Arab dengan ciri tiap bait 4 baris, bersajak a-a-a-a, berisi nasihat atau cerita. Contoh : Pada zaman dahulu kala (a)
Tersebutlah sebuah cerita (a)
Sebuah negeri yang aman sentosa (a)
Dipimpin sang raja nan bijaksana (a)
g) Talibun adalah pantun genap yang tiap bait terdiri dari 6, 8, ataupun 10 baris. Contoh :
Kalau anak pergi ke pekan
Yu beli belanak pun beli sampiran
Ikan panjang beli dahulu
Kalau anak pergi berjalan
Ibu cari sanak pun cari isi
Induk semang cari dahulu

4. Ciri-ciri dari jenis puisi lama
a) Mantra
Ciri-ciri:
Ø Berirama akhir abc-abc, abcd-abcd, abcde-abcde.
Ø Bersifat lisan, sakti atau magis
Ø Adanya perulangan
Ø Metafora merupakan unsur penting
Ø Bersifat esoferik (bahasa khusus antara pembicara dan lawan bicara) dan misterius
Ø Lebih bebas dibanding puisi rakyat lainnya dalam hal suku kata, baris dan persajakan.
b) Pantun
Ciri – ciri :
Ø Setiap bait terdiri 4 baris
Ø Baris 1 dan 2 sebagai sampiran
Ø Baris 3 dan 4 merupakan isi
Ø Bersajak a – b – a – b
Ø Setiap baris terdiri dari 8 – 12 suku kata
Ø Berasal dari Melayu (Indonesia)
c) Karmina
Ciri-ciri karmina
Ø Setiap bait merupakan bagian dari keseluruhan.
Ø Bersajak aa-aa, aa-bb
Ø Bersifat epik: mengisahkan seorang pahlawan.
Ø Tidak memiliki sampiran, hanya memiliki isi.
Ø Semua baris diawali huruf capital.
Ø Semua baris diakhiri koma, kecuali baris ke-4 diakhiri tanda titik.
Ø Mengandung dua hal yang bertentangan yaitu rayuan dan perintah.


d) Seloka
Ciri-ciri seloka
Ø Ditulis empat baris memakai bentuk pantun atau syair,
Ø Namun ada seloka yang ditulis lebih dari empat baris.
e) Gurindam
Ciri-ciri gurindam
Ø Baris pertama berisikan semacam soal, masalah atau perjanjian
Ø baris kedua berisikan jawabannya atau akibat dari masalah atau perjanjian pada baris pertama tadi.
f) Syair
Ciri-ciri syair
Ø Terdiri dari 4 baris
Ø Berirama aaaa
Ø Keempat baris tersebut mengandung arti atau maksud penyair
g) Talibun
Ciri-ciri:
Ø Jumlah barisnya lebih dari empat baris, tetapi harus genap misalnya 6, 8, 10 dan seterusnya.
Ø Jika satu bait berisi enam baris, susunannya tiga sampiran dan tiga isi.
Ø Jika satu bait berisi delapan baris, susunannya empat sampiran dan empat isi.
Ø Apabila enam baris sajaknya a – b – c – a – b – c.
Ø Bila terdiri dari delapan baris, sajaknya a – b – c – d – a – b – c – d

b. PUISI BARU
Puisi baru bentuknya lebih bebas daripada puisi lama baik dalam segi jumlah baris, suku kata, maupun rima.
1. Ciri-ciri Puisi Baru
a) Bentuknya rapi, simetris;
b) Mempunyai persajakan akhir (yang teratur);
c) Banyak mempergunakan pola sajak pantun dan syair meskipun ada pola yang lain;
d) Sebagian besar puisi empat seuntai;
e) Tiap-tiap barisnya atas sebuah gatra (kesatuan sintaksis)
f) Tiap gatranya terdiri atas dua kata (sebagian besar) : 4-5 suku kata.

2. Jenis-jenis dan Contoh Puisi Baru
Menurut isinya, puisi dibedakan atas :
a) Balada adalah puisi berisi kisah/cerita. Contoh : Puisi karya Sapardi Djoko Damono yang berjudul “ Balada Matinya Seorang Pemberontak”
b) Himne adalah puisi pujaan untuk Tuhan, tanah air, atau pahlawan. Contoh :
Bahkan batu-batu yang keras dan bisu
Mengagungkan nama-Mu dengan cara sendiri
Menggeliat derita pada lekuk dan liku
bawah sayatan khianat dan dusta.
Dengan hikmat selalu kupandang patung-Mu
menitikkan darah dari tangan dan kaki
dari mahkota duri dan membulan paku
Yang dikarati oleh dosa manusia.
Tanpa luka-luka yang lebar terbuka
dunia kehilangan sumber kasih
Besarlah mereka yang dalam nestapa
mengenal-Mu tersalib di datam hati.
(Saini S.K)
c) Ode adalah puisi sanjungan untuk orang yang berjasa. Contoh :
Generasi Sekarang
Di atas puncak gunung fantasi
Berdiri aku, dan dari sana
Mandang ke bawah, ke tempat berjuang
Generasi sekarang di panjang masa
Menciptakan kemegahan baru
Pantoen keindahan Indonesia
Yang jadi kenang-kenangan
Pada zaman dalam dunia
(Asmara Hadi)
d) Epigram adalah puisi yang berisi tuntunan/ajaran hidup. Contoh :
Hari ini tak ada tempat berdiri
Sikap lamban berarti mati
Siapa yang bergerak, merekalah yang di depan
Yang menunggu sejenak sekalipun pasti tergilas.
(Iqbal)
e) Romance adalah puisi yang berisi luapan perasaan cinta kasih.
f) Elegi adalah puisi yang berisi ratap tangis/kesedihan. Contoh :
Senja di Pelabuhan Kecil
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap
(Chairil Anwar)
g) Satire adalah puisi yang berisi sindiran/kritik. Contoh :
Aku bertanya
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur jidad penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi
di sampingnya,
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan,
termangu-mangu dl kaki dewi kesenian.
(Rendra)


Sedangkan macam-macam puisi baru dilihat dari bentuknya antara lain:
a) DISTIKON
Contoh :
Berkali kita gagal
Ulangi lagi dan cari akal
Berkali-kali kita jatuh
Kembali berdiri jangan mengeluh
(Or. Mandank)
b) TERZINA
Contoh :
Dalam ribaan bahagia datang
Tersenyum bagai kencana
Mengharum bagai cendana
Dalam bah’gia cinta tiba melayang
Bersinar bagai matahari
Mewarna bagaikan sari
Dari ; Madah Kelana
Karya : Sanusi Pane
c) QUATRAIN
Contoh :
Mendatang-datang jua
Kenangan masa lampau
Menghilang muncul jua
Yang dulu sinau silau
Membayang rupa jua
Adi kanda lama lalu
Membuat hati jua
Layu lipu rindu-sendu
(A.M. Daeng Myala)
d) QUINT
Contoh :
Hanya Kepada Tuan
Satu-satu perasaan
Hanya dapat saya katakan
Kepada tuan
Yang pernah merasakan
Satu-satu kegelisahan
Yang saya serahkan
Hanya dapat saya kisahkan
Kepada tuan
Yang pernah diresah gelisahkan
Satu-satu kenyataan
Yang bisa dirasakan
Hanya dapat saya nyatakan
Kepada tuan
Yang enggan menerima kenyataan
(Or. Mandank)



e) SEXTET
Contoh :
Merindu Bagia
Jika hari’lah tengah malam
Angin berhenti dari bernafas
Sukma jiwaku rasa tenggelam
Dalam laut tidak terwatas
Menangis hati diiris sedih
(Ipih)
f) SEPTIMA
Contoh :
Indonesia Tumpah Darahku
Duduk di pantai tanah yang permai
Tempat gelombang pecah berderai
Berbuih putih di pasir terderai
Tampaklah pulau di lautan hijau
Gunung gemunung bagus rupanya
Ditimpah air mulia tampaknya
Tumpah darahku Indonesia namanya
(Muhammad Yamin)
g) STANZA ( OCTAV )
Contoh :
Awan
Awan datang melayang perlahan
Serasa bermimpi, serasa berangan
Bertambah lama, lupa di diri
Bertambah halus akhirnya seri
Dan bentuk menjadi hilang
Dalam langit biru gemilang
Demikian jiwaku lenyap sekarang
Dalam kehidupan teguh tenang
(Sanusi Pane)
h) SONETA
Contoh :
Gembala
Perasaan siapa ta ‘kan nyala ( a )
Melihat anak berelagu dendang ( b )
Seorang saja di tengah padang ( b )
Tiada berbaju buka kepala ( a )
Beginilah nasib anak gembala ( a )
Berteduh di bawah kayu nan rindang ( b )
Semenjak pagi meninggalkan kandang ( b )
Pulang ke rumah di senja kala ( a )
Jauh sedikit sesayup sampai ( a )
Terdengar olehku bunyi serunai ( a )
Melagukan alam nan molek permai ( a )
Wahai gembala di segara hijau ( c )
Mendengarkan puputmu menurutkan kerbau ( c )
Maulah aku menurutkan dikau ( c )
(Muhammad Yamin)
4. Ciri-ciri dari Jenis Puisi Baru
Berdasarkan isinya :
a) Balada
Ciri-ciri balada
Balada jenis ini terdiri dari 3 (tiga) bait, masing-masing dengan 8 (delapan) larik dengan skema rima a-b-a-b-b-c-c-b. Kemudian skema rima berubah menjadi a-b-a-b-b-c-b-c. Larik terakhir dalam bait pertama digunakan sebagai refren dalam bait-bait berikutnya.
b) Hymne
Ciri-ciri hymne
Lagu pujian untuk menghormati seorang dewa, Tuhan, seorang pahlawan, tanah air, atau alma mater (Pemandu di Dunia Sastra).
Sekarang ini, pengertian himne menjadi berkembang. Himne diartikan sebagai puisi yang dinyanyikan, berisi pujian terhadap sesuatu yang dihormati (guru, pahlawan, dewa, Tuhan) yang bernafaskan ke-Tuhan-an.
c) Ode
Ciri-ciri ode
Ciri ode nada dan gayanya sangat resmi (metrumnya ketat), bernada anggun, membahas sesuatu yang mulia, bersifat menyanjung baik terhadap pribadi tertentu atau peristiwa umum.
d) Epigram
Epigramma (Greek); unsur pengajaran; didaktik; nasihat membawa ke arah kebenaran untuk dijadikan pedoman, ikhtibar; ada teladan.
e) Romance
Romantique (Perancis); keindahan perasaan; persoalan kasih sayang, rindu dendam, serta kasih mesra
f) Elegi
Ciri-ciri elegi
Sajak atau lagu yang mengungkapkan rasa duka atau keluh kesah karena sedih atau rindu, terutama karena kematian/kepergian seseorang.
g) Satire
Satura (Latin) ; sindiran ; kecaman tajam terhadap sesuatu fenomena; tidak puas hati satu golongan (ke atas pemimpin yang pura-pura, rasuah, zalim etc)

Berdasarkan bentuknya :
a) Distikon
• 2 baris; sajak 2 seuntai
• Distikon (Greek: 2 baris)
• Rima – aa–bb
b) Terzina
Terzina (Itali: 3 irama)
c) Quatrain
• Quatrain (Perancis: 4 baris)
• Pada asalnya ada 4 rangkap
• Dipelopori di Malaysia oleh Mahsuri S.N.
d) Quint
Pada asalnya, rima Quint adalah /aaaaa/ tetapi kini 5 baris dalam serangkap diterima umum sebagai Quint (perubahan ini dikatakan berpunca dari kesukaran penyair untuk membina rima /aaaaa/

e) Sextet
• sextet (latin: 6 baris)
• Dikenali sebagai ‘terzina ganda dua’
• Rima akhir bebas
f) Septima
• septime (Latin: 7 baris)
• Rima akhir bebas
g) Oktav
• Oktaf (Latin: 8 baris)
• Dikenali sebagai ‘double Quatrain’
h) Soneta
• Terdiri atas 14 baris
• Terdiri atas 4 bait, yang terdiri atas 2 quatrain dan 2 terzina
• Dua quatrain merupakan sampiran dan merupakan satu kesatuan yang disebut octav.
• Dua terzina merupakan isi dan merupakan satu kesatuan yang disebut isi yang disebut sextet.
• Bagian sampiran biasanya berupa gambaran alam
• Sextet berisi curahan atau jawaban atau kesimpulan daripada apa yang dilukiskan dalam ocvtav , jadi sifatnya subyektif.
• Peralihan dari octav ke sextet disebut volta
• Penambahan baris pada soneta disebut koda.
• Jumlah suku kata dalam tiap-tiap baris biasanya antara 9 – 14 suku kata
• Rima akhirnya adalah a – b – b – a, a – b – b – a, c – d – c, d – c – d.

D. Struktur Puisi 
Selain itu, unsur-unsur puisi juga melakukan regulasi diri artinya mempunyai saling keterkaitan antara unsur yang satu dengan yang lain. Jalinan unsur-unsur yang terdapat dalam struktur fisik dalam membentuk kesatuan dan keutuhan puisi menyebabkan keseluruhan puisi lebih bermakna dan lebih lengkap dari sekadar kumpulan unsur-unsur. Puisi itu mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama, merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang penting.
Dengan demikan, setiap unsur yang terdapat dalam puisi tersebut memiliki saling hubunga antara yang satu dengan yang lain untuk terbentuknya suatu kesatuan makna dari sebuah puisi.
a. Tema Puisi
Sebelum membaca puisi, peneliti harus menyadari bahwa makna puisi harus ditafsirkan dan bukan makna secara langsung yang dapat diketahui. Djojosuroto menambahkan untuk langkah selanjutnya dapat dilakukan dengan menafsirkan konteks dalam linguistik berupa alat-alat linguistik yang secara eksplisit digunakan dalam ujaran (2005:24). Hal ini dapat dilihat dari penggunaan kata dan hubungan antar kalimat dalam tiap baris puisi tersebut. Jika hal demikian dilakukan, akan diperoleh penafsiran yang tidak berbeda dengan maksud penyairnya. Sehingga pokok pikiran atau tema pada puisi dapat diketahui.
Tema puisi biasanya mengungkapkan persoalan manusia yang bersifat hakiki, seperti: cinta kasih, ketakutan, kebahagiaan, kedukaan, kesengsaraan hidup, keadilan, kebenaran, ketuhanan, kritik sosial, dan  protes. Tema dapat dijabarkan menjadi subtema atau dapat dikatakan pokok pikiran.

b. Nada Puisi
Sebuah puisi dapat menimbulkan suatu nada tertentu dari pembawaan sikap penyairnya. Nada atau sikap pada puisi sering dikaitkan dengan suasana. Jika nada berarti sikap penyair terhadap pokok persoalan (feeling) dan sikap penyair terhadap pembaca (tone), maka suasana berarti keadaan perasaan yang ditimbulkan oleh pengungkapan nada dan lingkungan yang dapat ditangkap oleh panca indera. Nada berhubungan dengan tema dan pembaca. Nada yang berhubungan dengan tema menunjukkan sikap penyair terhadap objek yang digarapnya. Misalnya, penyair menggarap objek seorang perampok, penyair dapat bersikap simpati, benci, antipati, terharu, dan sebagainya. Nada yang berhubungan dengan pembaca, misalnya nada menggurui, nada sinis, nada menghasut, nada santai, nada filosofis, dan lain-lainnya.
Penghayatan pembaca akan nada yang dikemukakan penyair harus sesuai. Hanya dengan cara demikian tafsiran atas makna sebuah puisi dapat mendekati ketepatan yang dikehendaki penyair. Cara menafsirkan puisi diantaranya ialah dengan meninjau bahasa yang digunakan oleh penyair, yaitu menentukan konteks puisi berdasarkan hubungan kohesi (hubungan struktur antar kalimat) dan koherensi (hubungan makna antar kalimat). Makna puisi tidak hanya ditentukan oleh kata dan kalimat secara lepas, akan tetapi ditentukan oleh hubungan antara kalimat yang satu dengan yang lain baik kalimat sebelumnya dan sesudahnya (Djojosuroto, 2005:26).

c. Suasana Puisi
Dalam puisi diungkapkan perasaan penyair secara totalitas. Puisi dapat mengungkapkan perasaan gembira, sedih, terharu, takut, gelisah, rindu, penasaaran, benci, cinta, dendam, dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan, penyair mengerahkan segenap kekuatan bahasa untuk memperkuat ekspresi perasaan yang bersifat total (Tarigan, 1984:5). Bahasa memiliki fungsi simbolik, emotif, dan afektif (Suriasumantri, 1985:181; Djojosuroto, 2005:26). Di dalam puisi, ketiga fungsi bahasa itu dimanfaatkan. Unsur emotif mendapat porsi yang lebih dominan.


E. Pendekatan dalam Mengapresiasi Puisi
Pendekatan merupakan seperangkat asumsi dan prinsip yang berhubungan dengan sifat-sifat puisi. Pendekatan dalam mengapresiasi puisi terdiri dari pendekatan terhadap teks puisi serta pendekatan dalam membaca puisi.
a. Pendekatan Parafrasis
Sesuai hakikatnya, puisi mengunakan kata-kata yang padat. Oleh sebab itu, banyak puisi yang tidak mudah untuk dapat dipahami terutama oleh pembaca pemula. Ada pendekatan yang dapat dilakukan, yaitu mengungkapkan kembali gagasan yang disampaikan penyair dalam bentuk baru yaitu menyisipkan kata atau kelompok kata dengan tujuan memperjelas makna puisi tersebut. Pendekatan ini bertujuan menguraikan kata yang padat dan menkonkretkan yang bermakna kias.
b. Pendekatan Emotif
Pendekatan ini berupaya mengajak emosi atau perasaan pembaca, berkaitan dengan keindahan penyajian bentuk atau isi gagasan. Yang ingin diketahui pembaca adalah bagaimana penyair menampilkan keindahan tersebut. Pendekatan ini juga sering diterapkan untuk memahami puisi humor, satire, serta sarkastis.
c. Pendekatan Analitis
Cara memahami isi puisi melalui unsur intrinsik pembentuk puisi. Unsur intrinsik adalah unsur yang secara langsung membangun puisi dari dalam karya itu sendiri. Unsur intrinsik puisi terdiri dari tema, amanat, nada, perasaan, tipografi, enjambemen, akulirik, rima, gaya bahasa, dan citraan.
Citraan merupakan suatu gambaran mental atau suatu usaha yang dapat dilihat di dalam pikiran (Laurence, 1973). Citraan tersebut termuat dalam kata-kata yang dipakai penyair. Citraan atau imaji dibagi menjadi:
5. Visual imagery
6. Auditory imagery
7. Smell imagery
8. Tactile imagery

d. Pendekatan Historis
Unsur ekstrinsik dapat terdiri dari unsur biografi penyair yang turut mempengaruhi puisinya, unsur kesejarahan atau unsur historis yang menggambarkan keadaan zaman pada saat puisi tersebut diciptakan, masyarakat, dan lain-lain.
e. Pendekatan Didaktis
Pendekatan ini berupaya menemukan nilai-nilai pendidikan yang tertuang dalam puisi. Agar dapat menemukan gagasan tersebut, pembaca dituntut memiliki kemampuan intelektual dan kepekaan.
f. Pendekatan Spsiopsikologis
Berupaya memahami kehidupan sosial, budaya, serta kemasyarakatan yang tertuang dalam puisi. Puisi yang dapat dipahami menggunakan pendekatan sosiopsikologis serta pendekatan didaktis adalah puisi naratif

F. Struktur Fisik Puisi
1. Bunyi
Menurut Pradopo (2007:22-37) bunyi dalam sebuah puisi bersifat estetik, unsur puisi yang bertugas untuk memberikan keindahan dan tenaga ekspresif. Bunyi tidak hanya berfungsi sebagai hiasan dalam sebuah puisi, juga mempunyai peranan yang lebih penting, yaitu untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, dan menimbulkan bayangan angan yang jelas, atau menimbulkan suasana yang khusus. Selain itu, bunyi pada puisi juga digunakan sebagai orkestrasi untuk menimbulkan bunyi musik. Bunyi konsonan dan bunyi vokal disusun begitu rupa sehingga menimbulkan bunyi yang merdu dan berirama seperti bunyi musik, dari bunyi musik murni ini dapatlah mengalir perasaan, imaji-imaji dalam pikiran, atau pengalaman-pengalaman jiwa pendengarnya (pembacanya).
Kombinasi-kombinasi bunyi yang merdu itu biasanya disebut efoni (euphony), atau bunyi yang indah. Orkestrasi bunyi yang merdu ini biasanya dipergunakan untuk menggambarkan perasaan mesra, kasih sayang atau cinta, serta hal-hal yang meng-gembirakan. Misalnya terlihat pada sajak Soeparwoto Wiraatmadja berikut ini.

SENANDUNG NATAL

Nyanyi suci di dalam hati
Mengalun setanggi sesela hati
Adik mengapa dikau sendiri
Bersama abang mari ziarah ke gereja suci

Sunyi hati di gelap hari
Serangga mati di nyala api
Kristus janganlah pergi sertai kami
dalam sepi jalan sendiri

Dan bulan, kerinduan yang dalam
menikam nurani pengembara di perlawatan
Tuhan di palungan betapa pun kebesaran
Manusia nikmat tertidur di peristirahatan

Nyanyi suci di malam sepi
Mengalun hati diayun setanggi
Adik mari berlutut di sini
Tuhan hadir bagi insani

Sunyi suci di gelap dini
Berayun hati digetar nyanyi
Dan adik mari bukakan diri
Kristus istirahatlah di hati kami

Kristus! Lindungilah dan berkati
Ajar kami berendah hati
Dan biarlah tanganmu suci
di dahi kami tersilang aman abadi
(Kidung Keramahan, 1963; Apresiasi Puisi, 2005)

Bagi umat Kristen, malam Natal adalah malam bahagia untuk merayakan kelahiran Yesus Kristus Sang Penebus. Penyair mengajak kekasihnya merayakan malam Natal dengan ziarah ke gereja suci. Kerinduan akan kehadiran Sang Penebus begitu dalam menikam pengembaraan di dalam perlawatan. Hal ini tampak pada bunyi-bunyi yang dimunculkan penyair dengan bunyi vokal i pada kata ziarah dan suci, kesyahduan rindu yang dalam digambarkan dengan bunyi vokal a berkombinasi dengan bunyi konsonan m dan n pada kata pengembaraan  dan perlawatan. Di setiap malam Natal akan terdengar lagu malam sunyi. Di malam yang gelap dini / digetar nyanyi itu, penyair mengajak kekasihnya membuka diri agar Kristus masuk ke hati sanubari manusia.
Selain bunyi-bunyi merdu, dalam sebuah puisi juga dapat ditemukan kombinasi-kombinasi bunyi yang tidak merdu, parau disebut kakafoni (cacophony). Seperti pada sajak Hamid Jabbar berikut ini.
                     
2. Kata
Satuan arti yang membentuk struktur formal lingustik karya sastra adalah kata. Untuk mencapai nilai seni pada suatu karya sastra maka pengarang dapat menggunakan berbagai cara, terutama alatnya yang terpenting adalah kata, karena kata dapat menjelmakan pengalaman jiwa si pengarang dalam karya yang dihasilkannya. Menurut Aminuddin (1995:201) gaya pemilihan kata atau kata-kata dalam karya sastra adalah cara penggunaan kata atau kata-kata dalam teks sastra sebagai alat untuk menyampaikan gagasan dan nilai estetis tertentu. Jadi, kata memiliki arti dan efek tertentu yang akan ditimbulkannya. Di antaranya adalah arti denotatif dan konotatif, pemilihan kata (diksi), bahasa kiasan dan gaya bahasa, citraan, dan hal-hal yang berhubungan dengan struktur kata-kata atau kalimat puisi, yang semuanya dipergunakan penyair untuk melahirkan pengalaman jiwa dalam sajak-sajaknya. Kata-kata yang telah digunakan oleh penyair ini disebut kata berjiwa, yang tidak sama artinya dengan kata dalam kamus, yang harus melalui proses pengolahan. Dalam kata berjiwa ini sudah dimasukkan perasaan-perasaan penyair, sikapnya terhadap sesuatu. Kata berjiwa sudah diberi suasana tertentu.
Kata-kata dalam tiap sajak merupakan cerminan kepribadian penyair, yaitu suatu bentuk pengekspresiannya yang bersifat pribadi atau individual. Oleh karena itu, penyair mempunyai cara sendiri untuk menyampaikan pengalaman jiwanya, misalnya pada sajak Emha Ainun Najib berikut ini.

PUTIH, PUTIH, PUTIH

Meratap bagai bayi
Terkapar bagai si tua renta
Di padang Mahsyar
Di padang penantian
Di depan pintu gerbang janji keabadian
Saksikan beribu-ribu jilbab
….
(Lautan Jilbab, 1989; Apresiasi Puisi, 2005)

Untuk menggambarkan penyesalannya penyair menggambarkan dirinya meratap bagai bayi, dan menunjukkan ketidakberdayaan manusia di hadapan Tuhan, penyair menggunakan kata-kata: terkapar bagai si tua renta. Rasa tidak berdaya orang yang sudah renta, yang tidak sanggup mengerjakan segala sesuatunya sendiri tanpa bantuan orang lain, lebih terasa konkret dari pada kata “lemah”.
Penggunaan kata pada puisi populer juga diupayakan untuk menimbulkan efek tertentu dan melahirkan pengalaman jiwa penyair dalam sajak-sajaknya. Dalam hal ini ditinjau dari arti kata yang meliputi pemilihan kata (diksi), denotasi dan konotatif, bahasa kiasan, citraan, serta hal-hal yang berhubungan dengan struktur kata-kata atau kalimat puisi, yang semuanya digunakan penyair untuk menggambarkan perasaan dan pengalaman jiwanya dalam tiap sajaknya. Sama halnya dengan penyair pada umumnya, mereka yang termasuk penulis puisi populer tentunya mempunyai cara sendiri untuk menyampaikan pengalaman jiwanya.

a) Pemilihan Kata
Menurut Pradopo (2007:54-58) pemilihan kata dalam sajak disebut diksi. Alat untuk menyampaikan perasaan dan pikiran sastrawan adalah bahasa. Baik tidaknya tergantung kecakapan sastrawan dalam menggunakan kata-kata. Kehalusan perasaan sastrawan menggunakan kata-kata sangat diperlukan. Selain itu, perbedaan arti dan rasa sekecil-kecilnya pun harus dikuasai pemakaianya. Seorang penyair dapat menggunakan kata-kata kuna yang sudah mati, tetapi harus dapat menghidupkannya kembali. Oleh karena itu, penyair sangat cermat dalam memilih kata-kata sebab kata-kata yang ditulis harus dipertimbangkan maknanya, komposisi bunyi dalam rima dan irama, kedudukan kata itu di tengah konteks kata lainnya, dan kedudukan kata dalam keseluruhan puisi (Waluyo, 1987:72). Sejalan dengan Aminuddin (1995:201) yang menyatakan bahwa gaya pemilihan kata-kata dalam karya sastra adalah cara penggunaan kata-kata dalam teks sastra sebagai alat untuk menyampaikan gagasan dan nilai estetik tertentu. Jadi, pemilihan kata yang tepat harus dipertimbangkan urutan katanya dan kekuatan atau daya magis dari kata-kata tersebut agar selain makna dalam sebuah puisi, aspek estetis juga perlu diperhatikan.

Penyair dalam puisinya terkadang menggunakan kata-kata yang berasal dari bahasa daerah. Penggunaan kata daerah ini secara estetis harusdapat dipertanggung-jawabkan, artinya harus dapat menimbulkan efek puitis, atau dimungkinkan dalam bahasa Indonesia kata-kata itu tidak ada (Pradopo, 2007:52-53). Selain itu penyair juga biasa menggunakan istilah-istilah atau kata-kata dalam bahasa asing atau perbandingan asing, serta kalimat-kalimat bahasa asing. Penggunaan kata-kata dalam bahasa asing ini pun harus dapat memberi efek puitis. Dalam hal ini, penyair bermaksud agar karyanya dapat dimengerti oleh kalangan luas dan memberi efek universal. Oleh sebab itu, penggunaan atau perbandingan itu harus sudah dikenal umum, atau sudah populer. Misalnya pada sajak Rita Oetoro berikut ini.

RAYUAN SERAYU

panjang berliku-liku – seperti
ular naga – airmu mengalir turun
dari pegunungan, baur dalam
“kembang glepang” tanah pedataran.

panjang berliku-liku adalah
episode masa remaja yang jauh
….
panjang berliku-liku – wahai
dikau serayu – terpendam kerinduan
sepanjang hayatku.
(Kawindra, 1994; Apresiasi Puisi, 2005)

“Kembang glepang” suatu istilah yang digunakan orang Jawa untuk penataan rambut gadis-gadis Jawa atau pun Bali yang berbentuk kuncir dan ditambah dengan hiasan berupa bunga melati pada celah-celah pangkal kunciran rambutnya, gadis yang menggunakan kunciran seperti itu akan terlihat cantik bagi yang memandangnya. Jadi dalam puisi Rayuan Serayu menggambarkan suatu kenangan indah yang begitu banyak lika-liku namun tetap terasa manis untuk selalu diingat, selayaknya melihat gadis yang berambut “kembang glepang”. Oleh karena itu, penggunaan kata-kata bahasa sehari-hari dapat memberi efek gaya yang realistis, sedangkan penggunaan kata-kata yang indah dapat memberi efek romantis.

c. Denotasi dan Konotasi
Kata-kata yang digunakan dalam dunia persajakan tidak seutuhnya bergantung pada makna denotatif, tetapi lebih cenderung pada makna konotatif (Tarigan, 1984:29). Djojosuroto (2005:13) berpendapat bahwa bahasa puisi itu cenderung bersifat konotatif. Sehingga disimpulkan oleh Pradopo (2007:58-61) bahwa sebuah kata yang digunakan dalam puisi itu mempunyai dua aspek arti, yaitu denotasi, ialah artinya yang menunjuk, dan konotasi, yaitu arti tambahannya. 
Denotasi sebuah kata adalah definisi kamusnya atau makna leksikon, yaitu pengertian yang menunjuk benda atau hal yang diberi nama dengan kata itu. Jadi, satu kata itu menunjuk satu hal. Maka dalam membaca sajak orang harus mengerti arti kamusnya, arti denotatif, orang harus mengerti apa yang ditunjuk oleh tiap-tiap kata yang digunakan. 

Namun seperti yang telah dikemukakan di atas dalam puisi, sebuah kata tidak hanya mengandung aspek denotasinya saja. Bukan hanya berisi arti yang ditunjuk saja, masih ada arti tambahannya, yang ditimbulkan oleh asosiasi-asosiasi yang keluar dari denotasinya. Misalnya sajak Kirjomulyo berikut ini.

TANJUNG SANGIANG

I
Angin laut jauh sampai ke atas bukit
dinginnya terasa sampai ke hati
aku melihat ujung buih
serupa melihat diri sendiri
datang dan pergi
(Romansa Perjalanan, 2000)

‘Angin laut’ terasa dinginnya sampai menembus ke hati. Angin laut adalah udara yang bergerak dari darat ke laut dan terjadi pada malam hari. Angin itu menyejukkan bahkan bisa terasa sangat sejuk hingga membuat orang kedinginan sampai kulit terasa kering dan kelu. Apa lagi angin yang berhembus pada malam hari, pasti akan terasa sangat dingin saat udara itu menyentuh kulit. Jika angin yang dingin itu berhembus sampai menembus ke hati pasti akan terasa sangat dingin melebihi saat menyentuh kulit saja, mungkin seperti mati rasa.
Bahasa sastra itu penuh arti ganda (ambiguitas), homonim, kategori-kategori arbitraire (mana suka) dan terkesan tidak masuk akal apabila dilihat dari kepaduan kata-kata yang digunakan dalam puisi itu. Selain itu bahasa sastra umumnya dan puisi khususnya juga menyerap peristiwa-peristiwa sejarah, ingatan-ingatan, dan asosiasi-asosiasi. Bahasa sastra jauh dari hanya menerangkan saja, tapi juga cenderung menyembunyikan makna. Bahasa sastra mempunyai segi ekspresifnya, membawa nada dan sikap si pembicara atau penulis. Jadi, dalam membaca sajak selain harus dipahami secara leksikonitas, juga harus diperhatikan dan dipahami makna tambahan atau konotasinya yang ditimbulkan oleh asosiasi-asosiasi arti denotatifnya.

3. Bahasa Kiasan
Unsur kepuitisan yang lain, untuk mendapatkan kepuitisan ialah bahasa kiasan (figurative language). Menurut Aminuddin (1995:227) kajian retorik memilah figurative language (bahasa figuratif) menjadi dua jenis, yakni (1) figure of thought: bahasa figuratif yang terkait dengan cara pengolahan dan pembayangan gagasan, dan (2) rhetorical figure: bahasa figuratif yang  terkait dengan cara penataan dan pengurutan kata-kata dalam konstruksi kalimat. Pemakaian kiasan oleh penyair dalam sebuah puisi pada dasarnya bertujuan agar dapat membantu dan merangsang imajinasi atau daya bayang pembaca untuk melukiskan apa yang sedang dibacanya itu dalam angan-angan sendiri (Surana, 2001:90). 
Adanya bahasa kiasan ini menyebabkan sajak menjadi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup, dan terutama menimbulkan kejelasan gambaran angan. Bahasa kiasan ini mengiaskan atau menyamakan sesuatu hal dengan hal lain agar gambaran jelas, lebih menarik, dan hidup. 



Bahasa kiasan ada bermacam-macam, namun meskipun bermacam-macam, mempunyai sesuatu hal (sifat) yang umum, yaitu bahasa-bahasa kiasan tersebut mengaitkan sesuatu dengan cara menghubungkannya dengan sesuatu yang lain (Pradopo, 2007:62-79). Jenis-jenis bahasa kiasan yang termasuk bahasa figuratif tersebut adalah perbandingan (simile), metafora, perumpamaan epos (epic simile), personifikasi, metonimi, sinekdoki (synecdoche), dan allegori.
a) Perumpamaan (Simile)
Perumpamaan adalah kiasan yang tidak langsung atau yang disebut dengan perbandingan (Waluyo, 1987:84). Perumpamaan ini dapat dikatakan bahasa kiasan yang paling sederhana dan paling banyak digunakan dalam sajak. Benda yang dikiaskan kedua-duanya ada bersama pengiasnya dan digunakan kata-kata seperti laksana, bagaikan, bak, layaknya, seumpama, serupa, semisal dan sebagainya. Misalnya pada sajak Kirjomulyo berikut ini.

ROMANSA KECAPI SUNDA
….
Jalanan waktu serupa jalanan alam
melingkar, membelit serupa hati
lincah seperti musim
sebulan membunga, sebulan menghijau
lain saat menguning
….
(Romansa Perjalanan, 2000)

Jalanan waktu diumpamakan serupa atau sama dengan jalanan alam yang terus melingkar dan membelit layaknya hati serta lincah seperti musim yang terus berganti sesuai dengan perubahan iklim udara.

b) Metafora
Metafora adalah kiasan langsung, artinya benda yang dikiaskan itu tidak disebutkan (Waluyo, 1987:84). Metafora itu melihat sesuatu dengan perantaraan atau diungkapkan dengan benda yang lain, contohnya: tangan kanan (orang kepercayaan), raja siang (matahari), putri malam (bulan), bunga bagsa (pahlawan), dan lain sebagainya). 
Jadi, metafora ini menyatakan sesuatu sebagai hal yang sama atau seharga dengan hal lain, yang sesungguhnya tidak sama. Misalnya dalam sajaknya yang berjudul “Aku” dalam kumpulan puisinya Kerikil Tajam,  Chairil Anwar menyamakan dirinya dengan binatang jalang yang bebas, tidak memiliki ikatan, dan tak dibatasi oleh apa pun, dalam hal ini Chairil Anwar dalam berkarya tidak memerhatikan cara atau aturan lama, seperti berikut.

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Metafora terdiri dari dua term atau dua bagian, yaitu term pokok (principal term) dan term kedua (secondary term) (Pradopo, 2007:66-67). Term pokok disebut juga tenor, term kedua disebut juga vehicle. Term pokok atau tenor menyebutkan hal yang dibandingkan, sedang term kedua atau vehicle adalah hal yang membandingkan. Misalnya ‘Aku’ ini ‘binatang jalang’: ‘Aku’ adalah term pokok, sedang ‘binatang jalang’ term kedua atau vehicle. Namun seringkali penyair langsung menyebutkan term kedua tanpa menyebutkan term pokok atau tenor.

c) Perumpamaan Epos
Perumpamaan (epic simile) ialah perbandingan yang dilanjutkan, atau diperpanjang, yaitu dibentuk dengan cara melanjutkan sifat-sifat pembandingnya lebih lanjut dalam kalimat-kalimat atau frase-frase yang berturut-turut (Pradopo, 2007:69).  Terkadang kelanjutan perbandingan ini sangat panjang. Dapat dilihat sajak Sapardi Djoko Damono berikut.

DONGENG MARSINAH
….
Marsinah itu arloji sejati,
tak telah berdetak
memintal kefanaan
yang abadi:
“kami ini tak banyak kehendak,
sekedar hidup layak,
sebutir nasi.” 
(Ayat-ayat Api, 2000)

Dalam penggalan sajak di atas penyair mengumpamakan ‘engkau’ ini seperti kolam dan melanjutkannya gambaran tentang engkau ‘engkau’ ini layaknya kolam yang berada di tengah-tengah belukar atau semak. Ditambah lagi dengan perbandingan ‘beriak-riak tenang’, ‘membiarkan nyiur sepasang’, bercerminkan diri ke dalam airmu…’. Sehingga semakin jelas apa yang digambarkan penyair dalam puisinya. Jadi, guna perumpamaan epos ini pada dasarnya seperti perumpamaan juga, yaitu untuk memberi gambaran yang jelas, hanya saja perumpamaan epos dimaksudkan untuk lebih memperdalam dan menandaskan sifat-sifat pembandingnya, bukan sekedar memberikan persamaannya saja.

d) Allegori
Allegori ialah cerita kiasan ataupun lukisan kiasan (Pradopo, 2007:71). Cerita kiasan atau lukisan kiasan ini mengiaskan hal lain atau kejadian lain. Allegori ini banyak terdapat dalam sajak-sajak Pujangga Baru. Namun pada waktu sekarang banyak juga terdapat dalam sajak-sajak Indonesia modern. Allegori ini sesungguhnya metafora yang dilanjutkan. Misalnya dapat dilihat pada sajak Kirjomulyo berikut ini.

BUAT H. B. JASSIN

Dalam kemenangan keselip kekalahan
siapa terlalu memilih
akan datang di tanah pasir

Dalam kekalahan keselip kemenangan
siapa terlalu memilih
akan datang di tanah batu

Kita lahir dan menerima sekali waktu
alam cinta, tangis dan harap
Kita hadir dan menerima sekali saat
kemenangan dan kekalahannya

Hanya dalam sadar dan yakin
dari keduanya, lahirlah mesra
(Romansa Perjalanan, 2000)

e) Metonimia
Metonimia adalah bahasa kias yang mempergunakan sebuah kata atau kalimat untuk menyatakan sesuatu, karena mempunyai pertautan yang dekat dan relasional (Djojosuroto, 2005:19). Dalam pola-pola kontiguitas tiada relasi kesamaan, melainkan relasi kebertautan unsur, atau pengertian yang satu dipergunakan sebagai pengganti pengertian lain yang berdekatan. Kaitan-kaitan tersebut berdasarkan berbagai motivasi, misalnya karena ada hubungan kausal, logika, hubungan waktu atau ruang. Hal ini diperjelas oleh Hartoko (1992:189) yang menyatakan bahwa kasus-kasus metonimia ialah akibat digantikan sebab, isi diganti wadah.  Satu contoh sajak “Bercerai” karya Chairil Anwar berikut ini.

JARING-JARING

Kali ini
Nelayan menebar jaring di laut
Menangkap ikan

Kali lain
Tuhan menebar jaring maut
Menangkap insan.
(Biarkan Angin Itu, 1996; Apresiasi Puisi, 2005)

Kata-kata ‘jaring maut’ dalam penggalan puisi di atas berperan menggantikan sesuatu kekuasaan Tuhan yang terwujud dalam kasih dan sayang Tuhan terhadap umatNya. Tuhan ingin mengumpulkan manusia untuk kembali kejalan yang benar. Jadi, metonimi digunakan untuk menggambarkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, yang dapat mewakili sifat yang digantikan atau digambarkan.

f) Personifikasi
Personifikasi adalah bahasa kiasan yang menggambarkan keadaan atau peristiwa alam sering dikiaskan sebagai keadaan atau peristiwa yang dialami oleh manusia (Waluyo, 1987:85). Menurut Djojosuroto (2005:18) personifikasi adalah jenis bahasa kias yang mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda mati dapat berbuat, berpikir sebagaimana seperti manusia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa personifikasi adalah bahasa kias yang melukiskan benda-benda mati seolah-olah seperti manusia. Di bawah ini beberapa contoh personifikasi.

PULANG MALAM

Dan hari pun telah silam
daunan berhenti menderai
tidur dan tidur
hanya bulan memanjat bukit
(Kirjomulyo, Romansa Perjalanan, 2000)

DI DEPAN PINTU

di depan pintu: bayang-bayang bulan
terdiam di rumput. Cahaya yang tiba-tiba pasang
mengajaknya pergi
menghitung jarak dengan sunyi
(Sapardi Djoko Damono, Ayat-ayat Api, 2000)

g) Sinekdoki (synecdoche)
Sinekdoki adalah bahasa kiasan yang menyebutkan sebagian untuk maksud keseluruhan, atau menyebutkan keseluruhan untuk maksud sebagian (Waluyo, 1987:85). Dalam hal ini Pradopo (2007:78-79) menggolongkan sinekdoki ini terdiri dari dua macam, yaitu: (1) pars pro toto: sebagian untuk keseluruhan, contohnya: hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga, masa depan Indonesia yang diramaikan oleh orang-orang yang kesulitan mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dikiaskan dengan bagian anggota tubuh yakni mulut yang menganga seperti orang kelaparan atau kehausan, (2) totum pro parte: keseluruhan untuk sebagian, contohnya: pergi ke dunia luas/ anakku sayang/ pergi ke hidup bebas, perintah sang ibu kepada anaknya untuk dapat hidup mandiri di luar rumah dikiaskan dengan kehiduan yang luas yang ada di dunia luar.
Selain bahasa-bahasa figuratif di atas, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa unsur kepuitisan dengan menggunakan bahasa kiasan juga didukung dengan adanya sarana retorika atau disebut juga gaya bahasa (rhetorical figure). Menurut Aminuddin (1995:227) sarana retorika atau gaya bahasa yang digunakan oleh penyair dalam puisinya adalah bahasa figuratif yang terkait dengan cara penataan dan pengurutan kata-kata dalam konstruksi kalimat. Dengan adanya sarana retorika dalam sebuah puisi ini dapat menimbulkan reaksi tertentu, untuk menimbulkan tanggapan pikiran kepada pembaca.
Tiap pengarang mempunyai gaya bahasa sendiri. Hal ini sesuai dengan sifat dan kegemaran masing-masing pengarang. Meskipun tiap pengarang mempunyai gaya dan cara sendiri dalam melahirkan pikiran, namun ada sekumpulan bentuk atau beberapa macam bentuk yang biasa digunakan.
Sarana retorika itu bermacam-macam, namun setiap periode atau angkatan sastra itu mempunyai jenis-jenis sarana retorika yang digemari, bahkan setiap penyair itu mempunyai kekhususan dalam menggunakan dan memilih sarana retorika dalam sajak-sajaknya. Meskipun begitu, tetapi untuk puisi-puisi modern atau pun puisi populer juga masih dapat ditemukan berbagai gaya bahasa dalam tiap lariknya.
Beberapa sarana retorika yang biasa terdapat dalam suatu sajak adalah pleonasme, enumerasi, pararelisme, retisense, hiperbola, dan paradoks. Berikut penjelasannya:
Pleonasme (keterangan berulang) ialah sarana retorika yang sepintas lalu seperti tautologi, tetapi kata yang kedua sebenarnya telah tersimpul dalam kata yang pertama (Pradopo, 2007:95). Dengan cara demikian, sifat atau hal yang dimaksudkan itu lebih terang bagi pembaca atau pendengar. Misalnya: naik meninggi, turun melembah jauh ke bawah, tinggi membukit, jatuh ke bawah, raih menjulang menggapai bukit, terbang melayang mencapai langit, luka menoreh menusuk perih, duka menyeruak menghapus suka.
Enumerasi (penjumlahan) ialah sarana retorika yang berupa pemecahan suatu hal atau keadaan menjadi beberapa bagian dengan tujuan agar hal atau keadaan itu lebih jelas dan nyata bagi pembaca atau pendengar (Pradopo, 2007:96). Dengan demikian suatu pernyataan atau keadaan, memberi intensitas. Seperti sajak Kirjomulyo berikut ini.

APRIL
                        Kenangan buat Lorca

Secepat kedatangan bulan April
cintaku kembali dalam diri
membersit,sewarna hijau alam
melingkar, sebulat bulan sabit

Langkahku memberat menciptakan bumi
girang melonjak mengatasi hati
berpecahan di atas kota hati
pada hati dan hati, pada wajah dan wajah

Tiada terasa dan tiada bermaksud
aku menjerit sejauh angin menderai
Lorca, ‘ku ingat padamu
Hijau alammu sehijau alamku
….
(Romansa Perjalanan, 2000)

Bait kedua itu merupakan enumerasi (penjumlahan): girang yang dirasakan sampai bertebaran di kota sampai ke desa, bahkan dapat dirasakan oleh hati-hati yang lain dan semua orang dapat melihatnya.
Pararelisme (persejajaran) ialah mengulang isi kalimat yang maksud dan tujuannya serupa. Slametmuljana menambahkan bahwa sarana retorik yang dalam penataan kata-katanya menggunakan gaya pararelisme dalam puisi yakni kalimat yang berikut hanya dalam satu atau dua kata berlainan dari kalimat yang mendahului. (Pradopo, 2007:97). Misalnya pada sajak Sapardi Djoko Damono berikut ini.

SUNYI YANG LEBAT

sunyi yang lebat: ujung-ujung jari
sunyi yang lebat: bola mata dan gendang telinga
sunyi yang lebat: lidah dan lubang hidung
sunyi yang dikenal: sebagai hutan pohon-pohon roboh
                        margasatwa membusuk di tepi sungai kering, para
                        pemburu mencari jejak pencaindra…
(Ayat-ayat Api, 2000)

Pengulangan bunyi pada larik yang berbunyi ‘sunyi yang lebat’ pada baris ke-1, ke-2, dan ke-3 ini bertujuan mempertegas suasana sepi yang ingin dirasakan penyair saat itu. Kesepian itu seperti semak yang tumbuh lebat, menjalar ke ujung-ujung jari, … bola mata dan gendang telinga, sampai ke …lidah dan ujung hidung. Sehingga kesendirian yang dialami penyair begitu terasa nyata. Jadi, tujuan penyair mengulangi kata sunyi pada baris pertama ingin menunjukkan betapa sepi dan sendirinya ia ketika itu.
Selain gaya bahasa yang menunjukkan adanya penegasan dengan menggunakan pengulangan atau pun penjumlahan kata-kata, dalam puisi juga terdapat sarana yang menggunakan titik-titik banyak untuk mengganti perasaan yang tidak terungkapkan. Sarana retorik semacam ini dikatakan oleh Pradopo (2007:97) adalah retorik retisense. Pada umumnya penyair romantik banyak menggunakan sarana retorika ini, lebih-lebih sajak romantik remaja banyak menggunakannya. Seperti sajak karya J.E. Tatengkeng “Kusuka Katakan” (1974:19; Pengkajian Puisi, 2007:97) berikut ini.

Kupandang bayang melompat-lompat,
Di padang rumput;
Kulihat daun bergerak cepat ……
O, kusuka sebut ……

Apalah warna mainan gerak,
Dan bisikan angina sayup gelak;
Tapi sukma masih ngeram
Dan diam di dalam ……

Oh, jangan kau paksa
Melahirkan rasa!
Biarlah aku menderita
Menanti ketika ……

Hiperbola adalah kiasan yang dalam mengungkapkan sesuatu maksud atau hal apa pun secara berlebihan (Waluyo, 1987:85). Penyair merasa perlu melebih-lebihkan hal yang dibandingkan itu agar mendapatkan perhatian yang lebih seksama dari pembaca.  Seperti pada sajak Emha Ainun Najib berikut ini.

PUTIH, PUTIH, PUTIH

Meratap bagai bayi
Terkapar bagai si tua renta
Di padang Mahsyar
Di padang penantian
Di depan pintu gerbang janji keabadian
Saksikan beribu-ribu jilbab
Hai! Bermilyar-milyar jilbab!
Samudera putih
Lautan cinta kasih
Gelombang sejarah
Pengembaraan amat panjang
Di padang Mahsyar
Menjelang hari perhitungan
Seribu galaksi
Hamparan jiwa suci
Bersujud
Putih, putih, putih
Bersujud
Menyeru belaian tangan kekasih
Bersujud
Dan alam raya
Jagad segala jagad
….
(Lautan Jilbab, 1989; Apresiasi Puisi, 2005)

Paradoks adalah sarana retorika yang menyatakan sesuatu secara berlawanan, tetapi sebenarnya tidak sungguh-sungguh dipikir dan rasakan (Pradopo, 2007:99). Seperti: siang yang berselimut malam, ini sebuah kiasan yang artinya di siang (keceriaan) hari tetapi terasa gelap (tidak menyenangkan) karena tertutup langit malam (kesedihan), dalam kemenangan keselip kekalahan (sebelum dapat meraih kemenangan, seseorang pasti pernah mengalami kekalahan).
Bahasa kiasan menyebabkan puisi menjadi prismatis artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna (Waluyo, 1987:83). Oleh karena itu, bahasa kiasan seringkali digunakan oleh penyair karena dianggap lebih efektif untuk menyatakan atau mengungkapkan maksud penyair karena bahasa kias mampu menghasilkan kesenangan imajinatif dan memberi imaji tambahan dalam puisi. Sehingga yang abstrak menjadi konkret dan menjadikan puisi lebih enak dinikmati pembaca. Selain itu, bahasa kias juga berpengaruh pada intensitas pengungkapan perasaan penyair untuk puisinya dan dapat mengonsentrasikan makna puisi yang luas  dengan bahasa yang singkat.

4. Citraan
Pencitraan atau pengimajian adalah pengungkapan pengalaman sensoris penyair ke dalam kata dan ungkapan, sehingga terjelma gambaran yang lebih konkret. Sehingga untuk memberi gambaran yang jelas, untuk menimbulkan suasana yang khusus, untuk membuat lebih hidup gambaran dan pikiran serta penginderaan dalam sebuah puisi yang dimaksudkan untuk menarik perhatian, penyair juga menggunakan gambaran-gambaran angan (pikiran), di samping alat kepuitisan yang lain. Menurut Waluyo (1987:78) citraan atau pengimajian dapat dibatasi dengan pengertian berikut: kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. 
Dengan demikian, orang harus mengerti arti kata-kata, yang dalam hubungan ini juga harus dapat mengingat sebuah pengalaman inderaan objek-objek yang disebutkan atau diterangkan, atau secara imajinatif membangun semacam pengalaman di luar hal-hal yang berhubungan sehingga kata-kata akan secara sungguh-sungguh berarti kepada pembaca atau pendengarnya. Jadi, dengan adanya citraan dapat lebih mengingatkan kembali dari pada membuat baru kesan pikiran, sehingga pembaca terlibat dalam kreasi puitis. Maka pembaca akan mudah menanggapi hal-hal yang dalam pengalamannya telah tersedia simpanan imaji-imaji yang kaya.
Seperti yang telah dijelaskan di atas gambaran-gambaran angan atau pengimajian itu ada bermacam-macam, yaitu dihasilkan oleh indera penglihatan, pendengaran, perabaan, pengecapan, dan penciuman. Bahkan juga diciptakan oleh pemikiran dan gerakan. Berdasarkan hal itu, Pradopo (2007:81) menggolongkan citraan menjadi beberapa jenis, antara lain citraan yang ditimbulkan oleh penglihatan (visual imagery), yang ditimbulkan oleh pendengaran disebut citra pendengaran (auditory imagery) dan sebagainya. Gambaran-gambaran angan yang bermacam-macam itu tidak digunakan secara terpisah-pisah oleh penyair dalam sejaknya, melainkan digunakan bersama-sama, saling memperkuat dan saling menambah kepuitisannya.
Citra penglihatan memberi rangsangan kepada indera penglihatan, hingga sering hal-hal yang tidak terlihat jadi seolah-olah terlihat. Misalnya pada penggalan sajak Sapardi Djoko Damono berikut ini.



TIGA SAJAK RINGKAS TENTANG CAHAYA

Cahaya itu, yang sesat
di antara pencakar langit,
sia-sia mencari
baying-bayangnya.
(Ayat-ayat Api, 2000)

5. Irama
Satu hal yang masih erat hubungannya dengan pembicaraan bunyi adalah irama. Bunyi-bunyi yang berulang, pergantian yang teratur, dan variasi-variasi bunyi menimbulkan suatu gerak yang hidup, seperti gercik air yang mengalir turun tak putus-putus. Gerak yang teratur itulah yang disebut irama. Irama dalam bahasa adalah pergantian turun naik, panjang pendek, keras lembut ucapan bunyi bahasa yang teratur. Irama itu dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu metrum dan ritme. Metrum adalah irama yang tetap, artinya pergantiannya sudah tetap menurut pola tertentu. Sedangkan ritme adalah irama yang disebabkan pertentangan atau pergantian bunyi tinggi rendah secara teratur, tetapi tidak merupakan jumlah suku kata yang tetap, melainkan hanya menjadi gema dendang sukma penyairnya.
Dalam puisi timbulnya irama itu karena perulangan bunyi berturut-turut dan bervariasi, misalnya sajak akhir, asonansi, dan aliterasi. Begitu juga karena adanya pararelisme-pararelisme, ulangan-ulangan kata, ulangan-ulangan bait. Selain itu, disebabkan pula oleh tekanan-tekanan kata yang bergantian keras lemah, disebabkan oleh sifat-sifat konsonan dan vokalnya atau panjang-pendek kata, atau kelompok-kelompok sintaksis berupa gatra atau kelompok kata.


Sumber: 
Ariesya, Miranty. 2009. Struktur  Puisi Populer Karya Pendengar Radio Primadona. Jakarta:Tiga Serangkai. 
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Basir, Udjang PR. M. 2002. Sosiolinguistik:Pengantar Kajian Tindak Berbahasa. Surabaya: UNESA University Press.
Paramuriyanto, Agus. 2010. Meningkatkan kemampuan menulis cerpen dengan menggunakan media gambar berseri. Skripsi.  Surabaya: UNIPA Surabaya Prees. 
Pontianak. Skripsi. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Indonesia. Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Tanjungpura.