Senin, 26 Maret 2012

PEMBIDANGAN LINGUISTIK



Linguistik dibagi menjadi dua  disiplin ilmu yaitu mikrolinguistik dan makrolinguistik.
a.    Mikrolinguistik
1.    Teoris
       a). Umum
            Teori
            Deskriptif
            Historis Komparatif
       b). Bahasa-bahasa Tertentu
            Deskriptif
            Historis Komparatif

b.    Makrolinguistik
1.    Interdisipliner
       Fonetik
       Stilistika
       Filsafat Bahasa
       Psikolinguistik
       Sosiolinguistik
       Etnolinguistik
       Filologi
       Seimiotika
       Epigrafi
       Paleografi

2.    Terapan
       Pengajaran Bahasa
       Penerjemahan
       Leksikografi
       Fonetik Terapan
       Sosiolinguistik Terapan
       Pembinaan Bahasa Internasional
       Pembinaan Bahasa Khusus
       Linguistik Medis
       Grafologi
       Mekanolinguistik

Sumber: (Harimurti Kridalaksana, 2009:xxix)

Definisi
a.    Menurut Koentjaraningrat (dalam Pateda, 1990:45), Linguistik termasuk ilmu sosial dasar. Sedangkan menurut Kridalaksana (2008:144), Linguistik merupakan  ilmu tentang bahasa; penyelidikan bahasa secara ilmiah. Disiplin linguistik merupakan kajian bahasa secara internal dan eksternal. Kajian bahasa secara internal meliputi kajian struktur fonologi, struktur morfologi, atau struktur sintaksis. Kajian bahasa secara eksternal dilakukan terhadap hal-hal atau faktor-faktor di lua bahasa yang berkaitan dengan pemakaian bahasa itu oleh para penuturnya di dalam kelompok-kelompok sosial kemasyarakatan (Chaer dan Agustina, 2004:1). Dengan demikian dapat disimpulkan, linguistik adalah cabang ilmu sosial dasar yang mengkaji bahasa secara ilmiah berdasarkan kajian internal (meliputi bidang fonologi, morfologi, dan sintaksis) dan kajian eksternal.
b.    Menurut Kridalaksana (2008:146), kajian ini diartikan sebagai sebuah penyidikan bahasa yang berpegang kepada pandangan bahwa bahasa tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial manusia, dan yang menghubungkan analisis bahasa dengan gaya pengungkapan orang atau kelompok. Sedangkan Nababan (dalan Chaer, 2004:3) mendefinisikan sosiolinguistik merupakan kajian bahasa dengan dimensi kemasyarakatan. Dengan demikian dapat disimpulkan, Sosiolinguistik adalah kajian bahasa bidang linguistik yang menggabungkan linguistik dengan ilmu sosiologi.
c.     Menurut Tarigan (1986:1) Pragmatik adalah cabang ilmu linguistik yang mempelajari hubungan antara konteks dan makna. Menurut Kridalaksana (2008:198), 1. Pragmatik adalah syarat-syarat yang mengakibatkan serasi tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi, 2. Pragmatik adalah aspek-aspek pemakaian bahasa atau konteks luar bahasa yang memberikan sumbangan kepada makna ujaran. Dengan demikian dapat disimpulkan, Pragmatik merupakan cabang ilmu linguistik yang mempelajari hubungan antara aspek-aspek pemakaian bahasa atau konteks luar bahasa dan makna serta syarat-syarat yang mengakibatkan serasi tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi.
d.    Menurut Chaer (2004:64), Dialek sosial adalah variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan dan kelas sosial para penuturnya. Menurut Kridalaksana (2008:48), dialek sosial merupakan variasi bahasa menurut golongan tertentu. Dapat disimpulkan bahwa dialek sosial adalah variasi bahasa dipakai oleh kelompok sosial tertentu atau yang menandai strata sosial tertentu. Misalnya, dialek remaja.
e.    Menurut Kridalaksana (2008:59), 1. etnolinguistik merupakan cabang linguistik yang menyelidiki hubungan antara bahasa dan masyarakat yang belum mengenal tulisan (cabang antropologi). Etnolinguistik merupakan cabang linguistik yang menyelidiki hubungan antara bahasa dan sikap bahasawan terhadap bahasa. Dapat disimpulkan bahwa Etnolinguistik adalah bagian dari antropologi yang mengkhususkan penelitiannya terhadap penyebaran bahasa umat manusia di seluruh permukaan bumi beserta hubungan keduanya.
f.    Antropolinguistik adalah subdisiplin linguistik yang mempelajari hubungan bahasa dengan budaya dan pranata budaya manusia (Wikipedia Bahasa Indonesia). Menurut Pateda (1990:50), Antropolinguistik itu mempelajari hubungan antara bahasa, penggunaannya dan kebudayaan pada umumnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Antropolinguistik merupakan ilmu interdisipliner antara antropologi dan linguistik yang mempelajari hubungan antara bahasa, penggunaannya dan kebudayaan pada umumnya..
g.    Genolinguistik adalah  merupakan studi interdisiplin antara bahasa dan genetika yang memusatkan perhatian pada pengelompokan populasi manusia, relasi kekerabatan di antara mereka, dan perjalanan historis yang dialami oleh kelompok populasi tersebut melalui pengelompokan dan penelusuran relasi kekerabatan bahasa dan genetika.  (Pateda 1990:50),
h.     Psikolinguistik adalah subdisiplin linguistik yang mempelajari hubungan bahasa dengan perilaku dan akal budi manusia, termasuk bagaimana kemampuan berbahasa itu dapat diperoleh (wawanj@blogspot.com). Psikolinguistik adalah ilmu yang mempelajari bahasa akibat latar belakang kejiwaan penutur bahasa. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Psikolinguistik adalah subdisiplin linguistik yang mempelajari hubungan bahasa dengan perilaku dan akal budi manusia akibat latar belakang kejiwaan penutur bahasa. Pateda (1990:50),




DAFTAR REFERENSI

1.    Abdul Chaer Dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik, (Perkenalan Awal). 2004
2.    Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik. 2009
3.    Mansoer Pateda. Linguistik (Sebuah Pengantar) . 1990
4.    Henry Guntur Tarigan. Pengantar Pragmatik. 1986

TEORI SEMIOTIKA


A.    Pengantar
Pemahaman terhadap esensi makna dalam karya sastra tentunya tidak hanya sekedar pemahaman terhadap struktur makna tekstual. Dalam pengertian ini, semiotik memiliki peranan agar esensi yang disampaikan sebuah karya sastra dapat diterima dan dipahami secara menyeluruh oleh pembaca.
Semiotik meskipun didasari pada konvensi tanda bahasa antara pengarang dan pembaca dalam kenyataannya masih diperlukan konvensi yang lain, yaitu konvensi yang ada dalam dunia sastra itu sendiri. Hal ini didasarkan pandangan Culler (dalam Fananie, 2000:143) di antara segala segala sistem tanda, sastralah yang menarik dan kompleks antara lain karena sastra itu sendiri merupakan ekspolarasi dan perenungan terus-menerus mengenai pemberian makna dengan segala bentuknya; penafsiran pengalaman; komentar mengenai keberlakuan berbagai cara menafsirkan pengalaman: peninjauan tentang kekuasaan bahasa yang kreatif; kritik terhadap kode-kode dan proses intepertasi yang terwujud dalam bahasa-bahasa kita kini dan dalam sastra yang mendahului.
Pada makalah ini, akan disajikan sejarah, konsep, penerapan semiotik dalam analisis karya sastra. Ini diharapkan dapat membantu dalam peranan semiotik sebagai sebuah teori dalam karya sastra.
B.    Sejarah Perkembangan
Semiotik telah lama dikenal. Dalam Handbook Of Semeotics Karya  Winfried Noth, ada beberapa pembagian zaman dalam pengenalan istilah semiotik, yaitu zaman kuno, abad pertengahan, zaman renaissance, dan zaman modern.
Pada zaman kuno ada beberapa ahli semiotika yang dikenal, antara lain Plato (427-347 SM), Aristoteles (384-322 SM), kaum Stoic (300-200 SM), dan kaum Epicureans (300 SM-abad pertama Masehi). Menurut Plato, semiotika adalah tanda-tanda verbal alami atau yang bersifat konvensional di antara masyarakat tertentu, hanyalah berupa representasi tidak sempurna dari sebuah ide, kajian tentang kata-kata tidak mengungkap hakikat objek yang sebenarnya karena dunia gagasan tidak berkaitan erat dari representasinya yang berbentuk kata-kata, dan pengetahuan yang dimediasi oleh tanda-tanda bersifat tidak langsung  dan lebih rendaah mutunya dari pengetahuan yang langsung. Semiotika menurut Aristoteles adalah tanda-tanda yang ditulis berupa lambang dari apa yang diucapkan, bunyi yang diucapkan adalah tanda dan lambang dari gambaran atau impresi mental. Gambaran atau impresi mental adalah kemiripan dari objek yang sebenarnya, dan gambaran mental tentang kejadian atau objek sama bagi semua manusia tetapi ujaran tidak.
Pada abad pertengahan, perkembangan filsafat bahasa menuju pada dua arah, yaitu dengan ditentukannya gramatika  sebagai pilar pendidikan bahasa Latin serta bahasa Latin sebagai titik pusat seluruh pendidikan ; sistem pemikiran dan pendidikan filosofis pada saat itu sangat akrab dengan Teologi, maka analisis filosofis diungkapkan melalui analisis bahasa. Ciri utama pada zaman abad pertengahan adalah masa keemasannya filusuf Kristiani, terutama Kaum Patristik dan Skolastik. Pendidikan abad pertengahan dibangun dalam tujuh sistem sebagai pilar utamanya dan bersifat liberal.Ketujuh dasar pendidikan liberal tersebut dibedakan atas Trivium (tata bahasa, logika, serta retorik) dan Quadrivium (aritmatika, geometrika, astronomi, dan musik).
 Pada masaRenaissance keberadaan teori mengenai tanda tidak mengalami inovasi yang berarti.Hal ini dikarenakan bahwa sebagian besar penelitian mengenai semiotika masih merupakan bagian dari perkembangan linguistik pada masa sebelumnya.
Pada zaman modern, menurut Zoest (1991:1), ada dua tokoh yang dikenal sebagai bapak semiotik modern, yaitu Charles Sanders Peirce (1839-1914) dan Ferdinand de Saussure (1857-1913).  Keduanya berlatar belakang berbeda. Peirce adalah ahli filsafat, sedangkan Saussure adalah ahli Linguistik. Ketidaksamaan latar belakang itulah yang menyebabkan adanya perbedaan-perbedaan penting, terutama dalam penerapan konsep-konsep. Hal itu menjadikan ada dua kubu di kalangan pakar dengan pemahaman serta konsep yang berbeda. Pertama, yang bergabung dengan Peirce dan tidak mengambil contoh dari ilmu bahasa; dan kedua, yang bergabung dengan Saussure dan menganggap ilmu bahasa sebagai pemandu.
Sebetulnya sebelum Pierce dan de Saussure memperkenalkan istilah semiotik,  pada akhir abad XVIII seorang filsuf Jerman Lambert telah menggunakan kata semiotika (Zoest, 1993:1). Namun dapatlah dikatakan, bahwa  semiotika merupakan cabang ilmu yang relatif muda. Penggunaan tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya baru lebih sering dan lebih sistematis dipelajari pada abad XX. Menurut Zoest (1993:1) ada beberapa penyebab yang dapat dikemukakan. Salah satu diantaranya adalah Peirce telah menuliskan pemikirannya dalam bidang semiotika pada akhir abad XIX dan awal abad XX. Baru pada tahun 1930-an Charles Morris dan Max Bense memperkenalkan secara luas tulisan Peirce. Pada saat itu orang sudah menyadari betapa berharganya bahan teoritis tersebut, dan betapa besar kegunaan instrumen pengertian yang dipaparkan dalam tulisan Peirce.
Pierce mengusulkan kata Semiotika sebagai sinonim dari kata logika. Menurutnya Logika harus harus mempelari bagaimana orang yang bernalar. Penalaran itu, menurut hipotesis teori Pierce yang mendasar, dilakukan melalui tanda-tanda. Tanda-tanda memungkinkan kita berpikir, berhubungan dengan orang lain, dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Dengan mengembangkan teori semiotika, Peirce memusatkan perhatiannya pada berfungsinya tanda pada umumnya. Peirce telah menciptakan teori umum untuk tanda-tanda. Secara lebih tepat, ia telah memberikan dasar-dasar yang kuat pada teori tersebut.
Penemuan Saussure tentang semiotik sebetulnya lebih dulu daripada Peirce. Dia dikenal sebagai peletak dasar ilmu bahasa. Salah satu titik tolak Saussure adalah bahwa bahasa harus dipelajari sebagai salah satu sistem tanda. Kubu Saussure menamainya dengan Semiologi, istilah pinjaman dari linguistik. Namun gagasan Saussure untuk sampai pada ilmu tanda umum, baru mendapatkan perhatian beberapa puluhan tahun setelah dikemukakan.
Di Prancis pengaruh Saussurelah yang telah menandai kerja kaum semiotika. Pierce kurang dikenal disana. Beberapa teksnya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis. Namun secara umum, gagasan-gagasan Pierce belum mendapatkan perhatian yang sepantasnya di Prancis.  Baru setelah penerbitan Oeuvres Completes dan disebarluaskan oleh Charles Morris, teori semiotika aliran Pierce menjajikan harapan.
Di Eropa suksesnya pemikiran semiotik Pierce terasa secara lebih jelas dan efektif dalam karya Umberto Eco (Italia). Dalam Eco, penggunaan konsep-konsep Pierce untuk penelitian di berbagai bidang, yaitu arsitektur, musik, teater, iklan, kebudayaan, dan lain lain, dikemukakan, didiskusikan, dan dibahas.
Sayang, ketika Saussure memberikan kuliah-kuliahnya yang terkenal tentang linguistik umum, ia belum mengenal studi yang telah ditulis pierce pada masa itu. Tulisan Pierce selama setengah abad akan memberikan pengaruh-pengaruh khas pada perkembangan teori linguistik internasional.
Makalah ini tidak dapat mengisi kekosongan yang telah dikemukakan tadi. Walaupun demikian penulis mencoba untuk melihat beberapa kemungkinan penerapan konsep-konsep Pierce dalam bidang analisis sastra.




C.    Kerangka Teori Semiotika
    Secara etimologis, istilah semitotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”( Ratna, 2010: 97).  Tanda didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Yusuf (2009:30) menjelaskan bahwa semiotik mempelajari berbagai objek, peristiwa, atau seluruh kebudayaan sebagai tanda. Senada dengan pernyataan tersebut Pradopo (dalam Sumampouw, 2010:56) menjelaskan bahwa semiotika adalah ilmu tentang tanda. Ilmu ini menganggap fenomena sosial dan kebudayaan sebagai tanda. Semiotika mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda mempunyai arti.
 Ahli sastra Teew (1984:6) mendefinisikan semiotik adalah tanda sebagai tindak komunikasi dan kemudian disempurnakannya menjadi model sastra  yang mempertanggungjawabkan semua faktor dan aspek hakiki untuk pemahaman gejala susastra  sebagai alat komunikasi yang khas di dalam masyarakat  mana pun. Semiotik merupakan cab ang ilmu yang relatif masih baru. Penggunaan tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya dipelajari secara lebih sistematis pada abad kedua puluh.
Menurut Preminger (1974) (dalam Pradopo, 1999:76) tanda mempunyai dua aspek, yaitu penanda dan petanda. Penanda adalah bentuk formal tanda itu, alam bahasa berupa satuan bunyi, atau huruf dalam sastra tulis. Sedangkan petanda adalah artinya, yaitu apa yang ditandai oleh penada itu .Senjutnya Yusuf  menjelaskan tanda adalah sesuatu yang bersifat representative, mewakili sesuatu yang lain berdasarkan konvensi tertentu ( Yusuf, 2009: 30).
    Pierce ( 1839-1914 )  seorang filsuf Amerika (dalam Yusuf, 2009: 31) menyebutkan tiga macam tanda dengan jenis hubunganan tanda dan apa yang ditandakan. Tiga macam tanda tersebut adalah
a.    Ikon.
Ikon merupakan tanda yang secara inheren memiliki kesamaan dengan arti yang ditunjuk. Sumampouw (2010:57) hubungan antara penanda dan petanda dalam ikon merupakan hubungan  yang bersifat alamiah. Hubungan tersebut bersifat persamaan. Misalnya saja peta dengan wilayah geografinya.
b.    Indeks
Indeks merupakan tanda yang mengandung hubungan kausal ( sebab-akibat) dengan apa yang  ditandakan. Contonya mendung menandakan akan terjadinya hujan, asap mendakan adanya api. Contoh lain alat penanda angin menunjukkan arah angin.
c.    Simbol
Simbol adalah tanda yang memiliki hubungan makna dengan apa yang ditandakan bersifat manasuka (arbitrer). Contohnya ibu adalah simbol, artinya ditentukan oleh pemakai bahasa (Indonesia), orang Inggris menyebut ibu dengan mother, orang Jawa dengan mbok.
    Selain ketiga hal tersebut masih ada lagi jenis tanda yang lain, yaitu tanda yang disebut dengan istilah simtom. Prodopo ( 1999:76) menjelaskan bahwa somtom merupakan jenis tanda yang  dapat didefinisikan sebagai gejala, yaitu penanda yang penunjukannya belum pasti. Sebagai contoh suhu panas yang terjadi pada orang sakit tidak menunjuk penyakit tertentu. Suhu tersebut hanya menujukkan bahwa orang tersebut sedang sakit, entah sakit malaria, flu atau yang lain.
Macam-macam Semiotik
Sampai saat ini, sekurang-kurangnya terdapat sembilan macam semiotik yang kita kenal sekarang (Pateda, dalam Sobur, 2004). Jenis -jenis semiotik ini antara lain  semiotik analitik, diskriptif, faunal zoosemiotic, kultural, naratif, natural, normatif, sosial, struktural.
Semiotik analitik merupakan semiotik yang menganalisis sistem tanda. Peirce mengatakan bahwa semiotik berobjekkan tanda dan menganalisisnya menjadi ide, obyek dan makna. Ide dapat dikatakan sebagai lambang, sedangkan makna adalah beban yang terdapat dalam lambang yang mengacu pada obyek tertentu. Semiotik deskriptif adalah semiotik yang memperhatikan sistem tanda yang dapat kita alami sekarang meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti yang disaksikan sekarang. Semiotik faunal zoosemiotic merupakan semiotik yang khusus memper hatikan sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan. Semiotik kultural merupakan semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang ada dalam kebudayaan masyarakat. Semiotik naratif adalah semiotik yang membahas sistem tanda dalam narasi yang berwujud mitos dan c erita lisan (folklore). Semiotik natural atau semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh alam. Semiotik normatif merupakan semiotik yang khusus membahas sistem tanda yang dibuat oleh manusia yang berwujud norma-norma. Semiotik sosial merupakan semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang, baik lambang kata maupun lambang rangkaian kata berupa kalimat. Semiotik struktural adalah semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa.


Bahasa Sebagai Sistem Semiotik
Bahasa dalam pemakaiannya bersifat bidimensional. Disebut dengan demikian, karena keberadaan makna selain ditentu-kan oleh kehadiran dan hubungan antar -lambang kebahasaan itu sendiri, juga ditentukan oleh pemeran serta konteks sosial dan situasional yang melatarinya. Dihubungkan dengan fungsi yang dimiliki, bahasa memiliki fungsi eksternal juga fungsi internal. Oleh sebab itu selain dapat digunakan untuk menyampaikan informasi dan menciptakan komunikasi, juga untuk  mengolah informasi dan dialog antar -diri sendiri. Kajian bahasa sebagai suatu kode dalam pemakaian berfokus pada (1) karakteristik hubungan antara bentuk, lambang atau kata satu dengan yang lainnya, (2) hubungan antarbentuk kebahasaan dengan dunia luar yang di -acunya, (3)  hubungan antara kode dengan pemakainya.Studi tentang sistem tanda sehubungan dengan ketiga butir tersebut baik berupa tanda kebahasaan maupun bentuk tanda lain yang digunakan manusia dalam komunikasi masuk dalam ruang lingkup semiotik  (Aminuddin, 1988:37).
Sejalan dengan adanya tiga pusat kajian kebahasaan dalam pemakaian, maka bahasa dalam sistem semiotik dibedakan dalam tiga komponen sistem. Tiga komponen tersebut adalah:  (1)sintaktik, yakni komponen yang be rkaitan dengan lambang atau sign serta bentuk hubungan-nya, (2) semantik, yakni unsur yang berkaitan dengan masalah hubungan antara lambang dengan dunia luar yang diacunya, (3) pragmatik, yakni unsur ataupun bidang kajian yang berkaitan dengan hubungan antara pemakai dengan lambang dalam pemakaian.
Ditinjau dari sudut pemakaian, telah diketahui bahwa alat komunikasi manusia dapat dibedakan antara media berupa bahasa atau media verbal dengan media nonbahasa atau nonverbal. Sementara media kebahasaan itu, ditinjau dari alat pemunculannya atau chanel dibedakan pula antara media lisan dengan media tulis. Dalam media lisan misalnya, wujud kalimat perintah dan kalimat tanya dengan mudah dapat dibedakan lewat pemakaian bunyi suprasegmental atau pemunculan kinesik, yakni gerak bagian tubuh yang menuansakan makna tertentu. Kaidah penataan kalimat selalu dilatari tendesi semantis tertentu. Dengan kata lain sistem kaidah penataan lambang secara gramatis selalu berkaitan dengan dengan strata makna dalam suatu bahasa. Pada sisi lain makna sebagai  label yang mengacu realitas tertentu  juga memiliki sistem hubungannya sendiri  (Aminuddin, 1988:38).
Unsur pragmatik yakni hubungan antara tanda dengan pemakai ( user atau interpreter), menjadi bagian dari sistem semiotik sehi ngga juga menjadi salah satu cabang kajiannya karena keberadaan tanda tidak dapat dilepaskan dari pemakainya. Bahkan lebih luas lagi keberadaan suatu tanda dapat dipahami hanya dengan mengembalikan tanda itu ke dalam masyarakat pemakainya,  ke dalam konteks sosial budaya yang dimiliki. Hal itu sesuai dengan pernyataan bahwa bahasa adalah cermin kepribadian dan budaya bangsa. Sehubungan dengan itu Abram’s (1981: 171) mengungkapkan  bahwa the  focus of semiotic interest is on the underlying system of language, not on the parole.

D.    Semiotika Sastra
    Semiotika sebagai sistem lambang apakah dapat diterapkan pada kajian karya sastra? Menurut Aminuddin (2010:124)  ada dua pertanyaan sehubungan dengan hal tersebut. Pertanyaan itu adalah apakah sastra mengandung lambang, bagaimanakah perbedaannya dengan sistem lambang yang ada di luar teks sastra.
    Sebelum menjawab pertanyaan tersebut perlu pahami terlebih dahulu bahwa karya sastra merupakan salah satu sarana komunikasi. Sebagai sarana komunikasi sastra menggunakan  media bahasa. Sebagai sarana komunikasi sastra menggunakan tanda-tanda tertentu. Sejalan dengan pendapat tersebut, Pradopo (1999:77) menjelaskan bahwa karya sastra adalah karya seni yang menggunakan media bahasa.  Bahasa adalah bahan karya sastra. Oleh karena itu menurut Pradopo (1999:77) dalam lapangan semiotika karya sastra merupakan sistem semiotik tingkat kedua, sedang  sistem semiotik tingkat pertama adalah bahasa  yang digunakan sarana komunikasi di luar sastra.
    Dikarenakan karya satra memiliki ciri sebagai tanda, maka karya sastra masuk dalam kajian ilmu semiotika. Hal tersebut sesuai dengan Eco (dalam Ratna, 2010: 106) beberapa bidang terapan semiotika antara lain bahasa, medis, budaya, esteika, komunikasi, musik, arsitektur dan lain sebagainya.
    Secara sederhana karya sastra dapat dipakai sebagai sarana komunikasi. Namun bagaimana komunikasi yang terjadi karya sastra sehingga apa yang ingin disampaikan oleh pengarang sampai kepada pembacanya.
Menurut Nasution (2008: 10), sastra penuh dengan tanda-tanda dan memiliki  sistem yang secara lebih besar dikaitkan dengan kode. Oleh karena itu untuk menafsirkan karya sastra perlu pemahaman terhadap kode yang ada dalam karya sastra. Kode dalam karya sastra berhubungan dengan sosial budaya yang dipahami oleh sastrawan. Sehingga pembaca perlu memahami sosial budaya apa yang digambarkan oleh satrawan dalam karyanya.
    Sedangkan menurut Ratna (2010:112) tanda-tanda dalam sastra tidak terbatas pada teks tertulis. Hubungan antara penulis, karya sastra dan pembaca menyediakan pemahaman mengenai tanda yang sangat kaya. Artinya untuk memaknai tanda dalam karya sastra pembaca perlu menghubungkan antara teks sastra dan kehidupan di luar teks sasta. Tentu hal ini berkaitan erat dengan kemampuan pembaca menghubungkan dunia sastra dengan dunia di luar sastra. Oleh karena itu menurut Nasution (2008: 110) untuk memahami sastra sebagai tanda perlu bantuan ilmu lain. Ilmu  yang dapat membantu dalam hal ini adalah ilmu sosiologi, antropologi, psikologi, politik, hukum, agama dan lain sebagainya.

E.    Pemaknaan Tanda dalam Karya Sastra.
    Telah disebutkan di  atas bahwa sastra merupakan sistem tanda kedua. Sistem tanda yang pertama adalah bahasa. Menurut Roland Barther (dalam Nasution, 2008: 111) sistem tanda tingkat kedua dibangun dengan cara menjadikan penanda dan petanda tingkat pertama menjadi penada dan petanda baru dalam sistem tanda tingkat kedua. Sistem tanda tingkat pertama disebut denotative/ terminology sedangkan system tanda tingkat kedua disebut konotatif/ retoris/mitologi.
    Menurut Jajasudarma (2009:13) makna konotatif dibedakan berdasarkan masyarakat pencipanya atau menurut individu penciptanya. Senada dengan hal tersebut, menurut Nasution (2008 : 111) pemaknaan sistem tanda tingkat kedua dihubungkan dengan konteks sosial budaya yang di dalamnya memuat mitologi dan idiologi.
    Menurut Barthes dalam (Nasution:111) merumuskan tanda sebagai system yang  terdiri dari expression (E) yang berkaitan (relation R) dengan content (C). Ia berpendapat bahwa E-R-C adalah system tanda dasar dan umum. Teori tanda tersebut dikembangkannya dan ia menghasilkan teori denotasi dan konotasi. Menurutnya, content dapat dikembangkan. Akibatnya, tanda pertama (E1R1C1) dapat menjadi E2 sehingga terbentuk tanda kedua: E2(=E1R1C1)R2 C2. Tanda pertama disebutnya sebagai denotasi; yang kedua disebutnya semiotik konotatif.

Denotasi merupakan makna yang objektif dan tetap; sedangkan konotasi sebagai makna yang subjektif dan bervariasi. Meskipun berbeda, kedua makna tersebut ditentukan oleh konteks. Makna yang pertama, makna denotatif,  berkaitan dengan sosok acuan, misalnya kata merah bermakna „warna seperti warna darah‟ (secara lebih objektif, makna dapat di- gambarkan menurut tata sinar). Konteks dalam hal ini untuk memecahkan masalah poli- semi; sedangkan pada makna konotatif, konteks mendukung munculnya makna yang sub- jektif. Konotasi membuka kemungkinan interpretasi yang luas. Dalam bahasa, konotasi dimunculkan  melalui:  majas  (metafora,  metonimi,  hiperbola,  eufemisme,  ironi,  dsb), presuposisi, implikatur. Secara umum (bukan bahasa), konotasi berkaitan dengan pengalaman pribadi atau masyarakat penuturnya yang bereaksi dan memberi makna konotasi emotif misalnya halus, kasar/tidak sopan, peyoratif, akrab, kanak-kanak, menyenangkan, menakutkan, bahaya, tenang, dsb. Jenis ini tidak terbatas. Pada contoh di atas: MERAH bermakna konotatif emotif. Konotasi ini bertujuan membongkar makna yang terselubung.
Hubungan simbolik muncul sebagai hasil dari hubungan  tanda dengan dirinya sendiri atau hubungan internal (hubungan penanda  dan  petanda).   Hubungan  simbolik  ini  menunjuk  pada  status kemandirian tanda untuk diakui keberadaannya dan dipakai fungsinya tanpa tergantung  pada  hubungannya  dengan  tanda-tanda  lain.  Kemandirian  ini membuat tanda tersebut menduduki status simbol.
Kata ‘siliwangi’ menjadi simbol bagi masyarakat Sunda, khususnya bagi   keluarga   yang  mengaku  sebagai  turunannya.  Simbol  ini  adalah pengakuan teureuh  menak Sunda ‘trah ningrat’. Simbol ini meliputi darah biru, dangiang ‘pamor, aura’,  kekayaan, materi, kekuasaan tempat, hingga gaya hidup. Dengan demikian kata siliwangi  dalam buyada Sunda  adalah  sebuah  penanda.  Petandanya  adalah ‘tokoh kharismatik yang memancarkan kehormatan (martabat), kebanggaan (patriotisme),  dan kekuasaan (kekuatan  raja  atas  wilayahnya)’. Siliwangi adalah  sebuah  penanda  dan  petanda  barunya  adalah  ‘identitas  diri  bagi masyarakat Sunda’.
Kalau kita telusuri dalam buku-buku semiotik yang ada, hampir sebagian besar  menyebutkan bahwa ilmu semiotik bermula  dari ilmu linguistik dengan tokohnya Ferdinand de de Saussure (1857 - 1913). de Saussure tidak hanya dikenal sebagai Bapak Linguistik tetapi juga banyak dirujuk sebagai tokoh semiotik dalam bukunya Course in General Linguistics  (1916). Selain itu ada tokoh yang penting dalam semiotik adalah Charles Sanders Peirce (1839 - 1914) seorang filsuf Amerika, Charles Williams Morris (1901 - 1979) yang mengembangkan behaviourist semiotics. Kemudian yang mengembang-kan teori-teori semiotik modern adalah Roland Barthes (1915 - 1980), Algirdas Greimas (1917 - 1992), Yuri Lotman (1922 - 1993), Christian Metz (193 - 1993),  Umberco Eco (1932),dan Julia Kristeva (1941). Linguis selain de Saussure yang bekerja dengan semiotics framework adalah Louis Hjlemslev (1899 - 1966) dan Roman Jakobson (1896 - 1982). Dalam ilmu antropologi ada  Claude Levi Strauss (1980) dan Jacues Lacan (1901 - 1981) dalam psikoanalisis.
Strukturalisme adalah sebuah metode yang  telah diacu oleh banyak ahli semiotik,  hal itu didasarkan pada model linguistik struktural de Saussure. Strukturalis mencoba mendeskripsikan sistem tanda sebagai bahasa-bahasa, Strauss dengan mith, kinship dan totemisme, Lacan dengan unconcious, Barthes dan Greimas dengan grammar of narrative. Mereka bekerja mencari struktur dalam (deep structure) dari bentuk struktur luar (surface structure) sebuah fenomena.  Semiotik sosial kontemporer telah bergerak di luar perhatian struktural  yaitu menganalisis hubungan-hubungan internal bagian-bagian  dengan a self contained system, dan mencoba mengembangkan penggunaan tanda dalam situasi sosial yang spesifik.
Melihat kenyataan di atas dapat dikatakan bahwa pembicaraan tentang strukturalisme dalam konteks perkembangan kajian budaya harus dilakukan dalam konteks perkembangannya ke semiotik yang seolah-olah lahir sesudahnya. Sebenarnya  bibitnya telah lahir bersama dalam kuliah-kuliah Ferdinad de Saussure yang sekaligus melahirkan strukturalisme dan semiotik (oleh de Saussure disebut semiologi yaitu ilmu tentang  kehidupan tanda-tanda dalam masyarakat) (Hoed, 2002:1). Jadi tidak dapat disangkal lagi bahwa lahirnya semiotik khususnya di Eropa tidak dapat dilepaskan dari bayangan strukturalisme yang mendahuluinya dalam perkembangan ilmu pengetahuan budaya. Perkembangan dari strukturalis ke semiotik dapat dibagi dua yakni yang sifatnya melanjutkan sehingga ciri-ciri strukturalismenya masih sangat kelihatan (kontinuitas) dan yang sifatnya mulai meninggalkan sifat strukturalisme untuk lebih menonjolkan kebudayaan sebagai sistem tanda (evolusi).
Makna Kata ‘Tanda’
Bagi de Saussure, bahasa terdiri atas sejumlah tanda yang terdapat dalam suatu jaringan sistem dan dapat disusun dalam sejumlah struktur. Setiap tanda dalam jaringan itu memiliki dua sisi yang tak terpisahkan  seperti dua halaman pada selembar kertas. de Saussure memberikan contoh kata arbor dalam bahasa Latin yang maknanya ‘pohon’. Kata ini adalah tanda yang terdiri atas dua segi yakni /arbor/ dan konsep pohon. Signifiant /arbor/ disebutnya sebagai citra akustik yang mempunyai relasi dengan konsep pohon (bukan pohon tertentu) yakni signifie. Tidak ada hubungan langsung dan alamiah antara penanda ( signifier) dan petanda (signified). Hubungan ini disebut hubungan yang arbitrer. Hal yang mengabsahkan hubungan  itu adalah mufakat (de Saussure, 1986:10).
Oleh sebab itu bahasa sebagai sebuah sistem dapat dikatakan lahir dari kemufakatan (konvensi) di atas dasar yang tak beralasan ( unreasonable) atau sewenang-wenang. Sebagai contoh, kata bunga yang keluar dari mulut seorang penutur bahasa Indonesia berkorespondensi dengan konsep tentang bunga  dalam benak orang tersebut tidak  menunjukkan adanya batas-batas (boundaries) yang jelas atau nyata antara penanda dan petanda, melainkan secara gamblang mendemonstrasikan kesewenang-wenangan itu karena bagi seorang penutur bahasa Inggris bunyi bunga itu tidak berarti apa-apa.
Petanda selalu akan lepas dari jangkauan dan konsekuensinya, makna pun tidak pernah dapat sepenuhnya ditangkap, karena ia berserakan seperti jigsaw puzzles disepanjang rantai penanda lain yang pernah hadir sebelumnya dan akan hadir sesudahnya, baik dalam tataran paradigmatik maupun sintagmatik. Ini dimungkinkan karena operasi sebuah sistem bahasa menurut de
Saussure dilandasi oleh prinsip negative difference, yakni bahwa makna sebuah tanda tidak diperoleh melalui jawaban atas pertanyaan what is it, melainkan melalui penemuan akan what is not (Budiman, 2002:30). Kucing adalah kucing karena ia bukan anjing atau bajing. Dengan demikian ilmu yang mempe -lajari tentang tanda-tanda adalah semiotik. Semiotics is concerned with everything that can be taken as a sign. Semiotik adalah studi yang tidak hanya merujuk pada tanda (signs) dalam percakapan sehari -hari,  tetapi juga  segala  sesuatu yang merujuk pada bentuk-bentuk lain seperti words, images, sounds, gesture , dan objects.  Sementara De Saussure menyebut ilmu ini dengan semiologi yakni sebuah studi tentang aturan tanda-tandasebagai bagian dari kehidupan sosial ( a science which studies the role of signs  as a part of social life). Bagi Peirce (1931), semiotics was formal doctrine of signs which was closely related to logic. Tanda menurut Peirce adalah something which stands to somebody for something in some respect or capacity. Kemudian ia juga mengatakan bahwa every thought is a sign.
Van Zoest (1993) memberikan lima ciri  dari tanda. Pertama, tanda harus dapat diamati agar dapat berfungsi sebagai tanda. Sebagai contoh van Zoest menggambarkan bahwa di pantai ada orang-orang duduk dalam kubangan pasir, di sekitar kubangan di buat semacam dinding pengaman (lekuk) dari pasir dan pada dinding itu diletakkan kerang-kerang yang sedemikian rupa sehingga membentuk kata ‘Duisburg’ maka kita mengambil kesimpulan bahwa di sana duduk orang-orang Jerman dari Duisburg. Kita bisa sampai pada kesimpulan itu, karena kita tahu bahwa kata tersebut menandakan sebuah kota di Republik Bond. Kita menganggap dan menginterpretasikannya sebagai tanda. Kedua,  tanda harus ‘bisa ditangkap’ merupakan syarat mutlak. Kata Duisburg dapat ditangkap, tidak penting apakah tanda itu diwujudkan dengan pasir, kerang atau ditulis di bendera kecil atau kita dengar dari orang lain.
Ketiga, merujuk pada sesuatu yang lain, sesuatu yang tidak hadir. Dalam  hal ini Duisburg merujuk kesatu kota di Jerman. Kata Duisburg merupakan tanda karena ia ‘merujuk pada’, ‘menggantikan’, ‘mewakili‘ dan ‘menyajikan’. Keempat, tanda memiliki sifat epresentatif dan sifat ini mempunyai hubungan langsung dengan sifat inter-pretatif, karena pada kata Duisburg di kubangan itu bukannya hanya terlihat adanya pengacauan pada suatu kota di Jerman, tetapi juga penafsiran di sana duduk-duduk orang Jerman. Kelima, sesuatu hanya dapat merupakan tanda atas dasar satu dan lain. Peirce menyebutnya dengan ground (dasar, latar) dari tanda. Kita menganggap Duisburg sebagai sebuah tanda karena kita dapat membaca huruf-huruf itu, mengetahui bahwa sebagai suatu kesatuan huruf-huruf itu membentuk sebuah kata, bahwa kata itu merupakan sebuah nama yakni sebuah nama kota di Jerman. Dengan perkataan lain, tanda Duisburg merupakan bagian dari suatu keseluruhan peraturan, perjanjian dan kebiasaan yang dilembagakan yang disebut kode. Kode yang dimaksud dalam hal ini adalah kode bahasa. Walaupun demikian ada juga tanda yang bukan hanya atas dasar kode. Ada tanda jenis lain yang berdasarkan interpretasi individual dan insidental atau berdasarkan pengalaman pribadi. Semiotik Semiotik atau ada yang menyebut dengan semiotika berasal dari kata Yunani semeion  yang berarti “tanda”. Istilah semeion tampaknya diturunkan dari  kedokteran hipokratik atau asklepiadik dengan perhatiannya pada simtomatologi dan diagnostik inferensial  (Sobur, 2004:95). Tanda pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain. Secara terminologis,  semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi tanda (van Zoest, 1993:1).
Para ahli semiotik modern mengatakan bahwa  analisis semiotik modern telah diwarnai dengan dua nama yaitu seorang linguis yang berasal dari Swiss bernama Ferdinand De DeSaussure (1857 - 1913) dan seorang filsuf Amerika yang bernama Charles Sanders Peirce (1839-1914). Peirce menyebut  model sistem analisisnya dengan semiotik dan istilah tersebut telah menjadi istilah yang dominan digunakan untuk ilmu tentang tanda.  Semiologi de Saussure berbeda dengan semiotik Peirce dalam beberapa hal, tetapi keduanya berfokus pada tanda. Seperti telah disebut-kan di depan bahwa de Saussure menerbit -kan bukunya yang berjudul A Course in General Linguistics  (1913).
Dalam buku itu De Saussure membayangkan suatu ilmu yang mempelajari tanda-tanda dalam masyarakat. Ia juga menjelaskan konsep-konsep yang dikenal dengan dikotomi linguistik. Salah satu dikotomi itu adalah signifier dan signified (penanda dan petanda). Ia menulis… the linguistics sign unites not a thing and a name,but a concept and a sound image a sign . Kombinasi antara konsep dan citra bunyi adalah tanda ( sign).  Jadi de Saussure mem-bagi tanda menjadi dua yaitu komponen, signifier (atau citra bunyi) dan signified (atau konsep) dan dikatakannya bahwa hubungan antara keduanya adalah arbitrer.
Semiologi didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna atau selama berfungsi sebagai tanda, harus ada di belakang sistem pembedaan dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Di mana ada tanda, di sana ada sistem (de Saussure, 1988:26). Sekalipun hanyalah merupakan salah satu cabangnya, namun linguistik dapat berperan sebagai model untuk se-miologi. Penyebabnya terletak pada ciri arbiter dan konvensional yang dimiliki tanda bahasa. Tanda -tanda bukan bahasa pun dapat dipandang sebagai fenomena arbiter dan konvensional seperti mode, upacara, kepercayaan dan lain-lainya.
Dalam perkembangan terakhir kajian mengenai tanda dalam masyarakat didominasi karya filsuf Amerika. Charles Sanders Peirce (1839 - 1914). Kajian Peirce jauh lebih terperinci daripada tulisan de Saussure yang lebih programatis. Oleh karena itu istilah semiotika lebih lazim dalam dunia Anglo-Sakson, dan istilah semiologi lebih dikenal di Eropa Kontinental. Siapakah Peirce?  Charles Sanders Peirce adalah seorang filsuf Amerika yang paling orisinal dan multidimensioanl. Bagi teman -teman sejamannya  ia terlalu orisional. Dalam kehidupan bermasyarakat, teman-temannya membiarkannya dalam kesusahan dan meninggal dalam kemiskin-an Perhatian untuk karya-karyanya tidak banyak diberikan oleh teman -temannya.
Peirce banyak menulis, tetapi kebanyakan tulisannya bersifat pendahuluan,  sketsa dan sebagian besar tidak diterbitkan sampai ajalnya. Baru pada tahun 1931 - 1935 Charles Hartshorne dan Paul Weiss menerbitkan enam jilid pertama karyanya yang berjudul Collected Papers of Charles Sanders Pierce. Pada tahun 1957, terbit jilid 7 dan  8 yang dikerjakan oleh Arthur W Burks. Jilid yang terakhir berisi bibliografi tulisan Pierce.
Peirce selain seorang filsuf juga seorang ahli logika dan Peirce memahami bagaimana manusia itu bernalar. Peirce akhirnya sampai pada keyakinan bahwa manusia berpikir dalam tanda. Maka diciptakannyalah ilmu tanda yang ia sebut semiotik. Semiotika baginya sinonim dengan logika. Secara harafiah ia mengatakan “Kita hanya berpikir dalam tanda”. Di samping itu ia juga melihat tanda sebagai unsur dalam komunikasi.
Model tanda yang dikemukakan Peirce adalah trikotomis atau triadik, dan tidak memiliki ciri-ciri struktural sama sekali (Hoed, 2002:21).  Prinsip dasarnya adalah bahwa tanda bersifat reprsentatif yaitu tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain ( something that represent something else). Proses pemaknaan tanda pada Peirce mengikuti hubungan antara tiga titik yaitu representamen (R) - Object (O) - Interpretant (I). R adalah bagian tanda yang dapat dipersepsi secara fisik atau mental, yang merujuk pada sesuatu yang diwakili olehnya (O).  Kemudian I adalah bagian dari proses yang menafsirkan hubungan antara  R dan O. Oleh karena itu bagi Pierce, tanda tidak hanya representatif, tetapi juga interpretattif. Teori Peirce tentang tanda  memperlihatkan pemaknaan tanda seagai suatu proses kognitif dan bukan sebuah struktur. Proses seperti itu disebut semiosis. Seperti terlihat pada tabel di atas bahwa Peirce membedakan tanda menjadi tiga yaitu indeks, ikon dan simbol.
Bagaimanakah  hubungan ikon, indeks dan simbol? Seperti yang dicontohkan Hoed (2002:25), apabila dalam perjalanan pulang dari luar kota seseorang melihat asap mengepul di kejauhan, maka ia melihat R. Apa yang dilihatnya itu membuatnya merujuk pada sumber asap itu yaitu cerobong pabrik (O).
Setelah itu ia menafsirkan bahwa ia sudah mendekati sebuah pabrik ban mobil. Tanda seperti itu disebut indeks, yakni hubungan antara R dan O bersifat langsung dan terkadang kausal. Dalam pada itu apabila seseorang melihat  potret sebuah mobil, maka ia  melihat sebuah  R yang membuatnya merujuk pada suatu O yakni  mobil yang bersangkutan. Proses selanjutnya adalah menafsirkan, misalnya sebagai mobil sedan berwarna hijau miliknya (I). Tanda seperti itu disebut ikon yakni hubungan antara R dan O menunjukkan identitas.Akhirnya apabila di tepi pantai seseorang melihat bendera merah (R), maka dalam kognisinya ia merujuk pada ‘larangan untuk berenang’ (O). Selanjutnya ia menafsirkan bahwa ‘adalah berbahaya untuk berenang disitu’ (I). Tanda seperti itu disebut lambang yakni hubungan  antara R dan O bersifat konvensional.
Peirce juga mengemukakan bahwa pemaknaan suatu tanda bertahap-tahap. Ada tahap
kepertamaan (firstness) yakni saat tanda dikenali pada tahap awal secara prinsip saja. Firstness adalah keberadaan seperti apa adanya tanpa menunjuk ke sesuatu yang lain, keberadaan dari kemungkinan yang potensial. Kemudian tahap ‘kekeduaan’ ( secondness) saat tanda dimaknai secara individual, dan kemudian ‘keketigaan’ ( thirdness) saat tanda dimaknai secara tetap sebagai kovensi. Konsep tiga tahap ini penting untuk memahami bahwa dalam suatu kebudayaan kadar pemahaman tanda tidak sama pada semua anggota kebudayaan tersebut.
Salah seorang sarjana yang secara konservatif menjabarkan teori De de Saussure ialah Roland Barthes (1915 - 1980). Ia menerapkan model De de Saussure dalam penelitiannya tentang karya-karya sastra dan gejala-gejala kebudayaan, seperti mode pakaian. Bagi Barthes kompone -komponen tanda penanda - petanda terdapat juga pada tanda -tanda bukan bahasa antara lain terdapat pada bentuk mite yakni keseluruhan sistem citra dan kepercayaan yang dibentuk masyarakat untuk mempertahankan dan menonjolkan identitasnya (de Saussure,1988).
Dalam kaitan dengan pemakai tanda, kita juga dapat memasukkan perasaan sebagai (aspek emotif) sebagai salah satu faktor yang membentuk konotasi. Model Barthes demikian juga model De de Saussure tidak hanya diterapkan pada analisis bahasa sebagai salah satu aspek kebudayaan, tetapi juga dapat digunakan untuk menganalisis unsur -unsur kebu-dayaan. Semiotik yang dikembangkan Barthes juga disebut dengan semiotika konotatif. Terapannya juga pada karya sastra tidak sekadar membatasi diri pada analisis secara semios is, tetapi juga menerapkan pendekatan konotatif pada berbagai gejala kemasyarakatan. Di dalam karya sastra ia mencari arti ’kedua’ yang tersembunyi dari gejala struktur tertentu (van Zoest, 1993:4).
Penelitian yang menilai tanda terlalu statis, terlalu nonhistoris, dan terlalu reduksionalis, diganti oleh penelitian yang disebut praktek arti ( betekenis praktijk). Para ahli semiotika jenis ini tanpa merasa keliru dalam bidang metodologi, mencampurkan analisis mereka dengan pengertian-pengertian dari dua aliran hermeutika yang sukses zaman itu, yakni psikoanalisis dan marxisme (van Zoest, 1993:5).Tokoh semiotik Rusia J.U.M. Lotman mengungkapkan bahwa … culture is constructed as a hierarchy of semantic systems  (Lotman, 1971:61). Pernyataan itu tidaklah berlebihan karena hirarki sistem semiotik atau sistem tanda meliputi unsur (1) sosial budaya, baik dalam konteks sosial maupun situasional, (2) manusia sebagai subyek yang berkreasi, (3) lambang sebagai dunia simbolik yang menyertai proses dan mewujudkan kebudayaan, (4) dunia pragmatik atau pemakaian, (5) wilayah makna. Orientasi kebudayaan manusia sebagai anggota suatu masyarakat bahasa salah satunya tercermin dalam sistem kebahasaan maupun sistem kode yang digunakannya.
Adanya kesadaran bersama terhadap sistem kebahasaan, sistem kode dan pemakaiannya, lebih lanjut juga menjadi dasar dalam komunikasi antaranggota masyarakat bahasa itu sendiri. Dalam kegiatan komunikasinya, misalnya antara penutur dan pendengar, sadar atau tidak, pastilah dilakukan identifikasi.  Identifikasi tersebut dalam hal ini tidak terbatas pada tanda kebahasaan, tetapi juga terhadap tanda berupa bunyi prosodi, kinesik, maupun konteks komunikasi itu sendiri.
Dengan adanya identifikasi tersebut komunikasi itu pun menjadi sesuatu yang bermakna baik bagi penutur maupun bagi penanggapnya.

F.    Penerapan Semiotika pada Puisi
Berikut ini akan disajikan Kajian Semiotik Puisi “Tamu” Karya Subagio Sastrowardoyo.
Tamu
Lelaki yang mengetuk pintu pagi hari
sudah duduk di ruang tamu. Aku baru
bangun. Tapi rupanya ia tidak
merasa tersinggung waktu aku belum
mandi dan menemui dia. Rambutku masih
kusut dan pakaianku hanya baju kumal
dan sarung lusuh.
“Aku mau menjemput,” katanya pasti,
seolah-olah aku sudah berjanji sebelumnya
dan tahu apa rencananya.
“Bukankah ini terlalu pagi?” tanyaku ragu.
“Dia sudah menunggu!” Ia nampak tak sabar
dan tak senang dibantah. Aku belum tahu
siapa yang ia maksudkan dengan “dia”,
tetapi sudah bisa kuduga siapa.
“Tetapi aku perlu waktu untuk berpisah
dengan keluarga. Terlalu kejam untuk
meninggalkan mereka begitu saja. Mereka
akan mencari.”
Nampaknya tamu itu begitu angkuh seperti
tak mau dikecilkan arti. Siapa dapat lolos
dari tuntutannya.
Sebelum aku sempat berbenah diri ia telah
menyeret aku ke kendaraannya dan aku dibawanya
lari entah ke mana. ke sorga atau ke neraka?”
Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Dalam lapangan kritik sastra, penelitian semiotik meliputi analisis sastra sebagai sebuah penggunaan bahasa yang bergantung pada (ditentukan) konvensi-konvensi tambahan dan meneliti ciri-ciri (sifat-sifat) yang menyebabkan bermacam-macam cara (modus) agar wacana mempunyai makna (Preminger dalam Pradopo, 2008: 119).
Hal ini berarti penekanan pendekatan semiotik adalah pemahaman makna karya sastra melalui tanda-tanda dalam karya sastra. Peirce (dalam Nurgiantoro, 2007: 42) membedakan hubungan antara tanda dengan acuannya ke dalam tiga jenis hubungan, yaitu: (1) Ikon, adalah tanda yang menggunakan kesamaan atau ciri-ciri yang sama dengan apa yang dimaksudkannya. Misalnya kesamaan potret dengan dengan orang yang diambil fotonya, atau kesamaan peta dengan wilayah geografi yang digambarkannya; (2) Indeks, adalah suatu tanda yang memiliki kaitan kausal dengan apa yang diwakilinya. Misalnya asap merupakan tanda adanya api dan arah angin menunjukkkan cuaca. (3) Simbol, (tanda yang sesuai) adalah hubungan antara penanda dengan petanda yang tidak bersifat alamiah melainkan merupakan kesepakatan masyarakat semata-mata. Misalnya kata-kata yang menunjukkan suatu bahasa.
Analisis semiotika puisi “Tamu” bertujuan untuk mengungkap makna atau gagasan di balik tanda (yaitu teks puisi). Dalam memahami puisi “Tamu” dengan menggunakan kajian semiotik melalui tahap-tahap diantaranya: 1) pembacaan heuristik yaitu pembacaan yang didasarkan pada konvensi bahasa yang bersifat mimetik atau tiruan alam yang membangun arti yang berserakan. Kajian ini didasarkan pada pemahaman yang lugas berdasarkan denotatif. 2) Selanjutnya, yaitu tahap pembacaan hermeneutik yaitu pembacaan yang bermuara pada ditemukannya satuan makna puisi secara utuh. Judul puisi “Tamu” menimbulkan suatu pemikiran ada makna yang tersembunyi di balik judul yang tentunya sang pengarang tidak sia-sia memberikan judul tersebut. Dilihat dari kata yang lugas itu, kita ketahui bahwa ‘tamu’ mempunyai arti: 1) orang yg datang berkunjung (melawat dan sebagainya) ke tempat orang lain atau ke perjamuan; 2) orang yg datang untuk menginap,untukmembeli-beli(ditoko).
Analisis puisi “Tamu” dilakukan tiap-tiap narasi karena pengarang menggunakan bentuk kalimat-kalimat yang sempurna maupun hampir sempurna secara gramatikal. Maka analisisnya menurut kalimat-kalimat berikut ini:
(1)Lelaki yang mengetuk pintu pagi hari sudah duduk di ruang tamu.
(2)Aku baru bangun.
(3)Tapi rupanya ia tidak merasa tersinggung waktu aku belum mandi dan menemui dia.
(4)Rambutku masih kusut dan pakaianku hanya baju kumal dan sarung lusuh.
(5)“Aku mau menjemput,” katanya pasti, seolah-olah aku sudah berjanji sebelumnya dan tahu apa rencananya.
(6)“Bukankah ini terlalu pagi?” tanyaku ragu.
(7)“Dia sudah menunggu!”
(8)Ia nampak tak sabar dan tak senang dibantah.
(9)Aku belum tahu siapa yang ia maksudkan dengan “dia”, tetapi sudah bisa kuduga siapa.
(10)“Tetapi aku perlu waktu untuk berpisah dengan keluarga. Terlalu kejam untuk meninggalkan mereka begitu saja. Mereka akan mencari.”
(11)Nampaknya tamu itu begitu angkuh seperti tak mau dikecilkan arti.
(12)Siapa dapat lolos dari tuntutannya.
(13)Sebelum aku sempat berbenah diri ia telah menyeret aku ke kendaraannya dan aku dibawanya lari entah ke mana.
(14)ke sorga atau ke neraka?”
Berikut ini pembacaan heuristik Puisi “Tamu”.   
(1)“Lelaki yang mengetuk pintu pagi hari sudah duduk di ruang tamu”.
Lelaki yang mengetuk pintu, berarti seorang laki-laki yang bertamu dengan mengetuk pintu. Pagi hari menunjukkan waktu tamu itu datang. Sudah duduk di ruang tamu berarti tamu tersebut sudah masuk rumah dan duduk di ruang tamu.
(2)“Aku baru bangun”. Kalimat itu menunjukkan bahwa tokoh “aku” baru bangun tidur karena hari waktu itu masih pagi.
(3)“Tapi rupanya ia tidak merasa tersinggung waktu aku belum mandi dan menemui dia”.
Kata-kata yang diucapkan tuan rumah itu menandakan bahwa dari gelagatnya tamu itu tidak merasa tersinggung ketika tuan rumah menemuinya dalam keadaan belum mandi. Dalam norma masyarakat, menemui tamu dalam keadaan belum mandi adalah hal yang tidak sopan dan dianggap tidak menghormati tamu.
(4)“Rambutku masih kusut dan pakaianku hanya baju kumal dan sarung lusuh”
Tuan rumah seperti menyampikan alasan bahwa ia belum siap kedatangan tamu. Keadaan tuan rumah digambarkan baru saja bangun tidur dan belum sempat mandi terlihat rambutnya kusut dan masih memakai pakaian tidurnya yaitu baju kumal dan sarung lusuh.
(5)“Aku mau menjemput,” katanya pasti, seolah-olah aku sudah berjanji sebelumnya dan tahu apa rencananya.Si tamu mengatakan bahwa ia akan menjemput tuan rumah seolah-olah tuan rumah sudah mempunyai janji dan mengetahui rencananya, padahal tuan rumah tidak mengetahui bahwa tamu itu akan datang dan mau menjemputnya.
(6)“Bukankah ini terlalu pagi?” tanyaku ragu.Tuan rumah menyatakan bahwa kedatangan tamu tersebut msih terlalu pagi. Tuan rumah tidak menyangka akan kedatangan tamu di waktu pagi.
(7)“Dia sudah menunggu!”.“Dia sudah menunggu!” merupakan jawaban dari tamu atas pertanyaan tuan rumah. Jawaban itu menunjukkan bahwa ada seseorang yang sudah menunggu tuan rumah.
(8)Ia nampak tak sabar dan tak senang dibantah.Dari kata-kata tamu Dia sudah menunggu!, dan dari gelagatnya menunjukkan bahwa si tamu kelihatan tidak sabar dan tidak senang dibantah. Hal itu merupakan reaksi atas alasan yang dilontarkan tuan rumah “Bukankah ini terlalu pagi?”
(9)Aku belum tahu siapa yang ia maksudkan dengan “dia”, tetapi sudah bisa kuduga siapa.
Ketika tamu menyatakan Dia sudah menunggu!, tuan rumah merasa bahwa ia belum tahu siapa “dia” yang dimaksudkan oleh tamu. Tetapi tuan rumah sudah menduga siapa “dia”.
(10)“Tetapi aku perlu waktu untuk berpisah dengan keluarga. Terlalu kejam untuk meninggalkan mereka begitu saja. Mereka akan mencari.”Tuan rumah menyadari bahwa ia akan pergi dengan tamu untuk bertemu dengan “dia”. Oleh karena itu, tuan rumah mengatakan bahwa ia perlu waktu untuk berpisah dengan keluarganya agar keluarganya tidak mencarinya. Tuan rumah merasa dirinya kejam apabila tidak berpamitan dahulu kepada keluarganya.
(11)Nampaknya tamu itu begitu angkuh seperti tak mau dikecilkan arti.
Menanggapi permintaan tuan rumah untuk berpamitan dengan keluarganya dahulu, tamu itu merasa tidak mau tahu karena mereka harus pergi saat itu juga. Tamu itu terlihat angkuh dan seakan-akan memaksa tuan rumah utntuk segera pergi dengannya.
(12)Siapa dapat lolos dari tuntutannya.Menyadari sikap tamu, tuan rumah merasa bahwa ia tidak bisa menolak ajakan tamu untuk pergi saat itu juga tanpa ia sempat berpamitan kepada keluarganya.
(13)Sebelum aku sempat berbenah diri ia telah menyeret aku ke kendaraannya dan aku dibawanya lari entah ke mana.
Sebelum tuan rumah sempat untuk bersiap-siap, tamu itu sudah menyeretnya, berarti tamu itu memaksa tuan rumah untuk pergi dengannya. Tuan rumah diajak tamu ke kendaraannya dan ia tidak tahu akan di bawa kemana.
(14)ke sorga atau ke neraka?”.Pernyataan terakhir ini merupakan penutup narasi, kata-kata dari tuan rumah berbentuk pertanyaan, akan dibawa ia oleh tamu itu. Dibawa ke sorga atau ke neraka.

Selanjutnya adalah tahap pembacaan hermeneutik.
Memaknai puisi “Tamu” di atas justru dapat dilakukan dengan lebih mudah dengan melihat pada baris terakhir, yaitu ke sorga atau ke neraka?”. Dengan mengetahui arti lugas sorga dan neraka dapat diungkapkan bahwa tokoh “aku” dijemput oleh tamu untuk datang ke sorga atau neraka. Hal ini berarti tokoh “aku” harus meninggalkan dunia untuk kemudian menuju akhirat melalui kematian.
Lelaki yang mengetuk pintu dapat diartikan sebagai utusan Tuhan, yakni malaikat yang akan menjemput setiap manusia. Waktu kedatangannya yang pagi hari menunjukkan bahwa malaikat datang dengan tiba-tiba, tanpa diketahui manusia. Lebih lanjut lagi melalui penceritaan “Aku baru bangun”, menandakan bahwa setiap manusia tidak pernah siap untuk menghadapi kedatangan malaikat (menghadapi kematian). Malaikat sendiri tidak peduli apa kegiatan manusia ketika malaikat harus mencabut nyawanya. Malaikat juga tidak peduli apakah manusia siap menghadapi kematian atau tidak. Hal ini tergambar dalam kata-kata, “Tapi rupanya ia tidak merasa tersinggung waktu aku belum mandi dan menemui dia”.
Sesungguhnya kematian dapat menjemput manusia kapan saja dan dimana saja. Dan sesungguhnya setiap manusia menyadari bahwa ia akan menghadapi kematian kemudian menghadap kepada Tuhan. Meskipun seringkali manusia melalaikan perihal kematian yang sewaktu-waktu bisa menjemputnya dikarenakan ia disibukkan oleh urusan dunia.
Karena kematian bisa menjemput tiba-tiba, sehingga tak ada waktu sedikitpun untuk sekedar berpamitan kepada keluarga. Kematian juga tidak bisa dimajukan atau ditangguhkan. Hal ini tergambar dalam bait: Nampaknya tamu itu begitu angkuh seperti tak mau dikecilkan arti. Setiap manusia juga tidak mungkin bisa lolos dari kematian, karena tiap jiwa pasti akan mengalami kematian (Siapa dapat lolos dari tuntutannya).
Kematian akan menjemput setiap manusia baik manusia itu senang atau tidak. Bahkan dengan bahasa kiasan, kematian itu “memaksa” manusia untuk ikut dengannya. Dan kelanjutan setelah kematian adalah akhirat yang hanya ada dua pilihan yaitu sorga atau neraka.
Dari hasil analisis di atas dapat dinyatakan bahwa penulis ingin menyampaikan sebuah amanat penting terkait dengan kematian. Penulis ingin mengingatkan setiap orang bahwa kematian bisa datang kapan saja dan dimana saja. Oleh karena itu setiap orang hendaknya mempersiapkan bekal menuju akhirat. Penulis menulis puisi “Tamu” ini dimungkinkan karena adanya keprihatinan terhadap masyarakat yang terlalu sibuk dengan urusan dunia, bergaya hidup hedonisme, materialisme, dan melalaikan urusan akhirat.

G.    Simpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
1)    Semiotika mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda mempunyai arti.
2)    Tanda mempunyai dua aspek, yaitu penanda dan petanda.
3)    Penanda adalah bentuk formal tanda itu, alam bahasa berupa satuan bunyi, atau huruf dalam sastra tulis. Sedangkan petanda adalah artinya, yaitu apa yang ditandai oleh penada itu
4)    Tiga macam tanda tersebut adalah ikon, indeks, dan simbul
5)    Sastra merupakan karya sastra seni yang mengandung tanda,
6)    Pemaknaan tanda pada karaya sastra adalah dengan cara memehami tanda sebagai system.
7)    Tanda sebagai system yang  terdiri dari expression (E) yang berkaitan (relation R) dengan content (C), teori tanda tersebut  menghasilkan teori denotasi dan konotasi.
8)    Denotasi merupakan makna yang objektif dan tetap; sedangkan konotasi sebagai makna yang subjektif dan bervariasi
9)    Pemaknaan suatu tanda bertahap-tahap. Ada tahap kepertamaan (firstness) yakni saat tanda dikenali pada tahap awal secara prinsip saja. Firstness adalah keberadaan seperti apa adanya tanpa menunjuk ke sesuatu yang lain, keberadaan dari kemungkinan yang potensial. Kemudian tahap ‘kekeduaan’ ( secondness) saat tanda dimaknai secara individual, dan kemudian ‘keketigaan’ ( thirdness) saat tanda dimaknai secara tetap sebagai kovensi.
10)    Tanda yang ditemukan dalam puisi Tamu karya Subagio Sastrowardoyo:
a.    Aku adalah manusia
b.    Lelaki yang mengetuk pintu dapat diartikan sebagai utusan Tuhan, yakni malaikat yang akan menjemput setiap manusia
c.    “Aku baru bangun”, menandakan bahwa setiap manusia tidak pernah siap untuk menghadapi kedatangan malaikat (menghadapi kematian).
d.    “Tapi rupanya ia tidak merasa tersinggung waktu aku belum mandi dan menemui dia”.
Sesungguhnya kematian dapat menjemput manusia kapan saja dan dimana saja.
e.    Puisi “Tamu” ini menggambarkan keprihatinan terhadap masyarakat yang terlalu sibuk dengan urusan dunia, bergaya hidup hedonisme, materialisme, dan melalaikan urusan akhirat.






Daftar Pustaka

Aminuddin. 2009. Pengantar  Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Abrams, M.H.,  1981.A Glosary of Literary Term.New York: Holt, Rinehart and Wiston.

Budiman, Manneke. 2002 “Indonesia: Perang Tanda,” dalam Indonesia: Tanda yang Retak  Jakarta:Wedatama Widya Sastra.

De de Saussure, F. 1988. Course in General Linguistics.Yogyakarta: Gajah Mada University Press, Hoed, Benny H. 2002.“Strukturalisme, Pragmatik dan Semiotik dalam Kajian Budaya,” dalam Indonesia: Tanda yang Retak .Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Nasutiaon, Ikhwanuddin. 2008. “Sistem dan Kode Semiotika dalam Sastra: Suatu Proses Komunikasi”dalam Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra Universitas Sumatra Utara Vol No 2 Oktober 2008.

Pateda, Mansoer, Semantik Leksikal.Jakarta: Rineka Cipta.

Pradopo, Joko Rahmad. 1999. “Semiotika: Teori, Metode, dan Penerapannya dalam Pemaknaan Sastra” dalam Humaniora No 10 Januari-April 1999.

Ratna, Nyoman Kuta. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Ratna, Nyoman Ketut. 2010. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Poststruktutralime, Perpektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Samampouw, Marleen.M.A. 2010. “Dongeng LaBella Au Bios Dormant: Suatu Kajian Semiotik” dalam BAHTRA, Jurnal Bahasa dan SastraVol II No 5 Juli 2010.

Sobur, Alex. , 2004.Analisis Teks Media. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Teew, A. 1984. Khasanah Sastra Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Van Zoest, Aart.1993.Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang kita Lakukan Dengannya .Jakarta: Yayasan Sumber Agung
   

TEORI PSIKOANALISIS


A.    Pendahuluan
Psikoanalisis  adalah ilmu yang melandaskan  analisisnya  pada  kejiwaan  manusia. Kecenderungan  manusia  selalu  menjadi  fokus  persoalan  dalam berkarya. Oleh  karena  itu  tidak  akan  terlahir  sebuah  karya  sastra tampa  adanya  stimulus  dari  sebuah  kendala   emosional  yang   terjadi pada  diri  pengarang. Konsep  kamian  inilah  yang  menjadikan  teori Psikoanalisis mendapat berbagai pertentangan. Karena dengan demikian akan merendahkan derajat pengarang. Pengarang akan dianggap hina karena diketahui kekurangan-kekurangan kejiwaannya dalamberkarya. Kontradiksi-kontradiksi yang ada dalam teori Psikoanalisis dapat kita lihat pada pertentangan teoritis sampai sekarang ini.
Teori  Psikoanalisis  di anggap  sangat  sulit di buktikan. Para analisis  beranggapan bahwa kamian  yang  melandaskan pada perasaan (jiwa ) seseorang dan membutuhkan waktu  yang  cukup  lama. Nawal EL Saadawi merupakan orang yang secara langsung menolak teori psikoanalisis. Teori psikoanalisis dianggap tidak mempunyai rasionalitas baik dalam kaitannya pada bidang pengobatan maupun sastra.
Pada awalnya teori Psikoanalisis merupakan penemuan dari praktek psikeitri yang dilakukan oleh Freud. Singmund Freud mempelajari kejiwaan pasien - pasiennya dengan metode pengungkapan masa lalu pasiennya.
Dari hasil  analisis ini, Freud menemukan korelasi antara mimpi dengan kondisi kejiwaan ataupun kelainan-kelainan syaraf pada seseorang yang kemudian dikaitkan antara konsdisi kejiwaan yang dimunculkan manusia dengan kreativitas pikiran manusia.
Penentangan terhadap teori psikoanalisis terus saja bergema dari berbagai kalangan. Ironisnya pertentangan yang dilakukan oleh para kritikus itu justru menjadikan teori ini banyak diminati orang. Beberapa kritikus yang menggunakan konsep ini adalah Eric Fromm, Jaques Lacan, George Tarabishi dan J.C. Jung. Mereka yang pada awalnya menolak teori ini, akhirnya banyak mengambil pemikiran dari teori ini. Para kritikus ini banyak dan mengadopsi konsep-konsep yang ada dalam Psikoanalisis.
Ada  beberapa  kemungkinan  teori  psikoanalisis  ini  disangsikan. Pertama  adalah  kamian  yang  berorientasi  pada  kondisi  bawah  sadar manusia sangat sulit untuk dilakukan. Dengan  demikian  teori  ini juga  sangat  sulit  untuk  dibuktikan. Kedua, teori  ini  mengandung aspek-aspek  yang  berkaitan  dengan  harga  diri  seseorang. Sehingga  jika hal itu dilakukan akan mendapatkan penolakan dari orang yang bersangkutan  (sastrawan).Ketiga aplikasi dari Psikoanalisis dianggap tidak bisa memberikan sesuatu yang lebih positif, baik dalam bidang kamian–kamian karya-karya sastra maupun dalam bidang-bidang pengobatan.
        Berangkat dari permasalahan-permasalahan  tersebut di atas, tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan beberapa alasan teoritis mengenai rasionalitas  teori ini sebagai salah satu teori pendekatan sastra. Diharapkan  penemuan ini bisa meyakinkan kita untuk menggunakan berbagai teori - teori Psikoanalis dalam pendekatan-pendekatansastra

B.    Konsep-konsep Satra Dalam Kajian–Kajian Psikoanalisis.
      Setelah melakukan analisis secara mendalam dari seluruh karya Sigmund Freud, kami tidak menemukan konsep yang secara tegas membicarakan sastra. Freud lebih banyak membicarakan gejala-gejala psikologis yang diakibatkan oleh kerusakan syaraf pada seseorang. Gejala inilah yang menurut Freud membuat seseorang melakukan proses kreatif yang tertuang dalam bentuk karya. Meskipun tidak secara tegas membicarakan konsep sastra, teori psikoanalisis banyak mengupas tentang proses kreatif seseorang. Proses inilah yang kemungkinan dianggap oleh sebagian kritkus berkaitan erat dengan proses terbentuknya karya sastra.
Proses kreatif yang dimaksudkan disini adalah semua hasil karya hidup manusia. Ilmu pengetahuan, filsafat, seni, termasuk agama menurut Prof. Freud adalah hasil kreatifitas manusia. Jika demikian karya sastra merupakan bagian dari proses kreatif itu. Emosi pengarang sangat dominan dalam penciptaan karya sastra. Oleh karena itu karya ini tidak akan pernah lepas dari kondisi mental manusia. Kondisi mental akan mendorong seseorang melakukan sesuatu yang disebut dengan proses kreatif. Inilah mengapa kondisi psikologis sering juga mempengaruhi nilai-nilai atau corak sebuah karya sastra. Kondisi psikologis sering menjadi  materi dalam karya sastra.Terlepas dari ada tidaknya konsep sastra dalam teori psikoanalisis berikut ini akan kami sampaikan konsep-konsep dasar psikoanalisis, yang kemungkinan juga ada kaitannya dengan proses penciptaan sastra itu sendiri.
Kamian ini dimulai dari penelaahan karya monumental Freud yang berjudul Introduction to Psichoanalysis dan The Intrepretation of Dream. Kedua buku inilah yang menjadi fondasi dasar terbentuknya psikoanalisis yang sangat terkenal itu.

Dari dua buku ini kami menemukan konsep dasar psikoanalisis, yang berkaitan dengan proses kreatif manusia. Ada beberapa konsep dasar yang bisa kita bicarakan dalam kamian ini. Kosep dasar pertama adalah gejala atau tanda akan adanya ganguan mental manusia dalam berkaya. Konsep dasar itu adalah konsep kesalahan dan konsep mimpi. Dua hal ini merupakan bentuk lain yang diakibatkan oleh ganguan mental manusia. Mimpi dan kesalahan dalam bertindak sering diasosiasikan dengan gambaran mental seseorang.
Untuk mengetahui terjadinya proses kreatif manusia yang dianggap sama dengan proses mimpi dan gejala neurosis. Kiranya perlu disampaikan disini konsep-konsep dasar itu. Berikut ini akan kami sampaikan konsep psikoanalisis sebagai gambaran singkat terbentuknya proses kreatifitas manusia.

C.    Konsep-konsep Psikologi kesalahan.
Prof. Freud menganalisis beberapa keanehan mental yang terefleksi dalam tindakan seseorang. Freud percaya bahwa tindakan seseorang menggambarkan kondisi kejiwaan orang itu sendiri. Keanehan-keanehan yang sering dialami manusia pada umumnya adalah kesalahan bertindak dalam kehidupan sehari-hari (salah ucap, salah tulis, lupa nama orang, dll.)dan juga mimpi.
Konsep pertama Freud berkaitan dengan psikologi kesalahan. Gejala ini menggambarkan kondisi kejiwaan seseorang. Kesalahan-kesalahan kecil yang terjadi pada seseorang merupakan petunjuk yang sangat penting dalam psikoanalisis. Kesalahan ucap, baik karena lupa, maupun karena keseleo lidah bisa dijadikan sebagai intrepretasi adanya gangguan mental.
Dari kesalahan-kesalahan kecil ini kita bisa membaca kondisi psikologis seseorang.Freud mencontohkan bahwa seseorang yang melakukan kesahan ucap memiliki beberapa faktor peyebab. yaitu bila dia lelah atau kurang sehat, bila seseorang terlalu bersemangat atau bila konsentrasinya terganggu (Intro to Psi, 18)
Pernyataan ini menunjukan keyakinan Sigmund Freud akan keterkaitan kondisi fisik dengan gejala-gejala mental manusia yang terefleksi dalam tindakan. Konsep inilah yang kemudian dikaitkan dengan kreatifitas manusia. Proses kreatif seseorang baik dalam bidang ilmu maupun seni juga dianggap mempunyai memiliki kesamaan latar belakang.

D.    Mimpi
 Pengertian akan mimpi memang masih sangat membingungkan bagi sebagian orang. Namun demikian dari analisis yang disampaikan oleh Sigmund Freud kita bisa menemukan dua jenis mimpi yang terjadi pada manusia. Ada perbedaan perngertian mimpi, antara orang sekarang dengan orang-orang jaman primitif. Meskipun masih juga banyak orang mempercayai bahwa mimpi mempunyai aspek supranatural atau mistik, sebagaimana atau sperti biasanya yang diyakini oleh orang-orang primitif.
Pengertian mimpi yang pertama bisa kita pahami menurut Aristoteles, penulis-penulis jaman sebelumnya tidak memandang mimpi sebagai suatu produk jiwa malainkan ilham yang berasal dari dewa (devine orgin). Oleh karena itu manusia jaman purba membedakan mimpi sebagai berikut;
Pertama, mimpi yang nyata dan berharga, diturunkan pada si pemimpi sebagai peringatan atau untuk meramalkan kejadian-kejadian dimasa depan. Kedua, mimpi yang tak berharga, kosong dan menipu, bertujuan untuk menyesatkan atau menuntun si pemimpi pada kehancuran (tafsir Mimpi, 3).
Dari pengertian ini, kita menjadi sadar akan adanya makna yang terkandung dalam mimpi. Meskipun tetap dipahami juga bahwa tidak semua mimpi memiliki makna yang berkaitan dengan kehidupan kita.
Dengan mengacu pada Macrobius dan Artemindorus, Gruppe berpendapat bahwa mimpi bisa dipilah dalam dua golongan. Golongan pertama adalah mimpi yang diyakini hanya dipengaruhi oleh masa kini (atau masa lalu), dan tidak berkorelasi positif dengan masa depan. Termasuk dalam kategori ini adalah Enuknia (insomnia), yang secara langsung mereproduksi rangsangan yang diberikan atau pun sebaliknya, merangsang secara berlebihan, seperti mimpi buruk menentukan atau mempunyai korelasi yang pasti dengan masa depan.
Hal-hal yang termasuk di dalamm mipi  adalah:
1.    peramalan yang langsung diterima dalam mimpi (chrematismos, oraculum);
2.    pemberitahuan tentang kejadian-kejadian di masa depan (orama, visio); dan
3.    mimpi simbolik, yang membutuhkan interpretasi (oneiros, somnium).

Konsep inilah yang sudah berabad-abad menjadi kepercayaan manusia (The Interpretation of Dream,4).
Pengertian mimpi di atas merupakan gambaran mimpi yang dilihat dari prosesnya. Di sisi lain kita juga bisa mengetahui makna mimpi dari muatan yang ada dalam mimpi itu sendiri. Menurut Weygandt, mimpi meneruskan kehidupan alam sadar. Mimpi kita selalu menghubungkan dirinya dengan pikiran-pikiran tertentu yang sesaat sebelumnya muncul dalam kesadaran kita.
Oleh karena itu muatan mimpi selalu ditentukan kurang lebih oleh kepribadian, umur, jenis kelamin, lingkungan, pendidikan dan kebiasaan, serta oleh kejadian-kejadian dan pengalaman-pengalaman dari seluruh kehidupan masa lalu seorang indivudu(Maury,1855).
Dari pengertian-pengertian di atas Freud memegang teguh pendiriannya atas teori mimpi. Meskipun Ia mengakui akan adanya kesulitan di dalam membuktikan gagasan-gagasannya itu. Ia tetap berkeyakinan akan adanya beberapa titik terang bahwa mimpi bisa dipengaruhi oleh kondisi fisik dan pengalaman alam sadarnya. Mimpi hanya reaksi tidak teratur dari fenomena mental yang berasal dari stimulasi fisik. Freud mencontohkan seseorang yang sedang tidur kemudian ia bermimpi sedang minum. Maka sudah bisa dipastikan bahwa pada saat itu ia sedang merasakan kehausan(IntrotoPsychoanalysis,86).
Lebih konkritnya Freud mencontohkan hubungan antara isi mimpi dengan kandung kemih atau kondisi rangasangan seksual ternyata sangat kuat. Orang yang sudah puber juga diawali dengan mimpi basah atau mimpi berhubungan dengan lawan jenis. Hal ini merupakan bukti yang paling mudah dipahami bagi setiap orang.
Disinilah yang memperkuat keterkaitan antara mimpi dengan kondisi riil kehidupan seseorang. Dalam hal ini konsep mimpi terbuka bagi kita lewat tiga jalan. Yaitu lewat pendekatan stimuli pengganggu tidur, lewat lamunan, dan lewat mimpi yang diatur selama hipnotis (Psiko,102).Oleh karena itu, mimpi mempunyai dua karakteristik utama. Yaitu sebagai pemenuhan keinginan dan merupakan pengalaman halusinatif (psiko, 133). Untuk lebih memperjelas proses atau sebab terjadinya mimpi akan kita jelaskan sedikit sebab akibat terjadinya mimpi pada manusia.
E.    Psikologi dan Seni
Pembahasan tentang hubungan antara psikologi dan seni telah memunculkan sebuah disiplin yang disebut psikologi seni (psychology of art). Disiplin ini membahas konsep-konsep psikologi yang bisa diterapkan dalam kesenian, jadi merupakan sebentuk ilmu terapan (applied science) dari psikologi terhadap bidang seni. Tetapi disiplin ini hanya dibahas di fakultas atau jurusan kesenian, bukan jurusan psikologi. Hal ini analog dengan penerapan psikologi dalam bidang-bidang lainnya seperti pendidikan (melahirkan disiplin psikologi pendidikan), bidang industri (melahirkan psikologi industri), bidang dakwah (melahirkan psikologi dakwah), dan sebagainya.
Saat berbicara tentang psikologi dan sastra, Rene Wellek dan Austin Warren menulis bahwa istilah “psikologi sastra” memunyai empat kemungkinan pengertian. Pertama, studi psikologi pengarang sebagai tipe atau pribadi. Kedua, studi proses kreatif. Ketiga, studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra. Keempat, studi tentang dampak sastra pada pembaca (psikologi pembaca).[1] Sastra adalah salah satu bentuk karya seni. Dari empat macam hubungan di atas, hubungan pertama, kedua, dan keempat bisa terjadi pada segala bentuk seni. Yang khas sastra mungkin hanya hubungan ketiga, itu pun sastra yang berupa cerita (prosa dan drama).
Di antara berbagai aliran dalam psikologi, psikoanalisis adalah aliran yang paling akrab dengan seni. Sigmund Freud, pendiri psikoanalisis, adalah seorang yang menghargai kebudayaan, menyukai seni, dan gemar membaca sastra sejak muda. Tidak heran kalau kemudian ia menjadikan sastra sebagai medan penelitian sekaligus ilustrasi untuk membuktikan teori-teori yang dikembangkannya. Dalam karya-karya sastra besar,
misalnya Oedipus(Sophokles), Hamlet (Shakespeare), dan The Brother Karamazov (Dostoyevsky), Freud menemukan tipe-tipe manusia yang menyerupai dan sesuai dengan pemikirannya.

F.    Konsep Umum Psikoanalisis
Psikoanalisis sendiri pada awalnya adalah sebuah metode psikoterapi untuk menyembuhkan penyakit-penyakit mental dan syaraf, dengan menggunakan teknik tafsir mimpi dan asosiasi bebas. Teori ini kemudian meluas menjadi sebuah teori tentang kepribadian. Konsep-konsep yang terdapat dalam teori kepribadian versi psikoanalisis ini termasuk yang paling banyak dipakai di berbagai bidang, hingga saat ini.
Konsep Freud yang paling mendasar adalah teorinya tentang ketidaksadaran. Pada awalnya, Freud membagi taraf kesadaran manusia menjadi tiga lapis, yakni lapisan unconscious (taksadar), lapisanpreconscious (prasadar), dan lapisan conscious (sadar). Di antara tiga lapisan itu, taksadar adalah bagian terbesar yang memengaruhi perilaku manusia. Freud menganalogikannya dengan fenomena gunung es di lautan, di mana bagian paling atas yang tampak di permukaan laut mewakili lapisan sadar. Prasadar adalah bagian yang turun-naik di bawah dan di atas permukaan. Sedangkan bagian terbesar justru yang berada di bawah laut, mewakili taksadar.
Dalam buku-bukunya yang lebih mutakhir, Freud meninggalkan pembagian lapisan kesadaran di atas, dan menggantinya dengan konsep yang lebih teknis. Tetapi basis konsepnya tetap mengenai ketidaksadaran, yaitu bahwa tingkah laku manusia lebih banyak digerakkan oleh aspek-aspek tak sadar dalam dirinya. Pembagian itu dikenal dengan sebutan struktur kepribadian manusia, dan tetap terdiri atas tiga unsur, yaitu id, ego, dansuperego.
Id adalah bagian yang sepenuhnya berada dalam ketidaksadaran manusia. Id berisi cadangan energi, insting, dan libido, dan menjadi penggerak utama tingkah laku manusia. Id menampilkan dorongan-dorongan primitif dan hewani pada manusia, dan bekerja berdasarkan prinsip kesenangan. Ketika kecil, pada manusia yang ada baru id-nya. Oleh karena itu kita melihat bahwa anak kecil selalu ngotot jika menginginkan sesuatu, tidak punya rasa malu, dan selalu mementingkan dirinya sendiri.
Ego berkembang dari id, ketika manusia mulai meninggalkan kekanak-kanakannya, sebagai bentuk respon terhadap realitas. Ego bersifat sadar dan rasional. keinginan-keinginan id tidak selalu dapat dipenuhi, dan ketika itulahego memainkan peranan. Ego bekerja berdasarkan prinsip realitas. Misalnya, ketika id dalam diri kita ingin makan enak di restoran mahal, tetapi  keuangan  kita  tidak mampu, maka ego tidak bisa memenuhi keinginan itu.
Superego muncul akibat persentuhan dengan manusia lain (aspek sosial). Dalam keluarga, superego ditanamkan oleh orang tua dalam bentuk ajaran moral mengenai baik dan buruk, pantas dan tidak pantas, dsb.Superego muncul sebagai kontrol terhadap id, terutama jika keinginan id itu tidak sesuai dengan moralitas masyarakat. Superego selalu menginginkan kesempurnaan karena ia bekerja dengan prinsip idealitas.

G.    Penerapan Psikoanalisis dalam Sastra
Penerapan psikoanalisis dalam bidang seni, juga sastra, sudah dimulai oleh Freud sendiri. Karya-karya Sigmund Freud yang menyinggung bidang seni antara lain:[4]
1.    L’interpretation des Reves (Interpretasi Mimpi), terbit pertama kali tahun 1899. Ini adalah sebuah buku klasik yang menguraikan tafsir mimpi. Buku ini merupakan landasan teoretis paling mendasar mengenai hubungan antara psikoanalisis dan sastra. Tulisan Freud yang sering dipakai sebagai landasan teoretis adalah Trois Essais sur la Theorie de la Sexualite (Tiga Esai tentang Teori Seksualitas), terbit tahun 1962.
2.    Delire et Reves dana la “Gradiva” de Jensen (Delir dan Mimpi dalam “La Gradiva” Karya Jensen. Terbit tahun 1906. Ini adalah karya paling jelas mengenai penerapan teori-teori psikoanalisis dalam karya sastra. Di sini Freud melakukan penelitian pada sebuah cerpen berjudul La Gradiva karya Jensen dan menemukan bahwa kepribadian tokoh-tokoh dan kejadian-kejadian dalam cerpen itu sangat sesuai dengan teori-teorinya sendiri mengenai kepribadian manusia.
3.    La Creation Litteraire et le reve Eveille (Penciptaan Sastra dan Mimpi dengan Mata Terbuka), sebuah esai yang terbit pada tahun 1908. Di sini Freud menemukan kemiripan antara proses penciptaan karya sastra pada sastrawan dengan kesenangan yang diperoleh anak-anak dalam permainan. Menurut Freud, “Penyair bertindak seperti anak-anak yang bermain, dan menciptakan dunia imajiner yang diperlakukannya dengan sangat serius, dalam arti bahwa penyair melengkapinya dengan sejumlah besar pengaruh, seraya tetap membedakannya dengan tegas dari realitas.” (footnote)
4.    Un Souvenir d’enfance de Leonardo de Vinci (Kenangan Masa Kanak-kanak Leonardo da Vinci), terbit pada 1910. Di sini Freud menganalisis kepribadian Leonardo da Vinci dari biografi dan karya-karya seninya, termasuk menguraikan rahasia senyuman Monna Lisa. Dalam buku ini pula Freud memerkenalkan sebuah konsep penting yang berpengaruh dalam teori kebudayaan, yaitu konsep sublimasi.
5.    Das Unheimliche (Keanehan yang Mencemaskan), terbit tahun 1919. Di sini Freud mengangkat sebuah efek atau kesan yang kerap dirasakan pembaca ketika menikmati karya sastra tertentu yang bersifat tragik atau horor, yaitu perasaan cemas, takut, atau ngeri. Meskipun perasaan yang mencemaskan itu muncul, anehnya pembaca tetap menyenangi dan menikmati karya sastra demikian.

Namun penerapan dan perkembangan teori psikoanalisis dalam bidang sastra secara lebih mendalam dilakukan oleh para ahli sastra, misalnya Charles Mauron dan Max Milner. Charles Mauron, kritikus sastra asal Prancis, mengembangkan suatu metode kritik sastra yang disebutnya psikokritik. Max Milner, seorang sarjana Jerman, telah menyusun buku yang mengelaborasi teori-teori Freud yang berkaitan dengan sastra, berjudul Freud et L’interpretation de la litterature (Freud dan Interpretasi Sastra).

H.    Kesejajaran Pola dalam Mimpi dan Karya Sastra
Mengapa psikoanalisis bisa digunakan untuk menganalisis karya seni, khususnya sastra? Psikonalisis lahir dari penelitian tentang mimpi. Ketika menganalisis mimpi-mimpi pasiennya, Freud menemukan bahwa mimpi bekerja melalui mekanisme atau cara kerja tertentu, dan ternyata mekanisme mimpi itu mirip dengan pola yang terdapat dalam karya sastra.
Mekanisme-mekanisme mimpi berikut analoginya dengan seni adalah:[5]
1.    Kondensasi
Kondensasi adalah penggabungan atau penumpukan beberapa pikiran tersembunyi ke dalam satu imaji tunggal, atau peleburan beberapa tokoh atau hal-hal yang bersifat umum ke dalam satu gambar atau kata.
Analoginya dengan sastra, misalnya dalam penciptaan tokoh dalam novel. Ketika seorang pengarang menciptakan tokoh, ia mengkondensasi (menggabungkan) raut muka dan sosok dari beberapa orang yang dikenalnya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga menjadi seorang tokoh yang khayali atau fiksi. Begitu juga ketika pengarang itu menciptakan latar tempat, ia menggabungkan beberapa tempat yang ditemuinya dalam realitas ke dalam novel, sehingga menjadi suatu tempat tersendiri yang bersifat fiktif, dan akan sia-sia jika kita mencarinya dalam kenyataan.

2.    Pemindahan (displacement)
Pemindahan adalah mimpi yang menonjolkan sesuatu yang sama sekali tidak berhubungan dengan isi mimpi yang harus diwujudkan. Mimpi tersebut merupakan rincian yang tidak berarti dan kadang-kadang bahkan merupakan kebalikan pikiran yang tersembunyi, seakan-akan ingin menghindari mimpi itu bisa ditafsirkan. Pemindahan juga berarti menampilkan gambaran mimpi yang kurang berarti dan menyimpang dari isi mimpi yang pokok. Freud mencontohkan: ia bermimpi tentang seorang wanita yang berusaha mendekatinya, dan wanita itu berseru betapa indah kedua matanya. Konon, wanita itu adalah putri seseorang yang memberi utang pada Freud. Setelah menganalisis mimpinya, Freud sadar bahwa komentar atas kedua matanya mengungkapkan situasi yang terbalik, sebab ayah wanita tersebut bukan orang yang menolong “untuk mata anda yang indah” (ungkapan Jerman untuk mengatakan “menolong tanpa pamrih”).Artinya, Freud merasa dikejar-kejar utang pada ayah wanita tersebut.
Dalam puisi dan retorika ada yang disebut metonimi, yaitu proses penggantian suatu ujaran dengan penanda lain dalam satu arti berdampingan. Misalnya, menyebutkan sebagian sebagai ganti keseluruhan (layar untuk menyebut kapal), atau menyebutkan bahan sebagai ganti benda (sutera untuk menyebut pakaian wanita).
3.    Simbolisasi
Simbolisasi adalah mimpi yang muncul dalam bentuk simbol tertentu dalam hubungan analogis. Menurut Freud, setiap objek yang panjang (tongkat, batang pohon, payung, senjata, pisau) mewakili alat kelamin laki-laki. Sedangkan setiap objek yang berbentuk lubang dan lebar (kotak, peti, lemari, penggorengan, gua, perahu) mewakili alat kelamin perempuan.
Simbolisasi dapat disamakan dengan metafora dalam puisi, yaitu mengganti sebuah ujaran dengan penanda lain yang memunyai kemiripan analogi. Misalnya menyebut bunga untuk melambangkan cinta, putih sebagai lambang kesucian, atau penggunaan gaya bahasa lain. Bahasa puisi itu sendiri adalah bahasa yang penuh dengan metafora.
4.    Figurasi
Figurasi adalah transformasi pikiran ke dalam gambar. Misalnya ketika di waktu sadar kita menginginkan suatu benda, gambaran benda itu akan muncul dalam mimpi. Analogi figurasi dalam seni paling jelas tampak dalam seni lukis atau seni rupa yang lain. Tetapi dalam sastra pun banyak terkandung unsur figurasi.

I.    Penutup
Urian diatas memberikan gambaran secara jelas akan keterkaitan antara karya sastra dengan kejiwaan seorang sastrawan. Sastra merupakan cerimanan atau gambaran yang ada pada penulisnya sendiri. oleh karena itu sastra tidak bisa lepas dari latar belakang penulisnya. Sastra akan sangat dipengaruhi oleh pola pikir, kejiwaan dan kedewasaan penciptanya. Meskipun demikian sastra tidak selalu identik dengan penulisnya yang sengsara. Karena ekpresi yang dilakukan penulis bukan semata-mata dari apa yang ada dalam dirinya tetapi juga kondisi lingkungan yang ada di sekitarnya.
Berkenaan dengan hal tersebut sastra bisa merupakan kritik terhadap kondisi sosial. Baik secara global maupun sempit sastra bisa merupakan reflesi sosial. Sastrawan yang tertindas secara politik tentu akan banyak menggambarkan kedholiman perpolitikan yang dialami. Sedangkan seorang sastrawan yang secara sosial berada dalam posisi yang sulit secara ekonomi, tentu akan menggambarkan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kesulitan hidup yang dihadapi. Meskipun semuanya tidak jaminan akan demikian, tetapi stimulan yang dialami oleh pengarang jelas akan sangat berpengaruh pada diri dan karya yang dibuat oleh seorang pengarang.


Daftar Puskata

Daiches, David, 1981, Critical Approaches to Literature, Longman, London and New York.
Freud, Sigmund, 1930, Civilization and Its Discontents, Norton & Company, NewYork.
................, 1989, Leonardo da Vinci and A Memory of His Childhood, London, New York.
..............., 1918, Totem and Taboo, Vintage Books, New York.
..............., 1911, The Interpretation of Dream, Vintage Books, New York.
..............., 1958, A General Introduction to Psychoanalysis, Permabooks, New York.
Chaplin, J.P., Kamus Lengkap Psikologi (Penerjemah: Kartini Kartono), Jakarta: Rajawali Pers, 2004
Hall, Calvin S., dan Gaarder Lindzey, Teori-teori Psikodinamik (Klinis)(Penerjemah: Yustinus), Yogyakarta: Kanisius, 2000
Milner, Max, Freud dan Interpretasi Sastra (Penerjemah: Apsanti Ds), Jakarta: Intermasa (Seri ILDEP), 1992
J.P. Chaplin, 2004. Kamus Lengkap Psikologi, Jakarta: Rajawali Pers, h. 199.
Wellek, Rene dan Austin Warren, 1993. Teori Kesusastraan (Penerjemah: Melani Budianta), Jakarta: Gramedia,
Wellek, Renne, dkk., 1990, Teori Kesusastraan, PT. Gramedia, Jakarta.
Wittkower, Margot, dkk., 1969, Born Under Saturn The Character and Conduct of Artist; Documented history From Antiquity to The French Revolution, WW. Norton & Company, Inc., New York.

TEORI RESEPSI SASTRA


A.    Pendahuluan
Rezeptionaesthetik dapat diterjemahkan sebagai ‘resepsi sastra’ (bandingkan Teeuw, 1983) yang dapat disamakan sebagai literary response (Holland dalam Junus, 1985:1). Ia dapat juga diterjemahkan sebagai ‘penerimaan estetik’ sesuai dengan asthetic of reception. Untuk lebih singkatnya, dalam tulisan ini akan diterjemahkan sebagai resepsi sastra sesuai dengan Franco Meregalli (1980).
Teori resepsi (reception-theory) adalah teori sastra yang mementingkan tanggapan pembaca terhadap karya sastra, yakni tanggapan umum yang mungkin berubah-ubah, yang bersifat penafsiran dan penilaian terhadap karya sastra yang terbit dalam rentang waktu tertentu (Sudjiman, 1984:74). Di sini sudah cukup jelas bahwa teori resepsi ini mementingkan tanggapan pembaca yang muncul setelah pembaca menafsirkan dan menilai sebuah karya sastra.
Resepsi sastra adalah bagaimana “pembaca” memberikan makna terhadap karya sastra yang dibacanya sehingga dapat memberikan reaksi atau tanggapan terhadapnya (Junus, 1985:1). Lanjutnya, tanggapan ada dua macam, yakni tanggapan yang bersifat pasif dan tanggapan yang bersifat aktif. Pasif maksudnya adalah bagaiaman seorang pembaca dapat memahami karya itu, atau dapat melihat hakikat estetika yang ada di dalamnya. Tanggapan yang bersifat aktif, yaitu bagaimana pembaca “merealisasikan”-nya.
Munculnya penelitian resepsi sastra ini mengakibatkan terjadinya suatu perubahan (besar) dalam penelitian sastra, khususnya dalam ilmu sastra modern. Selama ini, penelitian sastra hanya ditekankan pada teks, dan dalam rangka memahami arti teks tersebut, seorang peneliti mungkin saja pergi kepada penulis (teks). Arti sebuah teks (karya sastra) dapat dilihat dengan hanya mempelajari teks itu sendiri. Pandangan lain menyebutkan bahwa arti suatu teks hanya dapat ditemui dengan menghubungkan teks itu dengan penulisnya.
Bertolak dari kedua pandangan tersebut, resepsi sastra mengambil sikap lain, dan inilah yang menyebabkan perubahan dalam penelitian sastra. Resepsi sastra memandang bahwa hakikat karya sastra itu bermakna polisemi, ambiguous. Penelitian ini akan mengungkap: (1) apa yang dilakukan pembaca dengan karya sastra, (2) apakah yang dilakukan karya sastra dengan pembacanya, dan (3) apa batas tugas pembaca sebagai pemberi makna. Ketiga masalah ini menandakan bahwa pembaca merupakan faktor hakiki yang menentukan makna karya sastra, dan bukan dari teks karya sastra maupun penulisnya.

B.    Pembahasan
Dalam pembahasan akan diuraikan tentang sejarah perkembangan teori resepsi sastra, penemu beserta pengembangnya, dan juga bagaimana konsep dari pengembang-pengembang tersebut. Terakhir akan diberi contoh analisis penelitian sastra dengan menggunakan teori resepsi.
1.    Sejarah Perkembangan Teori Resepsi Sastra
Sejarah teori sastra dimulai dari antologi mengenai teori respsi sastra oleh Rainer Warning (1975) yang memasukkan karangan sarjana-sarjana dari Jerman. Sarjana pertama yang karangannya dimuat oleh Warning adalah penelitian Leo Lowenthal sebelum Perang Dunia Kedua yang mempelajari penerimaan terhadap karya-karya Dostoyevski di Jerman. Tujuan penelitiannya adalah untuk mengetahui pandangan umum di Jerman ketika itu, dan bisa dikatakan bahwa ini juga merupakan pandangan dunia. Walaupun penelitian Lowenthal termasuk dalam penelitian sosiologi sastra, tetapi ia telah bertolak dari dasar yang kelak menjadi dasar teori resepsi sastra. Berdasarkan hasil penelitian Lowenthal ini, Warning (dalam Junus, 1985:29) memberikan konsep bahwa dalam teori resepsi sastra terhimpun sumbangan pembaca yang menentukan arah penelitian ilmu sastra yang mencari makna, modalitas, dan hasil pertemuan anatara karya dan khalayak melalui berbagai aspek dan cara.
Selanjutnya, Warning memasukkan karangan dua sarjana dari Jerman, yakni Ingarden dan Vodicka. Ingarden berbicara tentang kongkretisasi dan rekonstruksi. Berangkat dari hakikat suatu karya yang penuh dengan ketidakpastian estetika, hal ini bisa dipastikan melalui kongkretisasi, sedangkan ketidakpastian pandangan dapat dipastikan melalui rekonstruksi, kedua hal ini dilakukan oleh pembaca. Vodicka juga berangkat dari karya. Karya dilihat sebagai pusat kekuatan sejarah sastra. Pembaca bukan hanya terpaut oleh kehadiran karya sastra, tetapi juga oleh penerimaannya. Dalam menganalisis penerimaan suatu karya sastra, kita harus merekonstruksi kaidah sastra dan anggapan tentang sastra pada masa tertentu. Selanjutnya melakukan studi tentang kongkretisasi karya sastra, dan terakhir mengadakan studi tentang keluasan/kesan dari suatu karya ke dalam lapangan sastra/bukan sastra.
Michael Riffaterre (1959) dengan jelas mendasarkan analisis stilistika-nya kepada dunia pembacanya/penerimanya. Ia mengidentifikasi pembaca sebagai informan yang boleh “dipancing” untuk memberikan tanggapan, dan inilah yang disebut dengan Average Reader. Dengan ini, Riffaterre memang mempunyai pikiran yang sama dengan yang berkembang pada resepsi sastra, meskipun tidak meluas.
Demikianlah sejarah awal munculnya teori resepsi sastra, yang selanjutnya akan dirumuskan dan dikembangkan oleh Jausz dan Iser, serta dianggap sebagai teori resepsi sastra yang dianut saat ini. Hal ini akan dibicarakan pada bagian berikutnya.

2.    Konsep Teori Resepsi Sastra
Perkembangan resepsi sastra lebih bersemangat setelah munculnya pikiran-pikiran Jausz dan Iser yang dapat dianggap memberikan dasar teoretis dan epistemologis. Tumpuan perhatian dari teori sastra akan diberikan kepada teori yang mereka kembangkan.
Jausz memiliki pendekatan yang berbeda dengan Iser tentang resepsi sastra, walaupun keduanya sama-sama menumpukan perhatian kepada keaktifan pembaca dalam menggunakan imajinasi mereka. Jausz melihat a) bagaimana pembaca memahami suatu karya seperti yang terlihat dalam pernyataan/penilaian mereka dan b) peran karya tidak penting lagi. Yang terpenting di sini yaitu aktibitas pembaca itu sendiri. Sedangkan Iser a) lebih terbatas pada adanya pembacaan yang berkesan tanpa pembaca perlu mengatakanannya secara aktif dan b) karya memiliki peranan yang cukup besar. Bahkan kesan yang ada pada pembaca ditentukan oleh karya itu sendiri (Junus, 1985:49).

3.    Penerapan Teori Resepsi Sastra
Berikut ini akan disajikan sebuah contoh resepsi sastra tentang sajak-sajak Chairil Anwar oleh Rachmad Djoko Pradopo dalam bukunya yang berjudul Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya.
Sajak-sajak Chairil Anwar mulai terbit sampai sekarang mendapat resepsi positif maupun negatif yang disebabkan oleh horizon harapan pembaca. Dikemukakan Jassin dalam esainya yang berjudul Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 tahun 1962, bahwa Chairil muncul tahun 1943 membawa seberkas sajak untuk dimuat dalam Panji Pustaka, namun ditolak. Penolakan tersebut karena individualitas Chairil yang tercermin dalam sajak-sajaknya. Walaupun begitu, keindividualitas tersebut merupakan ciri khasnya dengan sastrawan lain. Hal tersebut tercontoh dalam
Kalau kau mau, kuterima kau kembali
Untukku sendiri tapi
sedang dengan cermin aku enggan berbagi.

Selain itu, sajak Chairil juga berjiwa revolusioner, seperti dalam sajak “Cerita duat Dien Tamaela”.
Jangan bikin beta marah
Beta bikin pala mati, gadis kaku
Beta kirim datu-datu!

Begitulan beberapa resepsi H.B.Jassin terhadap sajak-sajak Chairil Anwar yang terdapat kebaruan, ekspresivitas, dan pandangan dunia di dalamnya. Oleh karena itu, disimpulkan bahwa H.B.Jassin memberi tanggapan secara positif kepada sajak-sajak Chairil Anwar. Ia memergunakan kriteria estetik dalam penilaiannya (dalam Junus, 2003:223—224).
    Berbeda halnya dengan direktur Panji Pustaka. Ia beranggapan negatif terhadap sajak-sajak Chairil Anwar. Ia menilai sajak-sajak Chairil bersifat individualis, kebarat-baratan, tidak sesuai adat ketimuran, dan tidak menggunakan kiasan-kiasan seperti kebiasaan sastra Indonesia lama.
    Jauh dari zaman itu, pada masa Pra-G30S, timbul penilaian baru terhadap Chairil Anwar dan sajak-sajaknya. Penilaian tersebut berasal dari Sitor Situmorang, tokoh LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional) dalam artikelnya yang berjudul Chairil Anwar dalam Alam Manipol. Dalam artikelnya tersebut, Situmorang menolak sajak-sajak Chairil karena tidak sesuai perkembangan Manipol. Isi dan bentuk yang dibawakan Chairil Anwar telah memenuhi syarat artistik, bahkan dapat dianggap tinggi. Namun isinya bertentangan dengan revolusi. Dikemukakan bahwa dalam dewasa itu, dalam menghargai Chairil harus disertai pembatasan dalam ruang dan waktu, dalam falsafah sastra maupun sejarah sastra. Ia juga menuliskan bahwa Chairil tidak turut berevolusi, karena memilih tetap tinggal di Jakarta di waktu pendudukan Belanda, sedangkan seniman-seniman lain pergi ke Yogya turut berjuang. Selain itu, dewasa ini Chairil terbatas sebagai “bahan” sejarah di bidang “teori”, itu pun sektor kolonial sejarah Indonesia. Berdasarkan artikel tersebut, Situmorang menganggap Chairil Anwar sebagai individualis tak bertanah air dan kosmopolitan versi Indonesia (dalam Junus, 2003:229).
    Satu lagi resepsi Sutan Takdir Alisjahbana tahun 1977 yang merupakan wakil dari resepsi Pujangga Baru. Ia menanggapi saja-sajak Chairil Anwar secara ekstentik maupun ekstra estentik. Dalam esainya yang berjudul Penilaian Chairil Anwar Kembali, STA menilai Chairil memebawa suasana, gaya, ritme, tempo, nafas, kepekatan, dan kelincahan yang beru terhadap sastra Indonesia (dalam Junus, 2003:230).
Sesuai penilaian di atas, dapat disimpulkan bahwa sajak-sajak Chairil Anwar sepanjang sejarahnya selalu mendapat tanggapan dan resensi. Ada peresepsi yang menghargai positif, ada juga yang negatif. Akan tetapi, pada umumnya para peresepsi menilai sajak-sajak Chairil Anwar bernilai, walaupun didasarkan horizon harapan masing-masing peresepsi.  


Daftar Pustaka
Bisri, A. Mustofa. 2008. Gandrung Cinta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Satra, Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta. Pustaka Widyatama.
Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra: Sebuah pengantar. Gramedia:Jakarta.
Pradopo, Rachmad Djoko. 2003. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.