A. Pendahuluan
Rezeptionaesthetik dapat diterjemahkan sebagai ‘resepsi sastra’ (bandingkan Teeuw, 1983) yang dapat disamakan sebagai literary response (Holland dalam Junus, 1985:1). Ia dapat juga diterjemahkan sebagai ‘penerimaan estetik’ sesuai dengan asthetic of reception. Untuk lebih singkatnya, dalam tulisan ini akan diterjemahkan sebagai resepsi sastra sesuai dengan Franco Meregalli (1980).
Teori resepsi (reception-theory) adalah teori sastra yang mementingkan tanggapan pembaca terhadap karya sastra, yakni tanggapan umum yang mungkin berubah-ubah, yang bersifat penafsiran dan penilaian terhadap karya sastra yang terbit dalam rentang waktu tertentu (Sudjiman, 1984:74). Di sini sudah cukup jelas bahwa teori resepsi ini mementingkan tanggapan pembaca yang muncul setelah pembaca menafsirkan dan menilai sebuah karya sastra.
Resepsi sastra adalah bagaimana “pembaca” memberikan makna terhadap karya sastra yang dibacanya sehingga dapat memberikan reaksi atau tanggapan terhadapnya (Junus, 1985:1). Lanjutnya, tanggapan ada dua macam, yakni tanggapan yang bersifat pasif dan tanggapan yang bersifat aktif. Pasif maksudnya adalah bagaiaman seorang pembaca dapat memahami karya itu, atau dapat melihat hakikat estetika yang ada di dalamnya. Tanggapan yang bersifat aktif, yaitu bagaimana pembaca “merealisasikan”-nya.
Munculnya penelitian resepsi sastra ini mengakibatkan terjadinya suatu perubahan (besar) dalam penelitian sastra, khususnya dalam ilmu sastra modern. Selama ini, penelitian sastra hanya ditekankan pada teks, dan dalam rangka memahami arti teks tersebut, seorang peneliti mungkin saja pergi kepada penulis (teks). Arti sebuah teks (karya sastra) dapat dilihat dengan hanya mempelajari teks itu sendiri. Pandangan lain menyebutkan bahwa arti suatu teks hanya dapat ditemui dengan menghubungkan teks itu dengan penulisnya.
Bertolak dari kedua pandangan tersebut, resepsi sastra mengambil sikap lain, dan inilah yang menyebabkan perubahan dalam penelitian sastra. Resepsi sastra memandang bahwa hakikat karya sastra itu bermakna polisemi, ambiguous. Penelitian ini akan mengungkap: (1) apa yang dilakukan pembaca dengan karya sastra, (2) apakah yang dilakukan karya sastra dengan pembacanya, dan (3) apa batas tugas pembaca sebagai pemberi makna. Ketiga masalah ini menandakan bahwa pembaca merupakan faktor hakiki yang menentukan makna karya sastra, dan bukan dari teks karya sastra maupun penulisnya.
B. Pembahasan
Dalam pembahasan akan diuraikan tentang sejarah perkembangan teori resepsi sastra, penemu beserta pengembangnya, dan juga bagaimana konsep dari pengembang-pengembang tersebut. Terakhir akan diberi contoh analisis penelitian sastra dengan menggunakan teori resepsi.
1. Sejarah Perkembangan Teori Resepsi Sastra
Sejarah teori sastra dimulai dari antologi mengenai teori respsi sastra oleh Rainer Warning (1975) yang memasukkan karangan sarjana-sarjana dari Jerman. Sarjana pertama yang karangannya dimuat oleh Warning adalah penelitian Leo Lowenthal sebelum Perang Dunia Kedua yang mempelajari penerimaan terhadap karya-karya Dostoyevski di Jerman. Tujuan penelitiannya adalah untuk mengetahui pandangan umum di Jerman ketika itu, dan bisa dikatakan bahwa ini juga merupakan pandangan dunia. Walaupun penelitian Lowenthal termasuk dalam penelitian sosiologi sastra, tetapi ia telah bertolak dari dasar yang kelak menjadi dasar teori resepsi sastra. Berdasarkan hasil penelitian Lowenthal ini, Warning (dalam Junus, 1985:29) memberikan konsep bahwa dalam teori resepsi sastra terhimpun sumbangan pembaca yang menentukan arah penelitian ilmu sastra yang mencari makna, modalitas, dan hasil pertemuan anatara karya dan khalayak melalui berbagai aspek dan cara.
Selanjutnya, Warning memasukkan karangan dua sarjana dari Jerman, yakni Ingarden dan Vodicka. Ingarden berbicara tentang kongkretisasi dan rekonstruksi. Berangkat dari hakikat suatu karya yang penuh dengan ketidakpastian estetika, hal ini bisa dipastikan melalui kongkretisasi, sedangkan ketidakpastian pandangan dapat dipastikan melalui rekonstruksi, kedua hal ini dilakukan oleh pembaca. Vodicka juga berangkat dari karya. Karya dilihat sebagai pusat kekuatan sejarah sastra. Pembaca bukan hanya terpaut oleh kehadiran karya sastra, tetapi juga oleh penerimaannya. Dalam menganalisis penerimaan suatu karya sastra, kita harus merekonstruksi kaidah sastra dan anggapan tentang sastra pada masa tertentu. Selanjutnya melakukan studi tentang kongkretisasi karya sastra, dan terakhir mengadakan studi tentang keluasan/kesan dari suatu karya ke dalam lapangan sastra/bukan sastra.
Michael Riffaterre (1959) dengan jelas mendasarkan analisis stilistika-nya kepada dunia pembacanya/penerimanya. Ia mengidentifikasi pembaca sebagai informan yang boleh “dipancing” untuk memberikan tanggapan, dan inilah yang disebut dengan Average Reader. Dengan ini, Riffaterre memang mempunyai pikiran yang sama dengan yang berkembang pada resepsi sastra, meskipun tidak meluas.
Demikianlah sejarah awal munculnya teori resepsi sastra, yang selanjutnya akan dirumuskan dan dikembangkan oleh Jausz dan Iser, serta dianggap sebagai teori resepsi sastra yang dianut saat ini. Hal ini akan dibicarakan pada bagian berikutnya.
2. Konsep Teori Resepsi Sastra
Perkembangan resepsi sastra lebih bersemangat setelah munculnya pikiran-pikiran Jausz dan Iser yang dapat dianggap memberikan dasar teoretis dan epistemologis. Tumpuan perhatian dari teori sastra akan diberikan kepada teori yang mereka kembangkan.
Jausz memiliki pendekatan yang berbeda dengan Iser tentang resepsi sastra, walaupun keduanya sama-sama menumpukan perhatian kepada keaktifan pembaca dalam menggunakan imajinasi mereka. Jausz melihat a) bagaimana pembaca memahami suatu karya seperti yang terlihat dalam pernyataan/penilaian mereka dan b) peran karya tidak penting lagi. Yang terpenting di sini yaitu aktibitas pembaca itu sendiri. Sedangkan Iser a) lebih terbatas pada adanya pembacaan yang berkesan tanpa pembaca perlu mengatakanannya secara aktif dan b) karya memiliki peranan yang cukup besar. Bahkan kesan yang ada pada pembaca ditentukan oleh karya itu sendiri (Junus, 1985:49).
3. Penerapan Teori Resepsi Sastra
Berikut ini akan disajikan sebuah contoh resepsi sastra tentang sajak-sajak Chairil Anwar oleh Rachmad Djoko Pradopo dalam bukunya yang berjudul Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya.
Sajak-sajak Chairil Anwar mulai terbit sampai sekarang mendapat resepsi positif maupun negatif yang disebabkan oleh horizon harapan pembaca. Dikemukakan Jassin dalam esainya yang berjudul Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 tahun 1962, bahwa Chairil muncul tahun 1943 membawa seberkas sajak untuk dimuat dalam Panji Pustaka, namun ditolak. Penolakan tersebut karena individualitas Chairil yang tercermin dalam sajak-sajaknya. Walaupun begitu, keindividualitas tersebut merupakan ciri khasnya dengan sastrawan lain. Hal tersebut tercontoh dalam
Kalau kau mau, kuterima kau kembali
Untukku sendiri tapi
sedang dengan cermin aku enggan berbagi.
Selain itu, sajak Chairil juga berjiwa revolusioner, seperti dalam sajak “Cerita duat Dien Tamaela”.
Jangan bikin beta marah
Beta bikin pala mati, gadis kaku
Beta kirim datu-datu!
Begitulan beberapa resepsi H.B.Jassin terhadap sajak-sajak Chairil Anwar yang terdapat kebaruan, ekspresivitas, dan pandangan dunia di dalamnya. Oleh karena itu, disimpulkan bahwa H.B.Jassin memberi tanggapan secara positif kepada sajak-sajak Chairil Anwar. Ia memergunakan kriteria estetik dalam penilaiannya (dalam Junus, 2003:223—224).
Berbeda halnya dengan direktur Panji Pustaka. Ia beranggapan negatif terhadap sajak-sajak Chairil Anwar. Ia menilai sajak-sajak Chairil bersifat individualis, kebarat-baratan, tidak sesuai adat ketimuran, dan tidak menggunakan kiasan-kiasan seperti kebiasaan sastra Indonesia lama.
Jauh dari zaman itu, pada masa Pra-G30S, timbul penilaian baru terhadap Chairil Anwar dan sajak-sajaknya. Penilaian tersebut berasal dari Sitor Situmorang, tokoh LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional) dalam artikelnya yang berjudul Chairil Anwar dalam Alam Manipol. Dalam artikelnya tersebut, Situmorang menolak sajak-sajak Chairil karena tidak sesuai perkembangan Manipol. Isi dan bentuk yang dibawakan Chairil Anwar telah memenuhi syarat artistik, bahkan dapat dianggap tinggi. Namun isinya bertentangan dengan revolusi. Dikemukakan bahwa dalam dewasa itu, dalam menghargai Chairil harus disertai pembatasan dalam ruang dan waktu, dalam falsafah sastra maupun sejarah sastra. Ia juga menuliskan bahwa Chairil tidak turut berevolusi, karena memilih tetap tinggal di Jakarta di waktu pendudukan Belanda, sedangkan seniman-seniman lain pergi ke Yogya turut berjuang. Selain itu, dewasa ini Chairil terbatas sebagai “bahan” sejarah di bidang “teori”, itu pun sektor kolonial sejarah Indonesia. Berdasarkan artikel tersebut, Situmorang menganggap Chairil Anwar sebagai individualis tak bertanah air dan kosmopolitan versi Indonesia (dalam Junus, 2003:229).
Satu lagi resepsi Sutan Takdir Alisjahbana tahun 1977 yang merupakan wakil dari resepsi Pujangga Baru. Ia menanggapi saja-sajak Chairil Anwar secara ekstentik maupun ekstra estentik. Dalam esainya yang berjudul Penilaian Chairil Anwar Kembali, STA menilai Chairil memebawa suasana, gaya, ritme, tempo, nafas, kepekatan, dan kelincahan yang beru terhadap sastra Indonesia (dalam Junus, 2003:230).
Sesuai penilaian di atas, dapat disimpulkan bahwa sajak-sajak Chairil Anwar sepanjang sejarahnya selalu mendapat tanggapan dan resensi. Ada peresepsi yang menghargai positif, ada juga yang negatif. Akan tetapi, pada umumnya para peresepsi menilai sajak-sajak Chairil Anwar bernilai, walaupun didasarkan horizon harapan masing-masing peresepsi.
Daftar Pustaka
Bisri, A. Mustofa. 2008. Gandrung Cinta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Satra, Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta. Pustaka Widyatama.
Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra: Sebuah pengantar. Gramedia:Jakarta.
Pradopo, Rachmad Djoko. 2003. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar