Minggu, 25 Maret 2012

KONTRIBUSI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA MENUJU PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA INDONESIA

FILSAFAT DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN

Dosen Pembimbing:
Dr. Budinuryanta Yohanes




Oleh:

Agus Paramuriyanto
Nim: 117835008



PROGRAM PASCASARJANA (S2)
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS NEGERI  SURABAYA
2011/ 2012



ABSTRAK
Kata Kunci: Kemampuan Berbahasa Menuju Karakter Bangsa.

karakter bangsa Indonesia, seperti apa sebenarnya karakter bangsa Indonesia ini, apakah Bineka Tunggal Ika, apa berkarakter seperti Pancasila, atau UUD ’45? Saya rasa ketiganya benar, karena yang sedang terjadi dan dialami oleh bangsa Indonesia memang seperti itu. Namun apakah itu benar dalam penerapannya? Dan bagimana kita membentuk karakter bangsa tersebut dengan baik dengan jalur pendidikan. Salah satu usaha pemerintah dalam dunia pendidikan untuk membentuk karakter bangsa adalah pendidikan moral Pancasila. Bagaimana jika pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia itu membentuk karakter bangsa Indonesia, akan ada banyak pertanyaan yang melingkari pertanyaan tersebut seperti bagaimana caranya, bagaimana hubungannya, dan bagaimana menanamkannya? Semua pertanyaan tersebut akan terjawab dengan pembahasan makalah ini.  Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang mengacu dan yang menuju pada pembentukan karakter bangsa Indonesia itu dapat dilakukan dengan berbagai jalur yang dimiliki oleh pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, antara lain dengan memaksimalkan kemampuan berbahasa dalam membentuk karakter bangsa. Dan bagaimana caranya? Itulah pertanyaan yang ada di benak kita. Dengan tujuan pembahasan makalah ini untuk menunjukkan ditribusi kemampuan berbahasa dalam membentuk  karakter bangsa Indonesia. Kita sudah lama terbius dan tak sadar bahwa kenapa muncul ungkapan-ungkapan di atas yang kemudian dijadikan gambaran karakter, bukankah itu adalah kumpulan dari beberapa kata namun makna dan maksud serta tujuan dari ungkapan-ungkapan tersebut sangat berkarakter dan mulia. Ungkapan yang dijadikan gambaran karakter bangsa Indonesia adalah sebuah gabungan dari beberapa kata yang merupakan hasil pemikiran yang meradikal, berkompeten, dan berkomitmen dari tokoh-tokoh yang sangat berpengaruh dimasanya.  Ungkapan, tanpa sadar kita sudah menggunakan salah satu kemampuan berbahasa kita, mulai dari pemilihan kata penyusunannya, sehingga menjadi sebuah kata ungkatan yang luar biasa maknanya. Dan bagaimana dengan hubungannya dengan kemampuan menulis. Jelas ada, seandainya ungkapan tersebut tidak di tulis maka ungkapan tersebut akan hilang untuk selamanya. Kemampuan berbahasa inilah nantinya yang akan berperan penting dalam membentuk karakter bangsa. Dalam hal kesopanan dalam berbahasa, keindahan dalam bentuk penyajian tulisan, dalam pemilihan kata-kata untuk sebuah selogan ataupun sebuah pemikiran untuk berdiskusi. Sebagai bentuk pencerminan karakter bangsa.

PENGANTAR

Manusia yang sebagai subjek pendidikan adalah makhluk yang berakal yang memiliki pemikiran dan  bisa merasa, yang dapat memberikan pemikiran-pemikiran dan perasaan untuk memecahkan semua hal yang tidak mungkin menjadi mungkin, dan itu memerlukan tahapan-tahapan dan pengalaman agar bisa jadi manusia siap pakai. Sedangkan manusia siap pakai itu adalah manusia yang menemukan segala ilmu pengetahuan, yang terlahir dari hasil pemikiran-pemikiran manusia itu sendiri yang dikaitkan dengan kebiasan dan pengalaman mereka. Karena alasan-alasan itulah timbul pemikiran kenapa manusia tidak mempelajari manusia itu sendiri, sedangkan manusia adalah pencipta ilmu pengetahuan, dan karena alasan ingin mempelajari manusia inilah yang menjadikan sebab kemunculan sebuah pemikiran bahwa manusia sebagai subjek pendidikan.
Di dalam dunia pendidikan, Manusia sebagai subjek pendidikan menitikberatkannya dalam ruang lingkup pendidikan yaitu mempelajari tentang manusia, mengenai segala sesuatu yang dimiliki manusia, baik itu struktur, pemikiran, perilaku, hingga kejiwaan manusia pun bisa dikaji dan manusia memang menyediakan itu semua untuk dipelajari oleh manusia lainnya. Dalam proses kehidupan tanpa sadar kita sudah menjadikan manusia sebagai subjek pendidikan misalnya dalam usaha untuk hidup berdampingan manusia yang satu dengan yang lainnya. Dalam proses tersebut, manusia dengan manusia satunya saling mempelajari dan memahami bagaimana karakternya, sifatnya, perasaannya, dan bagaimana cara berpikirnya, ini semua membutuhkan pembelajan. Untuk  mengetahui itu manusia tanpa sadar sudah menjadikan manusia sebagai subjek pendidikan.
Dari tinjaukan pengertian manusia dalam konteks pendidikan sebagai pemanusiawian. Manusia untuk mendapat pengakuan sebagai seorang manusia memang tidak membutuhkan apa yang namanya pendidikan, namun jika manusia itu tidak berpendidikan, yang dalam konkeks ini. Pendidikan adalah sesuatu yang membedakan antara manusia berpendidikan dengan manusia tak berpendidikan, sedangkan yang membedakan manusia dengan binatang adalah perbedaan kemampuan berpikir, yaitu pendidikan. Hanya manusia yang memiliki kemampuan mendidik dan di didik.
Dalam konteks pedidikan sebagai pemanusiawian, pendidikan yang merupakan sebuah hasil kebudayaan yang dihasilkan oleh manusia. Pendidikan dalam konteks ini memiliki maksud keinginan untuk disamakan dengan manusia lainnya baik itu dalam konteks kemampuan berbahasa, kemapuan mengendalikan emosi, baik lahir , ataupun batiniah. Dengan berasaskan keinginan untuk persamaan itulah manusia menciptaka sebuah kebudayaan untuk membuat atau menciptakan manusia yang seutuhnya, manusia yang siap, manusia yang mampu menjadi khalifah dibumi.
Jadi bisa dikatakan bahwa pendidikan adalah salah satu cara untuk memanusiakan manusia lainnya. Yang merupakan hasil dari kebudayaan manusia itu sendiri yang didasari oleh rasa ingin dihargai atau disamakan dengan manusia lainnya. Namun dewasa ini Pendidikan tentang nilai-nilai sering disepelekan, dan karena itulah moral manusianya semakin menurun. Dimulai dari pendidikan nilai etis dan estetis  yang merupakan sebuah proses pengajaran tentang nilai-nilai etis dan estetis, pendidikan nilai etis merupakan  proses pengajaran tentang nilai yang sudah menjadi kesepakatan umum dan biasa dikatakan nilai etika atau nilai moral (KBBI:237).
Pengembangan nilai etika, salah satunya adalah adat-istiadat. Adat-istiadat merupakan sebuah nilai etika yang sudah disepakati oaleh pemilik adat-istiadat tersebut. Dan agar adat-istiadat ini tetap dihormati dan dihargai serta dijaga kewibawaannya maka perlu adanya penanaman kepada generasi penerus pemilik adat-istiadat tersebut.
Mengenai penanaman etika memerlukan proses pendidikan baik di lingkungan keluarga, masyarakat ataupun di kegiatan formal (sekolah). Dalam hal penanaman berarti kita selaku pelaku pendidikan harus menanamkan nilai-nilai etika yang ada di keluarga, masyarakat, dan sekolah, agar si terdidik mengerti dan paham bagaimana menerapkan dan menjaga nilai- nilai etika tersebut.
Kembali pada pendidikan etika yang merupakan sebuah perbuatan yang sudah membudaya karena tidak ada budaya yang jelek, suatu misal dengan adanya adat-istiadat, yang merupakan hasil kesepakatan semua orang, maka pengetahuan tentang adat ini harus diajarkan agar si terdidik mengerti dan mampu memberikan penilaian terhadap suatu perbuatan. Dan dapat menilai apakah itu perbuatan yang baik atau pun tidak baik. Dan dengan adanya pendidikan atau penanaman nilai etis dan estetis ini seseorang mampu terhindar dari perbuatan yang melenceng dari nilai etis da nilai estetis tersebut dan bahkan seseorang tersebut dapat mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran terhadap nilai-nilai tersebut.
Ataupun adanya pendidikan dan hasil dari pendidikan inilah kelak yang akan menjadi gambaran karakter bangsa, seberapa bagus penanaman nilai-nilai kebudayaan dan seberapa mereka memahami dan menerapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terutama untuk menggambarkan karakter bangsa. Dan karakter bangsa merupakan salah satu dari gambaran kebudayaan bangsa itu sendiri.

A.    Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Sebagai Program Studi
Program Studi adalah satuan pelaksana pemelajaran yang menyelenggarakan pendidikan Akademik dalam satu jurusan. Sesuai dengan kebutuhan, program studi dapat diselenggarakan atau ditutup sewaktu-waktu. Sesuai kebijakan institusi atau lembaga penyelenggara.
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Indonesia menyiapkan:
1.    guru bahasa dan sastra Indonesia menjadi tenaga ahli dibidang penelitian kependidikan bahasa dan sastra Indonesia
2.    guru bahasa dan sastra Indonesia yang mempunyai kewenangan tambahan sebagai pemersatu berbagai jenis kebudayaan (Bineka Tunggal Ika)
3.    guru bahasa dan sastra Indonesia sebagai pendidik karakter bangsa, karena guru yang mendidik dan mengajarkan berperilaku baik (UUD’45).
4.    Guru bahasa dan sastra sebagai pendidik agar manusia menjadi manusia yang berperikemanusiaan (Pancasila sila 2)

B.    Bahasa Indonesia di Indonesia
Kini  dalam  perkembangan kehidupan  masyarakat  Indonesia telah  terjadi  berbagai perubahan,   terutama   yang   berkaitan   dengan   tatanan   baru   kehidupan   dunia   dan perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi, khususnya teknologi informasi yang semakin sarat dengan tuntutan dan tantangan globalisasi. Kondisi itu telah menempatkan bahasa asing pada posisi strategis yang memungkinkan bahasa itu memasuki berbagai sendi kehidupan bangsa dan memengaruhi perkembangan bahasa Indonesia. Keadaan itu telah membawa perubahan gaya hidup masyarakat dan perilaku dalam bertindak dan berbahasa.
Jiwa kebersamaan telah tergeserkan oleh individualisme; interaksi sosial di tempat umum telah kehilangan ruang. Misalnya, pusat belanja yang disebut pasar dahulu menjadi ruang interaksi sosial warga masyarakat. Kini ruang itu telah berganti pasar modern (swalayan) yang kurang memberi peluang terjadinya interaksi sosial, bahkan antara pembeli dan penjual/pemilik barang dagangan pun tidak terjadi interaksi sosial. Gejala tersebut merupakan indikasi bahwa ruang gerak penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan mengalami pergeseran. Sebaliknya, penggunaan bahasa asing makin memperoleh tempat dalam tatanan kehidupan masa kini. Pembangunan pusat belanja, permukiman/apartemen, dan industri modern, serta ruang promosi telah memberi peluang penggunaan bahasa asing, setidaknya dalam pemberian nama permukiman/apartemen, pusat belanja, merek dagang,  dan iklan.
Demikian juga perkembangan teknologi informasi dan komukasi  turut  memperbesar  peluang  penggunaan  bahasa  asing.  Bahkan,  penggunaan bahasa  itu  telah  merambah ke  pertemuan-pertemuan resmi  (terutama  kalangan  muda), media elektronik (televisi), dan media luar ruang.
Dalam dunia pendidikan, penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional  makin memprihatinkan, bahasa ”gaul” telah merambah ke ranah sekolah, bahkan sejumlah sekolah, sekolah bertaraf internasional (SBI) dan rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) telah menempatkan bahasa asing sebagai bahasa pengantar pendidikan. Bukankah hal  itu  bertentangan dengan Pasal 33 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa bahasa pengantar pendidikan nasional ialah bahasa Indonesia, dan Pasal 29 Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan; bahwa bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa pengantar pendidikan, bahkan bertentangan dengan  Pasal 36c Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945) bahwa bahasa resmi  negara ialah  bahasa  Indonesia.
Penggunaan bahasa asing sebagai bahasa pengantar pendidikan itu banyak meresahkan masyarakat karena penempatan status sekolah sebagai SBI dan RSBI itu telah pula menimbulkan dampak biaya mahal bagi masyarakat umum dan situasi itu telah mengedorkan semangat sekolah reguler (non- SBI/RSBI). Lebih jauh lagi penggunaan bahasa asing sebagai bahasa pengantar itu akan meminggirkan (katakan mereduksi peran) bahasa Indonesia dari dunia keilmuan dan dari kehidupan masa depan bangsa. (Bahkan, kaum ibu mengambil langkah ikut kursus bahasa asing terasebut).
Padahal, bahasa Indonesia dinyatakan sebagai bahasa persatuan dan bahasa nasional serta bahasa negara  yang pada masa lalu sangat memiliki peran strategis pada masa-masa perjuangan kemerdekaan dan pascakemerdekaan dalam pembentukan ke-Indonesia-an (lihat kembali paparan di atas). Pandangan itu memiliki alasan bahwa bahasa nasional dan bahasa negara  yang  tidak  digunakan    sebagai  bahasa  pengantar  pendidikan  akan  kehilangan generasi penerus bahasa itu karena para penulis buku akan meninggalkan bahasa Indonesia. Kalau di sekolah bahasa Indonesia tidak digunakan sebagai sarana mempelajari ilmu dan teknologi dan buku-buku ajar dan pendukung tidak lagi menggunakan bahasa Indonesia, lalu untuk apa belajar bahasa Indonesia apalagi bagi generasi muda yang berbahasa ibu bahasa daerah. Lengkaplah kondisi kebahasaan mereka tanpa bahasa Indonesia.
Penguasaan bahasa ibu, bahasa daerah, masih tetap diperlukan, demi pelestarian kekayaan budaya multilingual dan multikultural yang telah menjadi bagian dari kekayaan kolektif dunia itu agar generasi muda, sebagai gerasi masa depan  bangsa, yang hidup di alam globalisasi tetap berdiri di atas fondasi peradaban bangsa sendiri. Penguasaan bahasa asing juga diperlukan untuk pergaulan dan akses dunia internasional, tetapi tidak perlu menjadikan bahasa itu sebagai bahasa pengantar pendidikan anak bangsa. Sistem pembelajaran bahasa asing: metode, teknik, bahan ajar, buku pengayaan, multimedia, guru, ruang belajar, perpustakaan, dan sebagainya perlu dimutakhirkan sesuai dengan perkembangan sistem pendidikan dan pembelajaran bahasa.
Anehnya, ketika nilai ujian nasional (UN) bahasa Indonesia lebih rendah dari bahasa Inggris atau tidak lulus, banyak pihak ”ribut”. Sederet pertanyaan muncul, antara lain, bahasa Indonesia tidak lulus? Bukankah dari kecil sudah tahu bahasa Indonesia? Mengapa nilai bahasa Indonesia di bawah bahasa Inggris? Bagaimana soal ujiannya? Dan masih banyak pertanyaan anggota masyarakat tentang hasil UN itu. Sebaliknya, timbul pertanyaan, pedulikah pihak-pihak yang mempertanyakan itu terhadap bahasa Indonesia?
Fenomena seperti itu akan berdampak pada sikap sebagian masyarakat dewasa, kawula muda,  dan sebagian kalangan pelajar mengesampingkan nilai-nilai karakter leluhur budaya bangsa. Gejala itu akan makin meluas dengan cepat dan akan membahayakan masa depan bangsa jika tidak diatasi dengan sungguh-sungguh secara menyeluruh, bersistem, dan berkelanjutan.  Permasalahan  itu  perlu  dicarikan  pemecahannya  melalui  pengoptimalan peran pendidikan bahasa dan sastra demi pemertahanan bahasa Indonesia dan bahasa daerah pada kedudukan dan fungsi masing-masing dalam tata kehidupan masyarakat Indonesia yang multilingual dan multikultural. Maka, tema seminar ”Optimalisasi Peran Pendidikan Bahasa dan Sastra  Indonesia dalam pembangunan karakter Bangsa” ini  sangat relevan dengan permasalahan bangsa yang sedang mencuat ke permukaan. Kalau pada masa lalu bahasa, sastra, dan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia memainkan peran strategis, mengapa justru pada era teknologi serba canggih ini peran itu melemah bahkan kehilangan daya sebagai akibatnya masalah kebahasaan berdampak pada perilaku dan sikap hidup masyarakat yang serba instan, termasuk dalam dunia pendidikan.

C.    Kondisi Pendidikan Bahasa
Dari waktu ke waktu upaya perbaikan mutu pengajaran dan pembelajaran bahasa dan sastra senantiasa dilakukan, baik di kalangan  pemerintah sebagai penanggung jawab pendidikan secara  keseluruhan, di  kalangan  akademisi  maupun  di  kalangan  pelaku  pendidikan  di sekolah. Perkembangan linguistik dan  ilmu  pembelajaran bahasa dari  waktu ke  waktu memengaruhi orientasi pendidikan bahasa di tanah air. Linguitik struktural, misalnya, mengubah cara pandang linguistik tradisional,   yaitu bahwa bahasa dipandang sebagai struktur gramatikal yang dibangun dari unsur-unsur yang lebih kecil. Analisis struktur bahasa Indonesia dari  yang kecil morfem terikat (dulu imbuhan), morfem bebas (dulu kata dasar), kelas kata (dulu jenis kata) beserta pembentukan kata; kalimat   dan unsur-unsur pembentuknya, serta jenis-jenis kalimat (tunggal, majemuk, transitif, intransitif, aktif, pasif, kalimat dasar, kalimat sempurna, taksempurna, elipsis, dan sebagainya). Pengajaran bahasa pun dibawa ke pendekatan linguistis itu, siswa lebih diasyikkan dengan belajar tentang bahasa. Akibatnya, kurikulum 1968 pun berubah ke kurikulum 1978 yang mengutamakan pendekatan struktural.
Lima tahun kemudian masuk teori pragmatik ke dalam kalangan linguis Indonesia maka pragmatik pun masuk ke dalam sistem pengajaran bahasa Indonesia. Kurikulum 1978 pun  berubah  menjadi  kurikulum  1984  dengan  memasukkan pragmatik.  Linguistik  dan pendidikan bahasa berkembang terus, pandangan orang terhadap bahasa mengalami perubahan. Bahasa tidak dipandang sebagai unsur-unsur, bagian-bagian, atau potongan- potongan, tetapi dipandang sebagai satu keutuhan dalam berbagai ranah penggunaannya. Orientasi, pendekatan, dan metode pun berubah. Siswa tidak lagi menjadi objek pengajaran bahasa, tetapi menjadi pelaku bahkan mejadi pusat dalam proses belajar bahasa; pertanyaan bukan bagaimana guru mengajar, tetapi bagaimana siswa belajar. Materi bukan tentang bahasa Indonesia, melainkan tentang bagaimana mahir menggunakan bahasa Indonesia, baik lisan maupun tulis, pada aspek pemahaman ataupun penggunaan sebagai sarana penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni dan pengembangan daya kritis dan kreatif. Maka, kurikulum pun lagi-lagi kurikulum berubah (ini keluhan guru). Lahirlah kurikulum 1994 yang dikenal dengan pendekatan komunikatif. Untuk mengatasi keluhan guru  tentang  perubahan  kurikulum,  pemerintah  menurunkan  kebijakan  pemberlakukan kurikulum dikuti dengan penyediaan buku ajar siswa dan buku pedoman untuk guru, bahkan buku  itu  disediakan cuma-cuma di  sekolah-sekolah dari  sekolah dasar  hingga sekolah menengah  atas.  Selain  itu,  disertai  pula  sosialisasi,  penataran,  dan  pelatihan  untuk memahami dan  menerapkan kurikulum baru  tersebut dengan  buku-buku (yang dikenal sebagai buku paket).
Pemerintahan baru lahir dan kabinet baru pun terbentuk, kebijakan di bidang pendidikan   ditetapkan maka kurikulum baru pun (yang semula dirancangkan kurikulum berbasis kompetensi) diberlakukan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP).  Berbagai terobosan di bidang pendidikan dilakukan demi peningkatan mutu pendidikan. Selain kurikulum lahirlah kebijakan buku murah ataupun buku gratis (lewat program pembelian hak cipta buku-buku ajar) yang dapat diunduh di internet (Jardiknas). Pada era itu pula muncul SBI dan RSBI yang menggunakan bahasa asing sebagai bahasa pengantar pendidikan. Pada masa itu pula lahirnya kebijakan ujian nasional untuk mengukur keberhasilan pendidikan dari tingkat pendidikan dasar hingga pendidikan menengah.
Kini saat tepat untuk memikirkan secara sungguh-sungguh bagaimana menangani masalah pendidikan anak bangsa sebagai calon generasi pelapis yang akan memainkan peran dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sudah waktunya generasi muda memainkan peran dalam menyiapkan insan Indonesia 2030.

D.    Pembentukan Karakter Bangsa
Bangsa Indonesia merdeka melalui perjuangan yang panjang, kemerdekaan Indonesia bukan pemberian pemerintah kolonialisme, melainkan hasil perlawanan  melalui gerilya, perang, ataupun diplomasi. Masa penjajahan yang panjang dan hidup dalam perjuangan merebut kemerdekaan bangkitlah jiwa kepahlawanan. Jiwa kepahlawanan itu berkobar pada setiap dada para pejuang dan bahkan menyebar ke seluruh kawasan negeri jajahan. Masuknya Jepang ke wilayah negeri kepulauan ini  telah  mempertebal jiwa juang seluruh lapisan masyarakat karena Jepang justru menanamkan sikap patriotisme untuk melawan kekejaman penjajahan kawasan Asia oleh Barat.
Latihan-latihan perang yang diajarkan tentara Jepang bagi rakyat negri ini telah makin menyalakan api perjuangan kemerdekaan bangsa terjajah. Perjuangan pun membuahkan hasil Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tetapi penjajah pun masih  ingin  kembali  menguasai  negeri  penghasil  rempah  ini;  terjadilah  Peristiwa  10 November di Surabaya yang kini diperingati sebagai Hari Pahlawan. Pascakemerdekaan pun rongrongan kaum penguasa Barat tetap mengancam karena Indonesia mampu membangun sinergi kekuatan Asia Afrika untuk melawan penjajahan Barat atas bangsa Asia Afrika. Sikap dan semangat antipenjajahan tak pernah padam apalagi pernyataan sikap itu dituangkan dalam pembukaan konstitusi Negara Republik Indonesia (Kemerdekaaan ialah hak segala bangsa, oleh karena itu maka penjajahan di muka bumi harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan keadilan). Sejarah perjuangan dan kepahlawanan pun diajarkan di sekolah, bahkan cerita-cerita kepahlawanan itu ditanamkan di  lingkungan  keluarga  di  rumah-rumah.  Selain  itu,  pewarisan  sikap  kepahlawanan membela kebenaran dan memerangi kezaliman dilakukan melalui bermacam cara, antara lain kesenian wayang, ketoprak, drama/sandiwara, dan karya sastra.
Jiwa kepahlawanan memperjuangkan hak dan membela kebenaran serta memerangi kejahatan dan kekejaman telah meresap dalam dada setiap anak bangsa hingga kini. Itulah satu karakter bangsa yang tidak terkikis zaman, bahkan sikap muncul setiap adanya kesenjangan antara rakyat dan penguasa. Beberapa sukses kepemimpinan nasional terjadi dalam suasana akumulasi dari sikap kepahlawanan yang melihat kesenjangan antara kepentingan rakyat dan pemimpin. Bahkan, pascareformasi berbagai unjuk rasa lebih sering terjadi tidak hanya kesenjangan antara rakyat dan pemimpin, tetapi juga antara pekerja dan pemilik perusahaan.
Selain jiwa kepahlawanan sebagai warisan karakter bangsa, pada era perjuangan kemerdekaan itu pula lahir jiwa kebersamaan (gotong royong) dan rasa persatuan bangsa untuk melawan kekejaman penjajah. (Perhatikan peribahasa, Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh dan Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing). Sayang jiwa kebersamaan itu tergeser   oleh   pola   hidup   modern   yang   lebih   menonjolkan  individualisme,  sistem permukinan kota (pagar tinggi-tinggi) yang tidak ramah lingkungan justru tumbuh di mana- mana sampai ke desa-desa (dulu rumah di desa tidak berpagar). Kerja bakti kebersihan lingkungan, gotong royong mendirikan rumah, memanen sawah, pesta pernikahan ataupun kitanan, dan sebagainya kini jarang sekali dapat disaksikan dalam kehidupan perdesaan apalagi perkotaan.
Dalam masyarakat multilingual dan multikultural perjuangan kemerdekaan melawan penjajah memerlukan kekuatan besar dari berbagai kalangan tanpa pandang ras, agama, suku bangsa, gender, sosial budaya, dan bahasa. Kondisi itu telah melahirkan sikap toleransi antaranggota masyarakat yang berbeda latar belakang sosial budaya dan bahasa serta suku bangsa, bahkan berbeda ras dan agama. Sikap toleransi itu menumbuhkan perilaku saling menghormati dan menghargai serta mengukuhkan persatuan dan kesatuan semua komponen masyarakat untuk melawan musuh utama kolonialisme.
Jiwa kebersamaan dalam memperjuangkan hak dan kebenaran serta melawan kekejaman penjajah   telah melahirkan sikap saling menghargai kedudukan dan status masing-masing sehingga orang bersikap ramah dan santun. Sikap itu, selain diajarkan di sekolah, juga diajarkan dan diterapkan di lingkungan keluarga. Sayang ruang interaksi sosial kini mulai tergeser oleh kehidupan modern. Pasar, selain tempat jual beli, dahulu tempat  interaksi  sosial  antaranggota  masyarakat,  saling  menyapa  dan  tawar-menawar sebagai media interaksi sosial yang mengeratkan hubungan pembeli dan penjual. Kini pasar telah berganti gaya individualisme, di pasar swalayan tidak ada interaksi, bahkan dengan penjual pun tidak terjadi interaksi sosial, budaya keakraban dalam tawar-menawar telah sirna. Ruang cerita pengantar tidur kepada anak pun telah tiada padahal itu media paling jitu untuk menanamkan kepribadian anak karena ruang itu telah digantikan oleh televisi. Kebersamaan anak dan orang tua juda tereduksi, bahkan makan bersama saja ada yang jarang terjadi karena kesibukan masing-masing anggota keluarga. Akibatnya, krisis keteladanan perilaku dari orang tua tentang kebersamaan, persatuan, kesopasantunan, dan kejujuran.
Kondisi perjuangan fisik melawan kekejaman penjajah telah membentuk karakter bangsa yang memiliki jiwa kepahlawanan, kebersamaan, toleransi, kesantunan, persatuan dan  kesatuan  yang  terakumulasi dalam  pernyataan sikap  politik identitas kewilayahan, kebangsaan, dan kesatuan bahasa. Pengakuan satu (1) tanah tumpah darah, tanah air Indonesia, (2) satu bangsa, bangsa Indonesia, dan (3) menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Ketiga pilar itu mengukuhkan tekad dan semangat perjuangan pembebasan diri dari kungkungan penjajahan menuju kemerdekaan abadi sebagai negara berdaulat dengan wilayah satu kesatuan kepulauan dari Sabang hingga Merauke, satu bangsa sebagai warga negara, satu bahasa persatuan yang kemudian menjadi bahasa nasional dan bahasa resmi negara bagi negara kesatuan yang berbentuk republik yang dicita-citakan.

E.     Kontribusi PBSI dalam Pembentukan Karakter Bangsa
Dalam  perjalanan  pascareformasi  muncul  berbagai  peristiwa  atau  konflik  vertikal  dan horisontal. Apakah itu  merupakan indikasi adanya perubahan perilaku karakter bangsa justru pada saat bangsa ini sedang menghadapi pemberlakuan pasar bebas globalisasi yang sangat memerlukan penguatan identitas, perstuan dan kesatuan, serta daya saing bangsa.
Permasalahan di atas memberikan gambaran betapa penting pembentukan karakter bangsa berlandaskan warisan nilai luhur karakter bangsa dalam perjuangan kemerdekaan. Pembentukan karakter terutama ditujukan kepada generasi pelapis, yaitu mereka yang kini duduk di bangku sekolah. Oleh karena itu, sesuai dengan sifat pembentukan, pembangunan karakter bangsa ditujukan kepada peserta didik melalui pendidikan bahasa dan sastra karena bahasa dan sastra memiliki peran sebagai sarana berpikir dan berekspresi. Sementara itu, karakter  merupakan  ekspresi  pola  pikir  dalam  wujud  verbal  (lewat  bahasa)  ataupun perilaku. Adapun  pola pikir sangat dipengaruhi oleh kekuatan bahasa dan apresiasi sastra. Maka, pembentukan karakter bangsa bagi generasi pelapis dilakukan melalui sistem persekolahan dan  melibatkan semua pihak  di  lingkungan sekolah, seperti  guru,  siswa, kepala sekolah, dan petugas tata usaha sekolah. Oleh karena itu, pembentukan karakter bangsa melalui pendidikan bahasa dan sastra  akan mencakup pengelolaan sekolah, proses belajar-mengajar  semua  bidang  studi,  dan  lingkungan  sekolah.  Pendidikan  bahasa  di sekolah itu juga menjadi tanggung jawab kepala sekolah, bukan semata-mata tanggung jawab guru bahasa saja.

1.    Penerapan di sekolah
Sekolah   menjadi   pusat   belajar   bagi   siswa   maka   pengelolaan   sekolah   hendaknya menggunakan bahasa Indonesia sebagai sarana berpikir, berekspresi, dan berkomunikasi sebagai wujud karakter pelaku pendidikan di sekolah. Penggunaan bahasa Indonesia sebagai sarana berpikir akan menuntun para pelaku pendidikan di sekolah bertindak tertib dan santun karena bahasa menuntun pemakainya ke arah itu. Penggunaan bahasa Indonesia sebagai sarana berekspresi akan  membawa para pemakainya kepada suasana keilmuan sebagi insan cendekia karena bahasa Indonesia digunakan sebagai sarana pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni. Sementara itu, penggunaan bahasa Indonesia sebagai sarana berkomunikasi akan menciptakan suasana keresmian dan kenasionalan yang pada akhirnya memupuk rasa solidaritas kebangsaan di lingkungan sekolah yang menjadi sumber  belajar  para  siswa.  Pengelolaan  sekolah  berbasis  bahasa  Indonesia  yang  baik (santun dan adab) tersebut akan menciptakan lingkungan tertib berbahasa sehingga mendorong siswa belajar dan berlaku taat asas dalam penggunaan bahasa Indonesia. Penciptaan suasana seperti itu menjadi tanggung jawab semua pihak di sekolah, terutama kepala sekolah selaku pimpinan tertinggi di sekolah. Kepedulian kepala sekolah terhadap penggunaan bahasa Indonesia di sekolah akan memacu dan mengendalikan proses belajar- mengajar di sekolah.
Selain kepala sekolah, peran kepala tata usaha sekolah menentukan keberhasilan pembentukan karakter siswa di sekolah. Kepedulian kepala sekolah harus ditindaklanjuti oleh  kepala  tata  usaha  sekolah.  Semua  perilaku  bahasa  dan  tindakan  harus  dapat memberikan keteladanan kepada siswa, termasuk dalam penggunaan bahasa lisan ataupun tulis..

2.    Proses Belajar-Mengajar
Kegiatan belajar-mengajar semua bidang studi di kelas dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar, kecuali untuk keperluan tertentu. Dalam proses belajar-mengajar itu semua guru harus memberikan keteladanan kepada para siswa dalam penggunaan bahasa Indonesia, baik dalam membimbing siswa belajar di kelas maupun dalam memeriksa hasil belajar para siswanya. Selain itu, semua guru bidang studi harus memberikan perhatian pada penggunaan bahasa Indonesia para siswanya, baik penggunaan bahasa lisan dalam interaksi di kelas maupun penggunaan bahasa tulis dalam pembuatan tugas-tugas menulis. Para guru, selain memeriksa segi substansi, harus mengoreksi penggunaan bahasa Indonesia para siswa apakah bahasa siswa tepat sebagai bahasa ilmiah yang santun.
Pemberian penilaian harus mempertimbangkan aspek penggunaan bahasanya. Para guru, terutama guru non-bahasa, harus memberikan “hukuman” kepada siswa yang penggunaan bahasa dalam karya tulisnya tidak baik dan benar. Sebagaimana disinggung di atas, penggunaan bahasa yang baik dan benar pada karya tulis siswa akan memperlihatkan keteraturan alur pikir atau pernalaran yang runtut. Kepedulian terhadap penggunaan bahasa Indonesia para siswa tersebut akan mendorong siswa lebih berhati-hati dalam penggunaan bahasa Indonesia.
Penciptaan suasana belajar seperti itu akan memberikan pengalaman kepada siswa bahwa penggunaan bahasa Indonesia pada situasi belajar di kelas berbeda dengan penggunaan bahasa Indonesia pada situasi di luar kelas. Hal itu akan menyadarkan siswa bahwa penggunaan bahasa itu tidak bisa disamaratakan di mana saja, tetapi berbeda- berbeda tergantung kepada situasi, tujuan, tempat/media, teman bicara/pembaca, dan sebagainya sehingga memeri kesan bahwa siswa memiliki perilaku santun sebagai slah satu ciri karakter bangsa Indonesia .

3.    Keterampilan berbahasa
Sudah berbagai upaya yang dilakukan dalam melakukan peningkatan mutu pengajaran bahasa tersebut, telah dan terus dilakukan. Peningkatan itu terutama ditujukan pada aspek kemampuan berbahasa Indonesia. Meskipun demikian, penguasaan pengetahuan bahasa tidaklah mungkin diabaikan karena bahasa pada dasarnya adalah seperangkat sistem lambang yang meliputi kosakata dan kaidah penggunaannya  pada  tataran  frasa,  klausa,  kalimat,  ataupun  wacana. 
Pada  tingkat pendidikan dasar aspek kebahasaan memperoleh porsi lebih kecil daripada aspek keterampilan. Sebaliknya, aspek keterampilan memperoleh porsi lebih besar. Makin tinggi jenjang pendidikan, makin besar aspek kebahasaan sehingga pada jenjang pendidikan menengah aspek kebahasaan dan aspek keterampilan itu berbanding seimbang. Ihwal pengetahuan tentang bahasa harus dikemas dalam empat aspek belajar bahasa: mendengar, berbicara, membaca, dan menulis secara terintegrasi. Materi itu tidak menjadi topik pembahasan  tersendiri  atau  berdiri  sendiri,  tetapi  menyatu  pada  proses  belajar  bahasa tersebut dalam mencapai kompetensi tertentu.
Keterampilan berbahasa menuntut kemampuan pemahaman. Oleh  karena itu,  aspek pemahaman yang meliputi keterampilan mendengarkan (ragam bahasa lisan) dan keterampilan membaca (ragam bahasa tulis) merupakan kompetensi reseptif. Meskipun demikian, pembelajaran aspek itu harus diikuti dengan aspek kompetensi perilaku siswa, misalnya menanggapi atau menceritakan kembali lisan ataupun tulis. Sementara itu, aspek penggunaannya yang mencakup keterampilan berbicara (ragam bahasa lisan) dan keterampilan menulis (ragam bahasa tulis) merupakan kompetensi reproduktif. Kedua macam kompetensi itu merupakan sasaran utama dalam proses belajar bahasa Indonesia. Pencapaian kompetensi tersebut dilakukan melalui empat aspek belajar bahasa (mendengarkan, membaca, berbicara, dan menulis) tersebut secara terpadu.
Kegiatan mendengarkan dan berbicara merupakan upaya penguasaan dan kemampuan menggunakan ragam bahasa lisan, sedangkan kegiatan membaca dan menulis merupakan penguasaan dan kemampuan menggunakan ragam bahasa tulis. Penguasaan dan kompetensi penggunaan bahasa itu dibarengi dengan perilaku (tindak) bahasa sehingga siswa dapat menempatkan diri di mana, kapan, tentang apa, kepada/dengan siapa berbicara atau menulis. Dengan demikian, keempat aspek belajar bahasa itu memenuhi tuntutan penguasaan bahasa lisan dan bahasa tulis yang amat diperlukan dalam kehidupan mreka di masyarakat.
Pengelolaan kelas  dalam proses belajar-mengajar harus berorientasi pada keperluan siswa dan sesuai dengan perkembangan kejiwaan siswa. Selain sebagai sarana berkomunikasi, penguasaan bahasa  Indonesia akan  memperkaya wawasan berpikir dan berekspresi. Kedua yang terakhir itu kurang disadari dalam proses belajar bahasa. Penguasaan dan kemampuan berbahasa Indonesia secara baik dan benar akan menuntun siswa berpikir teratur dan bertindak tertib dan santun. Di dalam kurikulum masa kini guru diberi kebebasan berkreasi mengembangkan bahan ajar yang inovatif, menarik, menyenangkan, mengasyikkan, mencerdaskan, dan membangkitkan kreativitas siswa yang bermuara pada pembentukan karakter bangsa. Pengembangan bahan ajar tersebut atapun pelaksanaan  kegiatan  belajar-mengajar harus  menyinergikan pengembangan kecerdasan spiritual, emosional, dan intelektual.

4.    Penerapan di Lingkungan Sekolah
Prinsip pendidikan paling nyata adalah penerapan. Sebagaimana disinggung pada bagian awal tulisan ini, pembentukan karakter bangsa merupakan pembentukan pola pikir yang melahirkan sikap dan wujud. Sikap itu berupa bahasa verbal atau perilaku (tindak fisik) maka pendidikan bahasa dan sastra harus dapat memberikan efek dan penerapan di sekolah, baik yang terlibat langsung dalam proses belajar di kelas (guru dan siswa) petugas tata usaha, dan kepala sekolah.
Selain itu, kepedulian semua pihak terhadap proses belajar bahasa dan sastra Indonesia akan mendorong siswa memiliki sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia (jangan hanya ketika aikan ujian nasional sibuk bimbingan tes). Terhadap penerapannya yaitu Keteladanan dan kepedulian itu pada gilirannya akan meningkatkan minat dan semangat mereka belajar bahasa dan sastra Indonesia, baik sebagai lambang identitas dan kebanggaan bangsa, pembangkit rasa solidaritas kemanusiaan maupun sebagai sarana pemerkukuh persatuan dan kesatuan bangsa yang terwariskan dari masa perjuangan kemerdekaan sebagai pilar karakter bangsa Indonesia dalam mempertahankan negara dan bangsa Indonesia.

F.    Simpulan
Kontribusi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dalam pembentukan karakter bangsa dapat dilakukan dengan meningkatkan dan mengoptimalkan kemampuan berbahasa dalam hal berbicara, mendegarkan, membaca dan menulis berkaitan dengan tingkat kesopanan, kearifan, dan kebijakan serta penilaian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang digunakan sebagai identitas karakter bangasa di mata bangsa lainnya.
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia memiliki ilmu yang menciptakan generasi penerus bangsa yang memiliki kemampuan menganalisis masalah dan menyelesaikan masalah dengan menerapkan kemampuan berbahasa yang sudah diperoleh di lingkungan pendidikan, baik di lingkungan keluarga, masyarakat, dan kegiatan formal sebagai tindak lanjut penunjukan karakter bangsa. Yaitu dengan hasil analisis tersebut para penerus berpikir dan menyikapi masalah tersebut. Nah sikap inilah yang merupakan karakter bangsa.
Referensi
Alwi, Hasan, Dendy Sugono, dan A. Rozak Zaidan. (Ed.) Bahasa Indonesia dalam Era Globalisasi. Jakarta: Pusat Bahasa
Goleman, Daniel.2006. Kecerdasan Emosional. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
AR, Syamsuddin dan Vismaia S. Damaianti. 2006. Metode Penelitian Pendidikan Bahasa. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Iskandarwassid dan Dadang Sunendar. 2008. Strategi Pembelajaran Bahasa. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Moeliono,  Anton  M.  2000.  “Kedudukan  dan  Fungsi  Bahasa  Indonesia  dalam  Era Globalisasi” Dalam Hasan Alwi, Dendy Sugono, dan A. Rozak Zaidan (Ed.). Jakarta: Pusat bahasa.
Santoso, AM Rukky. 2006. Mengembangkan Kemampuan Otak Kanan untuk Kehidupan yang Lebih Berkualitas. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sugono,  Dendy.  (Ed.)  2003.  Bahasa  Indonesia  Menuju  Masyarakat  Madani.  Jakarta: Penerbit Progres.
Web, Internet Eksplor. 2011. Program studi fakultas keguruan dan ilmu pendidikan. Veteran.ac.id. html.
Web, Innernet Eksplor. 2011. Pendidikan bahasa dan sastra indonesia dalam pembentukan karakter bangsa. Ziddu.com.html.
Web, Internet Eksplor. 2011. Kumpulan Hukum undang-undang tahun 2009. Wordpress.com. html.
http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/lamanv42/?q=node/1322
http://id.wikisource.org/wiki/Undang-Undang Republik Indonesia Nomor  20 Tahun 2003












Tidak ada komentar:

Posting Komentar