PENGARUH GANGGUAN BERBAHASA PADA TOKOH IKHSAN DALAM FILM
“IKHSAN; MAMA, ILOVE YOU” YANG MENGIDAP PENYAKIT DISLEKSIA TERHADAP
PEMERTAHANAN BAHASA
Agus Paramuriyanto
NIM 117835008
A. Pendahuluan
Alat bicara yang baik akan mempermudah berbahasa dengan baik.
Namun, mereka yang memiliki kelainan fungsi otak dan bicaranya, tentu mempunyai
kesulitan dalam berbahasa, baik produktif maupun reseptif. Inilah yang di sebut
sebagai gangguan berbahasa. Gangguan-gangguan berbahasa tersebut sebenarnya
akan sangat mempengaruhi proses berkomunikasi dan berbahasa. Banyak faktor yang
mempengaruhi dan menyebabkan adanya gangguan berbahasa, kemudian faktor-faktor
tersebut akan menimbulkan gangguan berbahasa. Maka dari itu, dalam makalah ini
akan dijabarkan macam gangguan berbahasa yang sering dialami manusia berserta
faktor-faktor yang menyebabkannya.
Secara medis menurut Sidharta (1984) gangguan berbahasa itu
dapat di bedakan atas tiga golongan, yaitu (1) gangguan berbicara, (2) gangguan
berbahasa, dan (3) gangguan berpikir. Ketiga gangguan itu masih dapat di atasi
kalau penderita gangguan itu mempunyai daya dengar yang normal; jika
tidak, maka akan menjadi sukar atau bahkan sangat sukar.
Pertama gangguan bicara, menurut Chaer (2009:157) berbicara (speaking)
disebut sebagai aktivitas psikomotorik karena merupakan kegiatan motorik
voluntar yang mengandung modalitas psikis. Oleh karena itu, gangguan berbicara
dapat berupa (a) gangguan organik, yang merupakan gangguan teknis atau
mekanisme berbicara, dan (b) gangguan psikogenik, yang merupakan variasi cara
berbicara normal sebagai ungkapan dari gangguan mental saja. Kedua
gangguan berbahasa, menurut Chaer (2009:157) Untuk
mampu berbahasa diperlukan kemampuan pemahaman (resepsi) dan kemampuan produksi
(ekspresi). Implikasinya ialah daerah Broca
dan Wernicke harus berfungsi
penuh. Kerusakan pada kedua daerah tersebut dan sekitarnya akan menghasilkan
gangguan berbahasa yang disebut ―lupa bahasa atau ―afasia (aphasia).
Broca sendirinya menyebutnya ―afemia (aphemia). Ketiga adalah gangguan berpikir Menurut Kaplan (2010), proses
berfikir yang normal mengandung arus ide, simbol danasosiasi yang terarah
kepada tujuan. Proses berpikir dibangkitkan oleh suatu masalah atautugas
dan berpikir berarti menghantarkan suatu penyelesaian yang berorientasi
kepadakenyataan. Proses berpikir pada manusia meliputi proses pertimbangan (judgment),
pemahaman (comprehension), ingatan serta penalaran (reasoning).
Berbagai macam faktor dapat mempengaruhi proses
berfikir manusia, misalnya faktor somatik (gangguan otak, kelelahan),
faktor psikologik (gangguan emosi, psikosa), dan faktor sosial
(kegaduhan dan keadaan sosial yang lain). Distorsi pada proses berfikir dapat disebabkan
karena gangguan organik maupun gangguan psikologik terkait gangguan kecemasan,
gangguan panik, gangguan depresi maupun kondisi psikotik.
Makalah ini membahas mengenai salah satu satu gangguan
berbahasa yaitu Disleksia. Gangguan berbahasa ini terjadi pada tokoh yang
bernama Ikhsan dalam film Disleksia (by: Burma A Film Kingdom: A Rico Michael
Film). Dalam film ini diceritakan tentang seorang anak yang bernama Ikhsan yang
mengalami disleksia dan sembuh dari disleksia tersebut dengan bantuan seorang
guru yang dulunya mengalami disleksia, sama halnya dengan Ikhsan.
Dalam hal berikutnya adalah bagaimana disleksia ini dapat
berpengaruh pada pemertahanan bahasa. Jika di lihat keberadaan pemertahanan
bahasa yang didasari oleh sikap penutur bahasa yang dihubungkan dengan
pemerolehan bahasa. jenis gangguan berbahasa ini dapat menghambat pemertahanan
bahasa.
B. Kajian Teori
1. Gangguan berbahasa
Untuk mampu berbahasa diperlukan kemampuan
pemahaman (resepsi) dan kemampuan produksi (ekspresi). Implikasinya ialah
daerah Broca dan Wernicke harus berfungsi penuh. Kerusakan pada kedua daerah
tersebut dan sekitarnya akan menghasilkan gangguan berbahasa yang disebut lupa
bahasa atau afasia (aphasia). Broca sendirinya menyebutnya afemia (aphemia).
a.
Afasia (lupa bahasa)
Bagan 4.7: JENIS AFASIA
Afasia Kortikal
Afasia Motorik Afasia
Subkortikal
Afasia
Transkortikal
Afasia
Afasia
Sensorik
1)
Afasia motorik
Menurut Chaer (2009:157) Afasia
dapat dibedakan atas (a) afasia motorik (ekspresif) atau afasia Broca dan (b)
afasia sensorik (reseptif) atau afasia Wernicke. Kedua jenis afasia itu dapat
dibagankan sebagai berikut.
a) Motorik
Kortikal
Ialah hilangnya kemampuan untuk mengutarakan isi pikiran
dengan menggunakan perkataan. Ia mengerti bahasa lisan dan tulis, tetapi tidak
bisa berekspresi verbal, meskipun isyarat masih bisa.
b) Afasia Motorik
Subkortikal
Ialah seorang penderita
tidak bisa meng-utarakan isi pikirannya dengan menggunakan perkataan, namun
masih bisa dengan cara membeo. Pemaknaan ekspresi verbal dan visual tidak
terganggu, bahkan ekspresi visualnya normal.
c) Afasia motorik
transkortial (afasia nominatif)
ialah afasia yang masih dapat mengutarakan
isi pikiran dengan menggunakan perkataan yang singkat dan tepat, namun masih
mungkin menggunakan perkataan penggantinya. Misalnya, tidak mampu menyebut nama
barang yang dipegangnya, tetapi tahu kegunaannya.
2)
Afasia
Sensorik
terjadi
akibat lesi kortial di daerah Wernicke pada hemisfer yang dominan. Daerah itu
terletak di kawasan asosiatif antara daerah visual, sensorik, motorik, dan
pendengaran. Kerusakan daerah Wernicke akan mengakibatkan kehilangan pengertian
bahasa lisan dan tulis, namun ia masih memiliki curah verbal, sekalipun tidak
dipahami oleh dirinya maupun orang lain. Curah verbalnya merupakan neologisme,
yakni bahasa baru yang tidak dimengerti oleh siapa pun, biasanya diucapkan
dengan irama, nada, dan melodi yang sesuai dengan bahasa asing yang ada. Ia
bersikap biasa, tidak tegang, atau depresif.
b.
Gangguan Pikiran
Setiap
orang cenderung untuk mengungkapkan perkataan yang disukai- nya sehingga
memiliki corak bahasa yang khas bagi dirinya. Dalam memilih dan menggunakan
leksikon, sintaksis, dan semantik tertentu, seseorang akan menyiratkan sikap
dan nilai pribadinya pada ekspresi bahasa yang dibuatnya. Gaya bahasa
perseorangan ini lazim disebut idiolek (idiolect) atau spracherlebnis
(Krechel, dalam Critchley, 1981). Jika ekspresi verbal sebagai pengutaraan isi
pikiran, dalam gaya bahasa seseorang akan tersirat pikirannya.
Konsekuensinya ialah gangguan ekspresi verbal disebabkan gangguan pikiran.
Gangguan
ekspresi verbal sebagai akibat dari gangguan pikiran yang dapat berupa hal-hal
berikut.
1)
pikun (demensia)
Orang pikun biasanya memperlihatkan banyak gangguan seperti
agnosia (tak sanggup mengenal benda dan artinya), afrasia (tak mampu bercakap
dan menulis secara berkesinambungan), amnesia (hilang ingatan masa lalu),
perubahan kepribadian, perubahan perilaku, dan kemunduran dalam berbagai fungsi
intelektual. Berbagai gangguan itu mengakibatkan kurangnya daya pikir sehingga
ekspresi verbalnya banyak gangguan seperti sukar dalam diksi yang tepat,
kalimat sering diulang-ulang, dan lupa banyak kata.
Dr. Martina W.S. Nasrun sebagaimana dikutip oleh
Chaer dalam bukunya Psikolinguistik; kajian teoretik, mengatakan bahwa kepikunan
adalah suatu penurunan fungsi memori atau daya ingat dan daya pikir lainnya
yang dari hari ke hari semakin buruk. Gangguan kognitif ini meliputi
terganggunya ingatan jangka pendek, kekeliruan mengenali tempat, orang, dan
waktu. Juga gangguan kelancaran berbicara.
Penyebab pikun ini antara lain karena
terganggunya fungsi otak dalam jumlah besar, termasuk menurunnya jumlah zat-zat
kimia dalam otak. Biasanya volume otak akan mengecil atau menyusut, sehingga
rongga-rongga dalam otak melebar. Selain itu dapat pula disebabkan oleh
penyakit, seperti stroke, tumor otak, depresi, dan gangguan sistematik.
2) Autisma
Menurut abdurrahman
(2008:124) anak autisma selain tidak responsif terhadap
orang lain juga terobsesi dengan kesamaan lingkungan. Artinya, dia sangat kaku
dengan rutinitas yang dihadapinya, dia akan marah apabila terdapat perubahan
kondisi dari yang biasa dijumpainya.
Ada dua kategori perilaku autisma yaitu, perilaku
eksesif (berlebihan) dan perilaku yang defisit (berkekurangan). Yang termasuk
perilaku eksesif yaitu hiperaktif dan tantrum (mengamuk) berupa jeritan,
menyepak, menggigit, mencakar, memukul, dan sebagainya. Di sini juga sering
terjadi anak menyakiti diri sendiri (self-abuse). Perilaku defisit
ditandai dengan gangguan bicara, perilaku sosial kurang sesuai, bermain tidak
benar dan emosi yang tidak tepat, misalnya tertawa tanpa sebab, menangis tanpa
sebab dan melamun
3)
Gaya bahasa depresif
Depresi
merupakan gangguan jiwa seseorang yang ditandai dengan perasaan yang menurun
(seperti murah, sedih, perasaan tertekan). Orang yang tertekan jiwanya
(depresi) akan terdampar dalam gaya bahasa yang dipakainya. Volume curahan
verbalnya lemah lembut dan kelancaran-nya terputus-putus oleh interval yang
cukup panjang, namun arah arus isi pikiran tidak terganggu. Kelancaran curah
verbal terputus oleh tarikan napas-dalam serta pelepasan napas-keluar yang
panjang untuk melapangkan kesumpekannya. Cirinya berupa topik menyedihkan,
mengutuk diri, kehilangan gairah hidup, tak mampu menikmati hidup, bahkan
menyudahinya.
c. Ciri-ciri gangguan
berbahasa
Gangguan berbahasa mempunyai ciri-ciri, yakni
1.
tidak mudah
didengar,
2.
tidak dapat dipahami atau dimengerti,
3.
suara tidak nyaman,
4.
menyimpang dari bunyi tertentu (konsonan, vokal,
dan diftong),
5.
bicara dengan susah payah atau gangguan dalam
ritme atau tekanan, kualitas nada atau perubahan “pitch”,
6.
kekurangan atau “deficiency” dalam
linguistik. Dan
7.
tidak sesuai dengan umur, kelamin, atau
perkembangan fisik (Sudarto, dalam kridalaksana, 1986:251-252).
B. Disleksia
a.
Pengertian
Disleksia (Inggris: dyslexia) adalah sebuah kondisi ketidakmampuan belajar pada seseorang yang disebabkan oleh kesulitan pada orang
tersebut dalam melakukan aktivitas membaca dan menulis. Pada umumnya
keterbatasan ini hanya ditujukan pada kesulitan seseorang dalam membaca dan
menulis, akan tetapi tidak terbatas dalam perkembangan kemampuan standar yang
lain seperti kecerdasan, kemampuan menganalisa dan juga daya sensorik pada indera perasa.
Terminologi disleksia juga digunakan untuk merujuk kepada kehilangan
kemampuan membaca pada seseorang dikarenakan akibat kerusakan pada otak. Disleksia pada tipe ini sering disebut sebagai Aleksia. Selain memengaruhi kemampuan membaca dan menulis,
disleksia juga ditengarai juga memengaruhi kemampuan berbicara pada beberapa
pengidapnya. Jadi, dari penjelasan ini disleksia merupakan salah satu satu dari
beberapa gangguan berbahasa.
Penderita disleksia secara fisik tidak akan terlihat sebagai penderita.
Disleksia tidak hanya terbatas pada ketidakmampuan seseorang untuk menyusun
atau membaca kalimat dalam urutan terbalik tetapi juga dalam berbagai macam
urutan, termasuk dari atas ke bawah, kiri dan kanan, dan sulit menerima
perintah yang seharusnya dilanjutkan ke memori pada otak. Hal ini yang sering
menyebabkan penderita disleksia dianggap tidak konsentrasi dalam beberapa hal.
Dalam kasus lain, ditemukan pula bahwa penderita tidak dapat menjawab
pertanyaan yang seperti uraian, panjang lebar.
Para peneliti menemukan disfungsi ini disebabkan oleh kondisi dari biokimia otak yang tidak stabil dan juga dalam beberapa hal akibat
bawaan keturunan dari orang tua. Ada dua tipe
disleksia, yaitu developmental
dyslexsia (bawaan sejak
lahir) dan aquired dyslexsia (didapat karena gangguan atau
perubahan cara otak kiri membaca). Developmental
dyslexsia diderita sepanjang
hidup pasien dan biasanya bersifat genetik.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa penyakit ini berkaitan dengan disfungsi
daerah abu-abu padaotak. Disfungsi
tersebut berhubungan dengan perubahan konektivitas di area fonologis (membaca).
Beberapa tanda-tanda awal disleksia bawaan adalah telat berbicara, artikulasi
tidak jelas dan terbalik-balik, kesulitan mempelajari bentuk dan bunyi
huruf-huruf, bingung antara konsep ruang dan waktu, serta kesulitan mencerna
instruksi verbal, cepat, dan berurutan. Pada usia sekolah, umumnya penderita
disleksia dapat mengalami kesulitan menggabungkan huruf menjadi kata, kesulitan
membaca, kesulitan memegang alat tulis dengan baik, dan kesulitan dalam
menerima (Indira, 2010:13).
Tokoh-tokoh terkenal yang diketahui mempunyai disfungsi disleksia adalah Albert Einstein, Tom Cruise, Bella Thorne, Orlando Bloom, Whoopi Goldberg, Lee Kuan Yew dan Vanessa Amorosi
b. Masalah
pada Penderita Aleksia atau Disleksia
1) Masalah
fonologi
Hubungan sistematik antara huruf dan bunyi, misalnya kesulitan membedakan
”paku” dengan ”palu”, atau keliru memahami kata-kata yang mempunyai bunyi
hampir sama, misalnya ”lima puluh” dengan ”lima belas”. Kesulitan ini tidak
disebabkan oleh masalah pendengaran tetapi berkaitan dengan proses pengolahan
input di dalam otak.
2) Masalah
mengingat perkataan
Mereka mungkin sulit menyebutkan nama teman-temannya dan memilih untuk
memanggilnya dengan istilah ”temanku di sekolah” atau ”temanku yang laki-laki
itu”. Mereka mungkin dapat menjelaskan suatu cerita namun tidak dapat mengingat
jawaban untuk pertanyaan yang sederhana.
3) Masalah penyusunan yang sistematis
Misalnya susunan bulan dalam setahun, hari dalam seminggu, atau susunan
huruf dan angka. Mereka sering ”lupa” susunan aktivitas yang sudah direncanakan
sebelumnya, misalnya lupa apakah setelah pulang sekolah langsung pulang ke
rumah atau langsung pergi ke tempat latihan sepak bola. Padahal, orangtua sudah
mengingatkannya bahkan mungkin sudah pula ditulis dalam agenda kegiatannya.
Mereka juga mengalami kesulitan yang berhubungan dengan perkiraan terhadap
waktu. Misalnya, kesulitan memahami instruksi seperti: ”Waktu yang disediakan
untuk ulangan adalah 45 menit. Sekarang jam 8 pagi. Maka 15 menit sebelum waktu
berakhir, Ibu Guru akan mengetuk meja satu kali”. Kadang kala mereka pun
”bingung” dengan perhitungan uang yang sederhana, misalnya tidak yakin apakah uangnya
cukup untuk membeli sepotong kue atau tidak.
4) Masalah
ingatan jangka pendek
Kesulitan memahami instruksi yang panjang dalam satu waktu yang pendek.
Misalnya, ”Simpan tas di kamarmu di lantai atas, ganti pakaian, cuci kaki dan
tangan, lalu turun ke bawah lagi untuk makan siang bersama ibu, tapi jangan
lupa bawa serta buku PR matematikannya, ya,” maka kemungkinan besar anak
disleksia tidak melakukan seluruh instruksi tersebut dengan sempurna karena
tidak mampu mengingat seluruh perkataan ibunya.
5) Masalah pemahaman sintaks
Anak disleksia sering mengalami kebingungan dalam memahami tata bahasa,
terutama jika dalam waktu yang bersamaan mereka menggunakan dua atau lebih
bahasa yang mempunyai tata bahasa yang berbeda. Anak disleksia mengalami
masalah dengan bahasa keduanya apabila pengaturan tata bahasanya berbeda dari
bahasa pertama. Misalnya, dalam bahasa Indonesia dikenal susunan
Diterangkan-Menerangkan (contoh: buku putih), tetapi dalam bahasa Inggris
dikenal susunan Menerangkan-Diterangkan (white book) .
Jika di usut lebih jauh mengenai gangguan susunan
saraf pusat khususnya anatomi antara otak anak disleksia dengan anak normal
adalah terletak di bagian temporal-parietal-oksipitalnya (otak bagian samping
dan bagian belakang). Pemeriksaan Magnetic
Resonance Imaging yang dilakukan untuk memeriksa otak saat dilakukan
aktivitas membaca ternyata menunjukkan bahwa aktivitas otak individu disleksia
jauh berbeda dengan individu biasa terutama dalam hal pemrosesan input
huruf/kata yang dibaca lalu ”diterjemahkan” menjadi suatu makna.
c. Tanda
dan Gejala Penderita Disleksia
1) Kesulitan mengenali huruf atau mengejanya.
2) Kesulitan membuat pekerjaan tertulis secara terstruktur misalnya esai
3) Huruf bertukar tempat/tertukar-tukar,
misalnya ’b’ tertukar ’d’, ’p’ tertukar ’q’, ’m’ tertukar ’w’, dan ’s’ tertukar ’z’
4) Membaca lambat dan terputus-putus serta tidak tepat.
5) Menghilangkan atau salah baca kata penghubung (“di”, “ke”, “pada”).
6) Mengabaikan kata awalan pada waktu membaca (“menulis” dibaca sebagai
“tulis”).
7) Tidak dapat membaca ataupun membunyikan perkataan yang tidak pernah
dijumpai.
8) Tertukar-tukar kata (misalnya : dia-ada, sama-masa, lagu-gula, batu-buta,
tanam-taman, dapat-padat, mana-nama).
9) Daya ingat jangka pendek yang buruk
10) Kesulitan memahami kalimat yang dibaca ataupun yang didengar
11) Tulisan tangan yang buruk
12) Mengalami kesulitan mempelajari tulisan sambung
13) Ketika mendengarkan sesuatu, rentang perhatiannya pendek
14) Kesulitan dalam mengingat kata-kata
15) Kesulitan dalam diskriminasi visual
16) Kesulitan dalam persepsi spatial
17) Kesulitan mengingat nama-nama
18) Kesulitan / lambat mengerjakan PR
19) Kesulitan memahami konsep waktu
20) Kesulitan membedakan huruf vokal dengan konsonan
21) Kebingungan atas konsep alfabet dan simbol
22) Kesulitan mengingat rutinitas aktivitas sehari-hari
23) Kesulitan membedakan kanan kiri
d. Tanda
dan Gejala disleksia pada anak usia sekolah dasar.
Kesulitan
dalam berbicara :
§ Salah pelafalan kata-kata yang panjang
§ Bicara tidak lancar
§ Menggunakan kata-kata yang tidak tepat dalam berkomunikasi
Kesulitan
dalam membaca:
§ Sangat lambat kemajuannya dalam keterampilan membaca
§ Sulit menguasai / membaca kata-kata baru
§ Kesulitan melafalkan kata-kata yang baru dikenal
§ Kesulitan membaca kata-kata ”kecil” seperti: di, pada, ke
§ Kesulitan dalam mengerjakan tes pilihan ganda
§ Kesulitan menyelesaikan tes dalam waktu yang ditentukan
§ Kesulitan mengeja
§ Membaca sangat lambat dan melelahkan
§ Tulisan tangan berantakan
§ Sulit mempelajari bahasa asing (sebagai bahasa kedua)
§ Riwayat adanya disleksia pada anggota keluarga lain
Diagnosis
§ Tidak ada satu jenis tes pun yang khusus atau spesifik untuk menegakkan
diagnosis disleksia. Diagnosis disleksia ditegakkan secara klinis berdasarkan
cerita dari orang tua, observasi, dan tes psikometrik yang dilakukan oleh
dokter anak atau psikolog. Selain dokter anak dan psikolog, profesional lain
seyogyanya juga terlibat dalam observasi dan penilaian anak disleksia yaitu
dokter saraf anak (mendeteksi dan menyingkirkan adanya gangguan neurologis),
audiologis (mendeteksi dan menyingkirkan adanya gangguan pendengaran),
opthalmologis (mendeteksi dan menyingkirkan adanya gangguan penglihatan), dan
tentunya guru sekolah.
§ Anak disleksia di usia prasekolah menunjukkan adanya keterlambatan
berbahasa atau mengalami gangguan dalam mempelajari kata-kata yang bunyinya
mirip atau salah dalam pelafalan kata-kata, dan mengalami kesulitan untuk
mengenali huruf-huruf dalam alphabet, disertai dengan riwayat disleksia dalam
keluarga.
§ Keluhan utama pada anak disleksia di usia sekolah biasanya berhubungan
dengan prestasi sekolah, dan biasanya orang tua ”tidak terima” jika guru
melaporkan bahwa penyebab kemunduran prestasinya adalah kesulitan membaca.
Kesulitan yang dikeluhkan meliputi kesulitan dalam berbicara dan kesulitan
dalam membaca.
C. Pemertahanan Bahasa
1. Pengertian
Menurut Sumarsono (2007:231), jika diibaratkan sebuah
kepingan koin, pemertahanan bahasa merupakan sisi lain dari sebuah pergeseran
bahasa. Artinya, pemertahanan bahasa bisa dikatakan kebalikan dari pergeseran
bahasa, karena pergeseran bahasa merupakan suatu kondisi adanya pengalihan
suatu bahasa dengan bahasa yang lain. Selain itu, pergeseran bahasa dapat
diartikan sebagai suatu kejadian pergantian bahasa, dengan meninggalkan suatu
bahasa dan memakai bahasa lainnya.
Dengan kata lain, peregeseran bahasa merupakan sebuah kondisi sebuah bahasa
yang tidak mampu bertahan dari eksistensi bahasa lain.
Kondisi ini disebabkan oleh pilihan bahasa yang berlangsung
dalam jangka panjang dan bersifat kolektif sehingga mengakibatkan berkurangnya
para penutur bahasa tersebut. Namun, jika yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu
terjadi pemertahanan bahasa, berarti tidak ada bahasa baru yang menggantikan
bahasa lama atau dengan kata lain komunitas masyarakat tutur tidak menghendaki
adanya bahasa baru yang menggantikan bahasa lama.
Jadi pemertahanan bahasa adalah sebuah kondisi masyarakat
tutur yang secara kolektif memertahankan bahasa lama mereka dari eksistensi
bahasa baru. Selain itu, ini berarti mereka mampu mengendalikan dan
memertahankan pola penggunaan bahasa mereka dengan cara memertahankan pilihan
bahasa dengan cara bersikap positif, dengan loyalitas tinggi terhadap bahasa
lama yang sudah mereka miliki, sebelum masuknya bahasa baru.
2. Jenis Pemertahanan Bahasa
Siregar (dalam Ningsih, 2009:28) menjelaskan ada dua tipe
pemertahanan bahasa, yaitu pemertahanan bahasa aktif dan pemertahanan bahasa
pasif. Pemertahanan bahasa aktif, di dalamnya terdapat hubungan satu lawan antara bahasa dan konteks sosial.
Artinya, masyarakat tutur bahasa, mampu membeda-bedakan penggunaan bahasa. Penggunaan
bahasa seperti ini terjadi dengan tidak adanya alih kode dan campur kode,
dengan begitu bisa dikatakan sebagai tipe pemertahanan bahasa aktif. Hal ini ditegas lagi
oleh Siregar (dalam Ningsih, 2009:28) yang menyatakan bahwa pemertahan aktif
adalah sebuah keadaan masyarakat tutur bahasa yang mampu membeda-bedakan penggunaan
bahasa serta tidak adanya alih kode dan campur kode.
Pemertahanan bahasa pasif menurut Siregar (dalam Ningsih, 2009:28-29) memiliki ciri masyarakat tutur yang bilingual atau bahkan multilingual
yang di dalamnya terdapat sikap penggunaan bahasa yang tumpang tindih. Artinya, penggunaan
bahasa daerah oleh masyarakat tutur bahasa dianggap sebagai lambang identitas etnik yang dilakukan dengan kegiatan berbahasa.
Dengan keadaan yang seperti ini, bahasa daerah tidak digunakan secara teratur sesuai dengan fungsinya, sebagai lambang kedaerahan. Selain itu, pemertahan bahasa
pasif ini ditandai dengan adanya campur kode dan alih kode.
Jadi pemertahanan bahasa ada dua jenis yaitu pertama, pemertahanan bahasa aktif.
Pemertahanan bahasa aktif adalah keadaan masyarakat tutur yang mampu
membeda-bedakan penggunaan bahasa. Penggunaan bahasa seperti ini tidak terdapat alih kode dan
campur kode. Kedua, pemertahanan pasif, yaitu penggunaan bahasa daerah yang
hanya digunakan untuk menunjukkan identitas etnis dan di dalam penggunaannya
terdapat campur kode dan alih kode.
3. Hubungan Pemertahanan Bahasa dengan Pilihan dan Sikap Bahasa
Sumarsono (2007:231-234) menyatakan bahwa pemertahanan bahasa
merupakan sebuah kondisi ketika komunitas masyarakat tutur bahasa mampu
memertahankan pola penggunaan bahasa yakni pilihan bahasa yang digunakan.
Artinya, hubungan antara pola penggunaan bahasa atau pilihan bahasa dengan
pemertahanan bahasa bisa di bilang merupakan sebuah hubungan sebab-akibat.
Pemertahanan bahasa merupakan akibat dari adanya kekonsistenan pola penggunaan
bahasa yang berarti adanya kestabilan pilihan bahasa.
Selain itu, jika melihat pengertian “pilihan bahasa” yang
terdiri dari kata “pilihan” dan kata “bahasa”. Kata “pilihan” merupakan sesuatu
yang “dipilih” atau “hasil memilih” (Tim penyusun KBBI 1990:683). Jika
dihubungan dengan kata “bahasa”, pilihan bahasa adalah bahasa yang telah
dipilih atau bahasa yang merupakan hasil memilih dari sekian banyak bahasa yang
ada. Artinya, ada sebuah sikap untuk mengambil keputusan di dalam dari pengertian istilah “dipilih” dan “hasil
memilih”. Pertanyaannya adalah siapa yang mengambil keputusan atau siapa yang
memilih. Jawabannya, sudah pasti yaitu pengguna bahasa atau masyarakat tutur
bahasa tersebut.
Dalam pengertian pilihan bahasa ini, sudah dapat diambil
kesimpulan bahwa ada sebuah sikap dari pengguna bahasa yang merupakan sebuah
sikap bahasa baik sikap positif ataupun negatif. Sikap bahasa yang positif atau
negatif terhadap sebuah bahasa akan berakibat pada bertahan atau tidaknya suatu
bahasa. Artinya, jika sikap positif lebih dominan, pemertahan bahasa akan
terjadi. Namun, jika sebaliknya sikap negatif lebih dominan, pergeseran bahasa
yang akan terjadi. Penjelasan bagaimana keterikatan hubungan antara sikap
pengguna bahasa, pilihan bahasa, dan pemertahanan bahasa sudah sangat jelas.
Dengan adanya sikap positif dari masyarakat pengguna bahasa yang menjatuhkan pilihan
bahasa pada bahasa lama (bahasa yang sudah dikuasai sebelum masuknya bahasa
baru), pergeseran bahasa tidak akan terjadi, dan ini berarti terjadi
pemertahanan bahasa.
Jadi, pemertahanan bahasa sangat bergantung pada sikap dan
pilihan bahasa pengguna bahasa tersebut. Selain itu, pemertahanan bahasa juga
sangat membutuhkan sikap loyalitas dari masyarakat tutur terhadap bahasa daerah
dan pastinya keadaan seperti ini harus didukung dengan adanya wilayah pemukiman
yang terkonsentrasi.
D.
Bentuk Bahasa yang Dipethanankan
Bentuk bahasa yang dipertahannkan
adalah tataran bahasa yang meliputi kata, frasa, klausa, kalimat, dan wacana.
a.
Kata
Kata merupakan sebuah fenomena yang
hingga kini masih belum menemukan kejelasan arti, karena banyak linguis yang
mengartikan kata ini. Pertama, menurut Chaer (2007:162) kata
adalah deretan huruf yang diapit oleh dua spasi. Pengertian ini pas jika kata yang
dimaksud dalam pengertian ini seperti kata sikat,
kucing, dan spidol. Pertanyaannya
adalah, bagaimana dengan kata tiga puluh,
luar negeri dalam negeri? Dengan
begitu pengertian ini tidak bisa diterima.
Pendapat kedua berasal dari Bloomfield (dalam Chaer, 2007:163) yang
menyatakan bahwa kata adalah satuan bebas terkecil. Lebih jelas Chaer
(2007:222) menyebut kata sebagai satuan gramatikal bebas terkecil. Namun disisi lain Chaer (2007:163)
berpendapat bahwa kata merupakan bentuk yang, susunan fonologisnya stabil,
tidak berubah, dan memiliki mobilitas di dalam kalimat. Artinya, kata adalah
sebuah deretan huruf yang tersusun stabil dan tidak berubah dan terkadang
menjadi sebuah kalimat.
Jadi, dari beberapa pendapat di atas,
dapat disimpulkan bahwa kata adalah sebuah satuan gramatikal bahasa yang bebas
dan terkecil yang tersusun dari deretan huruf yang stabil dan tidak dapat
diubah, serta terkadang dapat menjadi sebuah kalimat. Seperti contoh kata di
bawah ini.
lama
lihat
terasi
b.
Frasa
Menurut Chaer (2007:222), frasa
adalah satuan gramatikal yang berupa gabungan dari kata yang bersifat
nonpredikatif atau lazim disebut gabungan kata yang mengisi salah satu fungsi
sintaksis di dalam kalimat. Artinya, sebuah frasa sudah pasti lebih dari satu
kata.
Jika dalam pengertiannya, kata adalah
satuan gramatikal bebas terkecil. Maka, sebuah frasa haruslah berupa morfem
bebas dan bukanlah morfem terikat (Chaer, 2007:222). Jadi, konstruksi belum makan, tanah tinggi adalah frasa karena memiliki dua kata yang setiap
satuannya bebas, Sedangkan tata boga
dan interlokal bukanlah frasa karena
setiap satuannya merupakan morfem terikat dengan satuan lainnya. Selain itu,
satuan gramatikal pada setiap satuan morfem tidak bersifat predikat (Chaer,
2007:222). Contoh prosa seperti di bawah ini.
belum makan
tanah tinggi
c.
Klausa
Klausa menurut Chaer (2007:231)
adalah satuan sintaksis berupa runtutan kata-kata berkonstruksi predikatif.
Artinya, di dalam konstruksi itu ada komponen, berupa kata atau frasa, yang
berfungsi sebagai subjek, objek, dan bisa juga sebagai keterangan. Selain
fungsi predikat yang harus ada dalam konstruksi klausa ini, fungsi subjek boleh
dikatakan wajib, sedangkan yang lainnya tidak wajib. Seperti dalam contoh
klausa berikut ini.
Kamar tengah
Kamar tengah adalah sebuah frasa
bukanlah klausa karena hubungan komponen kamar dan komponen tengah tidak
bersifat predikatif.
Nenek
mandi
Nenek mandi adalah sebuah klausa karena hubungan komponen
nenek dan mandi bersifat predikatif;
nenek adalah komponen bersifat subjek dan mandi adalah komponen bersifat
predikat.
d.
Kalimat
Berbagai definisi mengenai kalimat
memang telah banyak dibuat orang. Djuha (dalam Chaer, 2007:240) mendefinisikan
kalimat sebagai susunan kata-kata yang teratur yang berisi pikiran yang
lengkap. Artinya, kalimat adalah sebuat dereran dari kata-kata yang tersusun
rapi, teratur, dan memiliki sebuah arti atau penjelasan pikiran yang lengkap.
Pengertian yang dijelaskan Djuha
tersebut dilengkapi oleh Chaer (2007:240) yang menjabar kalimat secara konsep merupakan satuan
sintaksis yang disusun dari konstituen dasar, yang biasanya berupa klausa, yang
dilengkapi konjungsi jika perlu. Hal ini terjadi apabila kalimat tersebut
dikonsepkan sebagai satuan-satuan sintaksis yang lebih kecil seperti kata,
frasa, dan klausa, kemudian diakhiri dengan intonasi yang final.
Dari rumusan tersebut bisa
disimpulkan bahwa yang menjadi konsep dasar sebuah kalimat adalah konstituen
dasar dan intonasi final, sebab konjungsi hanya ada jika diperlukan. Konstituen
dsasar itu biasanya berupa klausa. Jadi, jika klausa diberi intonasi final,
akan terbentuk sebuah kalimat. Seperti contoh berikut ini.
Nenek membaca.
Selain kesimpulan di atas, ada
kesimpulan lain yakni konstituen dasar itu juga tidak selalu berupa klausa
(karena dikatakan biasanya berupa klausa), melainkan bisa berupa kata atau
frasa
Namun, kalimat yang terdiri dari
sebuah kata, atau frasa merupakan sebuah kalimat terikat, sedangkan kalimat
yang merupakan sebuah klausa merupakan sebuah kalimat bebas. Dari penjelasan di
atas, dberikut ini adalah contoh tuturan kalimat yang baik.
Nenek membaca komik di kamar, ketika
kakek membaca buku Lupus di kebun
e.
Wacana
Dalam kehidupan sehari-hari, di
setiap percakapan pasti ada istilah tentang wacana, sehingga dalam percakapan
bahasa Madura pun memiliki wacana. Menurut Chaer dan Agustina (2010:267),
wacana adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal
merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar.
Sebagai satuan bahasa yang lengkap,
wacana berarti terdapat konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang utuh yang bisa
dipahami oleh pembaca (dalam wacana tulis) atau pendengar (dalam wacana lisan).
Artinya, jika wacana merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar,
berarti wacana itu dibentuk dari kalimat atau kalimat-kalimat yang memenuhi
persyaratan granatikal dan persyaratan kewacanaan lainnya, seperti adanya
kekohesian antarunsur dan membentuk sebuah kekoherensian.
Contoh penggalan wacana tulis yang
kohesi.
Lampiran-lampiran
Lampiran
biasanya berisi hal-hal teknis yang akan tampak tidak praktis jika dimasukkan
ke dalam teks laporan atau akan tidak pantas karena akan mengganggukelancaran
penyajian laporan. Bagian lampiran jangan dianggap sebagi tempat untuk
menampung segala sesuatu. Sebagai contoh yang dapat dijadikan lampiran:
tabel-tabel umum yang bermanfaat bagi pembacauntuk menilai masalah yang dikaji
(Mahsun, 2005:267).
Dari wacana di atas dapat
di lihat adanya kekohesian yang membentuk kekoherensian antara judul wacana
dengan isi wacana.
Contoh wacana lisan.
Dika dan Nita ke toko
buku. Dia ingin membeli kamus bahasa Jepang yang baru.
Contoh di atas merupakan
sebuah wanaca lisan. Namun, wacana di atas tidak kohesi, karena kata “dia”
tidak jelas mengacu pada siapa, kepada Dika, kepada Nita, ataukah kepada
keduanya (Chaer dan agustina, 2010:267)
E.
Pola Bahasa
Pola adalah bentuk atau model (atau, lebih abstrak, suatu set
peraturan) yang bisa dipakai untuk membuat atau untuk menghasilkan suatu atau
bagian dari sesuatu, khususnya jika sesuatu yang ditimbulkan cukup mempunyai
suatu yang sejenis untuk pola dasar yang dapat ditunjukkan atau terlihat, yang
mana sesuatu itu dikatakan memamerkan pola. Deteksi pola dasar disebut pengenalan
pola. Pola yang paling sederhana didasarkan pada repetisi: beberapa tiruan satu
kerangka digabungkan tanpa modifikasi (http://id.wikipedia.org/wiki/Pola)
Pola dasar kalimat bahasa Indonesia adalah sebagai berikut :
Kalimat Dasar Berpola
S P
Kalimat dasar tipe ini memiliki unsur subjek dan predikat.
Predikat kalimat untuk tipe ini dapat berupa kata kerja, kata benda, kata
sifat, atau kata bilangan. Misalnya:
Mereka [S] / sedang berenang [P (kata kerja)]
Kalimat Dasar Berpola
S P O
Kalimat dasar tipe ini memiliki unsur subjek, predikat, dan
objek. Misalnya:
Mereka [S] / sedang menyusun [P]/ karangan ilmiah [O]
Kalimat Dasar Berpola
S P Pel.
Kalimat dasar tipe ini memiliki unsur subjek, predikat, dan
pelengkap. Misalnya:
Anaknya [S] / beternak [P] / ayam [Pel]
Kalimat Dasar Berpola
S P O Pel.
Kalimat dasar tipe ini memiliki unsur subjek, predikat,
objek, dan pelengkap. Misalnya:
(7) Dia [S] / mengirimi [P] / saya [O] / surat [Pel]
Kalimat Dasar Berpola S P K
Kalimat dasar tipe ini memiliki unsur subjek, predikat, dan
keterangan. Misalnya:
(8) Mereka [S] / berasal [P] / dari Surabaya [K]
Kalimat Dasar Berpola S P O K
Kalimat dasar tipe ini memiliki unsur subjek, predikat,
objek, dan keterangan. Misalnya:
(9) Kami [S] / memasukkan [P] / pakaian [O] / ke dalam lemari
[K]
C. Metode
1.
Metode penyedian data
Menurut Mahsun (2005: 218-229),
pengumpulan data dilakukan sendiri oleh peneliti dengan menggunakan tiga
metode, yaitu metode simak, metode survei, dan metode cakap. Namun dalam
makalah ini hanya menggunakan metode simak karena sumber dan objek penelitian berupa
sebuah film dan tokoh utama dari film tersebut. Metode simak dilakukan dengan
cara menyimak produksi bahasa yang dihasilkan oleh Ikhsan.
2. Metode analisis data
Teknik analisis data, adalah elemen
penting dalam menjawab masalah. Oleh sebab itu, penelitian ini menggunakan
teknik analisis deskriptif yang diawali
dengan kegiatan pengatagorian data dilanjutkan dengan kegiatan menginterpretasi
data, dan penyimpulan. Kegiatan ini dilakukan dengan berdaur (Sunarto,
2001:458) yang diawali dengan pengumpulan data, reduksi data, pemaparan
data, dan simpulan. Analisis
data dilakukan dengan teknik trankripsi data yang kemudian dikaitkan dengan
teori yang digunakan dan terakhir disimpulkan.
Transkripsi data. Dalam tahap ini, data yang diperoleh dari
hasil sadap dan cakap akan diubah menjadi data tertulis ke dalam bentuk bahasa Madura, sesuai dengan ujaran informan.
Selain itu, peneliti akan mentranskripsikan ujaran ke dalam bentuk tulisan
fonetis sesuai dengan yang peneliti dengar dan apa adanya.
D. Sinopsis Film Ikhsan; Mama, I Love
You
Film “Ikhsan; Mama, I love You” adalah film yang menceritakan tentang hidup
seorang anak penderita disleksia bernama Ikhsan. Ikhsan, seorang anak yang suka
melamun, bertualang, dan sering membolos. Ikhsan sudah tinggal di kelas 3
selama 2 tahun. Oleh teman-teman dan gurunya, Ikhsan adalah anak yang bodoh.
Perilaku Ikhsan di rumah pun sering membuat orang tuanya kewalahan. Suatu hari,
Ikhsan terlibat perkelahian, dan dikeluarkan dari sekolah.
Ayah Ikhsan pun menggunakan koneksinya untuk memasukkan Ikhsan ke sebuah
sekolah berasrama di tengah semester. Sayangnya Ikhsan yang tidak mandiri dan
sensitif malah tertekan di asrama yang menerapkan disiplin ketat. Ikhsan
mengalami depresi, emosinya labil, dan dia pun menjadi pemarah. Suatu hari,
asrama tersebut kedatangan Harun, guru seni baru yang suka menari dan menyanyi.
Kondisi Ikhsan pun mendapat perhatian dari Harun yang juga penderita disleksia.
Harun membantu Ikhsan untuk memperlihatkan kemampuan tersembunyi dalam dirinya.
Akhirnya, Harun mampu menyembuhkan Ikhsan dari penyakit disleksianya.
Para pemain film ini diantaranya : Wulan Guritno, Fachri “Si Entong”
Muhammad, Ibnu Djamil, Rendi Bragi, Winnie Yanthi, Jesse Lantang, M Farouq, Dik
Doank, dan David Saragih.
E. Analisis
Pada toko Ikhsan dalam film Disleksia, ia
mengalami disleksia, hal ini terbukti pada adengan pembukaan film tersebut
dengan situasi Ikhsan disuruh membaca ulang buku bacaannya di kelas namun ia
mengucapkan fonem-fonem yang tidak beraturan. Dengan kata lain, proses resepsi
dan produksi oral Ikhsan bermasalah. Ketika Ikhsan mulai membaca buku tersebut,
ia mengatakan bahwa hurufnya menari-nari. Seperti dibawah ini.
Potret salah satu adengan film Disleksia
“ketika Ikhsan hendak membaca buku”
Gambar 1 Gambar 2
Gambar 3 Gambar 4
Ketika adengan ini terputar, Ikhsan
mengatakan bahwa “hurufnya menari-nari”.
Mendengar pengakuan Ikhsan yang mengataka
bahwa hurufnya menari-nari, tidak membuat Ibu guru bermurah hati padanya,
melainkan ibu guru tersebut memarahinya dan tetap menyuruhnya untuk melanjutkan
membaca buku tersebut. Hasilnya, Ikhsan melafalkan fonem-fanem sebagai berikut.
Data ujaran 1
“Ibuibubapabapaibuibubapakibububapapaibuibubapabapabububapapaibububapapa”
Mendengar hasil membaca Ikhsan tersebut,
sontak membuat ibu guru tersebut marah dan menghukum Ikhsan karena hasil
produksi oralnya tidak beraturan dan memiliki makna serta terkesan asal bicara.
Selain itu, sebelum Ikhsan membaca, Ikhsan menunjukkan sikap seperti
menyepelekan hal tersebut. Dengan ini, sudah bisa dikatakan bahwa Ikhsan
mengalami masalah dalam tahap produksi oral dan sikap bahasa. Masalah yang
terjadi pada Ikhsan ini dikarenakan pada waktu proses resepsi literal, Ikhsan
mengalami masalah, sehingga mengakibatkan proses produksi oralnya menjadi
terganggu. Dalam kaitannya dengan gangguan berbahasa, keadaan yang dialami Ikhsan
sudah jelas menyatakan bahwa Ikhsan mengalami gangguan berbahasa karena ia
mengalami masalah dalam proses resepsi literal sehingga menyebabkan gangguan
pada proses produksi oralnya.
Dalam kasus ini, terganggunya proses
resepsi ini di buktikan dengan sikap dan perkataan dari Ikhsan yang menyatakan
bahwa huruf yang ia lihat di buku teks terlihat menari-nari (ketika melihat
buku; huruf, angka, dan gambar saling bertukar tempat dan hal inilah yang membuat
Ikhsan berpikir dan mengatakan hal tersebut). Dalam kacamata gangguan berbahasa
terganggunya proses resepsi dapat mengakibatkan gangguan pada produksi oral
dapat dikatagorikan pada gangguan berbahasa yang terjadi pada Wernicke. Gangguan
pada otak yang bertempat di otak bagian Wernicke,
dapat dikategorikan sebagai disleksia.
Selain
itu, mengenai makna dari hasil produksi oral Ikhsan tidak memiliki tatabahasa,
karena produksi oral ini dikeluarkan dengan tempo yang cepat dan terdengar
sengau dan tak memiliki makna karena tidak ada jeda atau hukum tanda baca
(seperti tanda baca titik). Namun, jika dilihat dan didengarkan secara seksama,
akan terdengar dan terbaca. Ada sebuah kata yang memiliki makna di dalam
produksi oral Ikhsan tersebut. Hal ini terbukti jika mengaitkan hasil oral Ikhsan
ini dengan adanya sebuah ritme atau pola pelafalan yang sebenarnya ada
didalamnya. Adanya ritme ini sesuai dengan ciri-ciri gangguan berbahasa yang
sudah disebutkan oleh Sudarto (dalam Kridalaksana 1986) yaitu terdapat sebuah
ritme atau pola dalam ujaran penderita gangguan berbahasa ini.
Jika
melihat dari hasil produksi Ikhsan tersebut terdapat sebuah ritme atau pola
pelafalan seperti dibawah ini.
Asal ujaran
“Ibuibubapabapaibuibubapakibububapapaibuibubapabapabububapapaibububapapa”
Ujaran yang dipotong-potong
“Ibu/
ibu/ bapak/ bapak/ ibu/ ibu/ bapak/ bapak/ ibubu/ bapapa/ ibubu/ bapapa/ ibubu bapapa/
ibubu/ bapapa”
1.
Pada pemotongan di atas, jelas terdapat sebuah
ritme atau pola yang akhirnya membentuk sebuah kata, seperti kata ibu dan bapak
yang memiliki makna orang tua permpuan dan orang tua laki-laki.
2.
Pola pertama adalah kata ibu yang diulang dua
kali sebanding dengan kata bapak yang di ulang sebanyak dua kali juga.
“Ibu/ ibu” dengan “bapak/
bapak”
3.
Pola kedua adalah pelafalan pola pertama (Ibu/
ibu/ bapak/ bapak) yang terulang sebanyak dua kali.
“Ibu/ ibu/ bapak/ bapak/ ibu/ ibu/ bapak/
bapak”
4.
Pola ketiga adalah adanya pengulangan pelafalan
“ibubu” dan “bapapa” sebanyak 4 kali. Seperti di bawah ini.
“ibubu/ bapapa/ ibubu/ bapapa/ ibubu bapapa/ ibubu/ bapapa”
Pada
pola pertama dan kedua ujaran Ikhsan masih memiliki makna sedangkan pada pola
ujaran yang ketiga ujaran ini tidak
memiliki makna. Namun, jika di kaji lebih mendalam dalam pola ujran yang ketiga
ini masih memiliki pola lainnya jika mengikuti pola pertama dan kedua. Seperti
di bwah ini.
Pola ketiga
“ibubu/ bapapa/ ibubu/
bapapa/ ibubu bapapa/ ibubu/ bapapa”
Potongan kedua untuk membentuk pola pertama
“ibu/ bu/ bapa/ pa/
ibu/ bu/ bapa/ pa/ ibu/ bu bapa/ pa/ ibu/ bu/ bapa/ pa”
Pada pemotongan di atas terdapat pola “ibu/ bu”
dengan pola “bapa/ pa” yang terulang sebanyak empat kali. Seperti di bawah ini.
“ibu/ bu/ bapa/ pa”
.... “ibu/ bu/ bapa/ pa” .... “ibu/ bu
bapa/ pa” ... “ibu/ bu/ bapa/ pa”
Pada suku pertama dari ujaran
di atas masih memiliki makna, jika pada suku ujaran kedua setelah kata “ibu”
yaitu ujaran “bu” itu di asumsikan sebagai perwujudan kata ibu yang mengalami
pengurangan suku kata yaitu huruf “..i..” , maka semua pola ujaran yang
membentuk ujaran “bu” tersebut memiliki makna karena membentuk kata “ibu”.
Selanjutnya, pada pola ujaran
“bapa”. Jika mengikuti pola ujaran yang pertama selayaknya kata ibu, berarti
pola ujaran ini akan membentuk kata “bapak”. Namun, pada pola ujaran ini
terjadi pengurangan huruf “k” sehingga ujaran tersebut tidak memiliki makna.
Kemudian, pengujaran pola ujaran “pa” yang sebelumnya di ikuti pengurajan lafal
“bapa” yang berarti bapak, maka dapat disimpulkan bahwa ujaran “pa” di sini
dimaksudkan pada kata bapak yang mengalami pengurangan suku kata “ba” dan
konsonan “k”.
Jadi, dari hasil analisis di
atas dapat disimpulkan bahwa Ikhsan mengalami gangguan berbahasa dalam kasus
gangguan membaca, karena dari hasil analisis ditemukan bahwa Ikhsan mengalami
gangguan membaca ini ditandai dengan melakukan pengurangan suku kata “..i..”
pada ujaran “bu” yang seharusnya “ibu” dan pengurangan suku kata “ba” dan
konsonan “k” pada ujaran “pa” yang seharusnya “bapak”.
Selain itu, pernyataan
“hurufnya menari-nari” yang dilontarkan oleh Ikhsan menandakan bahwa Ikhsan
mengalami kegagalan dalam proses resepsi. Ketika Ikhsan hendak membaca, huruf,
angka, dan gambar terlihat seperti sedang menari-nari dalam buku teks tersebut.
Hal ini membuat Ikhsan kebingungan dan membuktikan bahwa Ikhsan gagal dalam
melakukan proses resepsi terhadap bacaan di buku teks tersebut dan
mengakibatkan proses proses produksi oral pun terganggu dan menyebabkan gangguan dalam proses membaca.
Pada fase berikutnya adalah produksi literal dari
Ikhsan, pada kajian teori sudah dijelaskan bahwa disleksia memiliki kesulitan
dalam hal membaca dan menulis, yang disimpulan sebagai gangguan berbahasa. Di
atas sudah terbukti bahwa Ikhsan mengalami gangguan dalam hal membaca. untuk
hal produksi literal atau kemampuan menulis pun Ikhsan mengalami gangguan.
Seperti di bawah ini.
Gambar 5 Gambar
6
Gambar 7
Gambar 8
Sesuai dengan penjelasan mengenai disleksia,
penderita gangguan ini bukanlah orang yang malas, hal ini terbukti dengan usaha
belajar menulis yang dilakukan oleh Ikhsan sebagai di atas.
Ikhsan mengalami kesulitan dalam mengeja alfabet
seperti yang diterangkan oleh Harun, dan ia juga bukan orang yang malas dengan
membuktikan bahwa Ikhsan telah berusaha mengeja kata “hukum” sebanyak 5 kali.
Namun sebenarnya Ikhsan mengeja sebanyak 6 kali pada gambar 8.
Pada
gambar 5, 6, 7, dan 8, harun menjelaskan bahwa Ikhsan mengalami
kebingungan dalam membedakan huruf yang
hampir sama bentuknya. Pada gambar 5, Ikhsan menuliskan kata “berikut” dan “bermain” dengan ejaan
“derikut” dan “dermain”. Kemiripan huruf “d” dan “b” membuat Ikhsan kebingungan
karena dia tidak mampu membedakan kedua huruf tersebut. Selain itu, pada gambar
6 Ikhsan menulis kata “semut” dengan ejaan “zemut”. Pada gambar 6 ini Harun
menjelaskan bahwa Ikhsan kebingungan
dalam memilih dan mengeja huruf “s” dengan huruf “z”.
Pada kasus di gambar 8 terlihat usaha yang
dilakukan Ikhsan, agar ia bisa menulis dengan benar. Usaha Ikhsan tersebut
sebagai berikut.
Data tulis 1
hnknm
hukum
huknm
kuhum
mukum
hkumu
Dari ejaan-ejaan yang dilakukan Ikhsan di atas
sudah membuktikan dengan penjelasan yang diuraikan oleh Harun bahwa Ikhsan
bukan orang yang malas, melainkan Ikhsan adalah orang yang rajin berusaha.
Namun, hal ini tidak diketahui oaleh kedua orang tua Ikhsan yang akhirnya
menfonis Ikhsan sebagai anak yang malas, sehingga membuat Ikhsan marah pada
dirinya sendiri dan membuat dirinya terbawa dengan amarahnya sehingga terbawa
dalam dunia diluar dunia belajar. Seperti saat istiharat sekolah, ia berkelahi
untuk melampiaskan kekesalannya pada anak yang mengganggu ketenangannya yang
hanya bisa ia peroleh dengan menggambar kartun.
Selain
itu, kebingungan Ikhsan akan huruf yang bentuknya hampir sama seperti huruf “n”
dan huruf “u”. Kebingungan ini dijelaskan pada pengejaan pada baris 1, 2, dan
3, pada data tulis 1. Pengejaan yang benar hanya ada pada pengejaan yang kedua
yaitu “hukum”, sedangkan pengejaan pertama dan ketiga terdapat kebalikan bentuk
dari huruf “u” menjadi hurun “n” seperti pengejaan “hnknm” dan “huknm”. Kebingungan ini juga berlanjut pada
kebingungan pengejaan yang terjadi pada pengejaan kata hukum. Seperti pada
ejaan baris ke 4, 5, dan 6 pada data tulis 1,
yang di urutkan “kuhum”, “mukum”, “hkumu”.
Jadi, dari hasil salah eja inilah menyebabkan
pemaknaan yang seharusnya ada, menjadi tidak ada. Selain itu, hal ini jelas
membuktikan bahwa Ikhsan mengalami kesulitan berbahasa yakni pada kemampuan
menulis.
Dari analisis di atas dapat disimpulkan bahwa
Ikhsan mengidap penyakit Disleksia karena dalam pengertiannya Disleksia adalah
penyakit yang menyerang otak di bagian Wernicke
yang menyebabkan terganggunya
kemempuan membaca dan menulis. Oleh
karena itulah mengapa Disleksia merupakan salah satu gangguan berbahasa, karena
dalam pembahasannya gangguan berbahasa memiliki gangguan pada otak di bagian Borca dan Wernicke.
D. Kesimpulan
Dari pengaanalisisan di atas ditemukan bahwa
Disleksia merupakan gangguan berbahasa yang meliputi gangguan kemampuan membaca
dan menulis. Jika dikaitkan dengan pemertahanan bahasa, dimana dalam
pembahasannya terdapat sikap bahasa, pola, dan bentuk bahasa yang
dipertahankan. Jadi, jika demikian dapat di simpulkan bahwa gangguan berbahasa
dalam kasus Disleksia dalam menyebabkan gangguan pada proses pemertahanan
bahasa karena pada analisis awal, Ikhsan memiliki sikap bahasa yang cenderung
negatif (menyepelekan kemampuan membaca). Selain itu, Disleksia terbukti
memengaruhi proses resepsi dan produksi oral maupun literal. Hal ini dapat
menyebabkan pemertahanan dalam bentuk bahasa yang akan di pertahankan akan
mengalami gangguan. Terakhir dalam pola, pada pola bentuk bahasa sudah jelas
terbukti bahwa dalam produksi oral pada orang yang menderita penyakit Disleksia
tidak memiliki pola yang benar, seperti pada pola bentuk bahasa yang di produki
Ikhsan ketika ia di suruh membaca olek gurunya.
E. Daftar pustaka
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik
Kajian Teoretik, Jakarta: Rineka Cipta
Indira Permanasari. "Disleksia: Mereka (Tetap) Anak Pintar", (Kompas), 24 Agustus, 2010.
hlm. 13.
Kaplan H I,Sadock
B J,Grebb J A.Tanda dan Gejala Penyakit Psikiatrik. In: I
Made Wiguna S, eds. Sinopsis Psikiatri, Jilid 1. Tangerang: Bina Rupa
Aksara Inc;2010:466-480.
Widodo judarwanto.
Wikipedia. Org. http://id.wikipedia.org/wiki/Disleksia di unduh tanggal 29 Januari 2013. (22.30
WIB).
Sumarsono. 2007. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sunarto. 2001. Metodologi penelitian ilmu-ilmu sosial dan pendidikan. Surabaya:
Unesa University Prees.
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik Perkenalan Awal.
Jakarta: Rineka Cipta.
Ibrahim, Abdul Syukur. 1995. Sosiolinguistik. Sajian Tujuan, Pendekatan,
dan problem-problemnya. Malang: Usaha Nasional.
Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa Terapan Strategi, Metode, dan Terkniknya.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
http://nabiyutiful.blogspot.com/2010/10/pola-dasar-kalimat-bahasa-indonesia.html di
unduh pada tanggal 30 Januari 2013
http://klinikautisindonesia.wordpress.com/2012/11/03/aleksia-gangguan-belajar-disleksia-dengan-tipe-gangguan-membaca/ di unduh tanggal 30 Januari 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar