A. Pendahuluan
Psikoanalisis adalah ilmu yang melandaskan analisisnya pada kejiwaan manusia. Kecenderungan manusia selalu menjadi fokus persoalan dalam berkarya. Oleh karena itu tidak akan terlahir sebuah karya sastra tampa adanya stimulus dari sebuah kendala emosional yang terjadi pada diri pengarang. Konsep kamian inilah yang menjadikan teori Psikoanalisis mendapat berbagai pertentangan. Karena dengan demikian akan merendahkan derajat pengarang. Pengarang akan dianggap hina karena diketahui kekurangan-kekurangan kejiwaannya dalamberkarya. Kontradiksi-kontradiksi yang ada dalam teori Psikoanalisis dapat kita lihat pada pertentangan teoritis sampai sekarang ini.
Teori Psikoanalisis di anggap sangat sulit di buktikan. Para analisis beranggapan bahwa kamian yang melandaskan pada perasaan (jiwa ) seseorang dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Nawal EL Saadawi merupakan orang yang secara langsung menolak teori psikoanalisis. Teori psikoanalisis dianggap tidak mempunyai rasionalitas baik dalam kaitannya pada bidang pengobatan maupun sastra.
Pada awalnya teori Psikoanalisis merupakan penemuan dari praktek psikeitri yang dilakukan oleh Freud. Singmund Freud mempelajari kejiwaan pasien - pasiennya dengan metode pengungkapan masa lalu pasiennya.
Dari hasil analisis ini, Freud menemukan korelasi antara mimpi dengan kondisi kejiwaan ataupun kelainan-kelainan syaraf pada seseorang yang kemudian dikaitkan antara konsdisi kejiwaan yang dimunculkan manusia dengan kreativitas pikiran manusia.
Penentangan terhadap teori psikoanalisis terus saja bergema dari berbagai kalangan. Ironisnya pertentangan yang dilakukan oleh para kritikus itu justru menjadikan teori ini banyak diminati orang. Beberapa kritikus yang menggunakan konsep ini adalah Eric Fromm, Jaques Lacan, George Tarabishi dan J.C. Jung. Mereka yang pada awalnya menolak teori ini, akhirnya banyak mengambil pemikiran dari teori ini. Para kritikus ini banyak dan mengadopsi konsep-konsep yang ada dalam Psikoanalisis.
Ada beberapa kemungkinan teori psikoanalisis ini disangsikan. Pertama adalah kamian yang berorientasi pada kondisi bawah sadar manusia sangat sulit untuk dilakukan. Dengan demikian teori ini juga sangat sulit untuk dibuktikan. Kedua, teori ini mengandung aspek-aspek yang berkaitan dengan harga diri seseorang. Sehingga jika hal itu dilakukan akan mendapatkan penolakan dari orang yang bersangkutan (sastrawan).Ketiga aplikasi dari Psikoanalisis dianggap tidak bisa memberikan sesuatu yang lebih positif, baik dalam bidang kamian–kamian karya-karya sastra maupun dalam bidang-bidang pengobatan.
Berangkat dari permasalahan-permasalahan tersebut di atas, tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan beberapa alasan teoritis mengenai rasionalitas teori ini sebagai salah satu teori pendekatan sastra. Diharapkan penemuan ini bisa meyakinkan kita untuk menggunakan berbagai teori - teori Psikoanalis dalam pendekatan-pendekatansastra
B. Konsep-konsep Satra Dalam Kajian–Kajian Psikoanalisis.
Setelah melakukan analisis secara mendalam dari seluruh karya Sigmund Freud, kami tidak menemukan konsep yang secara tegas membicarakan sastra. Freud lebih banyak membicarakan gejala-gejala psikologis yang diakibatkan oleh kerusakan syaraf pada seseorang. Gejala inilah yang menurut Freud membuat seseorang melakukan proses kreatif yang tertuang dalam bentuk karya. Meskipun tidak secara tegas membicarakan konsep sastra, teori psikoanalisis banyak mengupas tentang proses kreatif seseorang. Proses inilah yang kemungkinan dianggap oleh sebagian kritkus berkaitan erat dengan proses terbentuknya karya sastra.
Proses kreatif yang dimaksudkan disini adalah semua hasil karya hidup manusia. Ilmu pengetahuan, filsafat, seni, termasuk agama menurut Prof. Freud adalah hasil kreatifitas manusia. Jika demikian karya sastra merupakan bagian dari proses kreatif itu. Emosi pengarang sangat dominan dalam penciptaan karya sastra. Oleh karena itu karya ini tidak akan pernah lepas dari kondisi mental manusia. Kondisi mental akan mendorong seseorang melakukan sesuatu yang disebut dengan proses kreatif. Inilah mengapa kondisi psikologis sering juga mempengaruhi nilai-nilai atau corak sebuah karya sastra. Kondisi psikologis sering menjadi materi dalam karya sastra.Terlepas dari ada tidaknya konsep sastra dalam teori psikoanalisis berikut ini akan kami sampaikan konsep-konsep dasar psikoanalisis, yang kemungkinan juga ada kaitannya dengan proses penciptaan sastra itu sendiri.
Kamian ini dimulai dari penelaahan karya monumental Freud yang berjudul Introduction to Psichoanalysis dan The Intrepretation of Dream. Kedua buku inilah yang menjadi fondasi dasar terbentuknya psikoanalisis yang sangat terkenal itu.
Dari dua buku ini kami menemukan konsep dasar psikoanalisis, yang berkaitan dengan proses kreatif manusia. Ada beberapa konsep dasar yang bisa kita bicarakan dalam kamian ini. Kosep dasar pertama adalah gejala atau tanda akan adanya ganguan mental manusia dalam berkaya. Konsep dasar itu adalah konsep kesalahan dan konsep mimpi. Dua hal ini merupakan bentuk lain yang diakibatkan oleh ganguan mental manusia. Mimpi dan kesalahan dalam bertindak sering diasosiasikan dengan gambaran mental seseorang.
Untuk mengetahui terjadinya proses kreatif manusia yang dianggap sama dengan proses mimpi dan gejala neurosis. Kiranya perlu disampaikan disini konsep-konsep dasar itu. Berikut ini akan kami sampaikan konsep psikoanalisis sebagai gambaran singkat terbentuknya proses kreatifitas manusia.
C. Konsep-konsep Psikologi kesalahan.
Prof. Freud menganalisis beberapa keanehan mental yang terefleksi dalam tindakan seseorang. Freud percaya bahwa tindakan seseorang menggambarkan kondisi kejiwaan orang itu sendiri. Keanehan-keanehan yang sering dialami manusia pada umumnya adalah kesalahan bertindak dalam kehidupan sehari-hari (salah ucap, salah tulis, lupa nama orang, dll.)dan juga mimpi.
Konsep pertama Freud berkaitan dengan psikologi kesalahan. Gejala ini menggambarkan kondisi kejiwaan seseorang. Kesalahan-kesalahan kecil yang terjadi pada seseorang merupakan petunjuk yang sangat penting dalam psikoanalisis. Kesalahan ucap, baik karena lupa, maupun karena keseleo lidah bisa dijadikan sebagai intrepretasi adanya gangguan mental.
Dari kesalahan-kesalahan kecil ini kita bisa membaca kondisi psikologis seseorang.Freud mencontohkan bahwa seseorang yang melakukan kesahan ucap memiliki beberapa faktor peyebab. yaitu bila dia lelah atau kurang sehat, bila seseorang terlalu bersemangat atau bila konsentrasinya terganggu (Intro to Psi, 18)
Pernyataan ini menunjukan keyakinan Sigmund Freud akan keterkaitan kondisi fisik dengan gejala-gejala mental manusia yang terefleksi dalam tindakan. Konsep inilah yang kemudian dikaitkan dengan kreatifitas manusia. Proses kreatif seseorang baik dalam bidang ilmu maupun seni juga dianggap mempunyai memiliki kesamaan latar belakang.
D. Mimpi
Pengertian akan mimpi memang masih sangat membingungkan bagi sebagian orang. Namun demikian dari analisis yang disampaikan oleh Sigmund Freud kita bisa menemukan dua jenis mimpi yang terjadi pada manusia. Ada perbedaan perngertian mimpi, antara orang sekarang dengan orang-orang jaman primitif. Meskipun masih juga banyak orang mempercayai bahwa mimpi mempunyai aspek supranatural atau mistik, sebagaimana atau sperti biasanya yang diyakini oleh orang-orang primitif.
Pengertian mimpi yang pertama bisa kita pahami menurut Aristoteles, penulis-penulis jaman sebelumnya tidak memandang mimpi sebagai suatu produk jiwa malainkan ilham yang berasal dari dewa (devine orgin). Oleh karena itu manusia jaman purba membedakan mimpi sebagai berikut;
Pertama, mimpi yang nyata dan berharga, diturunkan pada si pemimpi sebagai peringatan atau untuk meramalkan kejadian-kejadian dimasa depan. Kedua, mimpi yang tak berharga, kosong dan menipu, bertujuan untuk menyesatkan atau menuntun si pemimpi pada kehancuran (tafsir Mimpi, 3).
Dari pengertian ini, kita menjadi sadar akan adanya makna yang terkandung dalam mimpi. Meskipun tetap dipahami juga bahwa tidak semua mimpi memiliki makna yang berkaitan dengan kehidupan kita.
Dengan mengacu pada Macrobius dan Artemindorus, Gruppe berpendapat bahwa mimpi bisa dipilah dalam dua golongan. Golongan pertama adalah mimpi yang diyakini hanya dipengaruhi oleh masa kini (atau masa lalu), dan tidak berkorelasi positif dengan masa depan. Termasuk dalam kategori ini adalah Enuknia (insomnia), yang secara langsung mereproduksi rangsangan yang diberikan atau pun sebaliknya, merangsang secara berlebihan, seperti mimpi buruk menentukan atau mempunyai korelasi yang pasti dengan masa depan.
Hal-hal yang termasuk di dalamm mipi adalah:
1. peramalan yang langsung diterima dalam mimpi (chrematismos, oraculum);
2. pemberitahuan tentang kejadian-kejadian di masa depan (orama, visio); dan
3. mimpi simbolik, yang membutuhkan interpretasi (oneiros, somnium).
Konsep inilah yang sudah berabad-abad menjadi kepercayaan manusia (The Interpretation of Dream,4).
Pengertian mimpi di atas merupakan gambaran mimpi yang dilihat dari prosesnya. Di sisi lain kita juga bisa mengetahui makna mimpi dari muatan yang ada dalam mimpi itu sendiri. Menurut Weygandt, mimpi meneruskan kehidupan alam sadar. Mimpi kita selalu menghubungkan dirinya dengan pikiran-pikiran tertentu yang sesaat sebelumnya muncul dalam kesadaran kita.
Oleh karena itu muatan mimpi selalu ditentukan kurang lebih oleh kepribadian, umur, jenis kelamin, lingkungan, pendidikan dan kebiasaan, serta oleh kejadian-kejadian dan pengalaman-pengalaman dari seluruh kehidupan masa lalu seorang indivudu(Maury,1855).
Dari pengertian-pengertian di atas Freud memegang teguh pendiriannya atas teori mimpi. Meskipun Ia mengakui akan adanya kesulitan di dalam membuktikan gagasan-gagasannya itu. Ia tetap berkeyakinan akan adanya beberapa titik terang bahwa mimpi bisa dipengaruhi oleh kondisi fisik dan pengalaman alam sadarnya. Mimpi hanya reaksi tidak teratur dari fenomena mental yang berasal dari stimulasi fisik. Freud mencontohkan seseorang yang sedang tidur kemudian ia bermimpi sedang minum. Maka sudah bisa dipastikan bahwa pada saat itu ia sedang merasakan kehausan(IntrotoPsychoanalysis,86).
Lebih konkritnya Freud mencontohkan hubungan antara isi mimpi dengan kandung kemih atau kondisi rangasangan seksual ternyata sangat kuat. Orang yang sudah puber juga diawali dengan mimpi basah atau mimpi berhubungan dengan lawan jenis. Hal ini merupakan bukti yang paling mudah dipahami bagi setiap orang.
Disinilah yang memperkuat keterkaitan antara mimpi dengan kondisi riil kehidupan seseorang. Dalam hal ini konsep mimpi terbuka bagi kita lewat tiga jalan. Yaitu lewat pendekatan stimuli pengganggu tidur, lewat lamunan, dan lewat mimpi yang diatur selama hipnotis (Psiko,102).Oleh karena itu, mimpi mempunyai dua karakteristik utama. Yaitu sebagai pemenuhan keinginan dan merupakan pengalaman halusinatif (psiko, 133). Untuk lebih memperjelas proses atau sebab terjadinya mimpi akan kita jelaskan sedikit sebab akibat terjadinya mimpi pada manusia.
E. Psikologi dan Seni
Pembahasan tentang hubungan antara psikologi dan seni telah memunculkan sebuah disiplin yang disebut psikologi seni (psychology of art). Disiplin ini membahas konsep-konsep psikologi yang bisa diterapkan dalam kesenian, jadi merupakan sebentuk ilmu terapan (applied science) dari psikologi terhadap bidang seni. Tetapi disiplin ini hanya dibahas di fakultas atau jurusan kesenian, bukan jurusan psikologi. Hal ini analog dengan penerapan psikologi dalam bidang-bidang lainnya seperti pendidikan (melahirkan disiplin psikologi pendidikan), bidang industri (melahirkan psikologi industri), bidang dakwah (melahirkan psikologi dakwah), dan sebagainya.
Saat berbicara tentang psikologi dan sastra, Rene Wellek dan Austin Warren menulis bahwa istilah “psikologi sastra” memunyai empat kemungkinan pengertian. Pertama, studi psikologi pengarang sebagai tipe atau pribadi. Kedua, studi proses kreatif. Ketiga, studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra. Keempat, studi tentang dampak sastra pada pembaca (psikologi pembaca).[1] Sastra adalah salah satu bentuk karya seni. Dari empat macam hubungan di atas, hubungan pertama, kedua, dan keempat bisa terjadi pada segala bentuk seni. Yang khas sastra mungkin hanya hubungan ketiga, itu pun sastra yang berupa cerita (prosa dan drama).
Di antara berbagai aliran dalam psikologi, psikoanalisis adalah aliran yang paling akrab dengan seni. Sigmund Freud, pendiri psikoanalisis, adalah seorang yang menghargai kebudayaan, menyukai seni, dan gemar membaca sastra sejak muda. Tidak heran kalau kemudian ia menjadikan sastra sebagai medan penelitian sekaligus ilustrasi untuk membuktikan teori-teori yang dikembangkannya. Dalam karya-karya sastra besar,
misalnya Oedipus(Sophokles), Hamlet (Shakespeare), dan The Brother Karamazov (Dostoyevsky), Freud menemukan tipe-tipe manusia yang menyerupai dan sesuai dengan pemikirannya.
F. Konsep Umum Psikoanalisis
Psikoanalisis sendiri pada awalnya adalah sebuah metode psikoterapi untuk menyembuhkan penyakit-penyakit mental dan syaraf, dengan menggunakan teknik tafsir mimpi dan asosiasi bebas. Teori ini kemudian meluas menjadi sebuah teori tentang kepribadian. Konsep-konsep yang terdapat dalam teori kepribadian versi psikoanalisis ini termasuk yang paling banyak dipakai di berbagai bidang, hingga saat ini.
Konsep Freud yang paling mendasar adalah teorinya tentang ketidaksadaran. Pada awalnya, Freud membagi taraf kesadaran manusia menjadi tiga lapis, yakni lapisan unconscious (taksadar), lapisanpreconscious (prasadar), dan lapisan conscious (sadar). Di antara tiga lapisan itu, taksadar adalah bagian terbesar yang memengaruhi perilaku manusia. Freud menganalogikannya dengan fenomena gunung es di lautan, di mana bagian paling atas yang tampak di permukaan laut mewakili lapisan sadar. Prasadar adalah bagian yang turun-naik di bawah dan di atas permukaan. Sedangkan bagian terbesar justru yang berada di bawah laut, mewakili taksadar.
Dalam buku-bukunya yang lebih mutakhir, Freud meninggalkan pembagian lapisan kesadaran di atas, dan menggantinya dengan konsep yang lebih teknis. Tetapi basis konsepnya tetap mengenai ketidaksadaran, yaitu bahwa tingkah laku manusia lebih banyak digerakkan oleh aspek-aspek tak sadar dalam dirinya. Pembagian itu dikenal dengan sebutan struktur kepribadian manusia, dan tetap terdiri atas tiga unsur, yaitu id, ego, dansuperego.
Id adalah bagian yang sepenuhnya berada dalam ketidaksadaran manusia. Id berisi cadangan energi, insting, dan libido, dan menjadi penggerak utama tingkah laku manusia. Id menampilkan dorongan-dorongan primitif dan hewani pada manusia, dan bekerja berdasarkan prinsip kesenangan. Ketika kecil, pada manusia yang ada baru id-nya. Oleh karena itu kita melihat bahwa anak kecil selalu ngotot jika menginginkan sesuatu, tidak punya rasa malu, dan selalu mementingkan dirinya sendiri.
Ego berkembang dari id, ketika manusia mulai meninggalkan kekanak-kanakannya, sebagai bentuk respon terhadap realitas. Ego bersifat sadar dan rasional. keinginan-keinginan id tidak selalu dapat dipenuhi, dan ketika itulahego memainkan peranan. Ego bekerja berdasarkan prinsip realitas. Misalnya, ketika id dalam diri kita ingin makan enak di restoran mahal, tetapi keuangan kita tidak mampu, maka ego tidak bisa memenuhi keinginan itu.
Superego muncul akibat persentuhan dengan manusia lain (aspek sosial). Dalam keluarga, superego ditanamkan oleh orang tua dalam bentuk ajaran moral mengenai baik dan buruk, pantas dan tidak pantas, dsb.Superego muncul sebagai kontrol terhadap id, terutama jika keinginan id itu tidak sesuai dengan moralitas masyarakat. Superego selalu menginginkan kesempurnaan karena ia bekerja dengan prinsip idealitas.
G. Penerapan Psikoanalisis dalam Sastra
Penerapan psikoanalisis dalam bidang seni, juga sastra, sudah dimulai oleh Freud sendiri. Karya-karya Sigmund Freud yang menyinggung bidang seni antara lain:[4]
1. L’interpretation des Reves (Interpretasi Mimpi), terbit pertama kali tahun 1899. Ini adalah sebuah buku klasik yang menguraikan tafsir mimpi. Buku ini merupakan landasan teoretis paling mendasar mengenai hubungan antara psikoanalisis dan sastra. Tulisan Freud yang sering dipakai sebagai landasan teoretis adalah Trois Essais sur la Theorie de la Sexualite (Tiga Esai tentang Teori Seksualitas), terbit tahun 1962.
2. Delire et Reves dana la “Gradiva” de Jensen (Delir dan Mimpi dalam “La Gradiva” Karya Jensen. Terbit tahun 1906. Ini adalah karya paling jelas mengenai penerapan teori-teori psikoanalisis dalam karya sastra. Di sini Freud melakukan penelitian pada sebuah cerpen berjudul La Gradiva karya Jensen dan menemukan bahwa kepribadian tokoh-tokoh dan kejadian-kejadian dalam cerpen itu sangat sesuai dengan teori-teorinya sendiri mengenai kepribadian manusia.
3. La Creation Litteraire et le reve Eveille (Penciptaan Sastra dan Mimpi dengan Mata Terbuka), sebuah esai yang terbit pada tahun 1908. Di sini Freud menemukan kemiripan antara proses penciptaan karya sastra pada sastrawan dengan kesenangan yang diperoleh anak-anak dalam permainan. Menurut Freud, “Penyair bertindak seperti anak-anak yang bermain, dan menciptakan dunia imajiner yang diperlakukannya dengan sangat serius, dalam arti bahwa penyair melengkapinya dengan sejumlah besar pengaruh, seraya tetap membedakannya dengan tegas dari realitas.” (footnote)
4. Un Souvenir d’enfance de Leonardo de Vinci (Kenangan Masa Kanak-kanak Leonardo da Vinci), terbit pada 1910. Di sini Freud menganalisis kepribadian Leonardo da Vinci dari biografi dan karya-karya seninya, termasuk menguraikan rahasia senyuman Monna Lisa. Dalam buku ini pula Freud memerkenalkan sebuah konsep penting yang berpengaruh dalam teori kebudayaan, yaitu konsep sublimasi.
5. Das Unheimliche (Keanehan yang Mencemaskan), terbit tahun 1919. Di sini Freud mengangkat sebuah efek atau kesan yang kerap dirasakan pembaca ketika menikmati karya sastra tertentu yang bersifat tragik atau horor, yaitu perasaan cemas, takut, atau ngeri. Meskipun perasaan yang mencemaskan itu muncul, anehnya pembaca tetap menyenangi dan menikmati karya sastra demikian.
Namun penerapan dan perkembangan teori psikoanalisis dalam bidang sastra secara lebih mendalam dilakukan oleh para ahli sastra, misalnya Charles Mauron dan Max Milner. Charles Mauron, kritikus sastra asal Prancis, mengembangkan suatu metode kritik sastra yang disebutnya psikokritik. Max Milner, seorang sarjana Jerman, telah menyusun buku yang mengelaborasi teori-teori Freud yang berkaitan dengan sastra, berjudul Freud et L’interpretation de la litterature (Freud dan Interpretasi Sastra).
H. Kesejajaran Pola dalam Mimpi dan Karya Sastra
Mengapa psikoanalisis bisa digunakan untuk menganalisis karya seni, khususnya sastra? Psikonalisis lahir dari penelitian tentang mimpi. Ketika menganalisis mimpi-mimpi pasiennya, Freud menemukan bahwa mimpi bekerja melalui mekanisme atau cara kerja tertentu, dan ternyata mekanisme mimpi itu mirip dengan pola yang terdapat dalam karya sastra.
Mekanisme-mekanisme mimpi berikut analoginya dengan seni adalah:[5]
1. Kondensasi
Kondensasi adalah penggabungan atau penumpukan beberapa pikiran tersembunyi ke dalam satu imaji tunggal, atau peleburan beberapa tokoh atau hal-hal yang bersifat umum ke dalam satu gambar atau kata.
Analoginya dengan sastra, misalnya dalam penciptaan tokoh dalam novel. Ketika seorang pengarang menciptakan tokoh, ia mengkondensasi (menggabungkan) raut muka dan sosok dari beberapa orang yang dikenalnya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga menjadi seorang tokoh yang khayali atau fiksi. Begitu juga ketika pengarang itu menciptakan latar tempat, ia menggabungkan beberapa tempat yang ditemuinya dalam realitas ke dalam novel, sehingga menjadi suatu tempat tersendiri yang bersifat fiktif, dan akan sia-sia jika kita mencarinya dalam kenyataan.
2. Pemindahan (displacement)
Pemindahan adalah mimpi yang menonjolkan sesuatu yang sama sekali tidak berhubungan dengan isi mimpi yang harus diwujudkan. Mimpi tersebut merupakan rincian yang tidak berarti dan kadang-kadang bahkan merupakan kebalikan pikiran yang tersembunyi, seakan-akan ingin menghindari mimpi itu bisa ditafsirkan. Pemindahan juga berarti menampilkan gambaran mimpi yang kurang berarti dan menyimpang dari isi mimpi yang pokok. Freud mencontohkan: ia bermimpi tentang seorang wanita yang berusaha mendekatinya, dan wanita itu berseru betapa indah kedua matanya. Konon, wanita itu adalah putri seseorang yang memberi utang pada Freud. Setelah menganalisis mimpinya, Freud sadar bahwa komentar atas kedua matanya mengungkapkan situasi yang terbalik, sebab ayah wanita tersebut bukan orang yang menolong “untuk mata anda yang indah” (ungkapan Jerman untuk mengatakan “menolong tanpa pamrih”).Artinya, Freud merasa dikejar-kejar utang pada ayah wanita tersebut.
Dalam puisi dan retorika ada yang disebut metonimi, yaitu proses penggantian suatu ujaran dengan penanda lain dalam satu arti berdampingan. Misalnya, menyebutkan sebagian sebagai ganti keseluruhan (layar untuk menyebut kapal), atau menyebutkan bahan sebagai ganti benda (sutera untuk menyebut pakaian wanita).
3. Simbolisasi
Simbolisasi adalah mimpi yang muncul dalam bentuk simbol tertentu dalam hubungan analogis. Menurut Freud, setiap objek yang panjang (tongkat, batang pohon, payung, senjata, pisau) mewakili alat kelamin laki-laki. Sedangkan setiap objek yang berbentuk lubang dan lebar (kotak, peti, lemari, penggorengan, gua, perahu) mewakili alat kelamin perempuan.
Simbolisasi dapat disamakan dengan metafora dalam puisi, yaitu mengganti sebuah ujaran dengan penanda lain yang memunyai kemiripan analogi. Misalnya menyebut bunga untuk melambangkan cinta, putih sebagai lambang kesucian, atau penggunaan gaya bahasa lain. Bahasa puisi itu sendiri adalah bahasa yang penuh dengan metafora.
4. Figurasi
Figurasi adalah transformasi pikiran ke dalam gambar. Misalnya ketika di waktu sadar kita menginginkan suatu benda, gambaran benda itu akan muncul dalam mimpi. Analogi figurasi dalam seni paling jelas tampak dalam seni lukis atau seni rupa yang lain. Tetapi dalam sastra pun banyak terkandung unsur figurasi.
I. Penutup
Urian diatas memberikan gambaran secara jelas akan keterkaitan antara karya sastra dengan kejiwaan seorang sastrawan. Sastra merupakan cerimanan atau gambaran yang ada pada penulisnya sendiri. oleh karena itu sastra tidak bisa lepas dari latar belakang penulisnya. Sastra akan sangat dipengaruhi oleh pola pikir, kejiwaan dan kedewasaan penciptanya. Meskipun demikian sastra tidak selalu identik dengan penulisnya yang sengsara. Karena ekpresi yang dilakukan penulis bukan semata-mata dari apa yang ada dalam dirinya tetapi juga kondisi lingkungan yang ada di sekitarnya.
Berkenaan dengan hal tersebut sastra bisa merupakan kritik terhadap kondisi sosial. Baik secara global maupun sempit sastra bisa merupakan reflesi sosial. Sastrawan yang tertindas secara politik tentu akan banyak menggambarkan kedholiman perpolitikan yang dialami. Sedangkan seorang sastrawan yang secara sosial berada dalam posisi yang sulit secara ekonomi, tentu akan menggambarkan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kesulitan hidup yang dihadapi. Meskipun semuanya tidak jaminan akan demikian, tetapi stimulan yang dialami oleh pengarang jelas akan sangat berpengaruh pada diri dan karya yang dibuat oleh seorang pengarang.
Daftar Puskata
Daiches, David, 1981, Critical Approaches to Literature, Longman, London and New York.
Freud, Sigmund, 1930, Civilization and Its Discontents, Norton & Company, NewYork.
................, 1989, Leonardo da Vinci and A Memory of His Childhood, London, New York.
..............., 1918, Totem and Taboo, Vintage Books, New York.
..............., 1911, The Interpretation of Dream, Vintage Books, New York.
..............., 1958, A General Introduction to Psychoanalysis, Permabooks, New York.
Chaplin, J.P., Kamus Lengkap Psikologi (Penerjemah: Kartini Kartono), Jakarta: Rajawali Pers, 2004
Hall, Calvin S., dan Gaarder Lindzey, Teori-teori Psikodinamik (Klinis)(Penerjemah: Yustinus), Yogyakarta: Kanisius, 2000
Milner, Max, Freud dan Interpretasi Sastra (Penerjemah: Apsanti Ds), Jakarta: Intermasa (Seri ILDEP), 1992
J.P. Chaplin, 2004. Kamus Lengkap Psikologi, Jakarta: Rajawali Pers, h. 199.
Wellek, Rene dan Austin Warren, 1993. Teori Kesusastraan (Penerjemah: Melani Budianta), Jakarta: Gramedia,
Wellek, Renne, dkk., 1990, Teori Kesusastraan, PT. Gramedia, Jakarta.
Wittkower, Margot, dkk., 1969, Born Under Saturn The Character and Conduct of Artist; Documented history From Antiquity to The French Revolution, WW. Norton & Company, Inc., New York.