....
Analisis Tokoh Fatimah dengan Pendekatan Feminisme
Agus paramuriyanto
Nim: 117 835 008
A. PENGANTAR
Konsep mendasar yang ditawarkan oleh feminisme untuk menganalisis masyarakat adalah gender. Pemakaian kata gender dalam feminisme mula pertama dicetuskan oleh Anne Oakley (Muslikhati, 2004: 19) yang berpendapat bahwa ada dua istilah yang serupa tetapi tidak sama yaitu sex dan gender. Fakih (2003: 8) menyatakan bahwa gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Perlu dibedakan antara gender dan jenis kelamin. Jenis kelamin berhubungan dengan seks. Gender dapat diartikan sebagai konsep sosial yang membedakan (dalam arti memilih atau memisahkan) peran utama laki-laki dan perempuan.
Perbedaan antara peran laki-laki dan perempuan itu tidak ditentukan karena antara keduanya terdapat perbedaan biologis atau kodrat tetapi dibedakan atau dipilah-pilah menurut kedudukan, fungsi, dan peranan masing-masing dalam berbagai kehidupan dan pembangunan. Heroepoetri (2004: 3) menganggap gender sebagai karakteristik yang melekat pada laki-laki dan perempuan, dibuat, disosialisasikan, dan dikonstruksikan oleh masyarakat secara sosial melalui pendidikan, agama, keluarga, dan sebagainya. Jenis kelamin (seks) mengacu pada karakteristik tertentu yang melekat pada laki-laki dan perempuan secara kodrati dan tidak bisa dipertukarkan (alat biologis). Gender mengacu pada perilaku atau sifat yang dimiliki seseorang berkaitan dengan mental, karakter, emosi, dan peran.seks masuk wilayah kajian nature. Gender masuk wilayah nuture atau culture. Perkembangannya, gender telah menembus ke seluruh dimensi kehidupan manusia, baik yang berhubungan dengan ideologi, politik, sosial, budaya, seni, teknologi, serta pertahanan dan keamanan. Datangnya suatu pemberian ilham untuk mengikuti mimpi-mimpi diri sendiri dengan memandang dunia melalui mata diri sendiri, dan bukan mata orang lain. Sebuah cerita yang disajikan dengan kelugasan dan kesederhanaan yang memuat kisah yang kuat dan memancarkan keagungan yang dapat melandasi kearifan mengikuti hati seseorang. Tampaknya, inilah plot yang dipilih Paulo Coelho untuk novelnya yang berjudul Sang Alkemis.
Novel ini bercerita dengan memukau tentang Santiago, bocah gembala Andalusia yang tidak bersekolah karena kedua orang tuanya hanya bekerja sebagai petani. Dan kedua orang tuanya menginginkan Santiago kelak besar nanti untuk menjadi seorang pastur. Tetapi keinginan Santiago berlawanan dengan keinginan kedua orang tuanya, Santiago hanya berkeinginan untuk mengembara mencari harta duniawinya. Dari kampong halamannya di Spanyol, ia ke Tangier dan menyebrangi gurun Mesir.
Setting inilah, menurut Romerikes Blad ( Norwegia ) dalam pujian internasional untuk Sang Alkemis, yang kemudian menjadi unsure pokok penciptaan suasana, yang diilhami oleh dongeng-dongeng tradisional, dinafasi oleh kitab-kitab suci dan legenda-legenda. Bahkan tidak sungkan Romerikes Blad (Norwegia) menilai karya Paulo Coelho sebagai salah satu dari segelintir karya yang berhak menyandang gelar fenomena penerbitan.
B. LANDASAN TEORI
1. Teori Gender
Ada sebuah kesadaran bahwa dalam masyarakat patriarki, perempuan seolah-olah bukan bagian dari masyarakat sehingga kehadiran, pengalaman, pikiran, tubuh, dan keterlibatannya kurang diakui ( Heroepoetri,. 2004: vi). Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur, baik laki-laki maupun perempuan menjadi koraban sistem tersebut dan pihak perempuan lebih banyak dirugikan (Fakih, 2003: 12). Bentuk nyata ketidakadilan gender adalah dalam mempersepsi, memberi nilai, serta pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan.
Konsep gender dan marjinalisasi terhadap perempuan
Contoh ketidakadilan gender adalah proses marjinalisasi atau pemiskinan terhadap kaum perempuan. Murniati (2004:xx) menganggap marjinalisasi sebagai proses menempatkan atau menggeser perempuan ke pinggiran. Dalam hal ini, perempuan dicitrakan sebagai sosok yang lemah, kurang atau tidak rasional, kurang atau tidak berani sehingga perempuan tidak pantas jadi pemimpin atau tampil di depan. Perempuan selalu dinomorduakan. Abdullah (2003: 3) menyebut dengan istilah “the second sex”,perempuan sebagai “warga kelas dua” yang keberadaannya tidak begitu diperhitungkan.
Faktor-faktor yang menyebabkan marjinalisasi perempuan, antara lain;perbedaan jenis dan bentuk, tempat dan waktu, serta mekanisme proses marginalisasi kaum perempuan karena perbedaan gender.dari segi sumbernya bisa dari kebijakan pemerintah, keyakinan atau adat istiadat dan tradisi, tafsiran agama, kebiasaan, dan asumsi ilmu pengetahuan (Fakih,2003: 14).
Dalam hal keyakinan atau adat istiadat, terjadinya marjinalisasi terhadap perempuan adalah masalah perjodohan. Di Jawa kaum perempuan tidak dapat secara leluasa menentukan jodohnya. Banyak diantara mereka mendapatkan jodoh karena peran atau campur tangan orang tua. Jika mendapatkan jodoh sendiri, ia harus meminta restu terlebih dahulu kepada orang tua bahwa jodoh pilihannya diterima atau tidak oleh orang tua.dalam perkawinan, perempuan (istri) harus patuh pada suaminya.
Masalah asumsi ilmu pengetahuan, anggapan pendidikan tidak penting bagi perempuan karena yang menanggung beban ekonomi di dalam keluarga adalah laki-laki. Kekuasaan suami yang tinggi terhadap istri dipengaruhi oleh kekuasaan suami dalam sistem keuangan. Suami menghabiskan banyak waktunya di sektor yang menghasilkan uang, istri banyak di sektor domestik, mengurusi rumah tangga. Akibatnya, ada pandangan bahwa pekerjaan suami lebih bernilai di sektor keuangan. Benston (1963:3-4 dalam Sulaiman, 2005: 30) menyatakan bahwa suatu masyarakat di mana uang lebih menentukan nilai, perempuan adalah kelompok yang dianggap bekerja di luar ekonomi. Pekerjaan rumah tangga tidak dianggap penting karena tidak mempunyai nilai uang. Kemandirian istri pada sektor ekonomi merupakan salah satu cara untuk melepaskan kekuasaan dari suami dan untuk meraih kekuasaan seorang istri harus mempunyai sumber keuangan sehingga harus berpartisipasi di dalam ekonomi (Sulaiman, 2005:31).
2. Pengertian Feminisme
Feminisme (kamus Oxford, 1933) adalah pandangan dan prinsip-prinsip untuk memperluas pengakuan hak-hak perempuan. Nancy F.Cott (dalam Murniati, 2004: xxvii) mengungkapkan pengertian feminisme mengandung tiga komponen penting, yaitu (1) tidak ada perbedaan hak mendasar sex → menentang adanya posisi hierarkis diantara jenis kelamin, persamaan kuantitas dan kualitas, (2) dalam masyarakat terjadi konstruksi sosial yang merugikan perempun → relasi laki-laki dan perempuan yang ada sekarang merupakan hasil konstruksi sosial, bukan ditentukan oleh nature (kodrat Ilahi), (3) identitas dan peran →gender penggugatan terhadap perbedaan yang mencampuradukkan sex dan gender sehingga perempuan dijadikan sebagai kelompok tersendiri dalam masyarakat. Goeve (dalam Sulaiman, 2005: 42) mengartikan feminisme sebagai teori tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik, ekonomi, sosial, kegiatan organisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan perempuan.
Feminisme muncul dari rasa ketidakpuasaan terhadap sistem masyarakat patriarki yang menyebabkan penindasan, dominasi, hegemoni, ketidakadilan, dan kekerasan (Sulaiman, 2005:43). Asal mula kritik feminis berakar pada protes-protes perempuan dalam melawan deskriminasi yang mereka alami dalam masalah pendidikan dan sastra (Sulaiman, 2005: 44). Feminisme merupakan pendekatan sastra yang digunakan untuk mengangkat citra perempuan yang merdeka, bebas, dan jauh dari kekuasaan laki-laki (Sulaiman, 2005:44). Tujuan feminisme adalah meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sejajar dengan laki-laki (Djajanegara, 2003: 4) dan mengubah kanon sastra yang sebelumnya menganggap pengarang perempuan sebagai pengarang kecil diubah menjadi pengarang besar yang melalui karya mereka mengangkat harkat dan derajat wanita. jadi dari berbagai pendapat menyebutkan bahwa pada umumnya hakikat feminisme adalah ketidaksetujuan terhadap perilaku penindasan pada perempuan oleh laki-laki.
C. Aliran-aliran dalam Feminisme
Valentina (2004:36-49) mengungkapkan empat aliran feminisme, yaitu; (1) feminisme liberal, (2) feminisme radikal, (3) feminisme marxis, (4) feminisme sosialis.
1. Feminisme liberal
Berkembang abad ke-18 berdasarkan pendapat semua orang dengan kemampuan rasionalnya diciptakan dengan hak, kesempatan, dan kebebasan yang sama.tokoh-tokohnya;
a. Mary Wollstonecraft: perempuan dilahirkan = laki-laki tetapi diajarkan menjadi subordinat, lemah, dan tunduk. Ia menolak pembagian kerja secara seksual yaitu perempuan mendapatkan makanan tetapi mengorbankan kesehatan, kebebasan, dan harus bangga dengan suaminya,
b. John Stuart Mills dan Harriet Taylor Mills yang menekankan perempuan menggunakan otaknya untuk mendapatkan apa yang diinginkan (Valentina, 2004:18)
c. Betty Friedan: pembagian kerja secara seksual membuat perempuan merasa hampa, muram, bosan, dan tidak dapat berkembang; tidak bisa bersaing dengan adil dengan laki-laki; terbelenggu oleh nilai-nilai tradisional yang statis; potensinya dibatasi dari dunia publik yang produktif dan dinamis. Diperlukan aturan-aturan yang adil: membebaskan perempuan dalam keseluruhan aspek kehidupan dan mensejajarkannya dengan laki-laki.perempuan harus ikut serta dalam industrialisasi dan modernisasi.
2. Feminisme radikal
Melihat dengan tegas hubungan kekuasaan laki-laki dan perempuan karena adanya ideologi patriarki. Persoalan personalitas perempuan tidak boleh dipisahkan dengan persoalan publik. Manifesto feminisme radikal (Muslikhati, 2004:35) mengatakan bahwa lembaga perkawinan adalah lembaga formalisasi untuk menindas perempuan sehingga tugas utama feminis radikal untuk menolak institusi keluarga. Keluarga dianggap sebagai institusi yang melegitimasi dominasi laki-laki sehingga harus dilawan agar tidak terjadi penindasan terutama terhadap istri.
Tokoh-tokohnya;
a. Elsa Gidlow (Muslikhati, 2004: 34) berteori untuk menghindari dominasi laki-laki, baik internal maupun eksternal dengan jalan menjadi lesbian
b. Martha Selley (Muslikhati, 2004: 35) mendukung Elsa Gidlow dan menyatakan perempuan lesbian perlu dijadikan model sebagai perempuan mandiri.
c. Millet menyatakan bahwa hubungan laki-laki dan wanita dalam masyarakat merupakan hubungan politik yang didasarkan pada struktur kekuasaan.
3. Feminisme Marxis
feminisme Marxis selalu meletakkan isu perempuan dalam kerangka kritik terhadap kapitalisme dan menganggap penyebab penindasan perempuan bersifat struktural (Muslikhati, 2004: 34). Penindasan perempuan telah melembaga dan legal sehingga tertindas terus-menerus. Agar terlepas dari penindasan, diperlukan gerakan atau tindakan yang memutuskan hubungan yang bersifat kapitalis dengan menciptakan sistem sosialis dengan menghapuskan pekerjaan domestik melalui industrialisasi. Tokohnya; Catarine Mac Kinnon ( Valentina, 2004: 44)menyatakan hubungan feminisme dengan marxisme berkaitan dengan ekonomi politik klasik.
4. Feminisme Sosialis
penindasan adalah kelas (sosial-ekonomi) dan patriarki. Segala bentuk eksploitasi harus diakhiri dan membangun masyarakat yang tidak membeda-bedakan antara perempuan dan laki-laki dan diberikan hak yang sama dan disejajarkan kedudukannya.
Tokohnya;
a. Guettel (Sulaiman, 2005:58)mengungkapkan bahwa gerakan kaum feminis sosialis lebih mengutamakan pada perubahan sistem sosial ekonomi sehingga perjuangan melawan patriarki tidak ada dalam daftar perjuangan kaum feminis sosialis.
b. Gramsci (Fakih, 2003:36) lebih memberi perhatian pada hegemoni dalam melanggengkan struktur kelas dan ideologi masyarakat
c. Mary Wollstronecraft (Djajanegara, 2003: 30) menyatakan bahwa kaum wanita merupakan kelas tertindas yang harus bangkit dari belenggu rumah tangga, menentang kekuasaan patriarkal, dan secara berkelompok (bersama) mengadakan konflik langsung terhadap laki-laki sebagai kelompok yang mendominasi.
Selain itu menurut Priyatna (2003: 1 dalam Sulaiman, 2005: 67) mengungkapkan bahwa dalam analisis tekstual feminis dikenal empat macam pendekatan, yaitu (1) kritisisme dengan perskriptif ( prescriptive criticism), (2) gynopcritics, (3) reading as woman, (4) gynesis. Pendekatan gynesis berlandaskan pada pemikiran bahwa perempuan dapat sangat patriakal dan bisa memberikan efek feminis dan seksis atau menunjukkan bahwa pengalaman perempuan adalah perempuan, namun seorang laki-laki sebenarnya dapat menginternalisasikan suara perempuan dan bersimpati terhadap perempuan.
Perempuan menulis sendiri sebenarnya merupakan sebuah upaya untuk melakukan penilaian, mempertanyakan dan menolak pola pikir laki-laki yang selama ini ditanamkan kepada perempuan juga merupakan keberanian yang tertutup menjadi “dialog yang aktif”. Menjadi kritikus feminis berarti mampu membaca kesadaran atas dominasi ideologi patriarki dan wacana laki-laki dan dengan kesadaran serta keberanian mendobrak dominasi laki-laki.
D. Nilai dan perspektif feminisme
Valentina (2004:17-24) mengungkapkan lima belas nilai-nilai yang terkandung dalam feminisme, yaitu;
1. Pengetahuan dan pengalaman personal: seorang feminis menghargai pengetahuan dan pengalaman personal yang tidak dialami oleh laki-laki, misalnya; haid dan melahirkan,
2. Rumusan tentang diri sendiri: perempuan berhak merumuskan tentang dirinya tidak tergantung pada pandangan masyarakat (misal; harus langsing, berkulit putih, cantik, dll.)
3. Kekuasaan personal: perempuan memiliki kekuasaan sebagai pribadi utuh atas dirinya, pikiran, perasaan, dan tubuhnya. Misalnya; berhak bekerja atau tidak, menikah atau tidak, hamil atau tidak, dll.
4. Otentitas: menghormati keaslian yaitu perempuan mempunyai pandangan sendiri tentang seksualitas, produksi, dan reproduksi.
5. Kreativitas: feminisme ada karena kenyataan sehingga feminis harus terbuka mengusung kreasi penciptaan gagasan,
6. Sintesis: semua yang ada di tubuhnya harus dipandang secara selaras
7. Personal is political : memahami kehidupan pribadi perempuan
8. Kesetaraan: kesetaraan laki-laki dan perempuan adalah substansi kemanusiaan yang adil antara laki-laki dan perempuan
9. Hubungan sosial timbal balik antara laki-laki dan perempuan harus setara
10. Kemandirian ekonomi: pembagian kerja secara adil dan setara antarpelaku ekonomi.
11. kebebasan seksual: perempuan harus sebagai subjek seksual,
12. kebebasan reproduksi: (a) gagasan penentuan atas tubuh sendiri, (b) gagasan bahwa kesadaran reproduksi merupakan hal yang terus berlangsung dan integrative
13. identifikasi diri pada perempuan: keyakinan perempuan terhadap individualitas, potensi, serta persepsi mengenai dirinya sebagai anggota komunitas perempuan.
14. Perubahan sosial: peningkatan perlibatan perempuan kearah perubahan sosial masyarakat adil dan setara
15. berkekuatan politik dalam masyarakat: merupakan politik yang dipersonalisasikan, peduli pada persoalan perempuan.
E. Analisis
Sosok tokoh perempuan dalam Novel Sang Alkemis sudah dengan jelas digambarkan, hanya sebagai pelengkap bagi seorang lelaki. Hal ini bertentang dengan kandungan feminisme yang dijelaskan Valentina (2004:17-24) bahwa perempuan berhak dalam hal kebebasan seksual. Artinya, perempuan harus sebagai subjek, dan bukan sebagai objek saja. Sedangkan Novel Sang Alkemis menggambarkan tokoh perempuannya, Seakan-akan perempuan dalam novel tersebut itu hanya sebagai alat pemuas hawa nafsu dan tempat persinggahan saja.
Salah satu tokoh perempuan dalam novel Sang Alkemis adalah Fatimah, seorang gadis dari sebuah tempat yang di beri nama Oasis. Tempat yang netral jika ada perang antar suku, dan tempat ini tidak boleh di perangi. Oasis ini di huni oleh orang-orang yang sedang melakukan perjalanan atau peserta perang yang kelelahan dan mencari tempat untuk beristirahat dari perang, dalam hal ini Oasis adalah tempat persinggahan. Sebagai tempat persinggahan pastilah ada orang yang hanya datang dan pergi, ataupun menetap dan beranak-pinak. Namun jika yang datang adalah orang-orang yang berasal dari sisa-sisa perang, pastilah mereka akan menetap hingga kekuatan merekan kembali maksimal, dan ketika kekuatan mereka sudah kembali maka mereka akan pergi berperang lagi. Di tengah persinggaha para peserta perang inilah para lelaki menikah dengan pendudu Oasis, dan beranak pinak. Namun ketika waktu berperang telah tiba maka mereka akan pergi meninggalkan para perempuan yang telah mereka nikahi, anak anak-anak mereka pun di tinggalkan, tanpa ada kejelasan para peserta perang ini yang merupakan kaum lelaki apakah mereka akan kembali atau tidak. Dan para perempuan di Oasis sudah paham dan terbiasa dengan situasi dan keadaan yang seperti ini. Sudah tertanam dalam-dalam dalam lubuk hati dan pikiran mereka bahwa jika mereka ditinggalkan oleh para suami mereka dan sudah bertahun-tahun menunggu kedatang suami mereka. Namun suami mereka tak kunjung kembali mereka hany bisa pasrah dan menerima kenyataan dengan lapang dada. Dan para suami mereka tidak memerdulikan hal ini.
Pemikiran menerima deskriminasi seperti ini jika di kaitkan dengan feminisme ini akan sejalan dengan nilai perspektif feminisme yang di kemukakan valentina (2004:17-24) yakni hubungan sosial timbal balik antara laki-laki dan perempuan harus setara. Dalam hal ini para suami tidak ada jaminan yang pasti yang berupa timbal-balik kepada istri-istri mereka, yang ada hanya harapan kosong, bahwa mereka akan pulang suatu hari nanti. dan pada hal ini pestilah sosok istri ataupun perempuan tidak di ijinkan berperang. Karena dianggap tidak setara. Selain deskriminasi perempuan dalam novel tersebut perempuanpuan juga mengalami marjinalisasi yang terkait dengan konsep Gender sama sereti yang dikemukakan oleh Murniati (2004:xx) menganggap marjinalisasi sebagai proses menempatkan atau menggeser perempuan ke pinggiran. Dalam hal ini, perempuan dicitrakan sebagai sosok yang lemah, kurang atau tidak rasional, kurang atau tidak berani sehingga perempuan tidak pantas jadi pemimpin atau tampil di depan. Perempuan selalu dinomorduakan. Dan Abdullah (2003: 3) menyebut perlakuan ini dengan istilah “the second sex”, perempuan yang di anggap sebagai “warga kelas dua” dimana keberadaannya tidak begitu diperhitungkan.
Hal ini sepaham dengan pendapat yang dikemukakan oleh Fakih (Fakih,2003: 14). Faktor-faktor yang menyebabkan marjinalisasi perempuan, antara lain; perbedaan jenis dan bentuk, tempat dan waktu, serta mekanisme proses marginalisasi kaum perempuan karena perbedaan gender. Dari segi sumbernya bisa dari kebijakan pemerintah, keyakinan atau adat istiadat dan tradisi, tafsiran agama, kebiasaan, dan asumsi ilmu pengetahuan. Dan dalam kasus Fatimah, marjinalisi mengenai perbedaan gendernya terdapat pada adat-istiadat dan tradisi. Fatimah yang merupakan salah satu perempuan asli penduduk Oasis, ia lahir dan besar di Oasis. Setiap pagi Fatimah hanya melakukan aktifitas rutinnya yakni hanya mengambil air dari sumur yang terletak di tengah Oasis. Dan seperti itulah kegiatan keseharian Fatimah. Perempuan di Oasis termasuk fatimah, merupakan salah satu perempuan yang mengalami derita psikis yang sudah mendarah daging dan turun temurun, yang di akibatkan oleh tempat dan lokasi Oasis yang merupakan tempat persinggahan. Derita psikis ini memiliki penjabaran menurut pandangan feminis merupakan salah satu tindak deskriminasi.
Menurut feminis Radikal kaum perempuan harus melakukan perlawan. Dalam hal ini Fatimah sudah melakukan perlawan itu. Namun, hal itu hanya terjadi dalam batin fatimah, seperti yang terkutip dibawah ini:
"Aku telah menunggumu di sini di oasis ini sejak dulu. Aku telah melupakan masa laluku, adat istiadatku, dan cara lelaki gurun mengharapkan perempuannya berperilaku. Sejak masih kecil, aku telah memimpikan bahwa gurun akan memberiku hadiah yang indah. Kini hadiahku telah tiba, dan itu adalah kamu."(hlm, 73)
Kebijakan adat istiadat inilah yang dilanggar oleh Fatimah merupakan tindak perlawanan kaum wanita terhadap deskriminasi yang sudah terjadi selama kurun waktu yang sudah turun temurun, dan perlawanann ini berhasil dan menyebabkan Santiago bertekad untuk kembali pada Fatimah.
Kritiknya adalah pada awalnya Fatimah melalukan pembelaan terhadap pendeskriminasian kaum pria, dan kenapa mereka menerima hal tersebut begitu saja. Seharusnya fatimah melawan deskriminasi ini, karena ia sudah memiliki kesempatan melakukan perlawan tersebut saat ia berhubungan dengan santiago. Perempuan di Oasis termasuk fatimah merupakan salah satu perempuan yang mengalami derita psikis yang sudah mendarah daging dan turun temurun, yang di akibatkan oleh tempat dan lokasi Oasis yang merupakan tempat persinggahan. Derita psikis ini memiliki penjabaran menurut pandangan feminis merupakan salah satu tindak deskriminasi. Namun, ini hanya Fatimah lakukan pada dirinya sendiri.
Kesimpulan
Perlakuan kaum lelaki terhadap kaum perempuan merupakan sebuah deskriminasi yang berupa derita psikis. Setelah hal ini terjadi dari masa ke masa dan sudah turun-menurun menyebabkan perlawanan dari kaum perempuan , dan itu sudah dilakukan oleh Fatimah sejak ia bertemu dengan Santiago. dan gerakan ini di sebut gerakan feminisme, namun hal tersebut masih berbentuk benih atau embrio, karena masih bersifat perlawanan untuk diri sendiri terhadap kebijakan adat dan istiadat yang sudah turun temurun. Bentuk perlawanan Fatimah yang bisa jadi menjadi cikal-bakal gerakan fenimisme besar-besaran.
Lampiran
Resensi
Judul Novel : Sang Alkemis
Penulis : Paulo Coelho
Penerbit : Pustaka Alvabet Anggota IKAPI, Jakarta, Cetekan 7, Juni 2005
Tebal : 193 Halaman
Datangnya suatu pemberian ilham untuk mengikuti mimpi-mimpi diri sendiri dengan memandang dunia melalui mata diri sendiri, dan bukan mata orang lain. Sebuah cerita yang disajikan dengan kelugasan dan kesederhanaan yang memuat kisah yang kuat dan memancarkan keagungan yang dapat melandasi kearifan mengikuti hati seseorang. Tampaknya, inilah plot yang dipilih Paulo Coelho untuk novelnya yang berjudul Sang Alkemis.
Novel ini bercerita dengan memukau tentang Santiago, bocah gembala Andalusia yang tidak bersekolah karena kedua orang tuanya hanya bekerja sebagai petani. Dan kedua orang tuanya menginginkan Santiago kelak besar nanti untuk menjadi seorang pastur. Tetapi keinginan Santiago berlawanan dengan keinginan kedua orang tuanya, Santiago hanya berkeinginan untuk mengembara mencari harta duniawinya. Dari kampong halamannya di Spanyol, ia ke Tangier dan menyebrangi gurun Mesir.
Setting inilah, menurut Romerikes Blad (Norwegia) dalam pujian internasional untuk Sang Alkemis, yang kemudian menjadi unsur pokok penciptaan suasana, yang diilhami oleh dongeng-dongeng tradisional, dinafasi oleh kitab-kitab suci dan legenda-legenda. Bahkan tidak sungkan Romerikes Blad (Norwegia) menilai karya Paulo Coelho sebagai salah satu dari segelintir karya yang berhak menyandang gelar fenomena penerbitan.(hlm.ii)
Novel ini dimulai dengan pemaparan yang menarik mengenai bocah yang bernama Santiago dengan kawan-kawan ternaknya bermala di sebuah gereja yang terbengkalai dan pohon sikamor yang sangat besar tumbuh di titik tempat sakristis pernah berdiri. Ketka ia sedang tidur Santiago bermimpi yang sama seperti minggu lalu, dan sekali lagi ia terbangun sebelum mimpinya selesai. Lalu Santiago bangun dan mengambil tongkat untuk membangunkan domba-dombanya yang masih tidur. Santiago segera memperhatikan hewan-hewannya yang sudah mulai ribut. Sepertinya ada energi misterius yang menghubungkan hidupnya dengan domba-domba, yang telah bersamanya selama dua tahun, mengembalakan mereka menyusuri pedesaan guna mencari makan dan air. “Mereka sudah begitu terbiasa denganku hingga tahu jadwalku,” gumam si bocah. Memikirkan hal tersebut ia sadar beleh jadi sebaliknya: dialah yang menjadi terbiasa dengan jadwal dombanya.(hlm.6).
Ketika beberapa hari kemudian dia selalu berbicara kepada dombanya hanya satu gadis yaitu, putri pedagang kain. Paras gadis itu khas Andalusia, dengan rambut hitam bergelombang dan mata yang secara samara-samar mengingatkannya pada para penakluk bangsa Moor. Baru kali ini Santiago ingin menetap di suatu daerah.
Santiago berfikir bila suatu hari nanti dia menjadi monster, dan memutuskan untuk membunuh dombanya, satu-persatu. Ia pun terkejut dengan pemikirannya. Dia berfikir mungkin karena gereja itu, dengan pohon sikamor yang tumbuh di dalamnya, ada hantunya. Itulah yang menyebabkan ia bermimpi yang sama dua kali, dan menyebabkan dia merasa geram terhadap kawan-kawan setianya.
Lalu, pada waktu seketika Santiago berfikir untuk mewujudkan mimpi menjadi kenyataan membuat hidup menarik. Lalu ia menemui seorang permpuan di Tarifa, yaitu seorang peramal. Peramal itu berkata, ”dan ini tafsirannya: kamu harus pergi ke Piramida di Mesir. Aku belum pernah mendengar tentangnya, tapi, bila seorang anak menunjukannya padamu, artinya tempat itu benar-benar ada. Di sana akan kau temukan harta yang akan membuatmu kaya.”(hlm 18).
Lalu Santiago melanjutkan perjalanannya untuk menuju ke Piramida di Mesir. Tetapi ketika sedang di perjalanan Santiago bertemu dengan orang tua yaitu seorang raja dari Salem. Raja itu mengetahui maksud perjalanan Santiago, yaitu mencari legenda pribadinya. Raja itu akan memberi tahu bahwa harus pergi ke arah mana agar Santiago sampai di Mesir, tetapi Raja itu meminta imbalan dengan memberinya sepersepuluh dari domba yang dimiliki oleh Santiago. Di tengah alun-alun dengan angin yang mulai kencang. Dia tahu angin apa itu: orang menamakannya levanter, karena pada saat itulah bangsa Moor datang dari kota Levant di ujung timur Mediteranea. ”di sinilah aku, antara kawanan dombaku dan hartaku.” Pikir si bocah. Pada esok harinya Santiago bertemu lagi dengan Raja tua itu. ”Dimana harta karun itu?” tanya Santiago. ”Di Mesir dekat Piramida.” jawab si Raja. Lalu raja itu memberikan dua buah batu yang tertancap di tengah-tengah penuup dadanya, yang diberi nama Urim dan Thummim.
Setelah sampai di Afrika ketika di sebuah kedai dia bercakap-cakap dengan seorang pemuda yang tidak lain adalah seorang pencuri, dan akhirnya uang yang dimiliki oleh Santiago di ambilnya pergi. Santiago harus pergi ke Gurun Sahara tanpa mempunyai uang sepeser pun, untuk meraih legenda pribadinya. Lalu setelah si bocah berjalan, si bocah menemukan sebuah toko kristal dan akhirnya si bocah bekerja di toko kristal tersebut.
Pedagang itu memahami perkataan si bocah. Kehadiran si bocah di toko kristal itu merupakan suatu pertanda dan seiring berjalannya waktu dan mengalirnya uang ke laci, dia tidak pernah menyesal telah mempekerjakan si bocah. Dia mendapat bayaran lebih dari semestinya, karena pedagang itu menduga penjualan tidak akan tinggi, dan sebab itu ia menawari si bocah persentase komisi yang besar. Dia mengira si bocah akan segera kembali ke domba-dombanya.”mengapa kamu ingin pergi ke Piramida?” tanya si pedagang kristal itu. ”Karena aku selalu mendengar tentang Piramida.” jawab si bocah, tanpa sedikit pun menyebut mimpinya. Harta karun itu sekarang bukanlah apa-apa selain ingatan yang menyakitkan, dan dia berusaha menghindar dari memikirkan hal itu. ”Aku tidak pernah mendengar ada orang di sini yang mau mengarungi gurun hanya untuk melihat Piramida,” kata si pedagang. ”piramida-piramida itu hanya tumpukan batu. Kamu dapat membuatnya di halaman rumahmu.”si pedagang berkata lagi. ”Bapak tidak pernah bermimpi berkelana.” kata si bocah. ”Bapak hanya ingin menjalankan kewajiban ke lima sebagai seorang muslim, yaitu pergi menunaikan ibadah haji.” jawab si pedagang.(hlm 62).
Setelah beberapa bulan si bocah bekerja di toko kristal itu, lalu si bocah meneruskan perjalannannya untuk pergi ke Piramida. Lalu si bocah bertemu dengan lelaki inggris yang sedang duduk di sebuah bangku panjang di suatu bangunan yang berbau binatang, keringat dan debu. Bangunan ini separuh gudang, separuh kandang. Lalu si bocah bercakap-cakap dengan lelaki inggri itu, ternyata lelaki inggris itu sedang mecari seorang alkemis yang tertulis di suatu buku, alkemis itu termansyur di Arab yang mengunjungi Eropa. Dikatakan bahwa umurnya lebih dari duaratu tahun, dan bahwa dia telah menemukan batu Filsuf dan Obat Hidup. Lelaki inggris itu terkesan dengan kisah tadi. Tapi dia tidak pernah mengira bahwa cerita itu bukan sekedar dongeng, bila seorang temanya-sekembali dari ekspedisi arkeologi di gurun-tidak memberi tahu dia tentang seorang Arab yang memiliki kekuatan-kekuatan yang menakjubkan. ”Dia tinggal di oasis Al-Fayoum,” tutur temanya itu.”Dan orang-orang bialng umurnya dua ratus tahun, dan bisa mengubah logam apapun menjadi emas.”(hlm 77).
Lalu si bocah dan laki-laki itu pergi melewati gurun untuk pergi ke oasis bersama rombongan Kafilah. Gurun adalah hamparan pasir di beberapa tempat, dan bebatuan di tempat lainnya. Jika karavan terhalang oleh bebatuan besar, ia harus mengitarinya; bila ada daerah bebatuan yang sangat luas, mereka harus mengitari putaran besar. Kalau pasir terlalu lunak bagi kuku-kuku hewan, mereka mencari jalan yang tanahnya lebih keras.
Di saat lain, muncul orang-orang misterius yang berkerudung; mereka adalah orang-orang Badui yang mengawasi jalannya rute karavan. Mereka memberi peringatan tentang para perampok dan suku-suku buas. Suatu malam, suatu penunggang onta mendatangi unggun orang inggris dan si bocah duduk.”Ada isu tentang perang suku,” ungkapnya kepada mereka. Ketiganya terdiam. Si bocah merasakan adanya rasa takut di udara, meski tak seorangpun yang mengatakan sesuatu. Sekali lagi ia merasakan bahasa tanpa kata-kata...bahasa universal.
”Sekali kamu masuk ke dalam gurun, tak ada jalan untuk kembali,” ujar penunggang onta itu. ”Dan, bila kau tak dapat kembali, yang harus kau pikirkan hanyalah jalan terbaik untuk bergerak ke depan. Selanjutnya terserah Allah, termasuk bahaya.”Dan dia menyimpulkan dengan mengucap kata misterius itu: ”Maktub.”(hlm 89).
Di oasis si bocah bertemu dengan seorang gadis yang bernama Fatimah, seorang gadis yang memikat hati si bocah. Si bocah telah melupakan untuk meraih legenda pribadinya karena ia sudah memiliki satu ekor unta, uang hasil bekerja di toko kristal, lima puluh keping emas dan ia sudah memiliki Fatimah. Di negrinya ia akan jadi orang kaya. Tetapi kata Sang Alkemis semua yang kau punya sekarang bukan berasal dari Piramida. Alkemis itu akan mengantarkan si bocah untuk meraih legenda pribadinya. Dan mereka memulai perjalannya untuk pergi ke Piramida meski sedang terjadi perang suku di gurun tersebut.
Di hari ke tujuh perjalanannya, sang alkemis memuruskan membuat tenda lebih awal dari biasanya. Elangnya terbang mencari buruan, dan alkemis menyodorkan tempat minumnya pada si bocah. ”Kau hampir tiba di perjalananmu,” kata sang alkemis. ”kuucapkan selamat padamu untuk pencarian Legenda Pribadimu.”
”Hanya ada satu cara untuk belajar,”jawab sang alkemis. ”Melalui tindakan. Semua yang perlu kau ketahui telah kau pelajari melalui perjalananmu. Kamu hanya perlu mempelajari satu hal lagi.”ujar sang alkemis itu. Si bocah ingin mengetahui itu apa itu, tapi sang alkemis memandang ke cakrawala, mencari elangnya. ”Mengapa kamu disebut sang alkemis?” Tanya si bocah. ”karena memang itulah aku,” Uajar sang alkemis.
”Dan apa yang salah ketika alkemis-alkemis lain mencoba membuat emas dan tak berhasil melakukannya?”b”Mereka hanya mencari emas,” jawab teman perjalananya. ”Mereka mencari harta dalam Legenda Pribadinya, tanpa benar-benar menginginkan menjalankan Legenda Pribadinya itu.””Apa yang masih perlu aku ketahui?” tanya si bocah.tetapi sang alkemis kembali menatap cakrawala.(hlm 145)."Mengapa kita harus mendengarkan suara hati kita?" tanya si anak, ketika mereka mendirikan tenda pada hari itu."Karena, di mana hatimu berada, di situlah hartamu berada."(hlm 148).
Bagaimana ending-nya ? akhirnya si bocah tersebut menemukan letak dimana beradanya Legenda pribadinya. Tetapi setelah ia menggali di mana hartanya berada, si bocah mendengar suara kaki. Beberapa orang mendekatinya. Mereka menyuruh si bocah untuk terus menggali, tetapi tidak menemukan apa-apa. Ketika matahari terbit, orang-orang itu menghajar si bocah dan mengambil harta yang dimiliki sibocah.dan akhirnya si bocah mengetahui di mana hartanya berada.
Si bocah akhirnya mengetahui di mana hatinya berada yaitu, dengan kembali lagi ke gereja kecil dan terbengkalai dengan pohon sikamor yang masih tegak di sakritis. Setelah pagi-pagi ia menggali di dasar pohon sikamor dan setelah setengah jam kemudian, sekopnya membentur sesuatu yang keras. Satu jam kemudian, di hadapannya tampak seperti coin emas Spanyol. Juga ada batu-batu berharga, topeng-topeng emas yang dihiasi bulu-bulu merah dan putih, dan patung-patung batu bertatahkan permata. Perjalanan itu pulalah yang membawanya menemukan cinta sejatinya: Fatima, gadis gurun yang setia menanti kepulangannya.
Membaca novel ini seperti menjelajahi suatu petualangan yang penuh keajaiban dan kearifan mengikuti hati seseorang. Novel ini memuat pesona komis, ketegangan dramatis, dan intensitas psikologis sebuah novel. Serta cerita ini disjikan dengan kelugasan dan kesadaran yang mengangkat pembacanya keluar dari waktu dan memusatkan perhatian pada kisah ajaib tentang seorang pemimpin yang mencari dirinya. Sebuah novel dengan pesan yang jelas bagi setiap pembacanya.
Novel ini tampaknya lebih mengedepankan untuk meraih impian. Itu sebabnya banyak kejadian atau konflik yang yang seharusnya dicantumkan lebih detail dan menarik, tetapi hanya ditampilkan secara singkat tanpa kurang dipahami oleh setiap pembacanya.
DAFTAR PUSTAKA
Djajanegara, Soenarjati. 2003. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Heroepoetri, Arimbi dan R. Valentina. 2004. Percakapan tentang Feminisme vs Neoliberalisme. Jakarta: debt WATCH
Fakih, Mansour.2003.Analisis Gender dan Transformasi Sosial.Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Murniati, A.Nunuk.2004.Getar Gender.Magelang: Indonesi Atera
Sulaiman.2005.Tesis:Perempuan dalam Sastra Indonesia Mutakhir Karya Wanita Pengarang (Persfektif Gender dan Feminisme).Surabaya: UNESA
Minor, James Murray, William. 1933. Oxford English Dictionary. Oxford: Oxford University Press
Valentina. 2004. http://www.wikipedia.com. Di unduh tanggal 08 juni 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar