Jumat, 13 Juli 2012

ANALISIS KATA JANGKRIK DALAM SALAH SATU SPONSOR VIDEO JARUM 76


ANALISIS KATA JANGKRIK DALAM
SALAH SATU SPONSOR VIDEO JARUM 76


PRAGMATIK
Analisis Prinsip Kesantunan Leech


Dosen Pengampu:

Dr. Suhartono, M. Pd.


  


Oleh:

Agus Paramuriyanto, S. Pd.

Nim : 007 835 008




PROGRAM PASCASARJANA (S2)
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS NEGERI  SURABAYA
2011/2012

ANALISIS KATA JANGKRIK DALAM  SALAH SATU SPONSOR VIDEO JARUM 76 ANALISIS PRINSIP KESANTUNAN LEECH


A.    Latar belakang
Pada hakikatnya, bahasa yang dimiliki dan digunakan oleh manusia tidak ada yang lebih baik atau lebih buruk. Seandainya ada bahasa yang sudah mampu mengungkapkan sebagian besar pikiran dan perasaan lebih dari bahasa yang lain, bukan karena bahasa itu lebih baik tetapi karena pemilik dan pemakai bahasa sudah mampu menggali potensi bahasa itu lebih dari yang lain. Jadi yang lebih baik bukan bahasanya tetapi kemampuan manusianya. Semua bahasa hakikatnya sama, yaitu sebagai alatkomunikasi.
Bahasa menentukan perilaku budaya manusia memang ada benarnya. Orang yang ketika berbicara menggunakan pilihan kata, ungkapan yang santun, struktur kalimat yang baik menandakan bahwa kepribadian orang itu memang baik. Sebaliknya, jika ada orang yang sebenarnya kepribadiannya tidak baik, meskipun berusaha berbahasa secara baik, benar, dan santun di hadapan orang lain; pada suatu saat tidak mampu menutup-nutupi kepribadian buruknya sehingga muncul pilihan kata, ungkapan, atau struktur kalimat yang tidak baik dan tidak santun.
Untuk saat ini kesantunan berbahasa mulai tidak begitu diperhatikan, dan bahkan hal tersebut sudah tidak dianggap santun dan merupakan hal biasa, hal tersebut bukan hanya terjadi di lingkungan percakapan masyarakat namun juga terjadi di lingkungan media massa. Kali ini kami akan membahas dalam kesantunan dalam media massa. Disesuaikan dengan arah penelitian ini, kami menggunakan prinsip-prinsip kesantunan dari Leech, yang meliputi 6 maksim kesantunan. Dalam kasusnya analisis ini dapat dianalisis dari segi kemaknaan yakni dari segi semantik, semiotik, dan pragmatik.
Dalam segi semantik yang membahas mengenai makna, dan semiotika membahas mengenai makna simbol-simbol dan pragmatik membahas tentang maksud yang diimplisitkan. Dari segi analisis semantik mencakup hal-hal yang berhubungan dengan makna kata sedangkan semiotika hanya mengambil makna simbol. Sedangkan analisis pragmatik memiliki ukuran dan segi analisis tersendiri seperti tinjak tutur, kesantunan, performatif, dan lain lain. Kali ini kami membahas kata jangkrik yang terdapat pada salah satu sponsor rokok jarum 76, yang terdapat pada TV di Indonesia. Analisis yang digunakan adalah analisis dari segi pragmatik yakni dari segi kesantunan dengan pendekatan prinsip kesantunan yang dikemukakan oleh Leech, dalam bukunya Prinsip-Prinsip Pragmatik. Selain ilmu-ilmu tersebut kata jangkrik merupakan hal yang bida di analisis dari segi linguistik, dan kajian-kajian lainnya.
Mengenai kesantunan ada pengelompokan tersendiri yakni kata makian jelasnya tidak santun, tapi bagaimanakah dengan nama hewan atau nama benda yang dilontarkan sesorang untuk mengatai orang tersebut, apakah hal tersebut santun ataukah tidak santun. Dilihat dari segi tujuan, itu sudah pasti tidak santun tapiapakah benar kata makian yang beinisial nama hewan itu tidak santun? Misalnya nama hewan jangkrik, yang bergantung konteks, karena ini adalah analisis prgmatik. Hal  itulah yang akan kita jelas pada penelitian ini.

B.     Masalah
1.      Rentangan masalah
a)      Kata jangkrik dalam sponsor dalam kajian linguistik
b)      Kata jangkrik dalam sponsor dalam analisis semiotik
c)      Kata jangkrik dalam sponsor dalam analisis semantik
d)     Kata jangkrik dalam sponsor dalam analisis pragmatik
e)      Kata jangkrik dalam sponsor dalam analisis kesantunan
f)       Kata jangkrik dalam sponsor dalam analisis ketidaksantunan
g)      Kata jangkrik dalam sponsor dalam analisis prinsip kesantunan Leech
2.      Batasan masalah
a)      Pada pembatasan ini, kami mebatasi bahwa penelitian kami hanya meneliti kata jangkrik yang dianalisis dengan pragmatik yang di kaikan dengan kesantunan dan kesantuna yang akan menjadi ukuran kesantunan kata tersebut adalah prinsip kesantunan dari Leech.
b)      Sedangkan analisis dengan linguistik ini terlalu umu karena mencakup banyak bidang ilmu dan ini merupakan sudah diluar bidang ilmu pragmatik, sama halnya dengan semantik dan smiotik keduanya merupakan bidang ilmu yang merupakan cakupan dari bidang ilmu lnguistik.
c)      Dari analisis ketidaksantunan ini sudah berada di luar bidang kesantunan dan hal hal ini dapat menjadi sebuah penelitian lain dari ruang lingkup tersendiri yankni ketidaksantunan. Karena penelitian ini hanya meneliti kata jangkrik pada sponsor dalam kajian prinsip kesantunan yang di kemukakan oleh Leech.
3.      Rumusan masalah
a)      Masalah umum
Masalah umum yang kami angkat adalah, apakah kata yang bereferensikan nama hewan merupakan kata makian yang tidak santun ataukah masih santun
b)      Masalah khusus
Apakah kata jangkrik tersebut merupakan kata makian dalam konteks di sponsor rokok jarum 76 tersebut, dan apakah kata jangkrik tersebut bisa menjadi kata makian dan tidak santun ataukah santun, serta dari segi mana kata jangkrik ini yang melanggar prinsip kesantunannya Leech.
4.      Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah menentukan apakah kata jangkrik dalam sponsor rokok jarum 76 tersebut santun atau tidak santun dengan menggunakan pendekatan prinsip kesantunan Leech.
5.      Manfaat
Dari segi kemanfaatan penelitian ini. Maka, adanya penelitian ini dapat bermanfaat pada pragmatik bahwa apakah kata makian yang berasal dari nama hewan merupakan kata yang santun atau tidak santun. Selain manfaat diatas ada pula manfaat lainnya seperti setelah penelitian selesai dan telah di tentukan kesantunan kata jangkrik tersebut, maka penggunakan kata jangkrik ini dianjurkan untuk tidak digunakan dalam hal makian, karena merugikan orang lain.

C.    Teori Kesantunan Leech
Dari beberapa konsep kesantunan yang dikemukakan para ahli, menurut Rahardi (2008:59) prinsip kesantunan yang sampai dengan saat ini dianggap paling lengkap, paling mapan, dan relatif paling komperhensif adalah prinsip kesantunan yang dirumuskan oleh Leech (1983). Secara lengkap Leech (1983:132 dalam Rustono,1999:65) mengemukakan prinsip kesantunan yang meliputi enam maksim, yaitu;

a.       maksim ketimbangrasaan/kearifan (tact maxim),
b.      maksim kemurahhatian/kedermawanan (generosity maxim),
c.       maksim keperkenaan/pujian (appobation maxim),
d.      maksim kerendahhatian (modesty maxim),
e.       maksim kesetujuan/kesepakatan (agreement maxim), dan
f.       maksim kesimpatian (symphaty maxim)

(maxim a dan b berpasangan, maxim c dan d berpasangan, namun maxim e dan f tidak berpasangan)
Dalam prinsip kesantunan, setiap maksim berisi nasihat atau petunjuk. Uraian nasihat setiap maksim dalam prinsip kesantunan Leech sebagai berikut.
a.       Maksim Ketimbangrasaan (Tact Maxim)
Maksim ketimbangrasaan dijabarkan lagi dalam sub maksim, yaitu “Meminimalkan biaya kepada pihak lain!” dan “Memaksimalkan keuntungan kepada pihak lain!” Gagasan dasar maksim ketimbangrasaan dalam prinsip kesantunan adalah bahwa pihak lain di dalam tuturan hendaknya dibebani biaya seringan-ringannya tetapi dengan keuntungan sebesar-besarnya. Perhatikan tuturan (1) berikut ini; 
Tuturan (1);
Tuan rumah     : “Silakan makan saja dulu, nak! Tadi kami semua sudah mendahului.”
Tamu               : “Wah, saya jadi tidak enak, Bu.”

Di dalam tuturan (1) tampak sangat jelas bahwa apa yang dituturkan si Tuan Rumah sungguh memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan biaya bagi sang Tamu. Tuturan si Tuan Rumah pada contoh (1) memenuhi prinsip kesantunan karena memenuhi nasihat maksim ketimbangrasaan.
Jadi dalam maksim kearifan mberperinsip untung dan rugi, jika kata-kata penutur menguntungkan petutur maka penutur tersebut sudah santun. Dan jika sebaliknya apabila perkataan penutur merugikan petutur maka [erkataan penutur tidak santun.

b.      Maksim Kemurahhatian (Generosity Maxim)
Maksim kemurahhatian – Rahardi (2008:61) menyebutnya maksim kedermawanan, dijabarkan lagi dalam dua submaksim, yaitu “Meminimalkan keuntungan pada diri sendiri!” dan “Memaksimalkan keuntungan kepada pihak lain!” Menurut Rustono (1999:67) nasihat yang dikemukakan di dalam maksim ini adalah bahwa pihak lain di dalam tuturan hendaknya diupayakan mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya sementara itu diri sendiri atau penutur hendaknya berupaya mendapatkan keuntungan sekecil-kecilnya. Dengan maksim kemurahhatian, penutur diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap orang lain akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan pada dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain. Tuturan (2) dapat memperjelas pernyataan tersebut.
Tuturan (2);
A         : “Mari saya cucikan baju kotormu! Pakaianku tidak banyak, kok, yang kotor.”
B         : “Tidak usah, Mbak. Nanti siang saya akan mencuci juga, kok.”

Dari tuturan yang disampaikan oleh A dapat diketahui dengan jelas bahwa A berusaha memaksimalkan keuntungan pihak lain (B) dengan cara menambahkan beban bagi dirinya sendiri. Hal itu dilakukan dengan cara menawarkan bantuan untuk mencucikan pakaian kotornya B. Tuturan A pada contoh (2) memenuhi nasihat maksim kemurahhatian prinsip kesantunan.

c.       Maksim Keperkenaan (Appobation Maxim)
Maksim keperkenaan dijabarkan dalam submaksim, yaitu “Minimalkan penjelekan kepada pihak lain!” dan “Maksimalkan pujian kepada pihak lain.” Maksim keperkenaan berisi nasihat bahwa orang akan dianggap santun  apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan atau pujian kepada pihak lain dan meminimalkan penjelekan terhadap pihak lain. Dengan maksim ini diharapkan para peserta tutur tidak saling mengejek, saling mencaci, atau saling merendahkan pihak lain. Tuturan (3) B berikut ini mematuhi maksim keperkenanan, sementara tuturan (4) B melanggarnya.
Tuturan (3);
A         : “Prof, saya tadi sudah memulai kuliah perdana Pragmatik.”
B         : “Oya, tadi saya mendengar penjelasan anda tentang Pragmatik sangat jelas.”
Tuturan (4); 
A         : “Maaf, aku pinjam tugas Pragmatik. Aku tidak bisa mengerjakan.”
B         :  “Dasar goblok, ini cepat kembalikan!”

Tuturan (3) B mematuhi maksim keperkenaan dalam prinsip kesantunan karena penutur meminimalkan penjelekan terhadap pihak lain dan memaksimalkan pujian terhadap pihak lain. Sementara itu tuturan (4) B melanggar maksim ini karena meminimalkan penjelekan kepada diri sendiri dan memaksimalkan pujian kepada diri sendiri.  Tuturan  (3)  B memiliki tingkat kesantunan yang lebih tinggi dari pada tuturan (4) B.

d.      Maksim Kerendahhatian (Modesty Maxim)
Di dalam maksim kerendahhatian, peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara meminimalkan  pujian terhadap diri sendiri dan memaksimalkan penjelekan kepada diri sendiri. Orang akan dikatakan tidak santun apabila di dalam kegiatan bertutur selalu memuji dan mengunggulkan diri sendiri.Maksim ini bertujuan untuk merendahkan hati  agar tidak sombong bukan untuk merendahkan diri. Perhatikan tuturan (5) dan (6) berikut ini!
Tuturan (5)
A  : “Mas, dalam kegiatan seminar internasional nanti anda menjadi moderator, ya.”
B  : “Waduh, nanti aku grogi.”
Tuturan (6)
A  : “Mas, dalam kegiatan seminar internasional nanti anda menjadi moderator, ya.”
B  : “Tidak masalah, jadi moderator itu sepele buatku.”

Tuturan (5) B lebih santun dibandingkan tuturan (6) B. Tuturan (5) B dikatakan lebih santun karena penutur memaksimalkan penjelekan pada diri sendiri, sedangkan tuturan (6) B kurang santun karena memaksimalkan pujian pada diri sendiri. Dengan demikian tuturan (5) B mematuhi prinsip kesantunan untuk maksim kerendahhatian, sedangkan tuturan (6) B melanggarnya.

e.       Maksim Kesetujuan (Agreement Maxim)
Maksim ini dijabarkan dalam submaksim “Minimalkan ketidaksetujuan antara diri sendiri dan pihak lain!” dan “Maksimalkan kesetujuan antara diri sendiri dan pihak lain!” Menurut Rustono (1999:69) maksim kesetujuan – Rahardi (2008:64) menyebutnya dengan istilah maksim permufakatan, adalah maksim di dalam prinsip kesantunan yang memberikan nasihat untuk meminimalkan ketidaksetujuan antara diri sendiri dan pihak lain dan memaksimalkan kesetujuan antara diri sendiri dan pihak lain. Di dalam maksim ini, ditekankan agar peserta tutur dapat saling membina kemufakatan antara diri penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masing-masing akan dapat dikatakan bersikap santun. Tuturan (7) B dan (8) B merupakan tuturan yang mematuhi prinsip kesantunan maksim kesetujuan.
Tuturan (7)
A         : “Bagaimana kalau sehabis kuliah kita mendiskusikan tugas Prof. Rustono?
B         : “Boleh.”
Tuturan (8)
A         : “Bagaimana kalau sehabis kuliah kita mendiskusikan tugas Prof. Rustono?
B         : “Saya sangat setuju.”

Tuturan (7) B dan (8) B merupakan tuturan yang mem­inimalkan ketidaksetujuan dan memaksimalkan kesetujuan antara diri sendiri sebagai penutur dengan pihak lain sebagai mitra tutur. Dibandingkan dengan tuturan (7) B, tuturan (8) B lebih memaksimalkan kesetujuan. Karena itu derajat kesopan-nya lebih tinggi tuturan (8) B daripada tuturan (7) B.

f.       Maksim Kesimpatian (Symphaty Maxim)
Maksim kesimpatian dijabarkan dalam dua submaksim, yaitu 1) minimalkan antipati antar diri sendiri dan pihak lain, dan 2) maksimalkan simpati antar diri sendiri dan pihak lain. Di dalam maksim ini, diharapkan para peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antar diri penutur dengan mitra tutur. Sikap antipati terhadap pihak lain dianggap sebagai tindakan tidak santun. Tuturan (9) B dan tuturan (10) B berikut ini mematuhi maksim kesimpatian dalam prinsip kesatunan dengan kadar kesantunan yang berbeda.
Tuturan (9)
A         : “Sis, ibuku meninggal tadi pagi.”
B         : “Innalillahiwainailahi rojiun. Saya ikut berduka cita.”
Tuturan (10) 
A         : “Sis, ibuku meninggal tadi pagi.”
B         : “Innalillahiwainailahi rojiun. Saya ikut berduka cita yang sedalam-dalamnya
  atas meninggalnya ibunda tercinta.”

Tuturan (9) B dan (10) B dikatakan memenuhi prinsip kesantunan maksim kesimpatian karena kedua tuturan tersebut memaksimalkan simpati kepada A. Dalam kedua tuturan tersebut tidak terlihat adanya rasa antipati terhadap B. Namun demikian, kadar kesantunan tuturan (10) B lebih tinggi dibanding tuturan (29) B.
Berbeda dengan tuturan (9) B dan (10) B, tuturan (11) B berikut ini melanggar prinsip kesantunan maksim kesimpatian.
Tuturan (11)
A         : “Sis, ibuku meninggal tadi pagi.”
B         : “Semua orang juga akan mati.”

Tuturan (11) B dikatakan melanggar maksim kesantunan karena tuturan tersebut memaksimalkan antipati dan meminimalkan simpati terhadap A. Dengan demikan, tuturan (11) B tidak santun.

D.    Metode
1.      Rancangan
Rancangan penelitian ini berawal dari masalah percakapan dari salah satu video rokok jarum 76 yang terdapat kata jangkrik didalamnya, kemudian di analisis dengan kesantunan Leech dan disimpulkan apakah kata tersebut santun atau tidak.
2.      Sumber data
Sumber data terdapat pada salah satu video rokok jarum 76 dan yang menjadi data adalah kata jangkrik yang terdapat dalam percakapan dalam video tersebut.
3.      pengumpulan data (dokumentasi)
3.1  menonton, menyimak, dan menuliskan dialog percakapan yang ada di salah satu video rokok jarum 76 tersebut.
3.2  Setelah data sudah didapatkan maka data akan dianalisis dengan maksim-maksim kesantunan yang dikemukakan oleh Leech.
4.      penganalisisan data
penganalisisan data di mulai maksim ketimbangrasaan/kearifan (tact maxim), kemudian dengan maksim kemurahhatian/kedermawanan (generosity maxim), maksim keperkenaan/pujian (appobation maxim), maksim kerendahhatian (modesty maxim), maksim kesetujuan/kesepakatan (agreement maxim), dan maksim kesimpatian (symphaty maxim). Setelah dianalisis dengan maksim-maksim  tersebut  maka  akan disimpulkan bahwa kata jangkrik tersebut santun atau tidak.
5.      pengujian kesahihan data
kefalitan data dilakukan dengan triangulasi dan pengesahan teman sejawat, dan selain itudata penelitian ini terdapat di internet dan dapat di tinjau di alamat http://www.youtube.com/watch?v=Y8kiJ_uQDd4.
  
F.     Prototipe Analisis Data
Dengan menggunakan prototipe perancangan dialog percakapan dalam video tersebut yang kemudian dianalisis dengan prinsip kesantunan dari Leech.

G.    Data dan Analisis
1.      Data
Data dari penelitian ini hanya berisi sedikit dialog antara jin dan seorang petani, dalam video tersebut digambarkan pada suasana pedesaan. Tepatnya di pematang sawah, seorang petani sedang duduk bersantai kemudian jatuh sebuah benda dari langit yang mengenai atap pematang sawah tersebut, kemudian jatuh ke jalan setapak dekat pematang sawah tersebut. Seketika si petani terhenyak dan langsung menghampiri lampu ajaib tersebut. Ketika petani tersebut hendak mengambil lampu ajaib tersebut tiba-tiba dari dalam lampu tersebut keluar sesosok jin yang menyerupai manusia yang berpakaian adat jawa tengah. Kemudian tanpa ada basa basi si Jin tersebut menawarkan sebuah permintaan kepada si petani;
Jin        : Aku beri satu permintaan. Monggo ...
Petani : a ... (berpikir)

Mendapat sebuah permintaan Cuma-Cuma dari Jin, petani tersebut berpikir sampai malam hari, sedangkan jin tersebut memerhatikan jam yang merupakan batas waktu dari masa berlaku permintaan si petani. Petani yang sedang berpikir tentang apa yang akan ia minta pada jin tersebut ternyata posisi petani tersebut sedang membelakangi jin. Dan ketika masa berlaku permintaan petani tersebut habis, jin menepuk punggung petani tersebut hingga mengeluarkan kata secara spontan.
Jin        : ....... heng .... (sambil menepuk punggung si petani)
Petani  : ee .. eee... jangkrik ..
Jin        : oke (sambil tersenyum)

Maka setelah petani tersebut mengatakan kata jangkrik, dan jin tersebut menyetujui p[ermintaan penatu tersebut dengan hati senang dan seketika petani tersebut berubah menjadi seekor makhluk yang menyerupai jangkrik.
2.      Analisis
2.1  Maksim kearifan
Analisi akan dilakukan sesuai langkah-langkah yang sudah dijabarkan di metode penelitian. Langkah pertama yakni akan dianalisis dengan maxim kearifan.
Jin        : Aku beri satu permintaan. Monggo ...
Petani : em ... (berpikir)
Jin        : ....... heng .... (sambil menepuk punggung si petani)
Petani  : ee .. eee... jangkrik ..
Jin        : oke (sambil tersenyum)
Dalam konteks percakapan diatas, penutur kata jangkrik adalah si petani dan si jin sebagai petutur. Menurut maksim kearifan kata jangkrik yang di lontarkan oleh si petani yang merupakan kata makian karean penati tersebut di kagetkan dengan cara di tepuk punngungnya dari belakang. Namun jin selaku petutur merasa tidak dirugikan dan jin merasa di untungkan karena si petani sudah mengucapkan permintaannya. Jadi jika ti tinjau dari segi petutur maka makian jangkrik tersebut santun karena jin memenuhi janjinya untuk mengabulkan permintaan si petani dan si jin sudah memenuhi maksim kearifan.

2.2  Maksim maksim kemurahhatian/kedermawanan (generosity maxim)
Dalam konteks percakapan dialog yang sedemikian dimana leech mengungkapkan bahwa penilaian perkataan seseorang di nilai dari sudut pandang si petutur maka kata makian jangkrik yang di lontarkan si petani santun karena si petutur merasa diuntungkan karena janji untuk mengabulkan permintaan si petani terlaksana dan hal ini memenuhi prinsip kemurahatian.

2.3  maksim keperkenaan/pujian (appobation maxim)
jika di analisis dari segi maksim pujian dalam konteks yang seperti di atas sudah memenuhi prinsip maksim pujian dan kata makian jangkrik bukannlah kata yang santun tetapi tidak santun. Karena kata jangkrik yang di ucapkan oleh petani merupakan kata makian yang di lontarkan kepada di jin karena sudah membuat si petani terkejut.

2.4  Maksim kerendahhatian (modesty maxim)
Berasal  dari hasil analisis maksim pujian yang menyatakan bahwa kata jangkrik tersebut dalam konteks yang sedemikian meruipakan kata makian maka secara prinsip kerendahhatian kata jangkrik tersebut tidak menunjukkan rasa rendah hati si penutur. Jadi kata jangkrik tersebut tidak santun.

2.5  Maksim kesetujuan/kesepakatan (agreement maxim)
Kata jangkrik yang dilontarkan oleh si petani dianggap santun karena sudah memenuhi prinsip kesantunan, karena pelontaran kata makian jangkrik yang di tujukan pada jin selaku petutur malah mendapatkan persetujuan dari jin dan jin tidak mesara di beratkan dengan permintaan tersebut.

2.6  Maksim kesimpatian (symphaty maxim)
Kata jangkrik oleh si jin sebagi petutur sudah dianggap sebagai sebuah permintaan dari si petani dan sebagaimana janjinya, si jin harus memenuhi segala permintaan di petani. Ketika si petani mengatakan kata jangkrik yang maksudnya memaki si jin namun si jin mengartikan dengan maksud lain. Bukan sebagai makian tetapi sebagai permintaan yang sudah di tunggu-tunggu maka kata jangkrik ini pun santun .
Jadi menurut prinsip kesantunan yang di analisis dengan maksim yang ada, maka kata jangkrik pada konteks dialoh video roko jarum 76 ini dianggap santun dari segi petutur, dan kata ini dianggap sebagai kata makian. Artinya, kata jangkrik merupakan kata makian yang dilontarkan oleh petani selaku penutur kepada jin selaku petutur adalah santun karena dari hasil analsis ditentukan oleh banyaknya maksim yang menyatakan santun dan tidak santun. Dan hasilnya 4 maksim di antaranya menyatakan santun dan 2 diantaranya menyatakan tidak santun. Jadi kata makian jangkrik pada video rokok jarum 76 dianggap santun.

H.    Kesimpulan
Menurut prinsip kesantunan dari hasil analsis maksim-maksim kesantunan ditemukan bahwa lebih banyak maksim yang menyatakan santun ketimbang tidak santun. Karena 4 maksim di antara 6 maksim yang ada menyatakan santun dan 2 lainnya menyatakan tidak santun. Jadi kata makian jangkrik pada video rokok jarum 76 dianggap santun







Daftar Pustaka

Chaer, Abdul dan Agustina, Leoni. 1993. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Ismari. 1995. Tentang Percakapan. Surabaya: Airlangga University Press.
Leech. George, 1983. Prinsip-prinsip Pragmatik (Terj., 1993 oleh: Dr. M. D.D. Oka, M.A.) Jakarta: Universitas Indonesia.
Mulyana. 2005. Kajian Wacana: Teori, Metode dan Aplikasi Prinsip-prinsip Analisis Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Rustono. 1999. Pokok-pokok Pragmatik. Semarang: CV. IKIP Semarang Press.
Verhaar, J.W.M. 1996. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Wijana, I Dewa. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi.
Zaman, Saefu. 2010. Prinsip, Skala, dan Strategi Kesantunan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar