GANGGUAN
BERBAHASA
DALAM
PEMERTAHANAN BAHASA
Agus
Paramuriyanto
117835008
A.
PENDAHULUAN
Alat bicara yang baik akan mempermudah
berbahasa dengan baik. Namun, mereka yang memiliki kelainan fungsi otak dan
bicaranya, tentu mempunyai kesulitan dalam berbahasa, baik produktif maupun
reseptif. Inilah yang di sebut sebagai gangguan berbahasa.
Gangguan-gangguan berbahasa tersebut
sebenarnya akan sangat mempengaruhi proses berkomunikasi dan berbahasa. Banyak
faktor yang mempengaruhi dan menyebabkan adanya gangguan berbahasa, kemudian
faktor-faktor tersebut akan menimbulkan gangguan berbahasa. Maka dari itu,
dalam makalah ini akan dijabarkan macam gangguan berbahasa yang sering dialami
manusia berserta faktor-faktor yang menyebakannya.
Gangguan berbahasa ini secara garis besar
dapat di bagi dua. Pertama, gangguan akibat faktor medis; dan kedua, akibat
faktor lingkungan sosial. Yang dimaksud dengan faktor medis adalah gangguan,
baik akibat kelainan fungsi otak maupun akibat kelainan alat-alat bicara.
Sedangkan yang dimaksud dengan faktor lingkungan sosial adalah lingkungan
kehidupan yang tidak alamiah manusia, seperti tersisih atau terisolasi dari
lingkungan kehidupan masyarakat manusia yang sewajarnya.
Secara medis menurut Sidharta (1984) gangguan
berbahasa itu dapat di bedakan atas tiga golongan, yaitu (1) gangguan
berbicara, (2) gangguan berbahasa, dan (3) gangguan berpikir. Ketiga gangguan
itu masih dapat di atasi kalau penderita gangguan itu mempunyai daya
dengar yang normal; jika tidak, maka akan menjadi sukar atau bahkan sangat
sukar.
Dalam
hal berikutnya adalah bagaimana gangguan berbahasa ini dapat berpengaruh pada
pemertahan bahasa. Jika di lihat keberadaan pemertahanan bahasa yang didasari
oleh sikap dari penutur bahasa, selain itu juga hal ini berhubungan dengan
bahasa ibu atau bahasa pertama. Kemudian di teruskan dengan keadaan
bilingualisme seseorang yang mengalalmi diglosia atau kasus pilihan bahasa.
Dari ini sudah dapat di tarik garis lurus dari gangguan berbahasa dengan
pemertahanan berbahasa karena gangguan berbahasa ini dapat menghambat adanya
pemertahanan bahasa.
B.
GANGGUAN BERBICARA
Menurut
Chaer (2009:) Berbicara (speaking) disebut sebagai aktivitas psikomotorik karena
merupakan kegiatan motorik voluntar yang mengandung modalitas psikis. Oleh
karena itu, gangguan berbicara dapat berupa (a) gangguan organik, yang
merupakan gangguan teknis atau mekanisme berbicara, dan (b) gangguan
psikogenik, yang merupakan variasi cara berbicara normal sebagai ungkapan dari
gangguan mental saja. Kedua gangguan berbicara itu masing-masing ditentukan
oleh faktor tertentu seperti dibagankan berikut.
Bagan 4.6: GANGGUAN BERBAHASA
Faktor Pulmonal
Faktor Laringal Sembrono
Organik Faktor Multifaktorial Propulsif
Faktor Resonansi Mutisme
Faktor Lingual
Gangguan
Berbicara
Faktor Manja
Psikogenik Faktor Kemayu
Faktor Gagap
Faktor
Latah
1.
Gangguan organik (mekanisme berbicara)
Mekanisme
berbicara adalah suatu proses produksi ucapan atau perkataan oleh kegiatan
terpadu dari pita suara, lidah, otot-otot yang membentuk rongga mulut serta
kerongkongan, dan paru-paru.
Ketidaksempurnaan
organ bicara menghambat kemampuan seseorang memproduksi ucapan (perkataan) yang
sejatinya terpadu dari pita suara, lidah, otot-otot yang membentuk rongga mulut
serta kerongkongan, dan paru-paru. Hal ini disebut gangguan mekanisme
berbicara. Menurut Chaer (2009) dalam bukunya Psikolinguistik; kajian teoretik,
bahwa gangguan berbicara berdasarkan mekanismenya dapat terjadi akibat kelainan
pada paru-paru (pulmonal), pada pita suara (laringal), pada lidah
(lingual), dan pada rongga mulut serta kerongkongan (resonantal).
·
Gangguan akibat faktor Pulmonal
Gangguan
berbicara ini dialami oleh para penderita penyakit paru-paru. Para penderita
penyakit paru-paru ini kekuatan bernafasnya sangat kurang, sehingga cara
berbicaranya diwarnai oleh nada yang monoton, volume suara yang kecil sekali,
dan terputus-putus, meskipun dari segi semantik dan sintaksis tidak ada
masalah.
·
Gangguan akibat faktor Laringal
Gangguan
pada pita suara menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi serak atau hilang
sama sekali. Gangguan berbicara akibat faktor laringal ini ditandai dengan
suara yang serak atau hilang tanpa kelainan semantik, dan sintaksis. Artinya
dapat dilihat dari segi semantik dan sintaksis ucapanya dapat diterima.
·
Gangguan akibat Multifaktoral
Akibat
gangguan multifaktoral atau berbagai faktor bisa menyebabkan terjadinya
berbagai gangguan berbicara, antara lain sebagai berikut.
a. Berbicara serampangan
Berbicara
serampangan atau sembrono adalah berbicara dengan cepat sekali, dengan
artikulasi yang rusak, ditambah dengan menelan sejumlah suku kata, sehingga apa
yang diucapkan sukar dipahami.
b. Berbicara Propulsif
Gangguan
berbicara propulsif biasanya terdapat pada para penderita penyakit Parkinson
atau kerusakan pada otak yang menyebabkan otot menjadi gemetar, kaku dan lemah.
Hal ini akan mempengaruhi proses artikulasi karena elastisitas otot lidah, otot
wajah, dan pita suara sebagian besar lenyap.
c. Berbicara Mutis
Penderita
gangguan Mutis ini tidak dapat berbicara sama sekali, bahkan sebagian dari
mereka dianggap bisu. Mutisme ini bukan hanya tidak dapat berbicara atau
berkomunikasi secara verbal tetapi juga tidak dapat berkomunikasi secara visual
maupun isyarat, seperti dengan gerak-gerik dan sebagainya.
·
Gangguan akibat faktor Lingual
Lidah
yang sariawan atau terluka akan terasa pedih kalau digerakkan, maka untuk
mencegah rasa pedih ini maka dalam berbicara gerak lidah dikurangi sesuai
dengan kehendak penutur. Dalam kondisi seperti ini maka pengucapan sejumlah
fonem menjadi tidak sempurna. Misalnya kalimat “Jangan ragu-ragu silahkan ambil
saja” Mungkin akan di ucapkan menjadi “Hangan agu-agu siakang ambiy aja”.
Pada
orang yang terkena stroke dan badannya lumpuh sebelah, maka lidahnyapun lumpuh
sebelah. Berbicaranya menjadi pelo atau cadel yang
dalam istilah medis disebut disatria (terganggunya
artikulasi).
·
Gangguan akibat faktor Resonansi
Gangguan
akibat faktor Resonansi ini menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi
bersengau. Misalnya pada orang sumbing menjadi bersengau atau bindeng dan akibat gangguan
resonansi pada langit-langit keras (palatum) pada rongga mulut. Selain
itu juga terjadi pada orang yang mengalami kelumpuhan pada langit-langit lunak
(velum). Rongga langit-langit itu tidak memberikan resonansi yang
seharusnya sehingga suaranya menjadi bersengau. Penderita penyakit miastenia
gravis(gangguan yang menyebabkan otot menjadi lemah dan cepat lelah) sering
dikenali secara langsung karena kesengauan
2.
Gangguan Psikogenik
Gangguan berbicara
Psikogenik ini sebenarnya tidak bisa disebut sebagai suatu gangguan berbicara
karena mungkin lebih tepat jika disebut dengan variasi cara berbicara yang
normal tetapi yang merupakan ungkapan dari gangguan dibidang mental.
1.
Berbicara Manja
Disebut
berbicara manja karena ada kesan anak melakukannya karena ingin dimanja dapat
kepada orangtuanya atau pun kepada sanak famili yang dekat dengan si anak. Namun ada juga berbicara manja karena ada kesan keinginan
untuk dimanja sebagaimana anak kecil yang membuat perubahan pada cara
bicaranya. Fonem (s) dilafalkan (c) sehingga kalimat “sakit sekali susah
sembuhnya” menjadi “cakit cekali cucah cembuhnya”. Gejala seperti ini dapat diamati
pada orang tua pikun atau jompo (biasanya wanita).
2.
Berbicara Kemayu
Menurut
Sidharta (dalam Chaer, 2009) istilah kemayu mengacu pada perangai kewanitaan
yang berlebihan yang dalam hal ini ditunjukkan oleh seorang pria. Berbicara
kemayu dicirikan oleh gerak bibir dan lidah yang menarik perhatian dan lafal
yang dilakukan secara menonjol atau ekstra lemah gemulai dan memanjang.
Meskipun berbicara jenis ini tidak langsung termasuk gangguan berbahasa, tetapi
dapat dipandang sebagai sindrom fonologik yang mengungkapkan
gangguan identitas kelamin.
3.
Berbicara Gagap
Gagap
adalah berbicara yang kacau karena sering tersendat-sendat, mendadak berhenti,
lalu mengulang-ulang suku kata pertama, kata-kata berikutnya, dan setelah
berhasil mengucapkan kata-kata itu kalimat dapat diselesaikan. Penderita gagap
kerap tidak berhasil mengucapkan suku kata awal, hanya berhasil mengucapkan
konsonan atau vokal awalnya dengan susah payah hingga bisa menyelesaikan
kalimatnya. Dalam usahanya mengucapkan kata pertama yang barangkali gagal,
penderita gagap menampakkan rasa letih dan kecewanya.
Menurut
Sidharta (dalam Chaer, 2009:154) kegagapan adalah disfasia
yang ringan. Kegagapan ini lebih sering terjadi pada kaum laki-laki, dan lebih
banyak pada golongan remaja daripada golongan dewasa.
Penyebab
gagap belum di ketahui secara tuntas. Namun, hal-hal yang di anggap mempunyai
peranan dalam menyebabkan terjadinya kegagapan itu. Misalnya:
·
Faktor
Stres
·
Pendidikan
anak yang terlalu keras dan ketat, serta tidak mengizinkan anak berargumentasi
dan membantah.
·
Adanya
kerusakan pada belahan otak (hemisfer) yang dominan.
4.
Berbicara Latah
Latah
sering disamakan dengan ekolalla yaitu perbuatan membeo atau
menirukan apa yang dikatakan orang lain tetapi sebenarnya latah adalah suatu
sindrom yang terdiri dari curah verbal repetitif yang bersifat
jorok koprolalla dan gangguan lokomotorik yang dapat
dipancing.
C.
GANGGUAN BERBAHASA
Untuk mampu berbahasa diperlukan kemampuan pemahaman (resepsi) dan
kemampuan produksi (ekspresi). Implikasinya ialah daerah Broca dan Wernicke
harus berfungsi penuh. Kerusakan pada kedua daerah tersebut dan sekitarnya akan
menghasilkan gangguan berbahasa yang disebut ―lupa bahasa atau ―afasia (aphasia).
Broca sendirinya menyebutnya ―afemia (aphemia).
1.
Afasia
(lupa bahasa)
Bagan 4.7: JENIS AFASIA
Afasia Kortikal
Afasia Motorik Afasia Subkortikal
Afasia Transkortikal
Afasia
Afasia Sensorik
a.
Afasia
motorik
Menurut
Chaer (2009:157) Afasia dapat dibedakan atas (a) afasia
motorik (ekspresif) atau afasia Broca dan (b) afasia sensorik (reseptif) atau
afasia Wernicke. Kedua jenis afasia itu dapat dibagankan sebagai berikut.
1)
Motorik Kortikal
Ialah
hilangnya kemampuan untuk mengutarakan isi pikiran dengan menggunakan
perkataan. Ia mengerti bahasa lisan dan tulis, tetapi tidak bisa berekspresi
verbal, meskipun isyarat masih bisa.
2)
Afasia Motorik Subkortikal
Ialah
seorang penderita tidak bisa meng-utarakan isi
pikirannya dengan menggunakan perkataan, namun masih bisa dengan cara membeo.
Pemaknaan ekspresi verbal dan visual tidak terganggu, bahkan ekspresi
visualnya normal.
3)
Afasia motorik transkortial (afasia nominatif)
ialah afasia
yang masih dapat mengutarakan isi pikiran dengan menggunakan perkataan yang
singkat dan tepat, namun masih mungkin menggunakan perkataan penggantinya.
Misalnya, tidak mampu menyebut nama barang yang dipegangnya, tetapi tahu
kegunaannya.
b.
Afasia Sensorik
terjadi akibat lesi kortial di daerah Wernicke pada hemisfer yang dominan.
Daerah itu terletak di kawasan asosiatif antara daerah visual, sensorik,
motorik, dan pendengaran. Kerusakan daerah Wernicke akan mengakibatkan
kehilangan pengertian bahasa lisan dan tulis, namun ia masih memiliki curah
verbal, sekalipun tidak dipahami oleh dirinya maupun orang lain. Curah
verbalnya merupakan neologisme, yakni ―bahasa baru‖ yang tidak
dimengerti oleh siapa pun, biasanya diucapkan dengan irama, nada, dan melodi
yang sesuai dengan bahasa asing yang ada. Ia bersikap biasa, tidak tegang, atau
depresif.
2.
Gangguan Pikiran
Setiap orang cenderung untuk mengungkapkan perkataan yang disukai- nya
sehingga memiliki corak bahasa yang khas bagi dirinya. Dalam memilih dan
menggunakan leksikon, sintaksis, dan semantik tertentu, seseorang akan
menyiratkan sikap dan nilai pribadinya pada ekspresi bahasa yang dibuatnya.
Gaya bahasa perseorangan ini lazim disebut idiolek (idiolect) atau spracherlebnis
(Krechel, dalam Critchley, 1981). Jika ekspresi verbal sebagai pengutaraan isi
pikiran, dalam gaya bahasa seseorang akan tersirat pikirannya. Konsekuensinya
ialah gangguan ekspresi verbal disebabkan gangguan pikiran.
Gangguan ekspresi verbal akibat gangguan pikiran dapat disebut gaya bahasa
abnormal. Ada beberapa jenis gangguan ekspresi
verbal akibat pikiran, antara lain, (a) pikun, (b) gaya bahasa sisofrenik, (c)
gaya bahasa depresif, dan (d) gaya bahasa maniakal.
a)
pikun (demensia)
Orang
pikun biasanya memperlihatkan banyak gangguan seperti agnosia (tak sanggup
mengenal benda dan artinya), afrasia (tak mampu bercakap dan menulis secara
berkesinambungan), amnesia (hilang ingatan masa lalu), perubahan kepribadian,
perubahan perilaku, dan kemunduran dalam berbagai fungsi intelektual. Berbagai
gangguan itu mengakibatkan kurangnya daya pikir sehingga ekspresi verbalnya
banyak gangguan seperti sukar dalam diksi yang tepat, kalimat sering
diulang-ulang, dan lupa banyak kata.
Dr.
Martina W.S. Nasrun sebagaimana dikutip oleh Chaer dalam bukunya
Psikolinguistik; kajian teoretik, mengatakan bahwa Kepikunan adalah suatu
penurunan fungsi memori atau daya ingat dan daya pikir lainnya yang dari hari
ke hari semakin buruk. Gangguan kognitif ini meliputi terganggunya ingatan
jangka pendek, kekeliruan mengenali tempat, orang, dan waktu. Juga gangguan
kelancaran berbicara.
Penyebab
pikun ini antara lain karena terganggunya fungsi otak dalam jumlah besar,
termasuk menurunnya jumlah zat-zat kimia dalam otak. Biasanya volume otak akan
mengecil atau menyusut, sehingga rongga-rongga dalam otak melebar. Selain itu
dapat pula disebabkan oleh penyakit, seperti stroke, tumor otak, depresi, dan
gangguan sistematik.
b)
Autisma
Menurut abdurrahman (2008:124)Anak autisma selain tidak
responsif terhadap orang lain juga terobsesi dengan kesamaan lingkungan.
Artinya, dia sangat kaku dengan rutinitas yang dihadapinya, dia akan marah
apabila terdapat perubahan kondisi dari yang biasa dijumpainya.
Ada
dua kategori perilaku autisma yaitu, perilaku eksesif (berlebihan) dan perilaku
yang defisit (berkekurangan). Yang termasuk perilaku eksesif yaitu hiperaktif
dan tantrum (mengamuk) berupa jeritan, menyepak, menggigit, mencakar, memukul,
dan sebagainya. Di sini juga sering terjadi anak menyakiti diri sendiri (self-abuse).
Perilaku defisit ditandai dengan gangguan bicara, perilaku sosial kurang
sesuai, bermain tidak benar dan emosi yang tidak tepat, misalnya tertawa tanpa
sebab, menangis tanpa sebab dan melamun
c)
Gaya bahasa depresif
Depresi merupakan gangguan jiwa seseorang yang ditandai dengan perasaan
yang menurun (seperti murah, sedih, perasaan tertekan). Orang yang tertekan
jiwanya (depresi) akan terdampar dalam gaya bahasa yang dipakainya. Volume
curahan verbalnya lemah lembut dan kelancaran-nya terputus-putus oleh interval
yang cukup panjang, namun arah arus isi pikiran tidak terganggu. Kelancaran
curah verbal terputus oleh tarikan napas-dalam serta pelepasan napas-keluar
yang panjang untuk melapangkan kesumpekannya. Cirinya berupa topik
menyedihkan, mengutuk diri, kehilangan gairah hidup, tak mampu menikmati hidup,
bahkan menyudahinya.
d)
Gangguan
Lingkungan Sosial
Menurut Chaer (2099:161) Yang dimaksud dengan akibat
faktor lingkungan adalah terasingnya seorang anak manusia, yang aspek biologis
bahasanya normal dari lingkungan kehidupan manusia. Jadi, anak yang terasing,
tidak ada orang yang diajak dan mengajaknya berbicara, tidak mungkin dapat
berbahasa. Karena dia sama sekali terasing dari kehidupan sosial masyarakat,
maka dengan cepat ia menjadi sama sekali tak dapat berbahasa. Otaknya menjadi
tidak lagi berfungsi secara manusiawi karena tidak ada yang membuatnya atau
memungkinkannya berfungsi demikian. Maka sebenarnya anak terasing, yang tidak
punya kontak dengan manusia, bukan lagi manusia, sebab manusia pada hakikatnya
adalah makhluk sosial. Meskipun bentuk badannya adalah manusia tetapi dia tidak
bermartabat sebagai manusia. Otaknya tidak berkembang sepenuhnya, tidak dapat
berfungsi dalam masyarakat manusia, Dalam sejarah tercatat sejumlah kasus anak terasing,
baik yang di asuh oleh hewan maupun yang terasingkan oleh keluarganya.
3.
Ciri-ciri gangguan berbahasa
Gangguan berbahasa mempunyai ciri-ciri, yakni
(a) tidak mudah didengar, (b) tidak dapat dipahami atau dimengerti,
(c) suara tidak nyaman, (d) menyimpang dari bunyi tertentu (konsonan, vokal,
dan diftong), (e) bicara dengan susah payah atau gangguan dalam ritme atau
tekanan, kualitas nada atau perubahan “pitch”, (f) kekurangan atau “deficiency” dalam linguistik. Dan (g) tidak esuai
dengan umur, kelamin, atau perkembangan fisik (Sidiarto, dalam kridalaksana,
1986:251-252).
a.
Jenis-jenis
Gangguan Berbahasa
Sidharta (1984) secara medis, membedakan
gangguan berbahasa atas tiga golongan, yaitu (1) golongan gangguan berbicara,
pertama, gangguan mekanisme berbicara berimplikasi pada gangguan organik
seperti gangguan akibat pulmonal, gangguan akibat faktor laringal, gangguan
akibat faktor lingual, dan gangguan akibat faktor resonansi. Kedua, gangguan
akibat multifaktorial yaitu berbicara serampangan, berbicara profulsif,
berbicara mutis. Ketiga gangguan psikogenik seperti berbicara manja, berbicara
kemayu, berbicara gagap, dan berbicara latah. (2) golongan kedua, gangguan
berbahasa berupa afasia motorik yang terbagi lagi atas afasia motorik kprtikal,
afasia motorik subkortikal, dan afasia motorik transkortikal, dan afasia
sensorik. (3) golongan ketiga, gangguan berpikir seperti pikun (demensia),
sisofrenik, dan depresif. Lalu ada penambahan golongan keempat, gangguan
lingkungan sosial seperti kasus Kamala dan Genie.
b.
Sebab-sebab
Gangguan Berbahasa
Menurut Suharno (1982) mengidentifikasi salah
satu gangguan otak yang menimbulkan gangguan bahasa, yaitu CVA (Celebral Vascular Accident) yang berarti ‘kerusakan saluran darah
di otak’, merupakan contoh kerusakan lokal otak, dan kerusakan tersebar yang
menyerang otak. Kemudian tumor otak tengah yang menyebabkan dysarthria yaitu
kesulitan mengartikulasi atau mengucapkan kata-kata, absces dan trauma.
D.
PEMERTAHANAN BAHASA
pemertahanan bahasa
merupakan satu sisi uang koin dari pergeseran bahasa, dan pemertahanan juga
yang dijadikan modal utama bagi para bilingual dan multilingual. Sebagaimana Gunawan (2006) telah menyakatan bahwa kasus
pergeseran dan kepunahan bahasa lebih banyak dari kasus pemertahanan bahasa.
Selain itu beliau juga menyatakan bahwa bergeser tidaknya suatu bahasa atau
punah tidaknya suatu bahasa tersebut. Apabila masyarakat tutur memiliki
loyalitas yang cukup tinggi dalam menilai bahasa yang digunakan sehingga bahasa
itu bisa bertahan.
Mengenai kasus pemertahanan bahasa, Fishman (dalam
gunawan, 2006) mengungkapkan ada tiga bahasa yang berhasil bertahan hidup
walaupun pernah mengalami pergeseran. Ketiga bahasa tersebut adalah bahasa
Perancis di Quebec, kanada, bahasa Catalan di Daerah Otonomi Katalonia,
Spanyol, dan bahasa Ibrani di Israel.
Pada kasus bahasa Perancis di Quebec, bahasa ini pernah terancam oleh bahasa
Inggris yang digunakan sebagai bahasa resmi di sana. Selain itu, bahasa Inggris
juga merupakan bahasa manyoritas yang digunakan di Kanada serta bahasa yang
digunakan di negara Adidaya, Amerika Serikat. Keadaan sosial yang berbeda
antara masyarakat tutur bahasa Perancis yang berstatus sosial ekonomi rendah
dengan masyarakat tutur bahasa Inggris yang berstatus sosial ekonomi tinggi
inilah yang membuat bahasa Inggris lebih berkembang dan bertahan di banding
bahasa dan karena hal ini juga yang membuat ancaman besar bagi bahasa Perancis
di Quebec. Menyadari adanya pergeseran bahasa pemimpin masyarakat tutur bahasa
Perancis berketetapan untuk membalikkan pergeseran bahasa tersebut. Dengan cara
membuat peraturan undang-undang dan gerakan pembalikan pergeseran di bentuk dan
ini semua mendapat dukungan dari badan institusional di Perancis. Dan hasilnya
bahasa Perancis hingga saat ini masih ada dan bertahan serta terus
berkembang.
Dalam penelitian yang
dilakukan oleh Sumarsono (dalam Nur, 2011) tentang penggunaan bahasa Melayu
Loloan yang digunakan di desa Loloan, Bali. Bahasa ini dapat bertahan karena
adanya faktor: (1) wilayah yang terpisah dari wilayah pemukiman mayoritas Bali,
(2) adanya toleransi dari masyarakat mayoritas Bali yang mau menggunakan bahasa
Melayu Loloan dalam berinteraksi dengan golongan minoritas, (3) anggota
masyarakat Loloan mempunyai sikap Keislaman tidak akomodatif terhadap
masyarakat, (4) adanya loyalitas tinggi dari anggota masyarakat Loloan terhadap
bahasa Melayu Loloan sebagai konsekuensi kedudukan atau status bahasa ini yang
menjadi lambang identitas diri masyarakat Loloan yang beragama Islam, (5) adanya
kesinambungan pengalihan bahasa Melayu Loloan dari generasi terdahulu ke
generasi berikutnya.
Di Indonesia belum ada
usaha pembalikan pergeseran bahasa, khususnya bahasa daerah, yang dilakukan
secara terencara, karena tanpa adanya perencanaan untuk itu bahasa daerah masih
mampu bertahan secara alamiah. Seperti yang dinyatakan oleh Gunawan (2006)
bahasa daerah yang lebih mampu bertahan walaupun ada dominasi dari bahasa lain
baik itu bahasa dari lain wilayah/ luar negara dan dari bahasa Indonesia yang dijadikan
bahasa resmi. Kasus seperti ini terjadi pada bahasa Banjar. Pada kasus lainnya
Sumaroso (2002) meneliti bahasa imigran yang dimiliki kelompok
masyarakat tutur bahasa Guyub di Bali, dengan hasil bahasa Guyub ini mampu
bertahan dari bahasa Bali dan bahasa Indonesia.
Selain beberapa pendapat
di atas yang mengenai pemertahan bahasa, Siregar (1998:14) menjelaskan ada dua
tipe pemertahanan bahasa, yaitu pemertahanan bahasa aktif dan pemertahanan
bahsa pasif. Pemertahanan bahasa aktif didalamnya terdapat hubungan satu lawan
antara bahasa dan konteks sosial. Artinya, masyarakat tutur bahasa mampu
membeda-bedakan penggunaan bahasa. Penggunaan bahasa seperti ini terjadi dengan
tidak adanya alih kode dan campur kode, dengan begitu bisa dikatakan sebagai tipe
pemertahanan bahasa aktif. Dan hal ini ditegas lagi oleh Siregar dengan
menyatakan bahwa dengan keadaan masyarakat tutur bahasa yang mampu
membeda-bedakan penggunaan bahasa serta
alih kode dan campur kode yang tak terlihat dan tidak adanya tumpang tindih di
antara kedua hal tersebut. Oleh karena itu, menurut Siregar (1998:13) hal
seperti ini di sebut pemertahanan bahasa aktif.
Pada pemertahanan bahassa pasif, memiliki ciri
masyarakat tutur yang bilingual atau bahkan multilingual yang didalamnya
terdapat sikap penggunaan bahasanya tumpang tindih. Artinya, dalam hal
penggunaan bahasa daerah masyarakat tutur bahasa yang dinyatakan sebagai
lambang identitas, lambang jatidiri etnik yang dilakukan tanpa sengaja dengan
kegiatan berbahasa. Namun dalam penggunaannya bahasa daerah pada pemertahanan
pasif ini tumpang tindih dengan bahasa lainnya dan sering terjadi alih kode dan
campur kode. Dengan keadaan yang seperti ini penggunaan bahasa daerahnya secara
tidak digunakan secara teratur sesuai dengan fungsinya sebagai lambang
kedaerahan. Dan menurut Siregar (1998:14) pemertahan bahasa pasif ini ditandai
dengan adanya campur kode dan alih kode.
E.
FAKTOR PENYEBAB
PEMERTAHANAN BAHASA
Menurut Fishman (dalam Ningsih, 2009: 29) Bertahan atau tidaknya suatu bahasa bisa didasari oleh adanya
loyalitas dari masyarakat tutur tersebut terhadap bahasa yang digunakan. Dengan
adanya loyalitas tersebut, masyarakat tutur bahasa akan terus mentransnisikan
bahasanya dari generasi ke generasi. Selain itu, faktor konsentrasi wilayah pemukinan
merupakan merupakan faktor yang dapat mendukung kelestarian suatu bahasa
(Sumarsono, 2007:266). Konsentrasi
wilayah pemukiman merupakan faktor penting dibandingkan dengan jumlah penduduk
besar. Kelompok yang lebih kecil jumlah penduduknya dapat lebih kuat
memertahankan bahasanya jika wilayah pemukinan dapat dipertahankan.
Faktor lain yang menyebabkan
terjadinya pemertahanan bahasa adalah digunakannya bahasa itu sebagai bahasa
pengantar dalam dunia pendidikan, dalam penerbitan buku pelajaran maupun agama,
dan pengantar dalam ucapara-upacara keagamaan. Hal yang sama diungkapkan oleh
Romaine (1989:38) tentang faktor penyebab adanya pemertahan bahasa. Beliau
mengungkapkan beberapa faktor penyebab timbulnya peristiwa pemertahanan bahasa.
Faktor-faktor tersebut adalah adanya ikatan kuat dari dari kelompok minoritas,
status/kelas sosial, latar belakang agama dan pendidikan, dan konsentrasi
wilayah pemukiman, ikatan yang kuat dengan kampung halaman, sikap masyarakat
tutur mayoritas dan minoritas, kebiojakan pemerintah terhadap bahasa dan
pendidikan masyarakat tutur minoritas, dan pola penggunaan bahasa.
Holmes (2001:63) juga mengemukaan beberapa faktor
pemertahanan bahasa yakni sebagai berikut: pertama,
penutur bahasa menganggap bahwa bahasa mereka adalah simbol pembeda kolompok
itu atau dengan kata lain bahasa itu merupakan identitas kelompok mereka. oleh
karena, itu merka akan terus embina bahasa mereka dan menurunkannya pada
generasi berikutnya. Kedua, pemertahan
terjadi bila ada keluarga yang tinggal berdekatan dengan minoritas tersebut dan
hubungan timbal balik antarmereka sering terjadi. Ketiga,munculnya pemertahanan bahasa juga bisa disebabkan oleh
masih seringnya terjadi kontak antara kelompok minoritas dengan kelompok di
kampung halamannya.
Selain Fishman dan Holmes yang mengutarakan
pendapat mereka mengenai faktor-faktor pemertahanan bahasa, tidak ketinggalan
Landweer (2009) yang menyatakan bahwa pretise
suatu bahasa merupakan salah satu faktor bertahannya suatu bahasa. Hal seperti
ini pernah terjadi pada bahasa Dabu,
bahasa ini dipakai oleh masyarakat di Propinsi Milney Bay dan bahasa ini
dianggap memiliki pretise, khususnya bagi masyarakat yang tinggal di pulau
D’entrecasteaux. Prestise ini muncul karena bahasa ini dikembangkan dan
diajarkan. Pengelompokan masyarakat tutur di dalam suatu jaringan sosial juga
merupakan faktor penyebab bertahan tidaknya suatu bahasa. Landweer (2009) juga
menjelaskan mengenai jejaring sosial yang dimaksud adalah adanya ikatan antar
anggota masyarakat tutur dalam hubungan kekeluargaan. Seperti hubungan
antarkeluarga, hubungan antartetangga, adanya hubungan persamaan agama kesamaan
etnis, dan adanya kesamaan nilai budaya/norma-norma sosial. Semakin erat
hubungan sosial antarmereka atau semakin banyak kesamaan yang terdapat dalam
masyarakat tutur tersebut, semakin tinggi pula vitalitas bahasa itu untuk
bertahan dan terus bertahan.
F. HUBUNGAN PEMERTAHANAN
BAHASA PADA GANGGUAN BERBAHASA
Setelah menelaah gangguan berbahasa dan peertahanan bahasa, yang secara
umum di atas sudah di jelaskan bahwa gangguan berbahasa secara tidak langsung
dapat menyebabkan manusia mengalami kegagalan berbahasa. Dengan berbagai
gangguan-gangguan yang terjadi dalam gangguan berbahasa jika di kaitkan dengan
pemertahanan bahasa. Karena peertahanan bahasa sangat bertumpu pada resepsi
bahasa dan produksi bahasa dari pemilik bahasa yang dipertahankan. Jika pada
proses resepsi dan produksi bahasa mengalami gangguan, mak secara tidak
langsung hal ini menyebabkan proses pemertahanan bahasa tidak akan berjalan
dengan lancar, dan bisa terjadi kepunahan bahasa.
Dalam gangguan berbahasa yang terjadi pada anak-anak, maka ini akan
menjadi salah satu faktor yang dapat menyebabkan kegagalan pemertahan bahasa.
Karena anak-anak merupakan salahsatu media pemertahanan bahasa yang merupakan
generasi penerus pemilik bahasa yang
dipertahankan.
Dan selain itu adan keadaan-keadaan bahasa yang merupakan bagian dari
pemertahanan bahasa seperti: bilingualisme, diglosia, pergeseran bahasa,
kepunahan bahasa, dan sikap bahasa. Sedangkan dari segi gangguan berbahasa ada
tiga yaitu: gangguan bicara, gangguan berbahasa, dan gangguan lingkungan
sosial.
Pemertahan bahasa terlebih dahulu kita
acukan pada anak-anak dan para pemuda. keadaan anak-anak dan para pemuda tersebut
terletak pada beberapa hal yang merupakan asal mula adanya sebuah pemertahanan
yaitu, adanya keadaan seperti:
1)
Dalam Segi
Pemertahanan Bahasa
(a)
Bilingualisme
Menurut Bloomfied (1995:45) bilingualisme adalah gejala penguasaan dua bahasa yang
sangat baik. Artinya, jika seseorang dikatakan seorang bilingual berarti ornag
tersebut bisa menggunakan dua bahasa dengan sepadan dan sangat baik.
Pada keadaan masyarakat yang seperti ini
akan terjadi pilihan bahasa atau diglosia, tapi dalam kasus bilingualisme yakni
ada pemilihan bahasa. Bagaimana bisa seseorang dapat memilih sebuah bahasa jika
dalam kemampuan berbahasanya mengalami gangguan seperti yang sudah disebutkan
di atas.
Misal, seorang anak mengalami gangguan
medis yang merupakan gangguan otak bisa di derita dari lahir atau pun karena
kecelakaan di usia kecil yang mengakibatkan alat kebahasaannya mengalami
masalah.
Contoh dari gangguan medis itu kita
ambil gangguan mekanisme bicara, jika sistem mekanisme bicara seorang anak
mengalami gangguan. Maka, jangankan menguasai dua bahasa, penguasaan satu
bahasapun dia akan mengalami kesulitan.
(b)
Diglosia
Seperti yang sudah di kaitkan di bagian
bilingualisme, selain bilingualisme diglosia juga terdapat pada pemilihan
ragam/ dialek bahasa tertentu. Hudson (1980:55)
menyatakan bahwa situasi diglosia tidak harus berwujud adanya dua dialek/ragam
dalam suatu bahasa. Situasi diglosia bisa terjadi pada masyarakat tutur yang
memiliki dua bahasa. Artinya, diglosia ini tidak hanya terjadi pada seorang
penguasa satu bahasa dengan pilihan ragam/ dialeknya, melainkan juga bisa
terjadi pada orang yang memiliki dua bahasa.
Jika
dikaitkan dengan gangguan berbahasa. Maka, ini akan sesuai dengan faktor
gangguan berbahasa dari segi lingkungan sosial. Dimana sesorang harus memilih
salah satu dari dua bahasa yang di milikinya demi kelangsungan komunikasi
dengan dan karena suatu komunikasi akan berjalan seirama jika terjadi adanya
pengetahuan bersama untuk memermudah penyampaian informasi yang diberikan.
Contoh: Deskriminasi dari penutur bahasa mayoritas (makro) terhadap
penutur minoritas (mikro) (moleong, 2006).
(c)
Pergeseran
bahasa dalam pemertahanan bahasa
Seperti yang sudah di bahas dalam
bilingualisme dan dglosia, bagaimana cara sebuah bahasa bertahan. Yakni dengan
adanya penutur setia bahasa tersebut, yang kemudian menimbulkan sikap bahasa. Dalam
hal ini pergeseran bahasa sangat bergantung pada sikap positif penutur bahasa
tersebut. Jika sikap bahasa pengguna bahasa lebih cenderung bersifat negatif
maka akan terjadi pergeseran bahasa. Namun, jika penutur bahasa memiliki sikap
positif terhadap bahasanya maka bahasa tersebut akan bertahan.
Jika dikaitkan dengan gangguan
berbahasa, maka ini akan cocok dengan gangguan psikogenik, dimana pada gangguan
ini lebih mengacu pada gaya berbahasa mereka, tapi selain adanya faktor sikap
bahasa ini sendiri ada faktor lain di dalamnya yang turut serta ikut
memengaruhi seperti faktor ekomoni, deskriminasi dari pengguna bahasa lain yang
lebih dominan (terhadap pengguna bahasa mikro), dan juga faktor sosial. Sejalan
dengan hal ini Holmes (1992: 58) mengemukakan ada beberapa faktor lain yang
menjadi penyebab terjadinya pergeseran bahasa yaitu; faktor ekonomi, sosial,
politik, kependudukan dan faktor sikap masyarakat tutur.
Dalam hal ini dapat di contohkan pada
sikap orang madura terhadap bahasa madura yang merupakan kelompok minoritas di
tanah kelahiran bahasa Jawa. Ketika pengguna bahasa Madura menunjukkan
identitas bahasa mereka di tengah-tengah kumpulan mayoritas masyarakat tutur
bahasa jawa. Dengan sikap bahasa dari penutur bahasa jawa yang secara alamiah
ingin menyingkirkan bahasa yang menjadi ancaman untuk bahasa mereka, maka
secara tidak langsung diasumsikan ada sikap deskriminasi terhadap penutur
bahasa Madura jika mereka menggunakan kemampuan berbahasa mereka.
Namun, hal semacam ini tidak hanya
terjadi pada bahasa Madura atau sebaiknya. Hal ini bahkan bisa terjadi
dimanapun dan terhadap bahasa apapun. Dan inilah yang disebut dengan sikap
bahasa positif baik untuk penutur bahasa Jawa, atau bahkan untuk penutur bahasa
Madura jika mereka tetap bertahan dengan kemampuan berbahasa mereka dan mampu
melestarikan dan menjaga eksistensi bahasa mereka meski berada dilingkungan
mayoritas penutur bahasa Jawa. Dan hal inilah yang menjurus pada bentuk pemertahanan
bahasa. Jadi dapat dikatakan bahwa gagguan bahasa berupa gangguan sosial berupa
deskriminasi atau semacamnya dapat digolongkan dengan gangguan lingkungan
sosial.
(d)
Kepunahan bahasa
karena sikap bahasa
Kepunahan bahasa merupakan kelanjutan
dari efek pergeseran bahasa. Dalam sosiolinguistik pernah ada pendapat yang
sempat populer yang menyatakan bahwa
bahasa dapat dianalogikan sebagai makhluk hidup (Edward, 1985:48). Oleh karena
itu, bahasa bahasa memiliki rentang umur yang alami. Dengan adanya pendapat
seperti ini dapat dikatakan bahwa semua bahasa dapat akan mati, baik secara
alami atau pun di bunuh. Menurut pendapat tersebut yang menyataka bahwa bahasa
sebagai makhluk hidup tunduk dan tak mampu melawan hukum alam the survival of fittes, yaitu organisme
yang paling mampu menyesuaikan diri melawan seleksi alam, yang dapat bertahan
hidup.
Namun pendapat di atas bukan lah
satu-satunya pendapat yang dibenarkan, melainkan dari segi analogi yang
menyatakan kalau pendapat itu pernah populer. Dapat di bilang kalau pendapat
tersebut sudah tidak berlaku. Karena menurut Gunawan (2006) mati tidaknya suatu
bahasa bukan karena dianggap sebagai makhluk hidup. Mengapa demikian? Itu
karena bahasa tidak memiliki ciri-ciri sebagai makhluk hidup dan juga kematian
atau kepunahan suatau bahasa itu sepenuhnya bergantung pada pemakainya yakni
masyarakat tutur. Menurut Ningsih (2009: 25) justru masyarakat tutur-lah yang
memiliki peran krusial dan yang menentukan apakah suatu bahasa itu bisa
bertahan, bergeser, atau pun punah. Karena masyarakat tutur adalah pemilik dan
pengguna bahasa itu.
Setelah penjabaran di atas dapat
disimpulkan bahwa ada gangguan berbahasa berupa sikap bahasa yang kemudian
dikaitkan dengan gangguan sosial yang berakibat pada gangguan mental. Gangguan
seperti ini dapat dikatakan sebagai gangguan yang terjadi karena adanya sebab
akibat. Diawali dengan gangguan lingkungan sosial masyarakat yang kemudian
mengganggu mental yang dalam kasus ini merupakan gangguan psikogenik yang
kemudian berkembang ke gangguan organik atau sitem mekanisme bicara. Setelah
menjamur pada mekanisme bicara gangguan ini akan merambat pada sensor motorik
yang ada di otak yang kemudian menimbulkan efek gangguan pikiran dan akhirnya
berujung pada gangguan afasia.
2)
Dalam Segi
Gangguan Berbahasa
(a)
gangguan bicara
sudah kita ketahui bahwa pada gangguan
bicara terdapat dua gangguan besar di dalamnya, yaitu: gangguan organik
(mekanisme bicara) dan gangguan psikogenik. Menurut pengertiannya dan jenisnya
gangguan organik di bedakan menjadi 5 yaitu;
1.
Gangguan akibat faktor Pulmonal
Seperti yang sudah dijelaskan di atas
bahwa gangguan berbicara ini dialami oleh para penderita penyakit paru-paru. Yang
mengakibatkan cara berbicaranya diwarnai oleh nada yang monoton, volume suara
yang kecil sekali, dan terputus-putus, meskipun dari segi semantik dan
sintaksis tidak ada masalah. Namun dalam hal pemertahanan bahasa ini bisa jadi
sebuah ancaman besar karena berhubungan dengan pergeseran bahasa. dimana dengan
keadaan seperti ini tidak dipungkiri akan menghasilkan bunyi bahasa yang baru
dan kemungkinan terburuknya, bunyi-bunyi tersebut dapat dianggap sebuah dialek
baru nantinya. Dan jika dialek ini berkembang maka lambat laun bahasa asli dan
sebenarnya akan tergeser dan lama-kelamaan akan punah.
2.
Gangguan akibat faktor Laringal
Gangguan ini adalah bisa dikatakan
hampir sama gejala dan akibat yang akan di timbulkan. Atau bahkan ini akan
menjadi gangguan psikogenik yang mendekati gaya bahasa dan jika dikaitkan dalam
pemertahan bahasa. maka, hal ini akan menimbulkan gaya bahasa tersendiri yang
merupakan ciri khas penuturnya, yang kemudian akan menjadi komunitas gaya
bahasa serak-serak yang di buat-buat atau dipaksakan serak. Dan akhir atau efek
terburuk dari hal ini adalah menciptakan dialek baru yang nantinya akan
menggeser bahasa aslinya.
3.
Gangguan akibat Multifaktoral
a.
Berbicara serampangan
Dari pengertian yang sudah di jelaskan
diatas bahwa Berbicara serampangan atau sembrono adalah berbicara dengan cepat
sekali, dengan artikulasi yang rusak, ditambah dengan menelan sejumlah suku
kata, sehingga apa yang diucapkan sukar dipahami. Maka, hal ini jelas akan
mengganggu proses pemertahanan bahasa karena tidak adanya iktikat baik dari si
pengguna bahasa untuk menggunakan bahasa yang ia miliki dengan baik. selain itu
hal ini juga berpotensi pada pengrusakan bahasa karena adanya pengurangan
fonologis pada perkataanannya.
b.
Berbicara Propulsif
Gangguan ini sebenarnya lebih bersifat
medis, karena menyangkut pada sebuah penyakit. Sebagaimana yang sudah di
jelaskan Parkinson atau kerusakan pada otak yang menyebabkan otot menjadi
gemetar, kaku dan lemah. Hal ini akan mempengaruhi proses artikulasi karena
elastisitas otot lidah, otot wajah, dan pita suara sebagian besar lenyap.
Dengan keadaan seperti yang sudah di jelaskan, penyakit seperti ini akan
mengakibatkan gangguan berbahasa dari segi artikulasi. Apabila dikaitkan dengan
pemertahanan bahasa maka akan sama halnya dengan gangguan purmonal dan laringal
yaitu dalam menimbulkan dialek bahasa baru, yang akan mengancam keutuhan dan
keberadaan bahasa yang sebenarnya ingin digunakan oleh si penderita.
c.
Berbicara Mutis
Dikaitkan dengan pemertahanan bahasa
untuk penderita gangguan Mutis ini yang tidak
dapat berbicara sama sekali, bahkan sebagian dari mereka dianggap bisu. Bahkan
tak bisa menggunakan bahasa isarat, sudah pasti dalam proses pemertahanan
bahasa penderita penyakit ini akan sangat tidak berguna. Karena tidak
menimbulkan efek apa-apa, baik pergeseran atau kepunahan ataupun pemertahanan
bahasa. jadi penderita penyakit ini tidak membantu dalam pemertanana bahasa.
4.
Gangguan akibat faktor Lingual
Pada gangguan ini terlihat lebih
menitikberatkan pembicaraannya pada penderita gangguan alat bicara seperti
lidah, karena jika di contohkan ada penderita sariawan dan penderita struk dan
dalam kenyataannya memang mengalami kerusakan pada alat bicara yaitu lidah yang
mengakibatkan produksi bahasa akan mengalami kerusakan juga.
Jika dikaitkan dengan pemertahanan
bahasa, penderita ini sudah jelas akan menghambat karena produksi bahasa yang
dihasilkan bermasalah atau cacat.
5.
Gangguan akibat faktor Resonansi
Gangguan berbahasa pada
tahap ini merupakan gangguan resonansi dan tidak jauh dari gangguan-gangguan
berbahasa lainnya, yaitu akan menimbulkan gaya bahasa atau gangguan psikogenik
yang berujung pada lahirnya ragam/ dialek baru yang nantinya menggeser bahasa
yang sebenarnya ingin digunakan oleh di penderita gangguan ini. Dan pastinya
proses pemertahanan bahasa akan terganggu.
(b)
Gangguan Psikogenik
1.
Berbicara Manja
Sebenarnya gangguan berbicara
seperti ini tidak begitu berpengaruh pada pemertahanan bahasa jika hanya
terjadi secara alami, karena hal ini sudah dianggap biasa oleh masyarakat tutur
bahasa yang digunakan, seperti tahap pemerolehan bahasa pada anak kecil.
Ataupun penuruhan kemampuan berbahasa pada orang yang berusia lanjut. Namun
pada anak kecil lebih cenderung pada kasus pemerolehan bahasa sedangkan untuk
orang lajut usia lebih cenderung pada keinginan dimanja, layaknya anak kecil
namun bedanya adalaha unsur kesengajaan yang terdapat pada orang usia lanjut
tersebut.
2.
Berbicara Kemayu
Yang dimaksudkan berbicara
kemanyu di sini lebih di tujukan pada laki-laki yang menggunakan perangai
wanita, dan ini hanya menyebabkan gangguan alat bicara atau ganggauan
fonotaktik yang disertakan gerak tubuh. Namun hal ini jangan dianggap remeh
karena sampai sekarang gangguan seperti ini malah sudah menjadi tren ragam bahasa baru yang merupakan serapan dari
bahasa-bahasa yang ada dengan berbagai trik dan model serta gaya kemayu yang
digunakan.
Contohnya adalah bahasa
banci. Rempong nek, cucok, dll.
3.
Berbicara Gagap
Menurut Sidharta (dalam
Chaer, 2009:154) kegagapan adalah disfasia yang ringan. Kegagapan ini
lebih sering terjadi pada kaum laki-laki, dan lebih banyak pada golongan remaja
daripada golongan dewasa.
Penyebab gagap belum
di ketahui secara tuntas. Namun, hal-hal yang di anggap mempunyai peranan dalam
menyebabkan terjadinya kegagapan itu. Misalnya:
·
Faktor
Stres
· Pendidikan
anak yang terlalu keras dan ketat, serta tidak mengizinkan anak berargumentasi
dan membantah.
·
Adanya
kerusakan pada belahan otak (hemisfer) yang dominan.
Jika dikaitkan dengan
pemertahanan bahasa sudah panti ini akan menghambat prosesnya. Meski proses
resepsi berjalan dengan lancar namun jika proses produksi mengalami gangguan
seperti hal ini maka akan menimbulkan deskriminasi atau sebaliknya menjadi
motivasi untuk melakukan peniruan. Karena dalam kenyataannya kegagapan
berbahasa lebih dianggap menyenangkan dan sangat menghibur. Dan hal inilah yang
akan merusak bahasa, jika di sengaja dan diteruskan atau diturunkan untuk
dijadikan gaya bahasa yang baru.
4.
Berbicara Latah
Kasus gangguan ini
sebenarnya hampir sama dengan kegagapan, karena pada kenyataannya bergaul
dengan orang latah, akan membawa kita pada situasi yang menyenangkan karena
terkesan lucu. Itu pun jika latah ini bersifat alami. Namun, jika latah ini di
sengaja maka, akan sama halnya dengan kegagapan, kemanyu dan gaya bahasa
lainnya.
Artinya, untuk
gangguan berbahasa pada sektor psikogenik sangat berkaitan dengan bilingualisme
dan diglosia, karena sebelum adanya gangguan ini mereka memiliki bahasa yang
baik. Namun, saat gangguan bahasa tersebut ada dan nyata serta menciptakan
ragam atau dialek bahasa baru maka mereka pun akan memilih bahasa tersebut
sehingga mengakibatkan pergeseran suatu bahasa dan pada akhirnya akan
mengganggu proses pemertahanan bahasa. Alasan pemilihan bahasa ini dapat
diesebabkan oleh faktor-faktor yang sudah dijelaskan oleh Holmes (1992:
58) yang mengemukakan ada beberapa faktor lain yang menyebabkan terjadinya
pergeseran bahasa yaitu; faktor ekonomi, sosial, politik, kependudukan dan
faktor sikap masyarakat tutur.
Jika di kaji ulang kemampuan berbahasa
menurut Chaer (2007) yang meliputi kemampuan menyimak, membaca, berbicara, dan
menulis. Sedangkan pada gangguan berbahasa lebih menekankan pada gangguan
proses resepsi dan produki bahasa. Maka, dari keempat kemampuan berbahsa
tersebut di masukkan ke dalam kedua hal tersebut, dimana menyimak dan membaca
di kelompokkan pada proses resepsi bahasa dan berbicara dan menulis
dikelompokkan pada proses produksi bahasa.
Pada gangguan berbahasa yang hanya
menekannya pada proses resepsi dan produksi bahasa maka hal ini tentu saja akan
berkaitan dengan sebab adanya gangguan berbahasa yakni faktor dari dalam
(organik/ mekanisme bicara) dan faktor dari luar (lingungan sosial). Jadi jika
diklasifikasikan akan ada titi temu antara gangguan berbahasa dari segi resepsi
berhubunbgan dengan faktor dari dalam (organik/ mekanisme bicara) sedangkan
untuk produksi bahasa berhubungan dengan faktor dari luar (lingkungan sosial).
Namum, bukan berarti keterkaitan ini mutlak seperti ini, karena bisa saja
resepsi dengan lingkungan sosial dan produksi dengan mekanisme bicara hal ini
terjadi karena keempatnya memiliki hubungan sebab-akibat. Dan saling
berhubungan satu sama lain.
G. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat di ambil dari beberapa penjelasan dan uraian di
atas adalah ada dua faktor besar dalam gangguan berbahasa yaitu faktor dari
dalam dan faktor dari luar. Dari faktor luar terdapat faktor motorik yang
mengalami kekurangan seperti penyakit dari dalam misalnya; autis, cacat alat
indra yang sudah di derita oleh perseorangan (anak). Kedua adalah faktor dari
luar yaitu faktor lingkungan seperti mengalami kecelakaan atau gangguan lawan
bicara seperti latah, gagu, dan lain-lain.
Dalam perkembangan pemertahanan bahasa, gangguan berbahasa sangat
mempengaruhi karena pemertahannan memiliki faktor yang bergantung pada proses
resepsi dan produksi bahasa. Sedangkan jika faktor resepsi dan produksi
mengalami gangguan berbahasa maka sudah bisa di pastikan bahwa pemertahanan
akan mengalami kendala yang serius. Apa lagi jika gangguan berbahasa terjadi
pada anak-anak, hal ini akan sangat memepngaruhi pemertahanan bahasa. Karena
anak-anak merupakan generasi penerus dari berkembang atau matinya sebuah
bahasa.
Jadi untuk gangguan
berbahasa pada sektor psikogenik sangat berkaitan dengan bilingualisme dan
diglosia, karena sebelum adanya gangguan ini mereka memiliki bahasa yang baik.
Namun, saat gangguan bahasa tersebut ada dan nyata serta menciptakan ragam atau
dialek bahasa baru maka mereka pun akan memilih bahasa tersebut sehingga
mengakibatkan pergeseran suatu bahasa dan pada akhirnya akan mengganggu proses
pemertahanan bahasa. Alasan pemilihan bahasa ini dapat diesebabkan oleh
faktor-faktor yang sudah dijelaskan oleh Holmes (1992: 58) yang mengemukakan ada
beberapa faktor lain yang menyebabkan terjadinya pergeseran bahasa yaitu;
faktor ekonomi, sosial, politik, kependudukan dan faktor sikap masyarakat
tutur.
Namun, jika di kaji ulang kemampuan
berbahasa menurut Chaer (2007) yang meliputi kemampuan menyimak, membaca,
berbicara, dan menulis. Sedangkan pada gangguan berbahasa lebih menekankan pada
gangguan proses resepsi dan produki bahasa. Maka, dari keempat kemampuan
berbahsa tersebut di masukkan ke dalam kedua hal tersebut, dimana menyimak dan
membaca di kelompokkan pada proses resepsi bahasa dan berbicara dan menulis
dikelompokkan pada proses produksi bahasa.
Pada gangguan berbahasa yang hanya
menekannya pada proses resepsi dan produksi bahasa maka hal ini tentu saja akan
berkaitan dengan sebab adanya gangguan berbahasa yakni faktor dari dalam
(organik/ mekanisme bicara) dan faktor dari luar (lingungan sosial). Jadi jika
diklasifikasikan akan ada titi temu antara gangguan berbahasa dari segi resepsi
berhubunbgan dengan faktor dari dalam (organik/ mekanisme bicara) sedangkan
untuk produksi bahasa berhubungan dengan faktor dari luar (lingkungan sosial).
Namum, bukan berarti keterkaitan ini mutlak seperti ini, karena bisa saja
resepsi dengan lingkungan sosial dan produksi dengan mekanisme bicara hal ini
terjadi karena keempatnya memiliki hubungan sebab-akibat. Dan saling
berhubungan satu sama lain.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, dkk. 2008. Psikolinguistik Konsep & Isu Umum, malang: Malang press,
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik Kajian Teoretik, Jakarta: Rineka Cipta,
Chaer, Abdul, 2007. Linguistik Umum. Jakarta. Rineka Cipta.
Fishman, J. A. 1972. Language
and Nationalism. Massachusetts: Newbury House Publishers.
Gunawan, Asim. 2006. Kasus-Kasus Pergeseran Bahasa Daerah: Akibat
Persaingan dengan Bahasa Indonesia? Artikel. Jurnal Linguistik Indonesia.
Tahun Ke-24, No. 1. Februari 2006.
Holmes, Language
Maintenance and Shift in Three New Zealand Speech Community (Applied
Linguistics, Vol. 14 No. 1, 1993: 14).
Kridalaksana, harimurti. 1996. Kelas kata dalam bahasa indonesia. Jakarta: gramedia.
Landweer, M. Lynn. 2009. Indicator of
Etnolinguistics Vitality.SIL International: http://www.sil.org./sociolx/ndg-lg-indicators.html. Di unduh tanggal 12 Oktober 2012.
Lukman, Hakim. Psikolinguistik. Dr. M. Rafiek. S.Pd. M.Pd. 2010. http://loekmangagah.blogspot.com/2012/03/bab-iv-otak-manusia-dan-gangguan.html Sidharta dan Dewanto. (2011) tersedia: http://www.indopubs.com. Diakses 03-11-2012
Moleong, j. Lexi. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Edisi
Revisi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Ningsih, Sri Rukiyati. 2009.
Pemertahanan Bahasa Jawa di Kecamatan
Socah, Kabupaten Bangkalan, Makalah Komprehensif, Tidak Dipublikasikan.
Surabaya: Unesa.
Nur, M. Fausi. 2011. Pemertahan
Bahasa. Artikel. Blogger.com. 30 april 2011. http://ozzi99oke.blogspot.com/2011/04/pemertahanan-bahasa_30.html.
Diunduh tanggal 27 September 2012.
Romaine, Suzane. 1989. Bilingualisme. New York: Basil Blackwell
Ltd.
Sidharta, Lily. 1981. Gangguan berbahasa
pada anak. Dalam PELLBA 4: linguistik neurologi, ed. Soenjono
dardjowidjojo, 133-151. Yogyakarta. Kanisius.
Sidharta, Priguna. 1989. Segi
medis gangguan eksprei verbal dalam PELLBA 2, ed. Kaswanti purwo, 163-78.
Yogyakarta: kanisius.
Sidiarto. 2012. Waspadai serangan
afasia pasca-sroke. Tersedia: http://www.perempuan.com/new/index.php?aid=23643&cid=5&04%2F28%2F10%2C09%3A04%3A13.
Siregar, Bahrein Umar, dkk. 1998. Pemertahanan
Bahasa dan Sikap Bahasa. Jakarta: Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
Depdikbud.
Sumarsono, 2002. Pemertahan Bahasa Melayu Loloan di Bali.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Sumarsono. 2007. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar