FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PEMEROLEHAN BAHASA KEDUA
Agus paramuriyanto
117835008
A.
Pendahuluan
Pemerolehan bahasa
merupakan periode seorang individu memperoleh bahasa atau kosakata baru.
Periode tersebut terjadi sepanjang masa. Permulaan pemerolehan bahasa terjadi
secara tiba-tiba dan tanpa disadari. Seorang anak akan mengalami proses
pemerolehan bahasa kedua setelah memperoleh bahasa pertamanya, melalui
pemerolehan bahasa kedua (Language Acquistion) atau ada yang menyebutnya dengan
pembelajaran bahasa (Language Learning). Istilah pembelajaran bahasa digunakan
atas keyakinan bahwa bahasa kedua dapat diperoleh dan dikuasai hanya dengan
proses belajar, dengan cara sadar dan disengaja. Berbeda dengan pemerolehan
bahasa ibu, bahasa pertama atau bahasa ibu didapatkannya dengan cara yang
alamiah, secara tidak sadar di dalam lingkungan keluargaanak-anak tersebut.
Minat terhadap bagaimana anak memperoleh bahasa sebenarnya sudah lama sekali
ada. Bahasan mengenai pemerolehan bahasa ini berkaitan erat dengan topik-topik
sebelumnya karena bagaimana manusia dapat mempersepsi dan kemudian memahami
ujaran orang lain merupakan unsur pertama yang harus dikuasi manusia dalam
berbahasa. Begitu pula manusia hanya dapat memproduksi ujaran apabila dia
mengetahui aturan-aturan yang harus diikuti yang dia peroleh sejak kecil.
Salah satu kesulitan
para pelajar/mahasiswa dalam pemerolehan bahasa kedua (second language
acquisition) adalah jika bahasa kedua atau bahasa asing yang dipelajarinya itu
memiliki lebih banyak fonem-fonem (bunyi-bunyi) yang tidak dimiliki oleh
bahasa ibu (bahasa pertama) dari pelajar bahasa kedua atau bahasa asing
tersebut. Kesulitan yang timbul pada umumnya adalah kesulitan dalam pelafalan
fonem-fonem bahasa kedua atau bahasa asing yang dipelajari tersebut.
Kesulitan ini
disebabkan oleh perbedaan fonem-fonem kedua bahasa tersebut, baik dari sisi cara
maupun posisi artikulasi. Kesulitan-kesulitan yang muncul itu mengakibatkan
kesalahan pelafalan fonem-fonem bahasa kedua/asing yang dipelajari. Hal itu
akan membawa dampak yang sangat fatal jika tidak diajarkan dengan baik kepada
pelajar bahasa kedua/asing. Dampak kesalahan
pelafalan fonem-fonem bahasa kedua/asing itu selanjutnya akan membawa ke
keliruan makna. Kesalahan pelafalan yang dilakukan oleh para pelajar bahasa
kedua atau bahasa asing akan membingunkan lawan bicaranya khususnya lawan
bicara penutur asli. Kesalahan makna dan kesalahan interpretasi ini
mengakibatkan komunikasi tidak dapat berjalan dengan baik.
B.
Faktor Faktor Pemerolehan Bahasa pada
Anak
Menurut Elvisyari (2012) Faktor
dasar yang mempengaruhi pemerolehan bahasa (pertama) pada anak adalah karena
pemerolehan bahasa dilakukan secara informal dengan motivasi yang sangat tinggi
selain itu anak harus mendapatkan dukungan komunikasi dengan orang di
sekelilingnya. Hal tersebut terjadi karena ada beberapa faktor berikut:
a. Faktor Alamiah
Setiap anak lahir dengan seperangkat prosedur dan
aturan bahasa yang dinamakan oleh Chomsky Language
Acquisition Divice (LAD). Potensi dasar itu akan berkembang secara maksimal
setelah mendapat stimulus dari lingkungan. Proses pemerolehan melalui piranti
ini sifatnya alamiah. Karena sifatnya alamiah, maka kendatipun anak tidak
dirangsang untuk mendapatkan bahasa, anak tersebut akan mampu menerima apa yang
terjadi di sekitarnya. Sedangkan Slobin mengatakan bahwa yang dibawa lahir ini
bukanlah pengetahuan seperangkat kategori linguistik yang semesta, seperti
dikatakan oleh Chomsky. Prosedur-prosedur dan aturan-aturan yang dibawa sejak
lahir itulah yang memungkinkan seorang anak untuk mengolah data linguistik.
b. Faktor Perkembangan Kognitif
Perkembangan bahasa
pada seseorang seiring dengan perkembangan kognitifnya. Keduanya memiliki
hubungan yang komplementer. Pemerolehan bahasa dalam prosesnya dibantu oleh
perkembangan kognitif, sebaliknya kemampuan kognitif akan berkembang dengan
bantuan bahasa. Keduanya berkembang dalam lingkup interaksi sosial. Ginn (2006)
mengartikan kognitif sebagai sesuatu yang berkaitan dengan pengenalan
berdasarkan intelektual dan merupakan sarana pengungkapan pikiran, ide, dan
gagasan. Hubungannnya dengan mempelajari bahasa, kognitif memiliki keterkaitan
dengan pemerolehan bahasa seseorang.
Menurut Slobin
(1977), perkembangan umum kognitif dan mental anak adalah faktor penentu
pemerolehan bahasa. Seorang anak belajar atau memperoleh bahasa pertama dengan
mengenal dan mengetahui cukup banyak struktur dan fungsi bahasa, dan secara
aktif ia berusaha untuk mengembangkan batas-batas pengetahuannya mengenai dunia
sekelilingnya, serta mengembangkan keterampilan-keterampilan berbahasanya
menurut strategi-strategi persepsi yang dimilikinya. Pemerolehan linguistik
anak sudah diselesaikannya pada usia kira-kira 3-4 tahun, dan perkembangan
bahasa selanjutnya dapat mencerminkan pertumbuhan kognitif umum anak itu.
c. Faktor Latar Belakang Sosial
Latar belakang
sosial mencakup struktur keluarga, afiliasi kelompok sosial, dan lingkungan
budaya memungkinkan terjadinya perbedaan serius dalam pemerolehan bahasa anak.
Semakin tinggi tingkat interaksi sosial sebuah keluarga, semakin besar peluang
anggota keluarga (anak) memperoleh bahasa. Sebaliknya semakin rendah tingkat
interaksi sosial sebuah keluarga, semakin kecil pula peluang anggota keluarga
(anak) memperoleh bahasa. Hal lain yang turut berpengaruh adalah status sosial.
Anak yang berasal dari golongan status sosial ekonomi rendah rnenunjukkan
perkembangan kosakatanya lebih sedikit sesuai dengan keadaan keluarganya.
Misalnya, seorang
anak yang berasal dari keluarga yang sederhana hanya mengenal lepat, ubi,
radio, sawah, cangkul, kapak, atau pisau karena benda-benda tersebut merupakan
benda-benda yang biasa ditemukannya dalam kehidupannya sehari-hari. Sedangkan
anak yang berasal dari keluarga yang memiliki status ekonomi yang lebih tinggi
akan memahami kosakata seperti mobil, televisi, komputer, internet, DVD player,
laptop, game, facebook, ataupun KFC, karena benda-benda tersebut merupakan
benda-benda yang biasa ditemukannya dalam kehidupannya sehari-hari.
Perbedaan dalam
pemerolehan bahasa menunjukkan bahwa kelompok menengah lebih dapat
mengeksplorasi dan menggunakan bahasa yang eksplisit dibandingkan dengan
anak-anak golongan bawah, terutama pada dialek mereka. Kemampuan anak
berinteraksi dengan orang lain dengan cara yang dapat dipahami penting intinya
untuk menjadi anggota kelompok. Anak yang mampu berkomunikasi dengan baik akan
diterima lebih baik oleh kelompok sosial dan mempunyai kesempatan yang lebih
baik untuk memerankan kepemimpinannya ketimbang anak yang kurang mampu
berkomunikasi atau takut menggunakannya.
d. Faktor Keturunan
Faktor keturunan meliputi:
1. Intelegensia
Pemerolehan bahasa
anak turut juga dipengaruhi oleh intelegensia yang dimiliki anak. Ini berkaitan
dengan kapasitas yang dimiliki anak dalam mencerna sesuatu melalui pikirannya.
Setiap anak memiliki struktur otak yang mencakup IQ yang berbeda antara satu
dengan yang lain. Semakin tinggi IQ seseorang, semakin cepat memperoleh bahasa,
sebaliknya semakin rendah IQ-nya, semakin lambat memperoh bahasa.
2. Kepribadian dan Gaya/Cara
Pemerolehan Bahasa
Kreativitas
seseorang dalam merespon sesuatu sangat menentukan perolehan bahasa, daya
bertutur dan bertingkah laku yang menjadi kepribadian seseorang turut
mempengaruhi sedikit banyaknya variasi-variasi tutur bahasa. Seorang anak tidak
dengan tiba-tiba memiliki tata bahasa pertama dalam otaknya, lengkap dengan
semua aturan-aturannya. Bahasa pertama itu diperolehnya dengan beberapa tahap,
dan setiap tahap berikutnya lebih mendekati tata bahasa daribahasa orang
dewasa.
C.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemerolehan Bahasa Kedua
Dari beberapa
faktor pemerolehan bahasa anak, Zuhriah (2005) memilahnya menjadi beberapa
faktor yang memengaruhi pemerolehan bahasa kedua antara lain:
1.
Usia Belajar B2
Patkowsky (1990)
mengklaim bahwa semakin dini usia yang mempelajari B2, semakin bagus dan
sempurna cara pelafalannya. Dia menyatakan bahwa pemerolehan B2, terutama dalam
hal pelafalan (pronounciation) akan berbeda jika dipelajari sebelum dan sesudah
usia kritis (critical period). Usia dini tersebut adalah sebelum usia 15 tahun.
Di sisi lain, Bialystock (1997) mengungkapkan bahwa umur subjek atau mereka
yang mempelajari B2 juga dipengaruhi oleh tingkat kerumitan sistem B2 yang
dipelajari tersebut. Artinya jika subjek telah memperoleh atau telah memiliki
rasa bahasa pada bahasa pertama atau bahasa ibu (B1), maka pengaruh B1 terhadap
B2 akan semakin besar. Karena itu, dia menyatakan bahwa usia kritis (critical
period) adalah pada usia 6 tahun. Pada usia ini, subjek yang mempelajari B2
belum terlalu menguasai atau memiliki rasa bahasa B1 dan karenanya sangat baik
untuk mempejari B2.
Peneliti lain yang
berbicara tentang usia kritis ini adalah Moyer. Dia (Moyer, A, 1999)
menyimpulkan bahwa usia kritis memang berpengaruh dalam pemerolehan B2 karena
hal tersebut berhubungan dengan perubahan alat-alat atau artikulasi dan
perkembangan otak selama masa perkembangan. Moyer juga memberi penjelasan lain
bahwa selama masa perkembangan tersebut, hasil atau tingkat pemerolehan B2
merupakan interaksi sistem dwibahasa (B1 dan B2) di lingkungan B2.
Berdasarkan ketiga
peneliti tersebut, terlihat dengan jelas usia memberi pengaruh terhadap tingkat
pemerolehan B2, walaupun batas usia kritis atau usia yang paling baik
mempelajari B2 masih berbeda-beda.
Dalam hubungannya
dengan usia kritis, Bongaerts dkk. (1997) dan Piske dkk. (2001)
berpendapat lain. Bongaerts (1997) meneliti aksen pelafalan orang Belanda
dewasa yang mempelajari bahasa Inggris. Orang Belanda yang ikut berpartisipasi
dalam penelitian ini mempelajari bahasa Inggris secara formal mulai di bangku
sekolah menengah. Selanjutnya, mereka memperoleh input lansung dari penutur
asli secara berkesinambungan saat duduk di bangku kuliah.
Dalam penelitian
mereka, dua kelompok terlibat sebagai partisipan, yaitu orang Belanda dewasa
dan penutur asli bahasa Inggris (berfungsi sebagai kontrol group). Selajutnya,
empat penutur bahasa Inggris (tidak memiliki pengalaman dalam pengajaran bahasa
Inggris) dilibatkan untuk menilai hasil rekaman dari dua kelompok partisipan
(kelompok Belanda dan kelompok penutur bahasa Inggris) secara random. Hasilnya
menunjukkan bahwa empat penilai tersebut tidak dapat membedakan antara orang
Belanda dan penutur bahasa Inggris. Akhirnya Bongaerts dkk menyimpulkan
bahwa orang dewasa pun yang belajar B2 dapat beraksen atau berbahasa seperti
penutur B2 yang dipelajarinya.
Lain halnya dengan
Piske dkk (2001) yang mengimplementasikan beberapa variabel yang mereka curigai
berpengaruh terhadap pelafalan B2. Mereka meneliti usia dwibahasawan
(Italia-Inggris), lama tinggal di lingkungan B2 (Canada), frekuensi penggunaan
bahasa Italia dan kelancaran menggunakan B1 (Italia) dan B2 (Inggris).
Hasil penelitian
mereka menunjukkan bahwa usia kritis sangat berpengaruh dalam pemerolehan B2.
Penelitian mereka juga membuktikan bahwa usia merupakan faktor paling
berpengaruh dalam pemerolehan B2. Penelitian mereka juga mendukung bahwa selain
usia, faktor lain yang berpengaruh adalah lama tinggal di lingkungan B2,
motivasi dan frekuensi penggunaan B2 tersebut.
Dari beberapa
penelitian tersebut di atas jelas sekali bahwa B2 lebih mudah diperoleh jika
dipelajari pada usia kritis. Bahkan hampir semua peneliti menyetujui bahwa B2
dapat diperoleh secara total seperti penutur asli jika dipelajari sebelum usia
12 tahun. Namun demikian, saya mendukung pendapat yang menyatakan bahwa aksen B2
dapat dicapai seperti penutur asli walau dipelajari pada usia dewasa dengan
beberapa persyaratan. Persyaratan itu antara lain adalah motivasi, input dari
penutur asli, dan pemberian latihan khusus (formal instruction) untuk keahlian
bahasa tertentu (pelafalan, percakapan, leksikon, tata bahasa, dan wacana).
2. Lama Tinggal di Lingkungan B2
Reney dan Flege
(1998) merekam 11 penutur asli bahasa Jepang di International Christian
Univeristy, Tokyo sejak awal tahun (T1) hingga akhir tahun (T2). Jarak antara
T1 dan T2 adalah 42 minggu. Sedangkan penutur asli bahasa Inggris yang tinggal
di Birmingham, Alabama, menilai kalimat-kalimat bahasa Inggris yang diucapkan
oleh ke 11 mahasiswa tersebut. Hasil penelitian mereka memperlihatkan bahwa
tiga mahasiswa mencapai hasil yang sangat signifikan berbeda antara T2 dan T1.
Alasan terhadap kesimpulan ini adalah karena 3 dari 11 mahasiswa tersebut
pernah tinggal di lingkungan B2, California selama satu tahun. Hal itulah yang
dicurigai sebagai salah satu faktor yang berpengaruh dalam pemerolehan B2.
Piske dkk (2001) menyatakan
bahwa korelasi antara pemerolehan B2 dengan lama tinggal di lingkungan B2
sangat signifikan. Mereka meneliti korelasi antara kemampuan berbahasa Inggris
penutur bahasa Italia dengan usia, lama tinggal di Canada dan frekuensi
penggunaan bahasa Italia di lingkungan B2.
Hasil penelitian
Piske dkk menunjukkan bahwa korelasi antara kemampuan menggunakan B2 (bahasa
Inggris) dengan lama tinggal di lingkungan B2 sangat signifikan jika efek
frekuensi penggunaan B1 (bahasa Italia) diabaikan. Namun, korelasi antara kedua
hal tersebut menjadi tidak signifikan jika faktor usia diabaikan. Akhirnya
mereka menyimpulkan bahwa lama tinggal di lingkungan B2 tidak berpengaruh
secara langsung terhadap kemampuan menggunakan B2. Lingkungan B2 hanya faktor
pendukung dari faktor usia yang lebih dominan mempengaruhi kemampuan B2
tersebut.
Patut diperhatikan
penelitian Flege (1998) yang sama sekali kontras dengan penelitian sebelumnya.
Dia menyatakan bahwa lama tinggal di lingkungan B2 sama sekali tidak
berpengaruh terhadap kemampuan B2 tersebut. Flege meneliti dua group orang
Taiwan yang belajar bahasa Inggris di lingkungan berbahasa Inggris dengan lama
tinggal yang berbeda (1,1 tahun VS 5.1 tahun). Kemampuan berbahasa Inggris
kedua group ini tidak signifikan berbeda. Dia lalu menyimpulkan bahwa setelah
usia kritis, lama tinggal di lingkungan B2 tidak akan mempengaruhi kemampuan
aksen B2 orang dewasa.
Dapat disimpulkan
dari berbagai penelitian ini bahwa tidak semua peneliti menyimpulkan adanya
signifikasi hubungan antara lama tinggal di lingkungan B2 dengan kemampuan
orang dewasa memperoleh B2. Yang pasti, efek lama tinggal di lingkungan B2
berpengaruh lebih kecil dari usia terhadap kemapuan memperoleh B2.
3. Motivasi
Faktor ini telah
diteliti oleh Bongaerts dkk (1997). Mereka mengamati sebuah group yang terdiri
atas 11 orang Belanda yang belajar bahasa Inggris pada usia dewasa. Ke 11
partisipan ini teridentifikasi sebagai partisipan yang sangat tinggi motivasinya
belajar bahasa Inggris. Dua dari partisipan tersebut adalah dosen dengan
tingkat kemampuan sama dengan pengajar bahasa Inggris. Kedua partisipan ini
memiliki prinsip tentang pentingnya berbahasa Inggris tanpa dipengaruhi aksen
bahasa Belanda. 5 dari 11 partisipan itu memiliki kemampuan yang sama dengan
kontrol group (partisipan berbahasa Inggris). Sayang sekali, Bongaerts dkk
tidak menilai jumlah input bahasa Inggris yang diperoleh oleh ke 11 partisipan
itu dan kapan mereka memperoleh bahasa Inggris sebagai B2.
Penelitian yang
lain adalah penelitian Moyer (1999) yang merekrut 24 penutur bahasa Inggris
yang belajar bahasa Jerman pada usia dewasa. Mereka adalah mahasiswa S1 di
Jerman yang diajar dengan dengan bahasa pengantar bahasa Jerman. Moyer menyatakan
sebuah argumen bahwa disebabkan oleh tingkat profesional (S1) dan motivasi yang
tinggi, mereka mampu berbahasa Jerman seperti penutur bahasa Jerman. Walau
terdapat korelasi yang sangat tinggi antara faktor mitivasi dengan kemampuan
B2, namun sangat sulit untuk menilai jumlah input bahasa Jerman yang diserap
setiap hari oleh partisipan Moyer tersebut.
Jadi dapat
disimpulkan bahwa faktor-faktor seperti motivasi dan perhatian yang tinggi
terhadap pelafalan B2 tidak secara otomatis membantu kemampuan aksen B2, namun
pelafalan yang menyerupai tingkat kemampuan penutur B2 dapat diperoleh walaupun
B2 tersebut dipelajari pada usia dewasa.
4. Frekuensi Penggunaan Bahasa Ibu
atau B1
Faktor ini termasuk
faktor yang berpengaruh terhadap kemampuan pemerolehan dan pelafalan B2. Guion
dkk (2000) meneliti tentang interaksi antara sistem B1 dan B2 pada partisipan
yang dwibahasawan dengan melihat efek B1 terhadap penggunaan B2. Mereka
menggunakan desain baru dalam penelitian bahasa dengan latar partisipan yang
menggunakan B1 di lingkungan B1. Lokasinya (setting) adalah Otavalo,
Ekuador. 30 penutur bahasa Quichua yang
tinggal di Spanyol terlibat dalam penelitian ini. Mereka terdiri atas tiga
group dengan frekuensi penggunaan bahasa Quichua sebagai B1 yang berbeda.
Partisipan ini masing-masing direkam pada saat mengucapkan kalimat-kalimat
dalam B1 dan bahasa Spanyol (B2). Pendengar monolingual dari masing-masing
penutur B1 dan B2 memberi nilai terhadap hasil rekaman tersebut.
Hasilnya
menunjukkan bahwa partisipan yang sering menggunakan B1 kelihatan aksen B1
dalam penggunaan B2, sedangkan partisipan yang menggunanakan B1 dan B2 dengan
frekuensi sama, tidak jelas aksen B1 atau pun B2nya. Dengan kata lain,
frekuensi B1 sangat singnifikan mempengaruhi B2.
5. Formal Instruction (Latihan Khusus)
Bongaerts dkk
(1997) mengidentifikasi 5 dari 11 partisipan orang Belanda dewasa yang belajar
bahasa Inggris dan memiliki aksen sama dengan penutur bahasa Inggris. Demikian
halnya dengan partisipan yang terlibat pada penelitian Moyer (1999) yang
meneliti penutur bahasa Inggris yang belajar di Jerman. Dalam kedua penelitian
ini, para partisipan memiliki aksen B2 yang mendekati level penutur aslinya.
Sayang sekali, para peneliti ini tidak mencantumkan metode, prototipe atau
pun model yang digunakan dalam mengimplementasikan FI dalam kelas. Dengan kata
lain, FI telah dilihat secara sepintas oleh beberapa peneliti. Hanya saja
metode atau model yang digunakan belum jelas. Demikian pula dengan setting
serta lama penggunaan FI yang tidak diungkapkan. Karena itu, sangat sulit untuk
membuktikan kesimpulan dari kedua penelitian tersebut. Sama sulitnya mengulang
model atau prototipe FI yang digunakan dalam kedua penelitian itu. Itulah
sebabnya, faktor F1 dalam pemerolehan B2 menjadi penting untuk diteliti.
D. Kesimpulan
Para pelajar/ mahasiwa/
siapa saja yang ingin mempelajari Bahasa kedua (Bahasa Asing) sering mengalami
banyak kesulitan dalam mencapai tujuannya. Salah satu kesulitan yang mereka
hadapi adalah sulitmya melafalkan
fonem-fonem bahasa kedua atau bahasa asimg tersebut. Hal ini disebabkan
oleh perbedaan fonem-fonem kedua bahasa, baik dari segi cara maupun posisi
artikulasi. Oleh sebab itu, kesalahan dalam pelafalan fonem-fonem bahasa kedua
tersebut serimg kali terjadi. Dampaknyapun sangat fatal karena akan membawa ke
keliruan makna dan kesalahan
interpretasi.
Pemerolehan
bahasa kedua dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu Usia, Lama tinggal di lingkungan bahasa kedua, Motivasi, Frekwensi
penggunaan bahasa kedua atau bahasa asing, Formal Intruction (Penjabaran Kaidah kebahasaan secara formal.
E.
Daftar Pustaka
Bialystock, E. 1997. The
Structure of Age: in Search of Barriers to Second Language Acquisition, Second
Language Research, 13,
116-137.
Bongaerts et al. 1997. Age and Ultimate Attainment in Pronunciation
of a foreign language, Studies in Second Language Acquisition, 19, 447-465
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik Kajian Teoritik.
Jakarta: Rineka Cipta.
Soenjono, Dardjowidjojo. 2003. Psikolinguistik (Pengantar Pemahaman Bahasa
Manusia). Jakarta: Unika Atma Jaya.
Tarigan, Heri Guntur. 1986. Psikolinguistik. Bandung: Angkasa.
Flege, J. E. 1988. Factors Affecting Degree of Perceived
Foreign Accent in English Sentences, cited in Piske et all (2001), Journal of Phonetics, 29, 198.
Guion et al. 2000. The effect of L1 use on pronunciation in
Quichua-Spanish Bilinguals, Journal of Phonetics, 20, 27-42.
Moyer, A. 1999. Ultimate Attainment in L2 Phonology, Studies
in Second Language Acquisition, 21,
81-108.
Patkowsky, M. 1990. Age and Accent in a Second Language: A Reply
to James Emil Flege, Applied Linguistics, 11, 73-89.
Piske et all. 2001. Factors Affecting Degree of Foreign Accent
in an L2: a Review, Journal of
Phonetics, 29,
191-215.
Reney and Flege. 1998. Change
Over Time in Global Foreign Accent and Liquid Identifiability and Accuracy,
Studies in Second Language Acquisition, 20, 213-243.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar