Selasa, 08 Januari 2013

pemerolehan bahasa



FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PEMEROLEHAN BAHASA KEDUA

Agus paramuriyanto
117835008

A.    Pendahuluan
Pemerolehan bahasa merupakan periode seorang individu memperoleh bahasa atau kosakata baru. Periode tersebut terjadi sepanjang masa. Permulaan pemerolehan bahasa terjadi secara tiba-tiba dan tanpa disadari. Seorang anak akan mengalami proses pemerolehan bahasa kedua setelah memperoleh bahasa pertamanya, melalui pemerolehan bahasa kedua (Language Acquistion) atau ada yang menyebutnya dengan pembelajaran bahasa (Language Learning). Istilah pembelajaran bahasa digunakan atas keyakinan bahwa bahasa kedua dapat diperoleh dan dikuasai hanya dengan proses belajar, dengan cara sadar dan disengaja. Berbeda dengan pemerolehan bahasa ibu, bahasa pertama atau bahasa ibu didapatkannya dengan cara yang alamiah, secara tidak sadar di dalam lingkungan keluargaanak-anak tersebut. Minat terhadap bagaimana anak memperoleh bahasa sebenarnya sudah lama sekali ada. Bahasan mengenai pemerolehan bahasa ini berkaitan erat dengan topik-topik sebelumnya karena bagaimana manusia dapat mempersepsi dan kemudian memahami ujaran orang lain merupakan unsur pertama yang harus dikuasi manusia dalam berbahasa. Begitu pula manusia hanya dapat memproduksi ujaran apabila dia mengetahui aturan-aturan yang harus diikuti yang dia peroleh sejak kecil.
Salah satu kesulitan para pelajar/mahasiswa dalam pemerolehan bahasa kedua (second language acquisition) adalah jika bahasa kedua atau bahasa asing yang dipelajarinya itu memiliki lebih banyak fonem-fonem (bunyi-bunyi) yang tidak dimiliki oleh bahasa ibu (bahasa pertama) dari pelajar bahasa kedua atau bahasa asing tersebut. Kesulitan yang timbul pada umumnya adalah kesulitan dalam pelafalan fonem-fonem bahasa kedua atau bahasa asing yang dipelajari tersebut.
Kesulitan ini disebabkan oleh perbedaan fonem-fonem kedua bahasa tersebut, baik dari sisi cara maupun posisi artikulasi. Kesulitan-kesulitan yang muncul itu mengakibatkan kesalahan pelafalan fonem-fonem bahasa kedua/asing yang dipelajari. Hal itu akan membawa dampak yang sangat fatal jika tidak diajarkan dengan baik kepada pelajar bahasa kedua/asing. Dampak kesalahan pelafalan fonem-fonem bahasa kedua/asing itu selanjutnya akan membawa ke keliruan makna. Kesalahan pelafalan yang dilakukan oleh para pelajar bahasa kedua atau bahasa asing akan membingunkan lawan bicaranya khususnya lawan bicara penutur asli. Kesalahan makna dan kesalahan interpretasi ini mengakibatkan komunikasi tidak dapat berjalan dengan baik.

B.     Faktor Faktor Pemerolehan Bahasa pada Anak
Menurut Elvisyari (2012) Faktor dasar yang mempengaruhi pemerolehan bahasa (pertama) pada anak adalah karena pemerolehan bahasa dilakukan secara informal dengan motivasi yang sangat tinggi selain itu anak harus mendapatkan dukungan komunikasi dengan orang di sekelilingnya. Hal tersebut terjadi karena ada beberapa faktor berikut:

a.      Faktor Alamiah
Setiap  anak lahir dengan seperangkat prosedur dan aturan bahasa yang dinamakan oleh Chomsky Language Acquisition Divice (LAD). Potensi dasar itu akan berkembang secara maksimal setelah mendapat stimulus dari lingkungan. Proses pemerolehan melalui piranti ini sifatnya alamiah. Karena sifatnya alamiah, maka kendatipun anak tidak dirangsang untuk mendapatkan bahasa, anak tersebut akan mampu menerima apa yang terjadi di sekitarnya. Sedangkan Slobin mengatakan bahwa yang dibawa lahir ini bukanlah pengetahuan seperangkat kategori linguistik yang semesta, seperti dikatakan oleh Chomsky. Prosedur-prosedur dan aturan-aturan yang dibawa sejak lahir itulah yang memungkinkan seorang anak untuk mengolah data linguistik.
b.      Faktor Perkembangan Kognitif
Perkembangan bahasa pada seseorang seiring dengan perkembangan kognitifnya. Keduanya memiliki hubungan yang komplementer. Pemerolehan bahasa dalam prosesnya dibantu oleh perkembangan kognitif, sebaliknya kemampuan kognitif akan berkembang dengan bantuan bahasa. Keduanya berkembang dalam lingkup interaksi sosial. Ginn (2006) mengartikan kognitif sebagai sesuatu yang berkaitan dengan pengenalan berdasarkan intelektual dan merupakan sarana pengungkapan pikiran, ide, dan gagasan. Hubungannnya dengan mempelajari bahasa, kognitif memiliki keterkaitan dengan pemerolehan bahasa seseorang.
Menurut Slobin (1977), perkembangan umum kognitif dan mental anak adalah faktor penentu pemerolehan bahasa. Seorang anak belajar atau memperoleh bahasa pertama dengan mengenal dan mengetahui cukup banyak struktur dan fungsi bahasa, dan secara aktif ia berusaha untuk mengembangkan batas-batas pengetahuannya mengenai dunia sekelilingnya, serta mengembangkan keterampilan-keterampilan berbahasanya menurut strategi-strategi persepsi yang dimilikinya. Pemerolehan linguistik anak sudah diselesaikannya pada usia kira-kira 3-4 tahun, dan perkembangan bahasa selanjutnya dapat mencerminkan pertumbuhan kognitif umum anak itu.

c.       Faktor Latar Belakang Sosial
Latar belakang sosial mencakup struktur keluarga, afiliasi kelompok sosial, dan lingkungan budaya memungkinkan terjadinya perbedaan serius dalam pemerolehan bahasa anak. Semakin tinggi tingkat interaksi sosial sebuah keluarga, semakin besar peluang anggota keluarga (anak) memperoleh bahasa. Sebaliknya semakin rendah tingkat interaksi sosial sebuah keluarga, semakin kecil pula peluang anggota keluarga (anak) memperoleh bahasa. Hal lain yang turut berpengaruh adalah status sosial. Anak yang berasal dari golongan status sosial ekonomi rendah rnenunjukkan perkembangan kosakatanya lebih sedikit sesuai dengan keadaan keluarganya.
Misalnya, seorang anak yang berasal dari keluarga yang sederhana hanya mengenal lepat, ubi, radio, sawah, cangkul, kapak, atau pisau karena benda-benda tersebut merupakan benda-benda yang biasa ditemukannya dalam kehidupannya sehari-hari. Sedangkan anak yang berasal dari keluarga yang memiliki status ekonomi yang lebih tinggi akan memahami kosakata seperti mobil, televisi, komputer, internet, DVD player, laptop, game, facebook, ataupun KFC, karena benda-benda tersebut merupakan benda-benda yang biasa ditemukannya dalam kehidupannya sehari-hari.
Perbedaan dalam pemerolehan bahasa menunjukkan bahwa kelompok menengah lebih dapat mengeksplorasi dan menggunakan bahasa yang eksplisit dibandingkan dengan anak-anak golongan bawah, terutama pada dialek mereka. Kemampuan anak berinteraksi dengan orang lain dengan cara yang dapat dipahami penting intinya untuk menjadi anggota kelompok. Anak yang mampu berkomunikasi dengan baik akan diterima lebih baik oleh kelompok sosial dan mempunyai kesempatan yang lebih baik untuk memerankan kepemimpinannya ketimbang anak yang kurang mampu berkomunikasi atau takut menggunakannya.

d.      Faktor Keturunan
Faktor keturunan meliputi:
1.      Intelegensia
Pemerolehan bahasa anak turut juga dipengaruhi oleh intelegensia yang dimiliki anak. Ini berkaitan dengan kapasitas yang dimiliki anak dalam mencerna sesuatu melalui pikirannya. Setiap anak memiliki struktur otak yang mencakup IQ yang berbeda antara satu dengan yang lain. Semakin tinggi IQ seseorang, semakin cepat memperoleh bahasa, sebaliknya semakin rendah IQ-nya, semakin lambat memperoh bahasa.

2.      Kepribadian dan Gaya/Cara Pemerolehan Bahasa
Kreativitas seseorang dalam merespon sesuatu sangat menentukan perolehan bahasa, daya bertutur dan bertingkah laku yang menjadi kepribadian seseorang turut mempengaruhi sedikit banyaknya variasi-variasi tutur bahasa. Seorang anak tidak dengan tiba-tiba memiliki tata bahasa pertama dalam otaknya, lengkap dengan semua aturan-aturannya. Bahasa pertama itu diperolehnya dengan beberapa tahap, dan setiap tahap berikutnya lebih mendekati tata bahasa daribahasa orang dewasa.

C.    Faktor-Faktor  yang Mempengaruhi Pemerolehan Bahasa Kedua
Dari beberapa faktor pemerolehan bahasa anak, Zuhriah (2005) memilahnya menjadi beberapa faktor yang memengaruhi pemerolehan bahasa kedua antara lain:
1.      Usia Belajar B2
Patkowsky (1990) mengklaim bahwa semakin dini usia yang mempelajari B2, semakin bagus dan sempurna cara pelafalannya. Dia menyatakan bahwa pemerolehan B2, terutama dalam hal pelafalan (pronounciation) akan berbeda jika dipelajari sebelum dan sesudah usia kritis (critical period). Usia dini tersebut adalah sebelum usia 15 tahun. Di sisi lain, Bialystock (1997) mengungkapkan bahwa umur subjek atau mereka yang mempelajari B2 juga dipengaruhi oleh tingkat kerumitan sistem B2 yang dipelajari tersebut. Artinya jika subjek telah memperoleh atau telah memiliki rasa bahasa pada bahasa pertama atau bahasa ibu (B1), maka pengaruh B1 terhadap B2 akan semakin besar. Karena itu, dia menyatakan bahwa usia kritis (critical period) adalah pada usia 6 tahun. Pada usia ini, subjek yang mempelajari B2 belum terlalu menguasai atau memiliki rasa bahasa B1 dan karenanya sangat baik untuk mempejari B2.
Peneliti lain yang berbicara tentang usia kritis ini adalah Moyer. Dia (Moyer, A, 1999) menyimpulkan bahwa usia kritis memang berpengaruh dalam pemerolehan B2 karena hal tersebut berhubungan dengan perubahan alat-alat atau artikulasi dan perkembangan otak selama masa perkembangan. Moyer juga memberi penjelasan lain bahwa selama masa perkembangan tersebut, hasil atau tingkat pemerolehan B2 merupakan interaksi sistem dwibahasa (B1 dan B2) di lingkungan B2.
Berdasarkan ketiga peneliti tersebut, terlihat dengan jelas usia memberi pengaruh terhadap tingkat pemerolehan B2, walaupun batas usia kritis atau usia yang paling baik mempelajari B2 masih berbeda-beda.
Dalam hubungannya dengan usia kritis, Bongaerts dkk. (1997) dan Piske dkk. (2001) berpendapat lain. Bongaerts (1997) meneliti aksen pelafalan orang Belanda dewasa yang mempelajari bahasa Inggris. Orang Belanda yang ikut berpartisipasi dalam penelitian ini mempelajari bahasa Inggris secara formal mulai di bangku sekolah menengah. Selanjutnya, mereka memperoleh input lansung dari penutur asli secara berkesinambungan saat duduk di bangku kuliah.
Dalam penelitian mereka, dua kelompok terlibat sebagai partisipan, yaitu orang Belanda dewasa dan penutur asli bahasa Inggris (berfungsi sebagai kontrol group). Selajutnya, empat penutur bahasa Inggris (tidak memiliki pengalaman dalam pengajaran bahasa Inggris) dilibatkan untuk menilai hasil rekaman dari dua kelompok partisipan (kelompok Belanda dan kelompok penutur bahasa Inggris) secara random. Hasilnya menunjukkan bahwa empat penilai tersebut tidak dapat membedakan antara orang Belanda dan penutur bahasa Inggris. Akhirnya Bongaerts dkk menyimpulkan bahwa orang dewasa pun yang belajar B2 dapat beraksen atau berbahasa seperti penutur B2 yang dipelajarinya.
Lain halnya dengan Piske dkk (2001) yang mengimplementasikan beberapa variabel yang mereka curigai berpengaruh terhadap pelafalan B2. Mereka meneliti usia dwibahasawan (Italia-Inggris), lama tinggal di lingkungan B2 (Canada), frekuensi penggunaan bahasa Italia dan kelancaran menggunakan B1 (Italia) dan B2 (Inggris).

Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa usia kritis sangat berpengaruh dalam pemerolehan B2. Penelitian mereka juga membuktikan bahwa usia merupakan faktor paling berpengaruh dalam pemerolehan B2. Penelitian mereka juga mendukung bahwa selain usia, faktor lain yang berpengaruh adalah lama tinggal di lingkungan B2, motivasi dan frekuensi penggunaan B2 tersebut.
Dari beberapa penelitian tersebut di atas jelas sekali bahwa B2 lebih mudah diperoleh jika dipelajari pada usia kritis. Bahkan hampir semua peneliti menyetujui bahwa B2 dapat diperoleh secara total seperti penutur asli jika dipelajari sebelum usia 12 tahun. Namun demikian, saya mendukung pendapat yang menyatakan bahwa aksen B2 dapat dicapai seperti penutur asli walau dipelajari pada usia dewasa dengan beberapa persyaratan. Persyaratan itu antara lain adalah motivasi, input dari penutur asli, dan pemberian latihan khusus (formal instruction) untuk keahlian bahasa tertentu (pelafalan, percakapan, leksikon, tata bahasa, dan wacana).

2.      Lama Tinggal di Lingkungan B2
Reney dan Flege (1998) merekam 11 penutur asli bahasa Jepang di International Christian Univeristy, Tokyo sejak awal tahun (T1) hingga akhir tahun (T2). Jarak antara T1 dan T2 adalah 42 minggu. Sedangkan penutur asli bahasa Inggris yang tinggal di Birmingham, Alabama, menilai kalimat-kalimat bahasa Inggris yang diucapkan oleh ke 11 mahasiswa tersebut. Hasil penelitian mereka memperlihatkan bahwa tiga mahasiswa mencapai hasil yang sangat signifikan berbeda antara T2 dan T1. Alasan terhadap kesimpulan ini adalah karena 3 dari 11 mahasiswa tersebut pernah tinggal di lingkungan B2, California selama satu tahun. Hal itulah yang dicurigai sebagai salah satu faktor yang berpengaruh dalam pemerolehan B2.
Piske dkk (2001) menyatakan bahwa korelasi antara pemerolehan B2 dengan lama tinggal di lingkungan B2 sangat signifikan. Mereka meneliti korelasi antara kemampuan berbahasa Inggris penutur bahasa Italia dengan usia, lama tinggal di Canada dan frekuensi penggunaan bahasa Italia di lingkungan B2.
Hasil penelitian Piske dkk menunjukkan bahwa korelasi antara kemampuan menggunakan B2 (bahasa Inggris) dengan lama tinggal di lingkungan B2 sangat signifikan jika efek frekuensi penggunaan B1 (bahasa Italia) diabaikan. Namun, korelasi antara kedua hal tersebut menjadi tidak signifikan jika faktor usia diabaikan. Akhirnya mereka menyimpulkan bahwa lama tinggal di lingkungan B2 tidak berpengaruh secara langsung terhadap kemampuan menggunakan B2. Lingkungan B2 hanya faktor pendukung dari faktor usia yang lebih dominan mempengaruhi kemampuan B2 tersebut.
Patut diperhatikan penelitian Flege (1998) yang sama sekali kontras dengan penelitian sebelumnya. Dia menyatakan bahwa lama tinggal di lingkungan B2 sama sekali tidak berpengaruh terhadap kemampuan B2 tersebut. Flege meneliti dua group orang Taiwan yang belajar bahasa Inggris di lingkungan berbahasa Inggris dengan lama tinggal yang berbeda (1,1 tahun VS 5.1 tahun). Kemampuan berbahasa Inggris kedua group ini tidak signifikan berbeda. Dia lalu menyimpulkan bahwa setelah usia kritis, lama tinggal di lingkungan B2 tidak akan mempengaruhi kemampuan aksen B2 orang dewasa.
Dapat disimpulkan dari berbagai penelitian ini bahwa tidak semua peneliti menyimpulkan adanya signifikasi hubungan antara lama tinggal di lingkungan B2 dengan kemampuan orang dewasa memperoleh B2. Yang pasti, efek lama tinggal di lingkungan B2 berpengaruh lebih kecil dari usia terhadap kemapuan memperoleh B2.

3.      Motivasi
Faktor ini telah diteliti oleh Bongaerts dkk (1997). Mereka mengamati sebuah group yang terdiri atas 11 orang Belanda yang belajar bahasa Inggris pada usia dewasa. Ke 11 partisipan ini teridentifikasi sebagai partisipan yang sangat tinggi motivasinya belajar bahasa Inggris. Dua dari partisipan tersebut adalah dosen dengan tingkat kemampuan sama dengan pengajar bahasa Inggris. Kedua partisipan ini memiliki prinsip tentang pentingnya berbahasa Inggris tanpa dipengaruhi aksen bahasa Belanda. 5 dari 11 partisipan itu memiliki kemampuan yang sama dengan kontrol group (partisipan berbahasa Inggris). Sayang sekali, Bongaerts dkk tidak menilai jumlah input bahasa Inggris yang diperoleh oleh ke 11 partisipan itu dan kapan mereka memperoleh bahasa Inggris sebagai B2.
Penelitian yang lain adalah penelitian Moyer (1999) yang merekrut 24 penutur bahasa Inggris yang belajar bahasa Jerman pada usia dewasa. Mereka adalah mahasiswa S1 di Jerman yang diajar dengan dengan bahasa pengantar bahasa Jerman. Moyer menyatakan sebuah argumen bahwa disebabkan oleh tingkat profesional (S1) dan motivasi yang tinggi, mereka mampu berbahasa Jerman seperti penutur bahasa Jerman. Walau terdapat korelasi yang sangat tinggi antara faktor mitivasi dengan kemampuan B2, namun sangat sulit untuk menilai jumlah input bahasa Jerman yang diserap setiap hari oleh partisipan Moyer tersebut.
Jadi dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor seperti motivasi dan perhatian yang tinggi terhadap pelafalan B2 tidak secara otomatis membantu kemampuan aksen B2, namun pelafalan yang menyerupai tingkat kemampuan penutur B2 dapat diperoleh walaupun B2 tersebut dipelajari pada usia dewasa.

4.      Frekuensi Penggunaan Bahasa Ibu atau B1
Faktor ini termasuk faktor yang berpengaruh terhadap kemampuan pemerolehan dan pelafalan B2. Guion dkk (2000) meneliti tentang interaksi antara sistem B1 dan B2 pada partisipan yang dwibahasawan dengan melihat efek B1 terhadap penggunaan B2. Mereka menggunakan desain baru dalam penelitian bahasa dengan latar partisipan yang menggunakan B1 di lingkungan B1. Lokasinya (setting) adalah Otavalo, Ekuador.  30 penutur bahasa Quichua yang tinggal di Spanyol terlibat dalam penelitian ini. Mereka terdiri atas tiga group dengan frekuensi penggunaan bahasa Quichua sebagai B1 yang berbeda. Partisipan ini masing-masing direkam pada saat mengucapkan kalimat-kalimat dalam B1 dan bahasa Spanyol (B2). Pendengar monolingual dari masing-masing penutur B1 dan B2 memberi nilai terhadap hasil rekaman tersebut.
Hasilnya menunjukkan bahwa partisipan yang sering menggunakan B1 kelihatan aksen B1 dalam penggunaan B2, sedangkan partisipan yang menggunanakan B1 dan B2 dengan frekuensi sama, tidak jelas aksen B1 atau pun B2nya. Dengan kata lain, frekuensi B1 sangat singnifikan mempengaruhi B2.

5.      Formal Instruction (Latihan Khusus)
Bongaerts dkk (1997) mengidentifikasi 5 dari 11 partisipan orang Belanda dewasa yang belajar bahasa Inggris dan memiliki aksen sama dengan penutur bahasa Inggris. Demikian halnya dengan partisipan yang terlibat pada penelitian Moyer (1999) yang meneliti penutur bahasa Inggris yang belajar di Jerman. Dalam kedua penelitian ini, para partisipan memiliki aksen B2 yang mendekati level penutur aslinya.
Sayang sekali, para peneliti ini tidak mencantumkan metode, prototipe atau pun model yang digunakan dalam mengimplementasikan FI dalam kelas. Dengan kata lain, FI telah dilihat secara sepintas oleh beberapa peneliti. Hanya saja metode atau model yang digunakan belum jelas. Demikian pula dengan setting serta lama penggunaan FI yang tidak diungkapkan. Karena itu, sangat sulit untuk membuktikan kesimpulan dari kedua penelitian tersebut. Sama sulitnya mengulang model atau prototipe FI yang digunakan dalam kedua penelitian itu. Itulah sebabnya, faktor F1 dalam pemerolehan B2 menjadi penting untuk diteliti.





D.    Kesimpulan
Para pelajar/ mahasiwa/ siapa saja yang ingin mempelajari Bahasa kedua (Bahasa Asing) sering mengalami banyak kesulitan dalam mencapai tujuannya. Salah satu kesulitan yang mereka hadapi adalah sulitmya melafalkan  fonem-fonem bahasa kedua atau bahasa asimg tersebut. Hal ini disebabkan oleh perbedaan fonem-fonem kedua bahasa, baik dari segi cara maupun posisi artikulasi. Oleh sebab itu, kesalahan dalam pelafalan fonem-fonem bahasa kedua tersebut serimg kali terjadi. Dampaknyapun sangat fatal karena akan membawa ke keliruan makna dan kesalahan  interpretasi.
Pemerolehan bahasa kedua dipengaruhi oleh  beberapa faktor yaitu Usia, Lama tinggal di lingkungan bahasa kedua, Motivasi, Frekwensi penggunaan bahasa kedua atau bahasa asing, Formal Intruction (Penjabaran Kaidah kebahasaan secara formal.


E.     Daftar Pustaka

Bialystock, E. 1997.  The Structure of Age: in Search of Barriers to Second Language Acquisition, Second Language Research, 13, 116-137.
Bongaerts et al. 1997. Age and Ultimate Attainment in Pronunciation of a foreign language, Studies in Second Language Acquisition, 19, 447-465
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik Kajian Teoritik. Jakarta: Rineka Cipta.
Soenjono, Dardjowidjojo. 2003. Psikolinguistik (Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia). Jakarta: Unika Atma Jaya.
Tarigan, Heri Guntur. 1986. Psikolinguistik. Bandung: Angkasa.
Flege, J. E. 1988. Factors Affecting Degree of Perceived Foreign Accent in English Sentences, cited in Piske et all (2001), Journal of Phonetics, 29, 198.
Guion et al. 2000. The effect of L1 use on pronunciation in Quichua-Spanish Bilinguals, Journal of Phonetics, 20, 27-42.
Moyer, A. 1999. Ultimate Attainment in L2 Phonology, Studies in Second Language Acquisition, 21, 81-108.
Patkowsky, M. 1990. Age and Accent in a Second Language: A Reply to James Emil Flege, Applied Linguistics, 11, 73-89.
Piske et all. 2001. Factors Affecting Degree of Foreign Accent in an L2: a Review, Journal of Phonetics, 29, 191-215.
Reney and Flege. 1998.  Change Over Time in Global Foreign Accent and Liquid Identifiability and Accuracy, Studies in Second Language Acquisition, 20, 213-243.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar