Agus Paramuriyanto
Hari ini, bisa dibilang aku berada di tempat yang salah
Tempat dimana ada kerusuhan yang sudah rusuh
Oleh kumpulan orang yang ahli membuat kerusuhan
Namanya kerusuhan
Ya... sudah pasti rusuh,
Bagaimana tidak!!
Yang ada, orang yang paling ahli membuat rusuh
ya pasti rusuhlah
Aku heran kenapa aku bisa ada ditempat seperti ini, “rusuh”
Waktu itu .....
Remang-remang gelap malam, waktu dimana matahari
Mulai menutup matanya, menutup telinga, menutup mulut
Lampu kota yang mulai menyala
Namun hanya menyala sebentar, lalu mati
Ha.......hhhhh
Capek Aku!!
Kenapa aku bisa ada disini?
Tempat yang sangat tidak layak dipandang mata
Semua berhamburan
Mayat-mayat berserakan
Darah semata kaki
Apa ini yang di sebut revolusi?
Ku pikir itu hanya bualan orang kuno
Kenapa ........??
aku harus ada di tempat ini
Tempat yang seharusnya tak Ku singgahi
Tapi aku berpikir sejenak
Kalau tidak salah sepertinya aku kenal tempat ini
Coba kulihat sekeliling
Rumah, kamar, kost, .....
Dimana ini.....
Kepalaku pusing memikirkannya
Lalu...
Bos !!
Bos !!
Siapa? Coba ku bertoleh
Eh ternyata kamu
Kamu ......
Iya Bos ini aku
Aku temanmu
Sumpah !!
Aku yakin dia temanku tapi siapa namanya
Aku tak berani bertanya padanya,
Siapa namanya
Aku bena-benar tak ingat siapa namanya
Bos, cepatlah kesini ada yang harus kamu lihat
Apa? Apa? Apa?
Ayolah ikut
Ok ok !!
Tapi jangan kau tarik aku seperti ini memangnya aku ini sapi
Seenaknya saja
Namun temanku itu tak menghiraukan ucapanku
Mau dibawa kemana aku?
.........................
Apa itu ?!!
Sebuah lorong yang cukup lebar
Di apit dua gedung besar
Yang sudah remuk tidak karuan bentuknya
Apa itu??
Ku coba mendekat
Semakin jelas pula apa yang terjadi di situ
Deeg !!......
Deeg !!.........
iii .....
iiiiiii......tu.....
Sungguh tak ku sangka temanku membawa aku ke tempat ini
Sebuah perlakuan menjijikkan
Apa ini benar-benar terjadi?
Heranku berlipat-lipat dan sambil ku mengumpat-ngumpat Coba saja kamu ada di sebuah kerusuhan yang sudah rusuh oleh orang pembuat rusuh diwaktu matahari terbenam kamu melihat sebuah adegan pemerkosaan
Hah ...
Pemerkosaan!!
Pandanganku kurang begitu jelas tentang itu
Tapi yang pasti
Itu yang terjadi
Kedip lampu yang tinggal menunggu kematiannya
Sekilas menerangi kelakuan bejat itu
Sekilas dan sekilas lagi
Bu..bu.. bu....bukankah ii...itu......
Itu..
Cewek yang ku sayangi setengah mati
Lalu siapa cowok itu
Aaaaaaaaaaa............................
Aaaaaaaaaaaaaaaaa......................
Cewek itu mengerang layaknya seorang putri yang kehilangan boneka kesayangannya
Namun aku hanya diam dan diam..
Siapa dia??
Siapa cowok itu
Apa !!
Ternyata cowok itu adalah cowok yang aku benci setengah mati juga
Ingin ku bunuh dia
Ku bantai dia
Ku lumat dia
Tapi kenapa kaki dan badanku tak bisa ku gerakkan
Kenapa? Kenapa?
Kenapa?..........................
Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa.......................
Gadis itu mengerang lagi
Kulihat dia sudah lusuh
Matanya .............
Mata lelah seakan menyuruhku untuk merangkulnya
Kenapa? Kenapa Dengan aku ini?
Tiba-tiba
Piiiaaaakkk!!!
Kulihat cowok itu terpental, ambruk, tergeletak dengan bersimba darah dibajunya
Menyinggkir darinya
Menyingkir kataku
Ternyata teman yang tak ku ingat namanya itu
Menghantam cowok itu
Aku bisa bergerak!!
Tanpa tunggu lama-lama ku lesatkan sebuah bogem terkuat yang pernah dimiliki seorang laki-laki kearah cowok itu hingga ku tak bisa kenali dia kuhajar lagi dan lagi. Lalu teman ku yang tak ku ingat namanya itu meleraiku dan kubiar kan cowok itu pergi
Ku lihat cewek itu
Lusuh penuh keringat
Keringat derita yang takkan pernah hilang hingga ia mati
Gaun lusuh robek disana-sini
Ku lihat
Ku lihat matanya yang berlinang air
Air mata.....
Ku lihat matanya yang seakan berkata
Ma...ma..maafkan a..aakk...aaakkuu.....
Tak ku sangka
Aku tak sanggup menahan air mataku yang sudah ku coba menahannya sekuat-kuatnya orang terkuat
Se tegar-tegarnya si tegar
Segagah-gagahnya orang tergagah
Tak mampu menahan jatuhnya air mataku
Ingin ku rangkul
Ku dekap cewek itu
Tapi ribuan perusuh yang sukanya hanya merusuh itu berlarian di antara kami
Aku pun semakin jauh darinya
Dari ribuan, jutaan perusuh itu ku lihat ia sudah ada yang merangkul
Coba ku menciutkan alitku untuk memastikannya
Siapa yang membawanya
Ternyata teman sejenisnya
..............................
Semua hilang
Semua lenyap
Hanya tinggal aku dan teman yang tak ku ingat namanya itu
Ia melihatku
Dan berkata
Bos !
Inikah bosku!
Bos ku yang selama ini aku kenal
Sebagai orang yang baik, tenang, gagah,
Dan pantang untuk meneteskan air mata
Luluh, gagu, dan menangis sedu hanya karena gadis itu
Sudahlah bos yang penting dia sudah selamat
Apakah kamu akan selalu bersamaku, teman?
Aku akan selalu bersamamu, menenangkanmu, dan akan ku rahasiakan hal ini
Cukup hanya kita yang tau
Tak terasa alam sudah bangun
Fajar sudah datang
Aku berjalan ke jalan besar di tengah kota
Coba ku lihat sekeliling tampak sebuah kota mahapolitan kota mahapolitan yang hanya dalam waktu sekejap berubah menjadi kota mati kota yang mati. Semua luber, hancur, semua berantakan gedung-gedung pencakar langit rata dengan tanah mayat anak adam berserakan memehuni ruas jalan. Bau mayat busuk, sisa-sisa
Kendaran termewah yang pernah ada, terguling tinggal rangka
Berserakan !!
Darah yang semata kaki
Langit semakin terang
Ku lihat teman temanku itu
Dan aku terhenyak
Akhirnya aku ingat namanya
Tanpa lama aku panggil dia
Fajar!!
Kau Fajar kan?..
Yupz!! Kamu benar bos
Baru sadar lu
Apa baru bangun
Hehe,, cwry
Lihatlah Bos
Akhirnya kerusuhan ini berakhir
Lihat itu
Bukankah itu bus kampus yang lewat
Wau penyok” brow
Hahahahaha......
Kita tertawa terbahak-bahak melihat kehancuran kota mahapolitan
Hahahahahahaha.......
Namun dalam hati ini masih ada satu hal yang mengganjal
Ku lihat sekitarku
Bus-bus kampus yang penyok” mobil-mobil mewah yang amburadul tak berbentuk memuat anggota kerusuhan untuk miggrasi meneruskan bakat
hahahahahaha.......
Sekilas kulihat
Segerombolan cewek berkerudung menaiki empat mobil angkutan umum yang masih bisa melaju namun kesingnya sudah ruwet
Hahahahahaha....
Lalu...
Mirna.......................
Mirna................................
Teriak seorang perempuan dari dalam mobil yang paling belakang
Mirna ?? ....
Siapa dia ??
Apa aku kenal ??
Dari segerombolan perempuan tadi
Seorang cewek menoleh
Dengan kerudung biru berbintik putih kecil-kecil
Kulihat cewek itu
Bukankah itu......
iii ...ittuuu.....
Itu cewek yang ku sayang setengah mati
Mirna ................................
Mirna .............................................
Teriakku
Dengan teriakan terkuatku
Cewek manis, imut, cantik, seksi, montok lagi
Cewek itu benar-benar perfect
Ternyata benar namanya Mirna
Iya, namanya Mirna
Aku ingat sekarang
Semua sudah semakin jelas
Tempat ini adalah tempat dimana Aku kuliah
Dan fajar adalah teman sekelasku
Mirna...............
Mirna.......................
Ku panggil cewek itu
Dan dia pun menoleh padaku
Bergegas ku peluk dia
Ku cium keningnya
Ku kecup bibirnya
Dan ku katakan I LOVE YOU Bebh
Arik, ku titipkan Mirna padamu
Kata salah satu temannya padaku
Ku peluk lagi Mirnaku dan ku pejamkan mataku
Tapi saat ku buka mataku lagi
Mirna ?? ....
Siapa dia ??
Apa aku kenal ??
Dimana rumahnya ??
Aahh.........pusing aku
Hem.....mending bubug, t’rus ngimpi, t’rus ngiler dech
Hahahahahahahahaha............ cape dech......
................................... .................................
sekali melangkah aku takkan mundur becaose yang lalu tidak untuk di ingat melainkan hanya untuk di kenang
Senin, 31 Oktober 2011
KERJA PROYEK SEBAGAI SARANA UNTUK MEMPROMOSIKAN BAHASA DAN KONTEN
Label:
PENDIDIKAN
KERJA PROYEK SEBAGAI
SARANA UNTUK MEMPROMOSIKAN BAHASA DAN KONTEN
Di Tulis Untuk Memenuhi Tugas
Materi Kuliah Landasan dan Kebijakan Pendidikan
Dosen pembimbing:
Dr. Suhartono dan Dr. Syamsul Sodiq
Oleh:
Agus Paramuriyanto
Nim: 117835008
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
PASCASARJANA UNESA SURABAYA
TAHUN 2011/ 2012
SEBUAH PENGANTAR
Dalam beberapa tahun terakhir, peningkatan jumlah pendidik bahasa telah beralih pembelajaran berbasis konten dan proyek kerja untuk mempromosikan pengertian keterlibatan siswa dengan bahasa dan pembelajaran konten. Melalui instruksi berbasis konten, peserta didik mengembangkan kemampuan bahasa sembari menjadi warga dunia yang universal. Dengan mengintegrasikan proyek kerja ke kelas berbasis konten, pendidik menciptakan lingkungan belajar yang dinamis yang mengharuskan keterlibatan siswa yang aktif, merangsang kemampuan berpikir menuju level yang lebih tinggi, dan memberi siswa tanggung jawab untuk pelajaran mereka sendiri. Ketika menerapkan rencana kerja ke dalam kelas berbasis konten. Instruktur menjauhkan diri dari guru dominasinya instruksi dan bergerak ke arah menciptakan komunitas penelitian siswa yang melibatkan pembelajaran kooperatif komunikasi otentik, kolaborasi, dan pemecahan masalah.
Pada artikel ini, kami akan memberikan pemikiran untuk instruksi berbasis konten dan menunjukkan bagaimana proyek kerja dapat diintegrasikan ke dalam kelas berbasis konten. kemudian kami akan menguraikan karakteristik utama dari rencana kerja tersebut, memperkenalkan rencana kerja dalam berbagai konfigurasi, dan ada panduan praktis untuk peruntunan dan mengembangkan rencana. Ini adalah harapan kami bahwa bahasa guru dan pendidik akan dapat mengadaptasi ide-ide yang disajikan disini untuk meningkatkan instruksi kelas mereka.
A. Dasar Pemikiran Content-Based Instruction
Content-Based Instruction (CBI) telah digunakan dalam berbagai konteks pembelajaran bahasa, meskipun popularitas dan penerapan yang lebih luas telah meningkat secara dramatis sejak awal 1990-an. kepraktisan CBI ini menjadikannya sebuah pendekatan menarik untuk pengajaran bahasa:
“ Dalam pendekatan berbasis konten, aktivitas kelas bahasa ditujukan kusus pada materi pelajaran yang diajarkan, dan diarahkan untuk merangsang siswa untuk berpikir dan belajar melalui penggunaan target bahasa. Pendekatan semacam ini secara alamiah cocok untuk pengajaran terintegrasi dari empat keterampilan bahasa tradisional. Contoh: penggunaan bahan bacaan otentik yang membutuhkan siswa berpikir tidak hanya memahami informasi tetapi untuk menafsirkan dan mengevaluasinya juga. CBI menyediakan sebuah forum dimana siswa dapat merespon secara lisan untuk membaca dan sebagai bahan ajar. Hal ini menyatakan bahwa tulisan akademik tersebut mencakup mendengarkan dan membaca, dan dengan demikian mengharuskan siswa untuk mensintesis fakta dan ide-ide dari berbagai sumber sebagai persiapan untuk menulis. Dalam pendekatan ini, siswa yang diarahkan untuk belajar keterampilan dan belajar berbagai keterampilan bahasa yang mana mempersiapkan mereka untuk berbagai tugas akademis yang akan mereka hadapi. (Brinton, Snow, & Wesche, 1989, hal 2)
Kutipan ini mencerminkan sebuah kumpulan konsistensi deskripsi oleh praktisi CBI yang ada untuk mengapresiasi, banyak cara yang CBI tawarkan tentang Kondisi ideal untuk pembelajaran bahasa. Penelitian di akuisisi bahasa kedua menawarkan dukungan tambahan untuk CBI, namun beberapa bukti yang paling persuasif berasal dari penelitian dalam psikologi pendidikan dan kognitif, meskipun agak bergeser dari konteks pembelajaran bahasa. Empat temuan dari penelitian di pendidikan dan psikologi kognitif yang menekankan manfaat dari CBI yang perlu diperhatikan:
1. Materi yang terorganisasi secara tematik, ciri khas dari kelas berbasis konten, lebih mudah untuk mengingat dan belajar (Singer. 1990).
2. Presentasi informasi yang koheren dan bermakna, karakteristik terorganisir kurikulum berbasis konten, menyebabkan proses lebih dalam dan belajar lebih baik (Anderson, 1990).
3. Terdapat sebuah hubungan antara motivasi siswa dan minat siswa - hasil umum kelas berbasis konten dan kemampuan siswa untuk memproses materi yang menantang, mengingat informasi, dan ketelitian (Alexander, Kulikowich, & Jetton, 1994).
4. Keahlian dalam sebuah topik berkembang ketika peserta didik menginvestasikan kembali pengetahuan mereka dalam urutan tugas yang lebih kompleks (Bereiter & Scardamalia, 1993), dapat dengan mudah dalam kelas berbasis konten dan biasanya mengabsen di kelas bahasa yang lebih tradisional karena fokus yang sempit pada aturan bahasa atau waktu yang terbatas pada pengembangan dangkal dan topik yang berbeda (misalnya, kurikulum didasarkan pada bacaan singkat pada gedung pencakar langit dari New York. diikuti oleh sebuah bagian tentang sejarah permen karet, kemudian diikuti oleh sebuah esai tentang gunung berapi dari orang-orang Northwest Amerika ).
Temuan-temuan empiris penelitian ini, bila dikombinasikan dengan manfaat praktis dari integrasi konten dan pembelajaran bahasa, menyediakan argumen persuasif yang mendukung CBI. Bahasa pendidik yang mengadopsi orientasi berbasis konten akan menemukan bahwa CBI juga memungkinkan untuk menggabungkan pengajaran bahasa yang eksplisit (meliputi, misalnya, tata bahasa, percakapan gambits, fungsi, gagasan, dan keterampilan), sehingga memuaskan bahasa siswa dan kebutuhan konten pembelajaran dalam konteks (lihat Grabe & Stoller, 1997 untuk pemikiran yang lebih maju untuk CBI).
B. Proyek Kerja sebagai Ekstensi Alamiah dari CBI
CBI memungkinkan untuk integrasi alami dari bunyi praktek pembelajaran bahasa seperti sarana alternatif penilaian, belajar magang, pembelajaran kooperatif, instruksi keterampilan terpadu, pekerjaan proyek, perancah, pelatihan strategi, dan penggunaan penyelenggara grafis. Meskipun masing-masing praktek mengajar layak didiskusikan, artikel ini hanya akan fokus pada proyek kerja dan perannya dalam format instruksional berbasis konten.
Beberapa ahli bahasa menyamakan proyek kerja dengan kelompok kerja di dalam kelas, pembelajaran kooperatif atau lebih rumit tugas berbasis kegiatan. Ini adalah tujuan dari artikel ini, bagaimanapun, untuk menggambarkan bagaimana proyek kerja mewakili lebih dari kerja kelompok per se. Pembelajaran berbasis proyek harus dipandang sebagai kendaraan serbaguna untuk bahasa terintegrasi dan pembelajaran konten, membuatnya menjadi pilihan yang layak bagi pendidik bahasa bekerja di berbagai pengaturan instruksional, termasuk general English, English for Academic Purpose (EAP), English for Spesific Purpose (ESP), dan bahasa Inggris untuk tujuan kerja/ kejuruan/ profesional, sebagai tambahan didalam pelatihan guru baik di ruang lingkup formal ataupun nonformal. proyek Kerja dipandang oleh sebagian pendukungnya "bukan sebagai pengganti metode pencucian lainnya", melainkan sebagai "suatu pendekatan untuk belajar yang melengkapi metode mainstream dan yang dapat digunakan oleh hampir semua tingkatan, usia dan kemampuan siswa" (Haines , 1989 hal.1).
Di kelas dimana sebuah komitmen telah dijadikan sebagai pembelajaran konten serta pembelajaran bahasa (yaitu, kelas berbasis konten), proyek kerja ini sangat efektif karena itu merupakan perubahan alami dari apa yang sudah terjadi di kelas. misalnya, dalam kelas EAP terstruktur seputar topik lingkungan, sebuah proyek yang melibatkan pengembangan menampilkan poster menyarankan cara di mana sekolah siswa mungkin terlibat dalam praktek lebih ramah lingkungan suara akan menjadi hasil alami dari isi dan bahasa kegiatan belajar yang terjadi di kelas. Dalam kursus bahasa Inggris kejuruan berfokus pada pariwisata, pengembangan brosur promosi menyoroti tempat menarik di kota. siswa akan mendapatkan pelajaran dengan cara alami dari kurikulum. Dalam kursus bahasa Inggris umum yang difokuskan pada kota di negara-negara berbahasa Inggris, siswa dapat membuat publik papan buletin menampilkan dengan informasi bergambar dan ditulis pada kota-kota yang ditargetkan. Dalam ESP; kursus hukum internasional, laporan tertulis membandingkan dan mengkontraskan sistem hukum Amerika dan rumah-sistem hukum negara mahasiswa 'merupakan sebuah proyek "yang berarti memungkinkan untuk sintesis, analisis, dan isi kursus.
Proyek kerja sama dengan keefektifan dalam pembelajaran guru kursus. Jadi, dalam kursus tentang pengembangan materi, handbook siswa yang dihasilkan terdiri dari latihan generik untuk praktek keterampilan bahasa pada tingkat kemahiran yang berbeda tentang keahlian berbahasa inggris yang menunjukkan sebuah manfaat dan praktek kerja yang dapat digunakan di kemudian hari sebagai alat referensi guru.
Keuntungannya adalah bahwa pengalaman guru dalam masa pelatihan dengan bisa menjadi pembelajaran berbasis proyek, pada masanya, dapat di transfer ke perencanaan pelajaran mereka sendiri di masa depan (J. Mohanraj, komunikasi pribadi Juni 5, 1997.) Contoh - contoh ini hanya mewakili beberapa kemungkinan yang tersedia bagi guru dan siswa ketika memasukkan proyek kerja ke dalam kurikulum berbasis konten.
C. Karakteristik Dasar Proyek Kerja
Proyek kerja telah dijelaskan oleh sejumlah pendidik bahasa, termasuk Carter dan Thomas (1986), Ferragatti dan Carminati (1984), Fried-Booth (1982,1986), Haines (1989), Ugutke (1984,1985), Legutke dan Thiel (1983), Papandreou (1994), Sheppard dan Stoller (1995), dan Ward (1988). Meskipun masing-masing pendidik telah mendekati suatu proyek pekerjaan dari suatu karya, namun disini cara kerja proyek kerja dijelaskan sebagai berikut:
1. Proyek kerja yang berfokus pembelajaran konten bukan pada target bahasa tertentu. Subjek materi yang nyata dan topik yang menarik bagi siswa dapat menjadi pusat untuk proyek-proyek pekerjaan.
2. Proyek kerja berpusat pada siswa, meskipun guru memainkan peran utama dalam menawarkan dukungan dan bimbingan selama proses berlangsung.
3. Proyek kerja menekankan Siswa mandiri atau bisa bekerja sendiri, dalam kelompok kecil, atau sebagai kelompok untuk menyelesaikan sebuah proyek, sumber daya, berbagi ide, dan menjadikannya keahlian di sepanjang jalan.
4. Proyek kerja mengarah ke integrasi otentik keterampilan dan pengolahan informasi dari berbagai sumber, mirroring tugas pada kehidupan nyata.
5. Proyek kerja memuncak dalam produk akhir (misalnya, presentasi lisan, sesi poster, tampilan papan buletin, laporan, atau pertunjukan panggung) yang dapat dibagi dengan orang lain, memberi proyek sebuah tujuan yang nyata. Nilai proyek, namun, terletak tidak hanya pada produk akhir tetapi dalam proses kerja menuju titik akhir. Jadi, kerja proyek memiliki keduanya proses dan orientasi produk, dan memberikan kesempatan pada siswa untuk fokus pada kelancaran dan akurasi pada berbagai proyek tahap pekerjaan.
6. Proyek kerja berpotensi memotivasi, merangsang, memberdayakan, dan menantang. Biasanya hasil dalam membangun rasa percaya diri siswa, harga diri, dan otonomi serta meningkatkan ketrampilan berbahasa siswa, belajar konten, dan kemampuan kognitif.
D. Proyek Kerja dan Berbagai Konfigurasinya
Meskipun serupa dalam banyak cara, proyek kerja dapat mengambil konfigurasi yang beragam. Format yang paling cocok untuk konteks yang diberikan tergantung pada berbagai faktor, termasuk faktor tujuan kurikuler, harapan, tingkat kemampuan siswa, minat siswa, kendala waktu, dan ketersediaan bahan. Ditinjau dari jenisp royek yang akan didemontrasikan itu mencakup ruang lingkupnya, fleksibilitas, dan adaptasi dari proyek kerja.
Proyek kerja mengukur sejauh mana kekompakan guru dan siswa memutuskan sifat dan urutan kegiatan yang terkait dengan proyek, seperti yang ditunjukkan oleh tiga jenis proyek yang diusulkan oleh Henry (1994): struktur proyek itu ditentukan, dikhususkan dan diorganisasikan oleh guru dalam hal topik, bahan, metodologi, dan presentasi. Sebagian besar struktur proyek didefinisikan oleh siswa sendiri, dan semiterstruktur proyek didefinisikan dan diatur sebagian oleh guru dan sebagian oleh siswa.
Proyek kerja dapat dihubungkan dengan kenyataan dilapangan (misalnya ketika siswa-siswa ESP Italia mendesain selebaran untuk agen perjalanan asing di luar Eropa menggambarkan keuntungan standardisasi Masyarakat Eropa tentang sistem listrik sebagai langkah menuju persatuan Eropa, atau ketika siswa bahasa Inggris umum di sebuah sekolah internasional yang menciptakan layar papan buletin publik - dengan foto dan teks didasarkan pada wawancara ekstensif dengan EFL fakultas memperkenalkan mahasiswa baru untuk guru EFL mereka), Proyek juga dapat dihubungkan dengan simulasi masalah dunia nyata (misalnya, ketika EAP siswa dipentaskan untuk perdebatan tentang pro dan kontra dari sensor sebagai bagian dari unit berbasis konten pada sensor). Proyek juga dapat mempengaruhi ketertarikan siswa, dengan atau tanpa signifikansi dunia nyata (misalnya saat bahasa Inggris umum merencanakan perjalanan lapangan yang rumit ke bandara internasional di mana mereka melakukan wawancara ekstensif dan rekaman video wisatawan internasional, lihat Ferragatti & Carminati, 1984; Legulke, 1984; 1985; Legutke & Thiel, 1983).
Proyek juga dapat berbeda dalam teknik pengumpulan data dan sumber informasi seperti yang ditunjukkan oleh jenis proyek. Proyek penelitian memerlukan pengumpulan informasi melalui penelitian perpustakaan. Demikian pula, proyek teks melibatkan "teks" (misalnya, sastra, laporan, media berita, video dan materi audio, atau informasi berbasis komputer) daripada orang. Korespondensi proyek membutuhkan komunikasi dengan individu (atau bisnis, lembaga pemerintah, sekolah, atau kamar dagang) untuk meminta informasi dengan cara faks, panggilan telepon, atau surat elektronik. Proyek survei berarti menciptakan instrumen survei dan kemudian mengumpulkan dan menganalisis data dari "informan." Pertemuan proyek mengakibatkan kontak tatap muka dengan pembicara tamu atau individu di luar kelas. (Lihat Haines, 1989 dan Legutke & Thomas, 1991 untuk penjelasan lebih rinci dari jenis proyek.)
Proyek juga mungkin berbeda dalam cara bahwa informasi "dilaporkan" sebagai bagian dari kegiatan puncak (lihat Haines, 1989). Proyek produksi melibatkan penciptaan buletin-papan display, video, program radio, sesi poster, laporan tertulis, esai foto, surat, buku panduan, brosur, menu perjamuan, jadwal perjalanan, dan sebagainya. Kinerja proyek dapat mengambil bentuk panggung debat, presentasi lisan, pertunjukan teater, pameran makanan atau fashion show. Proyek organisasi memerlukan perencanaan dan pembentukan sebuah meja percakapan klub, atau program percakapan-mitra.
Apapun konfigurasinya, proyek dapat dilakukan secara intensif selama periode waktu yang singkat atau diperpanjang selama beberapa minggu, atau satu semester penuh, mereka dapat diselesaikan oleh siswa secara individu, dalam kelompok kecil, atau sebagai kelas, dan mereka dapat berlangsung sepenuhnya dalam batas-batas kelas atau dapat memperluas di luar dinding kelas dalam masyarakat atau dengan orang lain melalui berbagai bentuk korespondensi.
E. MEMASUKKAN PROYEK KERJA KE DALAM KELAS
Proyek kerja, apakah hal ini terintegrasi ke dalam sebuah unit berbasis konten tematik atau diperkenalkan sebagai urutan khusus dari kegiatan di kelas yang lebih tradisional, memerlukan beberapa keberhasilan tahapan pembangunan. Fried-Booth (1986) mengusulkan proses multi-langkah yang mudah diikuti yang dapat membimbing guru dalam mengembangkan dan peruntutan pekerjaan proyek untuk ruang kelas mereka. Demikian pula, Haines (1939) menyajikan deskripsi langsung dan bermanfaat tentang proyek kerja dan langkah-langkah yang diperlukan untuk keberhasilan pelaksanaan. Baik Fried-Booth dan Haines volume termasuk deskripsi rinci dari proyek-proyek yang dapat disesuaikan untuk banyak kelas bahasa. Mereka juga menawarkan saran untuk memperkenalkan siswa dengan ide-berpusat, aktivitas siswa melalui penghubung-strategi (Fried-Booth, 1986) dan memimpin-dalam kegiatan (Haines, 1989), terutama berguna jika siswa tidak terbiasa dengan pekerjaan proyek dan penekanannya pada inisiatif siswa dan otonomi.
Sheppard dan Stoller (1995) mengusulkan suatu urutan 8-langkah kegiatan untuk mendalangi pekerjaan proyek dalam kelas ESP. Model Thailand telah melakukan fine-tuned, setelah pengujian di sebuah ruang kelas Ragam bahasa dan kursus-kursus pelatihan guru. Urutan 10-langkah baru (lihat Gambar 1) yang dijelaskan di sini secara rinci. Model direvisi memberikan mudah-untuk-mengelola struktur 10 pekerjaan proyek dan guru pemandu dan siswa dalam mengembangkan proyek-proyek yang memfasilitasi pembelajaran bermakna konten dan memberikan kesempatan bagi pengajaran bahasa yang eksplisit pada saat-saat kritis dalam proyek tersebut. Ini bahasa "intervensi" pelajaran akan membantu siswa menyelesaikan proyek mereka berhasil dan akan dihargai oleh siswa karena penerapannya langsung mereka dan relevansi. Langkah-langkah intervensi bahasa (4, 6, dan 8) adalah opsional dalam pendidikan guru kursus, tergantung pada kemahiran bahasa dan kebutuhan guru dalam pelatihan.
F. Mengembangkan Proyek di Kelas Bahasa
Untuk memahami fungsi dari setiap langkah yang diusulkan, bayangkan kelas EAP berbasis konten yang berfokus pada Amerika elections. (Sebuah diskusi paralel bisa, dikembangkan (atau kelas-umum Inggris, GAP, ESP, Inggris kejuruan, dan se4bagaimana yang berfokus pada lembaga Amerika, demografi, alternatif energi, keamanan pertanian, desain fashion, kesehatan, mobil yang ideal, polusi serangga asli Amerika, hutan hujan, tata surya, dll). Unit tematik terstruktur sehingga dalam struktur dan siswa dapat mengeksplorasi berbagai topik, cabang dari pemerintah AS, proses pemilu, partai politik dengan
Ideologi mereka dan platform yang sesuai, dan pilihan perilaku. Informasi tentang topik ini diperkenalkan melalui buku bacaan, surat kabar, dan majalah berita; grafik dan diagram, video, dictocomps; guru yang dihasilkan memberi dan mencatat kegiatan; diskusi kelas formal dan informal dan kerja kelompok; pembicara tamu, dan materi promosi partai politik US. Sambil menjelajahi topik ini dan mengembangkan beberapa tingkat keahlian tentang pemilu Amerika, siswa meningkatkan listening dan mencatat keterampilan, kemampuan membaca, akurasi dan kefasihan dalam berbicara, menulis kemampuan, kemampuan belajar, dan keterampilan berpikir kritis. Untuk bingkai diskusi ini, perlu dicatat bahwa unit tematik tertanam ketrampilan secara terpadu, kursus berbasis konten dengan tujuan sebagai berikut:
• Untuk mendorong siswa untuk menggunakan bahasa dalam mempelajari sesuatu yang baru tentang topik yang menarik.
• Untuk mempersiapkan siswa dalam belajar materi pelajaran melalui bahasa Inggris
• Untuk mengekspos siswa dalam konten dari berbagai sumber informasi untuk membantu mereka meningkatkan bahasa akademis mereka dan kemampuan belajar.
• Untuk melengkapi para siswa dengan sumber daya konteks dalam memahami bahasa dan isi.
• Untuk mensimulasikan kerasnya kursus akademis dalam lingkungan terlindung.
• Untuk mempromosikan kemandirian siswa dan keterlibatan dengan belajar.
Setelah diperkenalkan ke unit tema dan kosakata yang paling mendasar dan konsep, instruktur memperkenalkan sebuah proyek semiterstruktur yang akan ditenun menjadi pelajaran kelas dan rentang panjang unit tematik. Guru telah membuat beberapa keputusan tentang proyek: Siswa akan panggung perdebatan politik simulasi yang membahas isu-isu politik dan sosial kontemporer. Untuk merangsang bunga dan rasa kepemilikan dalam proses, instruktur akan bekerja dengan siswa untuk memutuskan masalah yang akan diperdebatkan, jumlah dan jenis partai politik yang diwakili dalam perdebatan, format debat dan sarana untuk menilai perdebatan. Untuk berpindah dari konsepsi awal proyek untuk perdebatan yang sebenarnya, instruktur dan siswa mengikuti sepuluh langkah.
Fredricka L. Stoller (Langkah-Langkah Kegiatan)
Pigure 1 : Memasukkan Proyek Ke Kelas Bahasa
Langkah I: Guru dan Siswa Menentukan Tema Untuk Proyek
Untuk mengatur ruangan, guru memberi siswa kesempatan untuk membentuk kelompok kerja dan bertukar pandangan, atau pendapat dan menentukan berkomitmen. Kemudian duru menyepakati pandangan-pandangan siswa, kemudian siswa dapat menyempurnakan tema proyek. Sementara membentuk proyek bersama, siswa mencari menentukan referensi seperti: bahan bacaan, video, diskusi, dan kegiatan kelas.
Langkah 2: Guru dan Siswa Menentukan Hasil Akhir (hipotesis)
Sedangkan tahap pertama proyek kerja menetapkan langkah-langkah awal proyek kerja, langkah kedua memerlukan mendefinisikan titik akhir, atau hasil akhir. Siswa dan instruktur mempertimbangkan sifat proyek, tujuan, dan sarana paling tepat untuk mewujudkan proyek. Mereka dapat memilih dari berbagai pilihan, termasuk, poster atau layar papan berita, debat, presentasi lisan, paket informasi, buku pegangan, buku acuan, brosur, koran, atau video.
Dalam kasus proyek pemilu Amerika, guru telah memutuskan bahwa hasil akhir akan sebuah debat publik antara dua partai politik (fiktif). Dalam tahap kedua dari proyek tersebut, siswa mengambil bagian dalam mendefinisikan sifat menemukan format perdebatan dan menunjuk audiens yang dituju. Dengan bantuan instruktur, diputuskan bahwa kelas akan membagi dirinya menjadi lima tim topikal, masing-masing bertanggung jawab untuk memperdebatkan salah satu masalah yang sebelumnya diidentifikasi; tim topikal akan menghasilkan proposisi diperdebatkan tentang masalah mereka yang ditunjuk dan kemudian membagi menjadi dua sub kelompok sehingga bahwa setiap sisi masalah dapat diwakili dalam perdebatan. Siswa juga akan dikelompokkan menjadi dua partai politik, yang mereka akan nama sendiri, dengan satu sisi dari setiap masalah terwakili dalam partai politik; isu-isu dan perspektif yang sesuai akan membentuk platform partai. Perdebatan 40-menit itu disusun sebagai berikut.
Pidato pembukaan
Perwakilan dari pihak pertama 1 menit
Perwakilan dari pihak kedua 1 menit
Isu 1
Pihak perwakilan yang mendukung proposisi 2 menit
Pihak perwakilan yang menentang proposisi 2 menit
Sanggahan Isu 1
perwakilan lain yang mendukung proposisi 1 menit
Perwakilan lain yang menentang proposisi 1 menit
Isu 2-5
(Pola Sama seperti isu 1) 24 menit
Pertanyaan dan jawaban -
dari pendengar untuk perwakilan pihak lain 6 menit
Penutup
Pembicara dari pihak kedua 1 menit
Pembicara dari pihak pertama 1 menit
Langkah 3: Guru Dan Siswa Menetukan Struktur Proyek
Setelah siswa telah menentukan titik awal dan akhir proyek, mereka perlu struktur "tubuh" dari proyek. Pertanyaan yang siswa harus dipertimbangkan adalah sebagai berikut: Informasi apa yang dibutuhkan untuk menyelesaikan proyek) Bagaimana Informasi yang diperoleh (misalnya di perpustakaan, wawancara, catatan, faks E-mail, website, kunjungan lapangan, tampilan. video)? Bagaimana informasi, setelah dikumpulkan, dikompilasi dan dianalisis? Apa peran masing-masing yang dimainkan siswa dalam evolusi proyek (yaitu, siapa melakukan apa?) Apa baris waktu akan siswa ikuti untuk mendapatkan dari titik berbuat dosa sampai titik akhir? Jawaban banyak dari pertanyaan bergantung pada lokasi program bahasa dan jenis informasi yang mudah dijangkau (mungkin dikumpulkan sebelumnya oleh instruktur) dan orang-orang yang harus diminta oleh mail "kecil", surat elektronik, faks, atau panggilan telepon.
Langkah 4: Guru Membimbing Siswa dalam Menentukan Cara Megumpulkan
Informasi dan Data yang di Bahas
Dalam langkah ini cara pengumpulan data ditentukan oleh guru, dan siswa berkonsultasi kepada guru tentang bagaimana cara pengumpulan informasi dengan menggunakan keterampilan bahasa (menuju langkah 5). Guru kemudian merencanakan kegiatan atau langkah-langkah untuk mempersiapkan siswa untuk mengumpulkan informasi. Misalnya, jika siswa akan mengumpulkan informasi dengan cara wawancara, instruktur mungkin rencana latihan pada susunan pertanyaan, memperkenalkan gambits percakapan, dan menyisihkan waktu untuk peran-bermain untuk memberikan umpan balik pada pengucapan dan untuk memungkinkan siswa untuk berlatih mendengarkan dan mengambil catatan atau rekaman audio. Di sisi lain, jika siswa akan menggunakan perpustakaan untuk mengumpulkan bahan, instruktur mungkin memeriksa langkah untuk mencari sumber daya dan menggelapkan praktek dan mencatat dengan teks sampel. Guru juga dapat membantu siswa menyusun grid untuk pengumpulan data yang terorganisir. Jika siswa akan menulis surat untuk meminta informasi untuk proyek mereka, guru dapat memperkenalkan atau meninjau konvensi format surat dan pertimbangan penonton, termasuk tingkat formalitas dan pilihan kata. Jika siswa akan menggunakan World Wide Web untuk mengumpulkan informasi, instruktur dapat meninjau efisiensi penggunaan teknologi ini.
Langkah 5: Siswa Mengumpulkan Informasi Atau Data
Setelah memahami penggunaan ilmu berbahasa, keterampilan, dan strategi yang diperlukan untuk mengumpulkan informasi, siswa sekarang siap untuk mengumpulkan informasi dan mengaturnya sehingga orang lain dalam tim mereka dapat memahaminya. Dalam proyek yang disorot di sini, siswa membaca bacaan saja dengan mencari bahan yang relevan, menggunakan perpustakaan dukungan baru dan informasi diminta yang mungkin dapat digunakan dalam perdebatan. Selama tahap pengumpulan data, guru, mengetahui masalah dan proposisi yang diteliti, juga membawa informasi yang berpotensi relevan untuk dipertimbangkan siswa, seperti bahan bacaan, video, dictocomps, dan pengarahan-pengarahan dari guru.
Langkah 6: Guru Membimbing Siswa Untuk Melakukan Kegiatan Kompilasi Dan Analisis Data
Setelah berhasil mengumpulkan informasi, siswa dihadapkan dengan tantangan pengorganisasian dan mensintesis informasi yang mungkin telah dikumpulkan dari sumber yang berbeda dan oleh individu yang berbeda. Guru dapat mempersiapkan siswa untuk tuntutan dari tahap kompilasi dan analisis dengan mengadakan sesi di mana siswa mengatur bahan, dan kemudian mengevaluasi, menganalisis, dan menafsirkan dengan sudut pandang ke arah penentukan yang paling tepat untuk (pendukung dan penentang dari proposisi yang diberikan siswa. Memperkenalkan. untuk representasi grafis (misalnya, grid dan grafik) yang dapat menyoroti hubungan antara ide-ide ini sangat berguna pada saat ini.
Langkah 7: Siswa Menganalisis Informasi
Dengan bantuan dari berbagai teknik organisasi (termasuk penggunaan grafis), siswa menyusun dan menganalisa informasi untuk mengidentifikasi data yang relevan dengan proyek. Tim mahasiswa menimbang nilai dari data yang dikumpulkan, membuang beberapa karena ketidaksesuaian mereka untuk proyek dan sisanya menjaga, Siswa menentukan informasi merupakan primer "bukti" bagi para pendukung dan penentang proposisi mereka. Hal ini pada titik ini bahwa tim topikal membagi diri menjadi dua kelompok dan mulai bekerja secara terpisah untuk membangun kasus terkuat untuk perdebatan.
Langkah 8: Guru Membimbing Siswa untuk Menyiapkan Bahasa Presentasi dari
Produk Akhir
Pada titik ini dalam pengembangan proyek, instruktur dapat membawa perbaikan dalam kegiatan bahasa untuk membantu siswa berhasil dengan penyajian produk akhir mereka. Hal ini mungkin memerlukan mempraktekkan keterampilan presentasi lisan dan menerima umpan balik pada proyeksi suara, pengucapan, organisasi ide, dan kontak mata. Ini mungkin melibatkan pengeditan dan merevisi laporan tertulis, surat, atau buletin-papan teks tampilan. Dalam kasus proyek debat pemilu Amerika, instruktur terfokus pada percakapan gambits akan digunakan selama debat untuk menunjukkan ketidaksetujuan sopan dan menawarkan perspektif yang berbeda (lihat Mach, Stoller, & Tardy, 1997). Siswa berlatih presentasi lisan mereka dan mencoba hipotesis pertanyaan mereka akan diminta oleh lawan. Mereka waktunya satu sama lain dan menyimpan setiap umpan balik lain pada konten, pilihan kata, persuasi, dan intonasi. Siswa juga bekerja dengan "seniman" dalam kelompok mereka untuk menyelesaikan tampilan visual, untuk memastikan mereka tata bahasa yang benar dan mudah ditafsirkan oleh penonton. Siswa juga menciptakan selebaran mengumumkan perdebatan (lihat Lampiran), yang menjabat sebagai undangan dan pengingat bagi anggota audiens.
Langkah 9: Siswa Menyajikan Produk Akhir
Siswa sekarang siap untuk menyajikan hasil akhir proyek mereka Dalam proyek yang dipilih , mahasiswa menggelar debat mereka di depan audiens. Penonton memilih pada kepersuasifan setiap partai politik, dan pemenang diumumkan. Dalam kasus yang dijelaskan di sini, perdebatan itu direkam sehingga siswa nantinya dapat meninjau kinerja perdebatan mereka dan menerima umpan balik dari instruktur dan rekan-rekan mereka.
Langkah 10: Siswa Mengevaluasi Proyek
Meskipun siswa dan guru sama-sama shering melihat presentasi dari produk akhir sebagai tahap terakhir dalam proses pekerjaan proyek, adalah sangat berguna untuk meminta siswa untuk bercermin pada pengalaman sebagai langkah terakhir dan final job. Siswa dapat mencerminkan kemampuan mereka pada pemahaman bahasa yang mereka kuasai untuk menyelesaikan proyek, konten yang mereka pelajari tentang tema yang ditargetkan (dalam kasus yang disorot di sini), langkah-langkah mereka diikuti untuk menyelesaikan proyek, dan efektivitas dari produk akhir mereka. Siswa dapat bertanya bagaimana mereka bisa melanjutkan dilain waktu berikutnya atau apa saran yang mereka dapatkan untuk usaha pekerjaan proyek masa depan. Melalui kegiatan ini reflektif, siswa menyadari betapa banyak yang telah mereka pelajari dan manfaat dari wawasan guru siswa untuk proyek-proyek kelas masa depan.
KESIMPULAN
Pembelajaran berbasis konten atau isi dan proyek kerja menyediakan dua sarana untuk membuat lingkungan kelas bahasa lebih bersemangat untuk belajar berkolaborasi. Proyek kerja, bagaimanapun, tidak ada batasan pada pembelajaran berbasis konten kelas bahasa. Bahasa guru di kelas yang lebih tradisional, bisa diversifikasi arahkan dengan proyek sesekali. Demikian pula, guru pendidik dapat mengintegrasikan proyek ke dalam program mereka untuk memperkuat isu-isu pedagogis penting, dan memberikan peserta pelatihan dengan pengalaman, sebuah proses yang dapat diintegrasikan ke dalam kelas masa depan mereka sendiri. Apakah pusat proyek, demografi, pendidikan perdamaian, desain silabus, atau metodologi, siswa berbagai tingkat dan kebutuhan bisa mendapatkan keuntungan dari pengalaman yang memberdayakan yang hasil dari partisipasi dan kolaborasi dalam proyek. Meskipun pekerjaan proyek dapat lebih mudah untuk diimplementasikan dalam pengaturan bahasa kedua karena sumber daya konten yang lebih mudah diakses, pendekatan proyek kerja dapat sukses dan bermanfaat bagi guru dan siswa.
SARANA UNTUK MEMPROMOSIKAN BAHASA DAN KONTEN
Di Tulis Untuk Memenuhi Tugas
Materi Kuliah Landasan dan Kebijakan Pendidikan
Dosen pembimbing:
Dr. Suhartono dan Dr. Syamsul Sodiq
Oleh:
Agus Paramuriyanto
Nim: 117835008
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
PASCASARJANA UNESA SURABAYA
TAHUN 2011/ 2012
SEBUAH PENGANTAR
Dalam beberapa tahun terakhir, peningkatan jumlah pendidik bahasa telah beralih pembelajaran berbasis konten dan proyek kerja untuk mempromosikan pengertian keterlibatan siswa dengan bahasa dan pembelajaran konten. Melalui instruksi berbasis konten, peserta didik mengembangkan kemampuan bahasa sembari menjadi warga dunia yang universal. Dengan mengintegrasikan proyek kerja ke kelas berbasis konten, pendidik menciptakan lingkungan belajar yang dinamis yang mengharuskan keterlibatan siswa yang aktif, merangsang kemampuan berpikir menuju level yang lebih tinggi, dan memberi siswa tanggung jawab untuk pelajaran mereka sendiri. Ketika menerapkan rencana kerja ke dalam kelas berbasis konten. Instruktur menjauhkan diri dari guru dominasinya instruksi dan bergerak ke arah menciptakan komunitas penelitian siswa yang melibatkan pembelajaran kooperatif komunikasi otentik, kolaborasi, dan pemecahan masalah.
Pada artikel ini, kami akan memberikan pemikiran untuk instruksi berbasis konten dan menunjukkan bagaimana proyek kerja dapat diintegrasikan ke dalam kelas berbasis konten. kemudian kami akan menguraikan karakteristik utama dari rencana kerja tersebut, memperkenalkan rencana kerja dalam berbagai konfigurasi, dan ada panduan praktis untuk peruntunan dan mengembangkan rencana. Ini adalah harapan kami bahwa bahasa guru dan pendidik akan dapat mengadaptasi ide-ide yang disajikan disini untuk meningkatkan instruksi kelas mereka.
A. Dasar Pemikiran Content-Based Instruction
Content-Based Instruction (CBI) telah digunakan dalam berbagai konteks pembelajaran bahasa, meskipun popularitas dan penerapan yang lebih luas telah meningkat secara dramatis sejak awal 1990-an. kepraktisan CBI ini menjadikannya sebuah pendekatan menarik untuk pengajaran bahasa:
“ Dalam pendekatan berbasis konten, aktivitas kelas bahasa ditujukan kusus pada materi pelajaran yang diajarkan, dan diarahkan untuk merangsang siswa untuk berpikir dan belajar melalui penggunaan target bahasa. Pendekatan semacam ini secara alamiah cocok untuk pengajaran terintegrasi dari empat keterampilan bahasa tradisional. Contoh: penggunaan bahan bacaan otentik yang membutuhkan siswa berpikir tidak hanya memahami informasi tetapi untuk menafsirkan dan mengevaluasinya juga. CBI menyediakan sebuah forum dimana siswa dapat merespon secara lisan untuk membaca dan sebagai bahan ajar. Hal ini menyatakan bahwa tulisan akademik tersebut mencakup mendengarkan dan membaca, dan dengan demikian mengharuskan siswa untuk mensintesis fakta dan ide-ide dari berbagai sumber sebagai persiapan untuk menulis. Dalam pendekatan ini, siswa yang diarahkan untuk belajar keterampilan dan belajar berbagai keterampilan bahasa yang mana mempersiapkan mereka untuk berbagai tugas akademis yang akan mereka hadapi. (Brinton, Snow, & Wesche, 1989, hal 2)
Kutipan ini mencerminkan sebuah kumpulan konsistensi deskripsi oleh praktisi CBI yang ada untuk mengapresiasi, banyak cara yang CBI tawarkan tentang Kondisi ideal untuk pembelajaran bahasa. Penelitian di akuisisi bahasa kedua menawarkan dukungan tambahan untuk CBI, namun beberapa bukti yang paling persuasif berasal dari penelitian dalam psikologi pendidikan dan kognitif, meskipun agak bergeser dari konteks pembelajaran bahasa. Empat temuan dari penelitian di pendidikan dan psikologi kognitif yang menekankan manfaat dari CBI yang perlu diperhatikan:
1. Materi yang terorganisasi secara tematik, ciri khas dari kelas berbasis konten, lebih mudah untuk mengingat dan belajar (Singer. 1990).
2. Presentasi informasi yang koheren dan bermakna, karakteristik terorganisir kurikulum berbasis konten, menyebabkan proses lebih dalam dan belajar lebih baik (Anderson, 1990).
3. Terdapat sebuah hubungan antara motivasi siswa dan minat siswa - hasil umum kelas berbasis konten dan kemampuan siswa untuk memproses materi yang menantang, mengingat informasi, dan ketelitian (Alexander, Kulikowich, & Jetton, 1994).
4. Keahlian dalam sebuah topik berkembang ketika peserta didik menginvestasikan kembali pengetahuan mereka dalam urutan tugas yang lebih kompleks (Bereiter & Scardamalia, 1993), dapat dengan mudah dalam kelas berbasis konten dan biasanya mengabsen di kelas bahasa yang lebih tradisional karena fokus yang sempit pada aturan bahasa atau waktu yang terbatas pada pengembangan dangkal dan topik yang berbeda (misalnya, kurikulum didasarkan pada bacaan singkat pada gedung pencakar langit dari New York. diikuti oleh sebuah bagian tentang sejarah permen karet, kemudian diikuti oleh sebuah esai tentang gunung berapi dari orang-orang Northwest Amerika ).
Temuan-temuan empiris penelitian ini, bila dikombinasikan dengan manfaat praktis dari integrasi konten dan pembelajaran bahasa, menyediakan argumen persuasif yang mendukung CBI. Bahasa pendidik yang mengadopsi orientasi berbasis konten akan menemukan bahwa CBI juga memungkinkan untuk menggabungkan pengajaran bahasa yang eksplisit (meliputi, misalnya, tata bahasa, percakapan gambits, fungsi, gagasan, dan keterampilan), sehingga memuaskan bahasa siswa dan kebutuhan konten pembelajaran dalam konteks (lihat Grabe & Stoller, 1997 untuk pemikiran yang lebih maju untuk CBI).
B. Proyek Kerja sebagai Ekstensi Alamiah dari CBI
CBI memungkinkan untuk integrasi alami dari bunyi praktek pembelajaran bahasa seperti sarana alternatif penilaian, belajar magang, pembelajaran kooperatif, instruksi keterampilan terpadu, pekerjaan proyek, perancah, pelatihan strategi, dan penggunaan penyelenggara grafis. Meskipun masing-masing praktek mengajar layak didiskusikan, artikel ini hanya akan fokus pada proyek kerja dan perannya dalam format instruksional berbasis konten.
Beberapa ahli bahasa menyamakan proyek kerja dengan kelompok kerja di dalam kelas, pembelajaran kooperatif atau lebih rumit tugas berbasis kegiatan. Ini adalah tujuan dari artikel ini, bagaimanapun, untuk menggambarkan bagaimana proyek kerja mewakili lebih dari kerja kelompok per se. Pembelajaran berbasis proyek harus dipandang sebagai kendaraan serbaguna untuk bahasa terintegrasi dan pembelajaran konten, membuatnya menjadi pilihan yang layak bagi pendidik bahasa bekerja di berbagai pengaturan instruksional, termasuk general English, English for Academic Purpose (EAP), English for Spesific Purpose (ESP), dan bahasa Inggris untuk tujuan kerja/ kejuruan/ profesional, sebagai tambahan didalam pelatihan guru baik di ruang lingkup formal ataupun nonformal. proyek Kerja dipandang oleh sebagian pendukungnya "bukan sebagai pengganti metode pencucian lainnya", melainkan sebagai "suatu pendekatan untuk belajar yang melengkapi metode mainstream dan yang dapat digunakan oleh hampir semua tingkatan, usia dan kemampuan siswa" (Haines , 1989 hal.1).
Di kelas dimana sebuah komitmen telah dijadikan sebagai pembelajaran konten serta pembelajaran bahasa (yaitu, kelas berbasis konten), proyek kerja ini sangat efektif karena itu merupakan perubahan alami dari apa yang sudah terjadi di kelas. misalnya, dalam kelas EAP terstruktur seputar topik lingkungan, sebuah proyek yang melibatkan pengembangan menampilkan poster menyarankan cara di mana sekolah siswa mungkin terlibat dalam praktek lebih ramah lingkungan suara akan menjadi hasil alami dari isi dan bahasa kegiatan belajar yang terjadi di kelas. Dalam kursus bahasa Inggris kejuruan berfokus pada pariwisata, pengembangan brosur promosi menyoroti tempat menarik di kota. siswa akan mendapatkan pelajaran dengan cara alami dari kurikulum. Dalam kursus bahasa Inggris umum yang difokuskan pada kota di negara-negara berbahasa Inggris, siswa dapat membuat publik papan buletin menampilkan dengan informasi bergambar dan ditulis pada kota-kota yang ditargetkan. Dalam ESP; kursus hukum internasional, laporan tertulis membandingkan dan mengkontraskan sistem hukum Amerika dan rumah-sistem hukum negara mahasiswa 'merupakan sebuah proyek "yang berarti memungkinkan untuk sintesis, analisis, dan isi kursus.
Proyek kerja sama dengan keefektifan dalam pembelajaran guru kursus. Jadi, dalam kursus tentang pengembangan materi, handbook siswa yang dihasilkan terdiri dari latihan generik untuk praktek keterampilan bahasa pada tingkat kemahiran yang berbeda tentang keahlian berbahasa inggris yang menunjukkan sebuah manfaat dan praktek kerja yang dapat digunakan di kemudian hari sebagai alat referensi guru.
Keuntungannya adalah bahwa pengalaman guru dalam masa pelatihan dengan bisa menjadi pembelajaran berbasis proyek, pada masanya, dapat di transfer ke perencanaan pelajaran mereka sendiri di masa depan (J. Mohanraj, komunikasi pribadi Juni 5, 1997.) Contoh - contoh ini hanya mewakili beberapa kemungkinan yang tersedia bagi guru dan siswa ketika memasukkan proyek kerja ke dalam kurikulum berbasis konten.
C. Karakteristik Dasar Proyek Kerja
Proyek kerja telah dijelaskan oleh sejumlah pendidik bahasa, termasuk Carter dan Thomas (1986), Ferragatti dan Carminati (1984), Fried-Booth (1982,1986), Haines (1989), Ugutke (1984,1985), Legutke dan Thiel (1983), Papandreou (1994), Sheppard dan Stoller (1995), dan Ward (1988). Meskipun masing-masing pendidik telah mendekati suatu proyek pekerjaan dari suatu karya, namun disini cara kerja proyek kerja dijelaskan sebagai berikut:
1. Proyek kerja yang berfokus pembelajaran konten bukan pada target bahasa tertentu. Subjek materi yang nyata dan topik yang menarik bagi siswa dapat menjadi pusat untuk proyek-proyek pekerjaan.
2. Proyek kerja berpusat pada siswa, meskipun guru memainkan peran utama dalam menawarkan dukungan dan bimbingan selama proses berlangsung.
3. Proyek kerja menekankan Siswa mandiri atau bisa bekerja sendiri, dalam kelompok kecil, atau sebagai kelompok untuk menyelesaikan sebuah proyek, sumber daya, berbagi ide, dan menjadikannya keahlian di sepanjang jalan.
4. Proyek kerja mengarah ke integrasi otentik keterampilan dan pengolahan informasi dari berbagai sumber, mirroring tugas pada kehidupan nyata.
5. Proyek kerja memuncak dalam produk akhir (misalnya, presentasi lisan, sesi poster, tampilan papan buletin, laporan, atau pertunjukan panggung) yang dapat dibagi dengan orang lain, memberi proyek sebuah tujuan yang nyata. Nilai proyek, namun, terletak tidak hanya pada produk akhir tetapi dalam proses kerja menuju titik akhir. Jadi, kerja proyek memiliki keduanya proses dan orientasi produk, dan memberikan kesempatan pada siswa untuk fokus pada kelancaran dan akurasi pada berbagai proyek tahap pekerjaan.
6. Proyek kerja berpotensi memotivasi, merangsang, memberdayakan, dan menantang. Biasanya hasil dalam membangun rasa percaya diri siswa, harga diri, dan otonomi serta meningkatkan ketrampilan berbahasa siswa, belajar konten, dan kemampuan kognitif.
D. Proyek Kerja dan Berbagai Konfigurasinya
Meskipun serupa dalam banyak cara, proyek kerja dapat mengambil konfigurasi yang beragam. Format yang paling cocok untuk konteks yang diberikan tergantung pada berbagai faktor, termasuk faktor tujuan kurikuler, harapan, tingkat kemampuan siswa, minat siswa, kendala waktu, dan ketersediaan bahan. Ditinjau dari jenisp royek yang akan didemontrasikan itu mencakup ruang lingkupnya, fleksibilitas, dan adaptasi dari proyek kerja.
Proyek kerja mengukur sejauh mana kekompakan guru dan siswa memutuskan sifat dan urutan kegiatan yang terkait dengan proyek, seperti yang ditunjukkan oleh tiga jenis proyek yang diusulkan oleh Henry (1994): struktur proyek itu ditentukan, dikhususkan dan diorganisasikan oleh guru dalam hal topik, bahan, metodologi, dan presentasi. Sebagian besar struktur proyek didefinisikan oleh siswa sendiri, dan semiterstruktur proyek didefinisikan dan diatur sebagian oleh guru dan sebagian oleh siswa.
Proyek kerja dapat dihubungkan dengan kenyataan dilapangan (misalnya ketika siswa-siswa ESP Italia mendesain selebaran untuk agen perjalanan asing di luar Eropa menggambarkan keuntungan standardisasi Masyarakat Eropa tentang sistem listrik sebagai langkah menuju persatuan Eropa, atau ketika siswa bahasa Inggris umum di sebuah sekolah internasional yang menciptakan layar papan buletin publik - dengan foto dan teks didasarkan pada wawancara ekstensif dengan EFL fakultas memperkenalkan mahasiswa baru untuk guru EFL mereka), Proyek juga dapat dihubungkan dengan simulasi masalah dunia nyata (misalnya, ketika EAP siswa dipentaskan untuk perdebatan tentang pro dan kontra dari sensor sebagai bagian dari unit berbasis konten pada sensor). Proyek juga dapat mempengaruhi ketertarikan siswa, dengan atau tanpa signifikansi dunia nyata (misalnya saat bahasa Inggris umum merencanakan perjalanan lapangan yang rumit ke bandara internasional di mana mereka melakukan wawancara ekstensif dan rekaman video wisatawan internasional, lihat Ferragatti & Carminati, 1984; Legulke, 1984; 1985; Legutke & Thiel, 1983).
Proyek juga dapat berbeda dalam teknik pengumpulan data dan sumber informasi seperti yang ditunjukkan oleh jenis proyek. Proyek penelitian memerlukan pengumpulan informasi melalui penelitian perpustakaan. Demikian pula, proyek teks melibatkan "teks" (misalnya, sastra, laporan, media berita, video dan materi audio, atau informasi berbasis komputer) daripada orang. Korespondensi proyek membutuhkan komunikasi dengan individu (atau bisnis, lembaga pemerintah, sekolah, atau kamar dagang) untuk meminta informasi dengan cara faks, panggilan telepon, atau surat elektronik. Proyek survei berarti menciptakan instrumen survei dan kemudian mengumpulkan dan menganalisis data dari "informan." Pertemuan proyek mengakibatkan kontak tatap muka dengan pembicara tamu atau individu di luar kelas. (Lihat Haines, 1989 dan Legutke & Thomas, 1991 untuk penjelasan lebih rinci dari jenis proyek.)
Proyek juga mungkin berbeda dalam cara bahwa informasi "dilaporkan" sebagai bagian dari kegiatan puncak (lihat Haines, 1989). Proyek produksi melibatkan penciptaan buletin-papan display, video, program radio, sesi poster, laporan tertulis, esai foto, surat, buku panduan, brosur, menu perjamuan, jadwal perjalanan, dan sebagainya. Kinerja proyek dapat mengambil bentuk panggung debat, presentasi lisan, pertunjukan teater, pameran makanan atau fashion show. Proyek organisasi memerlukan perencanaan dan pembentukan sebuah meja percakapan klub, atau program percakapan-mitra.
Apapun konfigurasinya, proyek dapat dilakukan secara intensif selama periode waktu yang singkat atau diperpanjang selama beberapa minggu, atau satu semester penuh, mereka dapat diselesaikan oleh siswa secara individu, dalam kelompok kecil, atau sebagai kelas, dan mereka dapat berlangsung sepenuhnya dalam batas-batas kelas atau dapat memperluas di luar dinding kelas dalam masyarakat atau dengan orang lain melalui berbagai bentuk korespondensi.
E. MEMASUKKAN PROYEK KERJA KE DALAM KELAS
Proyek kerja, apakah hal ini terintegrasi ke dalam sebuah unit berbasis konten tematik atau diperkenalkan sebagai urutan khusus dari kegiatan di kelas yang lebih tradisional, memerlukan beberapa keberhasilan tahapan pembangunan. Fried-Booth (1986) mengusulkan proses multi-langkah yang mudah diikuti yang dapat membimbing guru dalam mengembangkan dan peruntutan pekerjaan proyek untuk ruang kelas mereka. Demikian pula, Haines (1939) menyajikan deskripsi langsung dan bermanfaat tentang proyek kerja dan langkah-langkah yang diperlukan untuk keberhasilan pelaksanaan. Baik Fried-Booth dan Haines volume termasuk deskripsi rinci dari proyek-proyek yang dapat disesuaikan untuk banyak kelas bahasa. Mereka juga menawarkan saran untuk memperkenalkan siswa dengan ide-berpusat, aktivitas siswa melalui penghubung-strategi (Fried-Booth, 1986) dan memimpin-dalam kegiatan (Haines, 1989), terutama berguna jika siswa tidak terbiasa dengan pekerjaan proyek dan penekanannya pada inisiatif siswa dan otonomi.
Sheppard dan Stoller (1995) mengusulkan suatu urutan 8-langkah kegiatan untuk mendalangi pekerjaan proyek dalam kelas ESP. Model Thailand telah melakukan fine-tuned, setelah pengujian di sebuah ruang kelas Ragam bahasa dan kursus-kursus pelatihan guru. Urutan 10-langkah baru (lihat Gambar 1) yang dijelaskan di sini secara rinci. Model direvisi memberikan mudah-untuk-mengelola struktur 10 pekerjaan proyek dan guru pemandu dan siswa dalam mengembangkan proyek-proyek yang memfasilitasi pembelajaran bermakna konten dan memberikan kesempatan bagi pengajaran bahasa yang eksplisit pada saat-saat kritis dalam proyek tersebut. Ini bahasa "intervensi" pelajaran akan membantu siswa menyelesaikan proyek mereka berhasil dan akan dihargai oleh siswa karena penerapannya langsung mereka dan relevansi. Langkah-langkah intervensi bahasa (4, 6, dan 8) adalah opsional dalam pendidikan guru kursus, tergantung pada kemahiran bahasa dan kebutuhan guru dalam pelatihan.
F. Mengembangkan Proyek di Kelas Bahasa
Untuk memahami fungsi dari setiap langkah yang diusulkan, bayangkan kelas EAP berbasis konten yang berfokus pada Amerika elections. (Sebuah diskusi paralel bisa, dikembangkan (atau kelas-umum Inggris, GAP, ESP, Inggris kejuruan, dan se4bagaimana yang berfokus pada lembaga Amerika, demografi, alternatif energi, keamanan pertanian, desain fashion, kesehatan, mobil yang ideal, polusi serangga asli Amerika, hutan hujan, tata surya, dll). Unit tematik terstruktur sehingga dalam struktur dan siswa dapat mengeksplorasi berbagai topik, cabang dari pemerintah AS, proses pemilu, partai politik dengan
Ideologi mereka dan platform yang sesuai, dan pilihan perilaku. Informasi tentang topik ini diperkenalkan melalui buku bacaan, surat kabar, dan majalah berita; grafik dan diagram, video, dictocomps; guru yang dihasilkan memberi dan mencatat kegiatan; diskusi kelas formal dan informal dan kerja kelompok; pembicara tamu, dan materi promosi partai politik US. Sambil menjelajahi topik ini dan mengembangkan beberapa tingkat keahlian tentang pemilu Amerika, siswa meningkatkan listening dan mencatat keterampilan, kemampuan membaca, akurasi dan kefasihan dalam berbicara, menulis kemampuan, kemampuan belajar, dan keterampilan berpikir kritis. Untuk bingkai diskusi ini, perlu dicatat bahwa unit tematik tertanam ketrampilan secara terpadu, kursus berbasis konten dengan tujuan sebagai berikut:
• Untuk mendorong siswa untuk menggunakan bahasa dalam mempelajari sesuatu yang baru tentang topik yang menarik.
• Untuk mempersiapkan siswa dalam belajar materi pelajaran melalui bahasa Inggris
• Untuk mengekspos siswa dalam konten dari berbagai sumber informasi untuk membantu mereka meningkatkan bahasa akademis mereka dan kemampuan belajar.
• Untuk melengkapi para siswa dengan sumber daya konteks dalam memahami bahasa dan isi.
• Untuk mensimulasikan kerasnya kursus akademis dalam lingkungan terlindung.
• Untuk mempromosikan kemandirian siswa dan keterlibatan dengan belajar.
Setelah diperkenalkan ke unit tema dan kosakata yang paling mendasar dan konsep, instruktur memperkenalkan sebuah proyek semiterstruktur yang akan ditenun menjadi pelajaran kelas dan rentang panjang unit tematik. Guru telah membuat beberapa keputusan tentang proyek: Siswa akan panggung perdebatan politik simulasi yang membahas isu-isu politik dan sosial kontemporer. Untuk merangsang bunga dan rasa kepemilikan dalam proses, instruktur akan bekerja dengan siswa untuk memutuskan masalah yang akan diperdebatkan, jumlah dan jenis partai politik yang diwakili dalam perdebatan, format debat dan sarana untuk menilai perdebatan. Untuk berpindah dari konsepsi awal proyek untuk perdebatan yang sebenarnya, instruktur dan siswa mengikuti sepuluh langkah.
Fredricka L. Stoller (Langkah-Langkah Kegiatan)
Pigure 1 : Memasukkan Proyek Ke Kelas Bahasa
Langkah I: Guru dan Siswa Menentukan Tema Untuk Proyek
Untuk mengatur ruangan, guru memberi siswa kesempatan untuk membentuk kelompok kerja dan bertukar pandangan, atau pendapat dan menentukan berkomitmen. Kemudian duru menyepakati pandangan-pandangan siswa, kemudian siswa dapat menyempurnakan tema proyek. Sementara membentuk proyek bersama, siswa mencari menentukan referensi seperti: bahan bacaan, video, diskusi, dan kegiatan kelas.
Langkah 2: Guru dan Siswa Menentukan Hasil Akhir (hipotesis)
Sedangkan tahap pertama proyek kerja menetapkan langkah-langkah awal proyek kerja, langkah kedua memerlukan mendefinisikan titik akhir, atau hasil akhir. Siswa dan instruktur mempertimbangkan sifat proyek, tujuan, dan sarana paling tepat untuk mewujudkan proyek. Mereka dapat memilih dari berbagai pilihan, termasuk, poster atau layar papan berita, debat, presentasi lisan, paket informasi, buku pegangan, buku acuan, brosur, koran, atau video.
Dalam kasus proyek pemilu Amerika, guru telah memutuskan bahwa hasil akhir akan sebuah debat publik antara dua partai politik (fiktif). Dalam tahap kedua dari proyek tersebut, siswa mengambil bagian dalam mendefinisikan sifat menemukan format perdebatan dan menunjuk audiens yang dituju. Dengan bantuan instruktur, diputuskan bahwa kelas akan membagi dirinya menjadi lima tim topikal, masing-masing bertanggung jawab untuk memperdebatkan salah satu masalah yang sebelumnya diidentifikasi; tim topikal akan menghasilkan proposisi diperdebatkan tentang masalah mereka yang ditunjuk dan kemudian membagi menjadi dua sub kelompok sehingga bahwa setiap sisi masalah dapat diwakili dalam perdebatan. Siswa juga akan dikelompokkan menjadi dua partai politik, yang mereka akan nama sendiri, dengan satu sisi dari setiap masalah terwakili dalam partai politik; isu-isu dan perspektif yang sesuai akan membentuk platform partai. Perdebatan 40-menit itu disusun sebagai berikut.
Pidato pembukaan
Perwakilan dari pihak pertama 1 menit
Perwakilan dari pihak kedua 1 menit
Isu 1
Pihak perwakilan yang mendukung proposisi 2 menit
Pihak perwakilan yang menentang proposisi 2 menit
Sanggahan Isu 1
perwakilan lain yang mendukung proposisi 1 menit
Perwakilan lain yang menentang proposisi 1 menit
Isu 2-5
(Pola Sama seperti isu 1) 24 menit
Pertanyaan dan jawaban -
dari pendengar untuk perwakilan pihak lain 6 menit
Penutup
Pembicara dari pihak kedua 1 menit
Pembicara dari pihak pertama 1 menit
Langkah 3: Guru Dan Siswa Menetukan Struktur Proyek
Setelah siswa telah menentukan titik awal dan akhir proyek, mereka perlu struktur "tubuh" dari proyek. Pertanyaan yang siswa harus dipertimbangkan adalah sebagai berikut: Informasi apa yang dibutuhkan untuk menyelesaikan proyek) Bagaimana Informasi yang diperoleh (misalnya di perpustakaan, wawancara, catatan, faks E-mail, website, kunjungan lapangan, tampilan. video)? Bagaimana informasi, setelah dikumpulkan, dikompilasi dan dianalisis? Apa peran masing-masing yang dimainkan siswa dalam evolusi proyek (yaitu, siapa melakukan apa?) Apa baris waktu akan siswa ikuti untuk mendapatkan dari titik berbuat dosa sampai titik akhir? Jawaban banyak dari pertanyaan bergantung pada lokasi program bahasa dan jenis informasi yang mudah dijangkau (mungkin dikumpulkan sebelumnya oleh instruktur) dan orang-orang yang harus diminta oleh mail "kecil", surat elektronik, faks, atau panggilan telepon.
Langkah 4: Guru Membimbing Siswa dalam Menentukan Cara Megumpulkan
Informasi dan Data yang di Bahas
Dalam langkah ini cara pengumpulan data ditentukan oleh guru, dan siswa berkonsultasi kepada guru tentang bagaimana cara pengumpulan informasi dengan menggunakan keterampilan bahasa (menuju langkah 5). Guru kemudian merencanakan kegiatan atau langkah-langkah untuk mempersiapkan siswa untuk mengumpulkan informasi. Misalnya, jika siswa akan mengumpulkan informasi dengan cara wawancara, instruktur mungkin rencana latihan pada susunan pertanyaan, memperkenalkan gambits percakapan, dan menyisihkan waktu untuk peran-bermain untuk memberikan umpan balik pada pengucapan dan untuk memungkinkan siswa untuk berlatih mendengarkan dan mengambil catatan atau rekaman audio. Di sisi lain, jika siswa akan menggunakan perpustakaan untuk mengumpulkan bahan, instruktur mungkin memeriksa langkah untuk mencari sumber daya dan menggelapkan praktek dan mencatat dengan teks sampel. Guru juga dapat membantu siswa menyusun grid untuk pengumpulan data yang terorganisir. Jika siswa akan menulis surat untuk meminta informasi untuk proyek mereka, guru dapat memperkenalkan atau meninjau konvensi format surat dan pertimbangan penonton, termasuk tingkat formalitas dan pilihan kata. Jika siswa akan menggunakan World Wide Web untuk mengumpulkan informasi, instruktur dapat meninjau efisiensi penggunaan teknologi ini.
Langkah 5: Siswa Mengumpulkan Informasi Atau Data
Setelah memahami penggunaan ilmu berbahasa, keterampilan, dan strategi yang diperlukan untuk mengumpulkan informasi, siswa sekarang siap untuk mengumpulkan informasi dan mengaturnya sehingga orang lain dalam tim mereka dapat memahaminya. Dalam proyek yang disorot di sini, siswa membaca bacaan saja dengan mencari bahan yang relevan, menggunakan perpustakaan dukungan baru dan informasi diminta yang mungkin dapat digunakan dalam perdebatan. Selama tahap pengumpulan data, guru, mengetahui masalah dan proposisi yang diteliti, juga membawa informasi yang berpotensi relevan untuk dipertimbangkan siswa, seperti bahan bacaan, video, dictocomps, dan pengarahan-pengarahan dari guru.
Langkah 6: Guru Membimbing Siswa Untuk Melakukan Kegiatan Kompilasi Dan Analisis Data
Setelah berhasil mengumpulkan informasi, siswa dihadapkan dengan tantangan pengorganisasian dan mensintesis informasi yang mungkin telah dikumpulkan dari sumber yang berbeda dan oleh individu yang berbeda. Guru dapat mempersiapkan siswa untuk tuntutan dari tahap kompilasi dan analisis dengan mengadakan sesi di mana siswa mengatur bahan, dan kemudian mengevaluasi, menganalisis, dan menafsirkan dengan sudut pandang ke arah penentukan yang paling tepat untuk (pendukung dan penentang dari proposisi yang diberikan siswa. Memperkenalkan. untuk representasi grafis (misalnya, grid dan grafik) yang dapat menyoroti hubungan antara ide-ide ini sangat berguna pada saat ini.
Langkah 7: Siswa Menganalisis Informasi
Dengan bantuan dari berbagai teknik organisasi (termasuk penggunaan grafis), siswa menyusun dan menganalisa informasi untuk mengidentifikasi data yang relevan dengan proyek. Tim mahasiswa menimbang nilai dari data yang dikumpulkan, membuang beberapa karena ketidaksesuaian mereka untuk proyek dan sisanya menjaga, Siswa menentukan informasi merupakan primer "bukti" bagi para pendukung dan penentang proposisi mereka. Hal ini pada titik ini bahwa tim topikal membagi diri menjadi dua kelompok dan mulai bekerja secara terpisah untuk membangun kasus terkuat untuk perdebatan.
Langkah 8: Guru Membimbing Siswa untuk Menyiapkan Bahasa Presentasi dari
Produk Akhir
Pada titik ini dalam pengembangan proyek, instruktur dapat membawa perbaikan dalam kegiatan bahasa untuk membantu siswa berhasil dengan penyajian produk akhir mereka. Hal ini mungkin memerlukan mempraktekkan keterampilan presentasi lisan dan menerima umpan balik pada proyeksi suara, pengucapan, organisasi ide, dan kontak mata. Ini mungkin melibatkan pengeditan dan merevisi laporan tertulis, surat, atau buletin-papan teks tampilan. Dalam kasus proyek debat pemilu Amerika, instruktur terfokus pada percakapan gambits akan digunakan selama debat untuk menunjukkan ketidaksetujuan sopan dan menawarkan perspektif yang berbeda (lihat Mach, Stoller, & Tardy, 1997). Siswa berlatih presentasi lisan mereka dan mencoba hipotesis pertanyaan mereka akan diminta oleh lawan. Mereka waktunya satu sama lain dan menyimpan setiap umpan balik lain pada konten, pilihan kata, persuasi, dan intonasi. Siswa juga bekerja dengan "seniman" dalam kelompok mereka untuk menyelesaikan tampilan visual, untuk memastikan mereka tata bahasa yang benar dan mudah ditafsirkan oleh penonton. Siswa juga menciptakan selebaran mengumumkan perdebatan (lihat Lampiran), yang menjabat sebagai undangan dan pengingat bagi anggota audiens.
Langkah 9: Siswa Menyajikan Produk Akhir
Siswa sekarang siap untuk menyajikan hasil akhir proyek mereka Dalam proyek yang dipilih , mahasiswa menggelar debat mereka di depan audiens. Penonton memilih pada kepersuasifan setiap partai politik, dan pemenang diumumkan. Dalam kasus yang dijelaskan di sini, perdebatan itu direkam sehingga siswa nantinya dapat meninjau kinerja perdebatan mereka dan menerima umpan balik dari instruktur dan rekan-rekan mereka.
Langkah 10: Siswa Mengevaluasi Proyek
Meskipun siswa dan guru sama-sama shering melihat presentasi dari produk akhir sebagai tahap terakhir dalam proses pekerjaan proyek, adalah sangat berguna untuk meminta siswa untuk bercermin pada pengalaman sebagai langkah terakhir dan final job. Siswa dapat mencerminkan kemampuan mereka pada pemahaman bahasa yang mereka kuasai untuk menyelesaikan proyek, konten yang mereka pelajari tentang tema yang ditargetkan (dalam kasus yang disorot di sini), langkah-langkah mereka diikuti untuk menyelesaikan proyek, dan efektivitas dari produk akhir mereka. Siswa dapat bertanya bagaimana mereka bisa melanjutkan dilain waktu berikutnya atau apa saran yang mereka dapatkan untuk usaha pekerjaan proyek masa depan. Melalui kegiatan ini reflektif, siswa menyadari betapa banyak yang telah mereka pelajari dan manfaat dari wawasan guru siswa untuk proyek-proyek kelas masa depan.
KESIMPULAN
Pembelajaran berbasis konten atau isi dan proyek kerja menyediakan dua sarana untuk membuat lingkungan kelas bahasa lebih bersemangat untuk belajar berkolaborasi. Proyek kerja, bagaimanapun, tidak ada batasan pada pembelajaran berbasis konten kelas bahasa. Bahasa guru di kelas yang lebih tradisional, bisa diversifikasi arahkan dengan proyek sesekali. Demikian pula, guru pendidik dapat mengintegrasikan proyek ke dalam program mereka untuk memperkuat isu-isu pedagogis penting, dan memberikan peserta pelatihan dengan pengalaman, sebuah proses yang dapat diintegrasikan ke dalam kelas masa depan mereka sendiri. Apakah pusat proyek, demografi, pendidikan perdamaian, desain silabus, atau metodologi, siswa berbagai tingkat dan kebutuhan bisa mendapatkan keuntungan dari pengalaman yang memberdayakan yang hasil dari partisipasi dan kolaborasi dalam proyek. Meskipun pekerjaan proyek dapat lebih mudah untuk diimplementasikan dalam pengaturan bahasa kedua karena sumber daya konten yang lebih mudah diakses, pendekatan proyek kerja dapat sukses dan bermanfaat bagi guru dan siswa.
RELASI MAKNA KONTRAS DALAM SEMANTIK (Oposisi Biner, Taksonomi, Dikotomi, Graduatif)
Label:
BAHASA
Dosen Pembimbing:
Dr. Budinuryanta Yohanes, Prof. Djodjok S. Sp. Hd
Oleh:
Agus Paramuriyanto
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
PASCASARJANA UNESA SURABAYA
2011/ 2012
RELASI MAKNA KONTRAS DALAM SEMANTIK
(Oposisi Biner, Taksonomi, Dikotomi, Graduatif)
A.Pengantar
Sebagai salah satu komponen bangsa, semantik pernah kurang diperhatikan orang karena objek studinya, yaitu makna, dianggapsangat sukar ditelusuridan dianalisis strukturnya. Makna sangat bersifat arbiter, berbeda dengan morfem atau kata, sebagai sasaran dalam studi morfologi, yang strukturnya tampak jelas dan dapat di segmen-segmenkan.
Namun, dewasa ini, keadaan itu berbalik. Kini semantik dianggap sebagai komponen bahasa yang tidak dapat dilepaskan dalam pembicaraan linguistik. Tanpa membicarakan makna pembahasan linguistik belum dianggap lengkap karena sesungguhnya tindakan berbahasa itu tidak lain daripada upaya unttuk menyampaikan makna-makna itu. Ujaran-ujaran yang tidak bermakna tidak ada artinya sama sekali.
B.Relasi Makna
Diawali dengan pengertian relasi yang merupakan sebuah hubungan.(KBBI, 1990, 738). Jadi relasi makna adalah sebuah hubungan makna. Dalam setiap bahasa, termasuk bahasa Indonesia, sering kita temui adanya hubungan kemaknaan antara kata yang satu dengan kata yang lain. Hubungan yang seperti ini menyangkut hal kesamaan makna (sinonimi), kebalikan makna (antonim), kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas), ketercakupan makna (hiponimi), kelainan makna (redundansi), dan sebagainya. (Chaer, 2002).
C.Relasi makna kontras
Perkembangan bahasa Indonesia saat ini sungguh luar biasa. di mulai dari kata kontras atau biasa di kenal dengan oposisi atau antonimi. Ketiga kata ini mengandung makna “berlawanan” (KBBI, 1990). Jadi kita bisa mengatakan relasi makna kontras, relasi mkna oposisi, ataupun relasi makna antonimi (Sukardi, dkk. 1995, 11). Dan kebetulan kami menyukai kata oposisi karna kata ini cenderung menggelitik-menggeliat.
Verhaar (1983:133)Antonimi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma yang artinya nama, dan anti yang artinya melawan, dan secara harfiah antonim berarti nama lain untuk benda lain pula. Secara semantik verhaar (1978) mendefinisikan sebagai sebuah ungkapan (biasanya berupa kata, tapi bisa juga dalam bentuk frase atau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain. (chaer, 2002, 88). Dan pembahasan kali ini kami mulai dengan oposisi biner, kemudian oposisi taksonomi, oposisi dikotomi, dan oposisi graduatif.
Jadi antonimi merupakan hubungan semantik antara duabuah satuan ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan, pertentangan, kontras antara yang satu dengan yang lain.
1.Oposisi biner
Oposisi jenis ini dapat dikatakan sebagai oposisi penuh. Artinya pasangan yang ada adalah pasangan tetap. (Sukardi, 1995, 11). Sama halnya dengan pendapat Chaer mengenai oposisi biner ini yakni oposisi ini dapat dikatakan sebagai oposisi mutlak. (Chaer, 2002). Dengan demikian oposisi biner ini merupakan oposisi yang kata-katanya memiliki pasangan yang tidak dapat diganti dengan kata lain.
Misal kata hidup dan kata mati, karena dalam pengertian kata hidup itu belum mati atau tidak mati, sedangkan kata mati sudah pasti tidak hidup. Dan contoh lainnya adalah gerak dan diam, arti diam itu berarti yidak bergerak, sedangkan kata gerak berarti tidak diam.
Dalam bahasa Indonesia oposisi biner ini tidak memiliki istilah lanjutan. Misalnya kata mati, kata mati tidak memiliki istilah lanjutan agak mati, cukup mati, ataupun sangat mati, begitu juga dengan kata hidup, kata hidup tidak memiliki islitah lanjutan seperti agak hidup, cukup hidup, ataupun sangat hidup. (Chaer, 2002: 90)
Jadi oposisi biner ini benar-benar oposisi yang bersifat mutlak. Setiap pasangannya tidak dapat diganti dengan kata lain selain dari kata pasangannya itu sendiri.
2.Oposisi Taksonomik/ Hierarkial
Oposisi taksonomik atau taksonomi dalam linguistik lebih dikenal dengan oposisi yang bersifat hierarkial. Menurut Chaer (2002:92) makna kata yang beroposisi hierarkial ini menyatakan suatu deret jenjang atau tingkatan. Oleh karena itu kata-kata yang yang beroposisi hierarkial ini adalah kata-kata yang berupa nama satuan ukuran (berat, panjang, dan isi), nama satuan hitungan, jenjang pangkat, dsb.
Menurut Sukardi (1995:13) Oposisi ini hampir sama dengan oposisi majemuk, tetapi terdapat kriteria tambahan, yaitu tingkat. Ciri oposisi ini adalah penegasan terhadap yang satu menunjuk padan yang lebih tinggi atau yang lebih rendah.
Misalnya kata meter beroposisi hierarki dengan kilometer, karena keduanya berada pada deretan yang menyatakan satuan panjang.
Jadi oposisi taksonomi ini merupakan oposisi yang pempertentangkan kata-kata yang teramsuk dalam satu satuan kelompok, yang menyatakan satuan ukuran, satuan hitungan, satuan jenjang, dsb.
3.Oposisi Dikotomik/ Hubungan
Menurut Sukardi, 1995, 12. Oposisi jenis ini terjadi antara kata-kata yang mengandung relasi kebalikan. Misalnya: suami-istri, guru-murid, dsb.
Sedangkan menurut Chaer, 2002, 91, oposisi ini bersifat saling melengkapi. Artinya, kehadiran kata yang satu karena ada kata lain yang menjadi oposisinya. Apabila tanpa kehadiran keduanya maka oposisi ini tidak ada. Misalnya: penjual-pembeli, suami istri, utara selatan, dsb.
Jadi oposisi tipe ini merupakan oposisi yang terjadi apabila kedua kata oposisi tersebut hadir kedua-duanya karena kata satu dengan kata yang saling saling melengkapi keoposisiannya dan merupakan kebalikan diantara kata-katanya.
4.Oposisi Graduatif
Menurut Sukardi, 1995, 12. Oposisi ini menyangkut oposisi diantara dua istilah yang masih memiliki tingkatan antara. Misalnya: kaya-miskin, besar-kecil, panjang pendek, dsb. Di antara leksem kaya dan miskin masih memiliki derajat yang lain, yaitu: sangat kaya, cukup kaya, agak kaya, sangat miskin, miskin sekali, dan agak miskin.
Sedangkan menurut Chaer, 2002, 90. Oposisi ini di sebut juga oposisi kutub yang pertentangannya bersifat tidak mutlak, melainkan bersifat relatif atau gradasi. Artinya terdapat tingkat-tingkat makna pada kata-kata tersebut.
Jadi Misalnya, kaya dan miskin. Kata kaya dan kata miskin bersifat relatif. Karena tingkat satuannya tidak diketahui, atau seberapa kaya orang itu atau seberapa miskin orang itu. Itu semua bersifat relatif, tergantung situasi dan kondisi dan sikap serta pandangan manusianya sendiri. Misalnya, orang yang bekerja pada bulan pertama berpenghasilan 10 juta kemudian di bulan depannya dia berpenghasilan kurang dari 1 juta. Dengan begitu dia merasa miskin dengan panghasilan sebesar bulan kedua, sebaliknya seorang miskin yang stiap harinya berpenghasilan seribu rupiah yang kemudian esok harinya ia berpenghasilan 5 ribu, dan dia pikir dia sudah kaya, atau agak kaya.
Jadi oposisi graduatif ini bersifat relatif karena sangat bergantung pada situasi dan kondisi, serta sikap dan pandangan manusia itu sendiri.
Kesimpulan
Dari penjelasan dan pencontohan diatas dapat di ampbil kesimpulan bahwa antonimi merupakan hubungan semantik antara dua buah satuan ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan, pertentangan, kontras antara yang satu dengan yang lain.
Oposisi biner ini benar-benar oposisi yang bersifat mutlak. Setiap pasangannya tidak dapat diganti dengan kata lain selain dari kata pasangannya itu sendiri.
Oposisi taksonomi ini merupakan oposisi yang pempertentangkan kata-kata yang teramsuk dalam satu satuan kelompok, yang menyatakan satuan ukuran, satuan hitungan, satuan jenjang, dsb.
Oposisi tipe ini merupakan oposisi yang terjadi apabila kedua kata oposisi tersebut hadir kedua-duanya karena kata satu dengan kata yang saling saling melengkapi keoposisiannya dan merupakan sebuah kebalikan diantara kata-katanya.
Oposisi graduatif ini bersifat relatif karena sangat bergantung pada situasi dan kondisi, serta sikap dan pandangan manusia itu sendiri.
Daftar Pustaka
Sukardi, Dkk, 1995. Antonimi dalam Bahasa Jawa. Jakarta. Departemen pendidikan dan kebudayaan
Chaer, Abdul, 2002. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta. Rineka Cipta.
Chaer, Abdul, 2007. Linguistik Umum. Jakarta. Rineka Cipta.
Dr. Budinuryanta Yohanes, Prof. Djodjok S. Sp. Hd
Oleh:
Agus Paramuriyanto
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
PASCASARJANA UNESA SURABAYA
2011/ 2012
RELASI MAKNA KONTRAS DALAM SEMANTIK
(Oposisi Biner, Taksonomi, Dikotomi, Graduatif)
A.Pengantar
Sebagai salah satu komponen bangsa, semantik pernah kurang diperhatikan orang karena objek studinya, yaitu makna, dianggapsangat sukar ditelusuridan dianalisis strukturnya. Makna sangat bersifat arbiter, berbeda dengan morfem atau kata, sebagai sasaran dalam studi morfologi, yang strukturnya tampak jelas dan dapat di segmen-segmenkan.
Namun, dewasa ini, keadaan itu berbalik. Kini semantik dianggap sebagai komponen bahasa yang tidak dapat dilepaskan dalam pembicaraan linguistik. Tanpa membicarakan makna pembahasan linguistik belum dianggap lengkap karena sesungguhnya tindakan berbahasa itu tidak lain daripada upaya unttuk menyampaikan makna-makna itu. Ujaran-ujaran yang tidak bermakna tidak ada artinya sama sekali.
B.Relasi Makna
Diawali dengan pengertian relasi yang merupakan sebuah hubungan.(KBBI, 1990, 738). Jadi relasi makna adalah sebuah hubungan makna. Dalam setiap bahasa, termasuk bahasa Indonesia, sering kita temui adanya hubungan kemaknaan antara kata yang satu dengan kata yang lain. Hubungan yang seperti ini menyangkut hal kesamaan makna (sinonimi), kebalikan makna (antonim), kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas), ketercakupan makna (hiponimi), kelainan makna (redundansi), dan sebagainya. (Chaer, 2002).
C.Relasi makna kontras
Perkembangan bahasa Indonesia saat ini sungguh luar biasa. di mulai dari kata kontras atau biasa di kenal dengan oposisi atau antonimi. Ketiga kata ini mengandung makna “berlawanan” (KBBI, 1990). Jadi kita bisa mengatakan relasi makna kontras, relasi mkna oposisi, ataupun relasi makna antonimi (Sukardi, dkk. 1995, 11). Dan kebetulan kami menyukai kata oposisi karna kata ini cenderung menggelitik-menggeliat.
Verhaar (1983:133)Antonimi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma yang artinya nama, dan anti yang artinya melawan, dan secara harfiah antonim berarti nama lain untuk benda lain pula. Secara semantik verhaar (1978) mendefinisikan sebagai sebuah ungkapan (biasanya berupa kata, tapi bisa juga dalam bentuk frase atau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain. (chaer, 2002, 88). Dan pembahasan kali ini kami mulai dengan oposisi biner, kemudian oposisi taksonomi, oposisi dikotomi, dan oposisi graduatif.
Jadi antonimi merupakan hubungan semantik antara duabuah satuan ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan, pertentangan, kontras antara yang satu dengan yang lain.
1.Oposisi biner
Oposisi jenis ini dapat dikatakan sebagai oposisi penuh. Artinya pasangan yang ada adalah pasangan tetap. (Sukardi, 1995, 11). Sama halnya dengan pendapat Chaer mengenai oposisi biner ini yakni oposisi ini dapat dikatakan sebagai oposisi mutlak. (Chaer, 2002). Dengan demikian oposisi biner ini merupakan oposisi yang kata-katanya memiliki pasangan yang tidak dapat diganti dengan kata lain.
Misal kata hidup dan kata mati, karena dalam pengertian kata hidup itu belum mati atau tidak mati, sedangkan kata mati sudah pasti tidak hidup. Dan contoh lainnya adalah gerak dan diam, arti diam itu berarti yidak bergerak, sedangkan kata gerak berarti tidak diam.
Dalam bahasa Indonesia oposisi biner ini tidak memiliki istilah lanjutan. Misalnya kata mati, kata mati tidak memiliki istilah lanjutan agak mati, cukup mati, ataupun sangat mati, begitu juga dengan kata hidup, kata hidup tidak memiliki islitah lanjutan seperti agak hidup, cukup hidup, ataupun sangat hidup. (Chaer, 2002: 90)
Jadi oposisi biner ini benar-benar oposisi yang bersifat mutlak. Setiap pasangannya tidak dapat diganti dengan kata lain selain dari kata pasangannya itu sendiri.
2.Oposisi Taksonomik/ Hierarkial
Oposisi taksonomik atau taksonomi dalam linguistik lebih dikenal dengan oposisi yang bersifat hierarkial. Menurut Chaer (2002:92) makna kata yang beroposisi hierarkial ini menyatakan suatu deret jenjang atau tingkatan. Oleh karena itu kata-kata yang yang beroposisi hierarkial ini adalah kata-kata yang berupa nama satuan ukuran (berat, panjang, dan isi), nama satuan hitungan, jenjang pangkat, dsb.
Menurut Sukardi (1995:13) Oposisi ini hampir sama dengan oposisi majemuk, tetapi terdapat kriteria tambahan, yaitu tingkat. Ciri oposisi ini adalah penegasan terhadap yang satu menunjuk padan yang lebih tinggi atau yang lebih rendah.
Misalnya kata meter beroposisi hierarki dengan kilometer, karena keduanya berada pada deretan yang menyatakan satuan panjang.
Jadi oposisi taksonomi ini merupakan oposisi yang pempertentangkan kata-kata yang teramsuk dalam satu satuan kelompok, yang menyatakan satuan ukuran, satuan hitungan, satuan jenjang, dsb.
3.Oposisi Dikotomik/ Hubungan
Menurut Sukardi, 1995, 12. Oposisi jenis ini terjadi antara kata-kata yang mengandung relasi kebalikan. Misalnya: suami-istri, guru-murid, dsb.
Sedangkan menurut Chaer, 2002, 91, oposisi ini bersifat saling melengkapi. Artinya, kehadiran kata yang satu karena ada kata lain yang menjadi oposisinya. Apabila tanpa kehadiran keduanya maka oposisi ini tidak ada. Misalnya: penjual-pembeli, suami istri, utara selatan, dsb.
Jadi oposisi tipe ini merupakan oposisi yang terjadi apabila kedua kata oposisi tersebut hadir kedua-duanya karena kata satu dengan kata yang saling saling melengkapi keoposisiannya dan merupakan kebalikan diantara kata-katanya.
4.Oposisi Graduatif
Menurut Sukardi, 1995, 12. Oposisi ini menyangkut oposisi diantara dua istilah yang masih memiliki tingkatan antara. Misalnya: kaya-miskin, besar-kecil, panjang pendek, dsb. Di antara leksem kaya dan miskin masih memiliki derajat yang lain, yaitu: sangat kaya, cukup kaya, agak kaya, sangat miskin, miskin sekali, dan agak miskin.
Sedangkan menurut Chaer, 2002, 90. Oposisi ini di sebut juga oposisi kutub yang pertentangannya bersifat tidak mutlak, melainkan bersifat relatif atau gradasi. Artinya terdapat tingkat-tingkat makna pada kata-kata tersebut.
Jadi Misalnya, kaya dan miskin. Kata kaya dan kata miskin bersifat relatif. Karena tingkat satuannya tidak diketahui, atau seberapa kaya orang itu atau seberapa miskin orang itu. Itu semua bersifat relatif, tergantung situasi dan kondisi dan sikap serta pandangan manusianya sendiri. Misalnya, orang yang bekerja pada bulan pertama berpenghasilan 10 juta kemudian di bulan depannya dia berpenghasilan kurang dari 1 juta. Dengan begitu dia merasa miskin dengan panghasilan sebesar bulan kedua, sebaliknya seorang miskin yang stiap harinya berpenghasilan seribu rupiah yang kemudian esok harinya ia berpenghasilan 5 ribu, dan dia pikir dia sudah kaya, atau agak kaya.
Jadi oposisi graduatif ini bersifat relatif karena sangat bergantung pada situasi dan kondisi, serta sikap dan pandangan manusia itu sendiri.
Kesimpulan
Dari penjelasan dan pencontohan diatas dapat di ampbil kesimpulan bahwa antonimi merupakan hubungan semantik antara dua buah satuan ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan, pertentangan, kontras antara yang satu dengan yang lain.
Oposisi biner ini benar-benar oposisi yang bersifat mutlak. Setiap pasangannya tidak dapat diganti dengan kata lain selain dari kata pasangannya itu sendiri.
Oposisi taksonomi ini merupakan oposisi yang pempertentangkan kata-kata yang teramsuk dalam satu satuan kelompok, yang menyatakan satuan ukuran, satuan hitungan, satuan jenjang, dsb.
Oposisi tipe ini merupakan oposisi yang terjadi apabila kedua kata oposisi tersebut hadir kedua-duanya karena kata satu dengan kata yang saling saling melengkapi keoposisiannya dan merupakan sebuah kebalikan diantara kata-katanya.
Oposisi graduatif ini bersifat relatif karena sangat bergantung pada situasi dan kondisi, serta sikap dan pandangan manusia itu sendiri.
Daftar Pustaka
Sukardi, Dkk, 1995. Antonimi dalam Bahasa Jawa. Jakarta. Departemen pendidikan dan kebudayaan
Chaer, Abdul, 2002. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta. Rineka Cipta.
Chaer, Abdul, 2007. Linguistik Umum. Jakarta. Rineka Cipta.
KEBUDAYAAN SEBAGAI KONTEN DAN KONTEKS PENDIDIKAN PENDIDIKAN SEBAGAI AKULTURASI
Label:
filsafat
KEBUDAYAAN SEBAGAI KONTEN DAN KONTEKS PENDIDIKAN
PENDIDIKAN SEBAGAI AKULTURASI
FILSAFAT DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN
Dosen Pembimbing:
Dr. Budinuryanta Yohanes
Oleh:
Agus Paramuriyanto
Nim: 117835008
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
PASCASARJANA UNESA SURABAYA
2011/ 2012
PENDIDIKAN SEBAGAI AKULTURASI
A.Pengantar
Berbicara mengenai pendidikan sebagai akulturasi kita pasti akan berpikir tentang apa itu pendidikan? dan apa itu akulturasi? Pendidikan sebagai akulturasi merupakan anak pembahasan dari kebudayaan sebagai konten dan konteks pendidikan. Alangkah lebih baiknya kita pelajari tentang hal tersebut terlebih dahulu.
B.Pendidikan sebagai konteks dan konten kebudayaan
1.Pendidikan
Dihubungkan dengan pendidikan, yang memiliki pengertian sebagai sarana atau wadah
dari kebudayaan dan tempat berkembangnya sebagian pengungkapan tentang
kebudayaan. Kita kembali pada pemahaman bahwa pembuat kebudayaan adalah manusia.
Dan pendidikan sebagai pamanusiawian karena pendidikan adalah wadah dari
kebudayaan yang diciptakan oleh manusia. Jadi pendidikan itu adalah wadah untuk
memanusiakan manusia, dengan mengajarkan kebudayaan kepada penciptanya.
Menurut Ki Hajar Dewantara Tujuan pendidikan adalah memajukan kesempurnaan hidup peserta didik yaitu selaras dengan kodratnya, serasi dengan adat istiadat, dinamis, memperhatikan sejarah bangsa dan membuka diri pada pergaulan dengan kebudayaan lain. Sesuai maknanya yakni membantu manusia mengembangkan diri dan menyiapkan diri guna mengambil tempat semestinya dalam pengembangan masyarakat dan duniannya dihadapan sang Pencipta. Untuk memahami makna sejati pendidikan, orang harus mendalami arti hidup manusia ditengah alam semesta, diantara sesamanya, dan dihadapan tuhan YME. (wikipedia).
Pendidikan pada hakekatnya adalah proses pemanusiaan dan pemanusiawian, maka petugas utama proses pendidikan adalah si manusia peserta didik sendiri. Dan pembantu utama adalah orang tua, karena dalam setiap terjadinya manusia adalah kehendak Tuhan.
Selain itu adalah sudah menjadi kodrat manusia hak pertama atas proses pendidikan ada di tangan manusia dengan dengan melibatkan orang tua, masyarakat dan pemerintah. Untuk itu manusia membutuhkan pendidik. Sedangkan pendidik harus memiliki ilmu mendidik, psikologi, antropologi, kosmologi, filsafat dan teologi.
Guna membantu anak-anak menjadi manusia, orang tua memerlukan bantuan sekolah. Karena disekolah disediakan sebuah pelatihan menjadi manusia yang sudah terorganisir.
Pendidikan dikatakan berhasil apabila pendidikan itu yang membentuk manusia-manusia yang hidup sebagai manusia, bukan sekedar “mur-baut”, artinya adanya rasa saling menghargai antara manusia satu dengan manusia lainnya. Nah karena itulah kenapa pendidikan dikatakan sebagai pemanusiawian.
2. Kebudayaan
Menurut Ki Hajar Dewantara, Kebudayaan adalah buah budi manusia yang merupakan hasil perjuangan terhadap 2 pengaruh yang kuat, yaitu alam dan zaman yang merupakan kebutuhan hidup manusia untuk mengatasi tantangan hidup dan kehidupan guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang bersifat tertib dan damai.
Dari pengertian diatas, secara filosofis dapat di jabarkan sebagai berikut; buah adalah hasil puncak dari proses kehidupan panjang dari awal hingga akhir yang berlangsung terus menerus. Misalnya, buah mangga dari tumbuhan mangga, buah mangga merupakan hasil puncak dari proses kehidupan tumbuhan mangga yang akan terus berlangsung.
Sedangkan budi adalah perpaduan antara akal dan perasaan. dan inilah yang menjadikan manusia berbeda dengan makhluk lainnya, yang hanya memiliki insting dan nafsu. Misalnya, kita melihat orang dijalanan dan merintih kelaparan, tanpa sengaja kita merasa tersentuh, atau merasa iba, kemudian kita mulai berpikir apakah kita akan membantu atau tidak? Setelah akal dan perasaan kita menyatu dengan sendirinya, akan timbul reaksi dari perpaduan tersebut seperti kita akan membantu orang tersebut atau malah mengacuhkan. Itu kembali pada seberapa besar rasa simpatinya.
akal diartikan sebagai sebuah alat yang digunakan untuk berpikir. Dalam hal menilai, memahami, mangalisis, menyimpulkan, dsb. Dari akal itulah kita dapat berpikir mana yang baik dan mana yang buruk. Misalnya, kita melihat sebuah pencuri, dalam arti mengambil hak milik orang lain. Dari sini kita sudah bisa menilai, apakah hal itu termasuk hal yang baik atau sebaliknya, untuk memutuskan hal itu kita mulai berpikir menggunakan akal kita kemudian kita mengaitkannya dengan pelanggaran hak dan asasi manusia yang merupakan sesuatu yang seharusnya ditegakkan.
Sedangkan perasaan adalah penafsiran dari segala sesuatu yang kita rasakan. Perasaan berasal dari kata rasa yang berarti fell dari bahasa inggris. Namun fell disini bukan berarti insting atau naluri. Rasa sendiri sangat identik dengan yang namanya emosi, baik itu emosi yang positif ataupun yang negatif. Emosi sendiri merupakan bentuk dari rasa itu sendiri, seperti sayang, cinta, senang, suka, benci, dsb. Misalnya, segala sesuatu yang dilakukan orang tua terhadap anaknya, dalam arti positif. Orang tua memiliki rasa sayang yang luar biasa yang kemudian diungkapkan dengan perlakuan mereka terhadap anak mereka.
Manusia adalah yang sudah sedikit dijelaskan dari pengertian kebudayaan secara filosofif diatas bahwa manusia itu merupakan makhluk berbudi yaitu memiliki akal dan perasaan, selain itu juga manusia merupakan makhluk individu yang sosialis. Yang dimaksud dengan makhluk individu yang sosialis adalah manusia memiliki hak untuk hidup secara individu tapi manusia tidak dapat berkembang tanpa adanya interaksi dengan manusia lainnya atau bersosialisasi dengan manusia lainnya. Dan dengan interaksi inilah akan timbul sebuah peradaban dan membentuk sebuah era atau zaman.
Maksud Alam menurut ki hajar dewantara disini adalah tempat hunian manusia namun lebih menekankan pada sifat dan cara alam berkembang yakni secara alami atau secara alamiah. Misalnya, alam berkembang dan terbentuk dengan sendirinya tanpa adanya campur tangan manusia. Jadi maksudnya, kebudayaan itu berkembang secara alamiah mengiringi perkembangan manusia dengan alam serta membudidayakan alam itu sendiri.
Zaman adalah satuan unit waktu, namun dalam pengertian kebudayaan zaman adalah satuan unit waktu yang didalamnya bersisi tentang perkembangan peradaban manusia. Dan manusia membutuhkan perjuangan untuk hidup di dunia dan membuat peradaban hingga sekarang. Inilah kenapa Ki Hajar Dewantara mengatakan hal itu. Karena untuk bertahan hidup, manusia harus berjuang melawan alam, memberdayakan alam, dan melestarikan alam dan untuk menghadapi 2 faktor terberat manusia yaitu alam dan membuat peradaban di alam itu sendiri itulajh yang dimaksud perjuangan dalam menciptakan sebuah kebudayaan atau perdaban dan di ukur dengan zaman.
Jadi sesuai dengan pengertian kebudayan yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara, kebudayaan merupakan hasil puncak dari perpaduan dari akal dan perasaan manusia yang dibentuk secara alamiah dan diproses dalam waktu yang lama hingga menjadi sebuah peradaban (zaman).
C. Mengenal Sosok Ki Hajar Dewantara
Ki Hajar Dewantara Lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889.Terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya.
Perjalanan hidupnya benar-benar diwarnai perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsanya. Ia menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.
Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Pada tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.
Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka. Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum pada pemerintah kolonial Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg berusaha menghalangi kehadiran partai ini dengan menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913. Alasan penolakannya adalah karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan menggerakan kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda.
Kemudian setelah ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische Partij ia pun ikut membentuk Komite Bumipoetra pada November 1913. Komite itu sekaligus sebagai komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda. Komite Boemipoetra itu melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut.
Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik lewat tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker itu antara lain berbunyi:
“Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si Inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa Inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun”.
Akibat karangannya itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman internering (hukum buang) yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh bagi seseorang untuk bertempat tinggal. Ia pun dihukum buang ke Pulau Bangka.
Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo merasakan rekan seperjuangan diperlakukan tidak adil. Mereka pun menerbitkan tulisan yang bernada membela Soewardi. Tetapi pihak Belanda menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk memusuhi dan memberontak pada pemerinah kolonial. Akibatnya keduanya juga terkena hukuman internering. Douwes Dekker dibuang di Kupang dan Cipto Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda.
Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa memperlajari banyak hal dari pada didaerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman.
Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche Akte. Kemudian ia kembali ke tanah air di tahun 1918. Di tanah air ia mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan.
Setelah pulang dari pengasingan, bersama rekan-rekan seperjuangannya, ia pun mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.
Tidak sedikit rintangan yang dihadapi dalam membina Taman Siswa. Pemerintah kolonial Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Tetapi dengan kegigihan memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi itu kemudian dicabut.
Di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Tamansiswa, ia juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan buah. Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.
Sementara itu, pada zaman Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan tetap dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dalam tahun 1943, Ki Hajar duduk sebagai salah seorang pimpinan di samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur.
Setelah zaman kemedekaan, Ki hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959. Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957.
Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal dunia pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana. Kemudian oleh pihak penerus perguruan Taman Siswa, didirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara. Dalam museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar sebagai pendiri Tamansiswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hajar sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional.
Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi.
Hari lahirnya, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya yang terkenal ialah tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan). (wikipedia)
D. Pendidikan sebagai Akulturasi
Sebagai mana pendidikan sudah dijelaskan diatas bahwa pendidikan adalah wadah dari pengapresiasian kebudayaan. Dan dalam pendidikan juga diajarkan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan kebudayaan yang diciptakan oleh manusia untuk memanusiakan manusia.
Menurut Ki Hajar Dewantara (1889-1959), hubungan Pendidikan dan Kebudayaan adalah upaya untuk memajukan perkembangan budi pekerti yang terintegrasi (batin, inteligensi dan tubuh) untuk memajukan kesempurnaan hidup selaras alam dan masyarakat.
Akulturasi menurut KBBI, 1990, memiliki tiga pengertian dan yang pertama adalah proses percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling mempengaruhi. Yang kedua akultirasi juga merupakan proses masuknya kebudayaan asing terhadap suatu masyarakat, sebagian menyerap secara selektif sedikit unsur atau banyak unsur kebudayaan asing itu. Yang ketiga adalah proses atau hasil pertemuan kebudayaan atau bahasa di antara anggota-anggota dua masyarakat bahasa, ditandai dengan peminjaman atau bilingualisme.
Selanjutnya Pendidikan Nasional dinyatakan sebagai pandangan beralas garis hidup bangsanya dan ditujukan untuk keperluan peri kehidupannya yang mengangkat derajat negara dan rakyatnya, agar dapat bekerja sama dengan bangsa lain untuk kemuliaan seluruh dunia.
Akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing (wikipedia). Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri. Misalnya, dalam konteks pola pikir “time is money”, selogan ini di belahan dunia bagian barat sudah dijadikan sebuah kebudayaan hingga dijadikan prinsip hidup oleh orang-orang barat. Sekarang orang Indonesia ingin mengadopsi selogan tersebut, namun tidak menghilangkan kebudayaan ketimuran.
Artinya pemikiran mengenai “time is money” cenderung individualisnya sangat tinggi sedangkan kita cenderung meninggikan sosialis. Maka, dalam proses penyerapannya kita menjalankan prinsip time is money namun tetap bersosialis.
Dengan sub pembahasan pendidikan sebagai akulturasi itu sudah jelas adanya. Karena pendidikan itu sendiri sudah mengajarkan tentang ilmu-ilmu kebudayaan, mulai dari penyerapannya, penyajiannya, akulturasi dan inkulyurasi pun juga termasuk didalamnya. Misalnya, dalam sebuah forum atau sebuah bidang dari pendidikan yakni pembelajaran tentang ilmu teknologi, tanpa sadar kita sudah melakukan proses penyerapan kebudayaan yang kemudian diterapkan ke masyarakat. Dalam penyerapan budaya asing itu kita angkat pembelajaran ilmu teknologi, yang bersifat individualis. Sedangkan sosialisnya adalah menerapkan pada masyarakat atau berbagi pengetahuan dengan masyarakat.
Di dalam Al-Qur’an pun telah diterangkan oleh surat Al-Alaq dengan (iqra’) yang arinya bacalah, dan dalam hadits yang cukup terkenal yaitu carilah ilmu sampai ke negri china, dari dua landasan tersebut dapat disimpulkan bahwa pertama manusia diciptakan memang untuk belajar, dan yang kedua adalah belajar itu tidak ada batasan, artinya tidak ada batasan tempat da waktu untuk menutut lmu bagi manusia.
"العلم ينظروا الى الصين الأراضي" stidaH lA
E. Kesimpulan
Sehubungan dengan kebudayaan sebagai konteks dan konten pendidikan, maka dengan adanya penafsiran seperti itu sudah dapat disimpulkan bahwa simpulan Pendidikan sebagai akulturasi itu memang benar. Karena, pendidikan merupakan sebuah wadah dan isi dari ilmu-ilmu tentang kebudayaan.
F. Referensi
A-Qur’an dan Al-Hadits
Departemen pendidikan dan kebudayaan, 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka.
http.//Wikipedia.com/
Proses presentasi
Pertanyaan Bu Chornia: kriteria kebudayaan yang baik di dalam pendidikan
Jawaban : kebudyaan yang baik di dalam pendidikan itu harus sesuai dengan nilai-nilai atau norma kebudayaan dalam wilayah konteks pendidikan itu sendiri. Nilai-nilai atau norma tersebut meliputi norma agama, norma kebudayaan di wilayah pendidikan tersebut, norma hukum, dll.
Pertanyaan dari Pak Rasmian : kata kunci dari pendidikan sebagai akulturasi
Jawaban : kata kuncinya adalah kebudayaan adalah konten dan konteks pendidikan. Dalam artian bahwa kebudayaan merupakan isi dan wadah dari pendidikan itu sendiri.
Pertanyaan dari Pak Angga: kajian inti dari pendidikan sebagai akulturasi
Jawaban : kajian pendidikan sebagai akulturasi adalah kebudayaan merupakan isi pendidikan dan kebudayaan merupakan wadah dari kebudayaan serta proses penyerapan, pencampuran dan peminjaman kebudayaan yang terjadi di dalam pendidikan.
Saran
Penulisan referensi KBBI harus jelas.
PENDIDIKAN SEBAGAI AKULTURASI
FILSAFAT DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN
Dosen Pembimbing:
Dr. Budinuryanta Yohanes
Oleh:
Agus Paramuriyanto
Nim: 117835008
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
PASCASARJANA UNESA SURABAYA
2011/ 2012
PENDIDIKAN SEBAGAI AKULTURASI
A.Pengantar
Berbicara mengenai pendidikan sebagai akulturasi kita pasti akan berpikir tentang apa itu pendidikan? dan apa itu akulturasi? Pendidikan sebagai akulturasi merupakan anak pembahasan dari kebudayaan sebagai konten dan konteks pendidikan. Alangkah lebih baiknya kita pelajari tentang hal tersebut terlebih dahulu.
B.Pendidikan sebagai konteks dan konten kebudayaan
1.Pendidikan
Dihubungkan dengan pendidikan, yang memiliki pengertian sebagai sarana atau wadah
dari kebudayaan dan tempat berkembangnya sebagian pengungkapan tentang
kebudayaan. Kita kembali pada pemahaman bahwa pembuat kebudayaan adalah manusia.
Dan pendidikan sebagai pamanusiawian karena pendidikan adalah wadah dari
kebudayaan yang diciptakan oleh manusia. Jadi pendidikan itu adalah wadah untuk
memanusiakan manusia, dengan mengajarkan kebudayaan kepada penciptanya.
Menurut Ki Hajar Dewantara Tujuan pendidikan adalah memajukan kesempurnaan hidup peserta didik yaitu selaras dengan kodratnya, serasi dengan adat istiadat, dinamis, memperhatikan sejarah bangsa dan membuka diri pada pergaulan dengan kebudayaan lain. Sesuai maknanya yakni membantu manusia mengembangkan diri dan menyiapkan diri guna mengambil tempat semestinya dalam pengembangan masyarakat dan duniannya dihadapan sang Pencipta. Untuk memahami makna sejati pendidikan, orang harus mendalami arti hidup manusia ditengah alam semesta, diantara sesamanya, dan dihadapan tuhan YME. (wikipedia).
Pendidikan pada hakekatnya adalah proses pemanusiaan dan pemanusiawian, maka petugas utama proses pendidikan adalah si manusia peserta didik sendiri. Dan pembantu utama adalah orang tua, karena dalam setiap terjadinya manusia adalah kehendak Tuhan.
Selain itu adalah sudah menjadi kodrat manusia hak pertama atas proses pendidikan ada di tangan manusia dengan dengan melibatkan orang tua, masyarakat dan pemerintah. Untuk itu manusia membutuhkan pendidik. Sedangkan pendidik harus memiliki ilmu mendidik, psikologi, antropologi, kosmologi, filsafat dan teologi.
Guna membantu anak-anak menjadi manusia, orang tua memerlukan bantuan sekolah. Karena disekolah disediakan sebuah pelatihan menjadi manusia yang sudah terorganisir.
Pendidikan dikatakan berhasil apabila pendidikan itu yang membentuk manusia-manusia yang hidup sebagai manusia, bukan sekedar “mur-baut”, artinya adanya rasa saling menghargai antara manusia satu dengan manusia lainnya. Nah karena itulah kenapa pendidikan dikatakan sebagai pemanusiawian.
2. Kebudayaan
Menurut Ki Hajar Dewantara, Kebudayaan adalah buah budi manusia yang merupakan hasil perjuangan terhadap 2 pengaruh yang kuat, yaitu alam dan zaman yang merupakan kebutuhan hidup manusia untuk mengatasi tantangan hidup dan kehidupan guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang bersifat tertib dan damai.
Dari pengertian diatas, secara filosofis dapat di jabarkan sebagai berikut; buah adalah hasil puncak dari proses kehidupan panjang dari awal hingga akhir yang berlangsung terus menerus. Misalnya, buah mangga dari tumbuhan mangga, buah mangga merupakan hasil puncak dari proses kehidupan tumbuhan mangga yang akan terus berlangsung.
Sedangkan budi adalah perpaduan antara akal dan perasaan. dan inilah yang menjadikan manusia berbeda dengan makhluk lainnya, yang hanya memiliki insting dan nafsu. Misalnya, kita melihat orang dijalanan dan merintih kelaparan, tanpa sengaja kita merasa tersentuh, atau merasa iba, kemudian kita mulai berpikir apakah kita akan membantu atau tidak? Setelah akal dan perasaan kita menyatu dengan sendirinya, akan timbul reaksi dari perpaduan tersebut seperti kita akan membantu orang tersebut atau malah mengacuhkan. Itu kembali pada seberapa besar rasa simpatinya.
akal diartikan sebagai sebuah alat yang digunakan untuk berpikir. Dalam hal menilai, memahami, mangalisis, menyimpulkan, dsb. Dari akal itulah kita dapat berpikir mana yang baik dan mana yang buruk. Misalnya, kita melihat sebuah pencuri, dalam arti mengambil hak milik orang lain. Dari sini kita sudah bisa menilai, apakah hal itu termasuk hal yang baik atau sebaliknya, untuk memutuskan hal itu kita mulai berpikir menggunakan akal kita kemudian kita mengaitkannya dengan pelanggaran hak dan asasi manusia yang merupakan sesuatu yang seharusnya ditegakkan.
Sedangkan perasaan adalah penafsiran dari segala sesuatu yang kita rasakan. Perasaan berasal dari kata rasa yang berarti fell dari bahasa inggris. Namun fell disini bukan berarti insting atau naluri. Rasa sendiri sangat identik dengan yang namanya emosi, baik itu emosi yang positif ataupun yang negatif. Emosi sendiri merupakan bentuk dari rasa itu sendiri, seperti sayang, cinta, senang, suka, benci, dsb. Misalnya, segala sesuatu yang dilakukan orang tua terhadap anaknya, dalam arti positif. Orang tua memiliki rasa sayang yang luar biasa yang kemudian diungkapkan dengan perlakuan mereka terhadap anak mereka.
Manusia adalah yang sudah sedikit dijelaskan dari pengertian kebudayaan secara filosofif diatas bahwa manusia itu merupakan makhluk berbudi yaitu memiliki akal dan perasaan, selain itu juga manusia merupakan makhluk individu yang sosialis. Yang dimaksud dengan makhluk individu yang sosialis adalah manusia memiliki hak untuk hidup secara individu tapi manusia tidak dapat berkembang tanpa adanya interaksi dengan manusia lainnya atau bersosialisasi dengan manusia lainnya. Dan dengan interaksi inilah akan timbul sebuah peradaban dan membentuk sebuah era atau zaman.
Maksud Alam menurut ki hajar dewantara disini adalah tempat hunian manusia namun lebih menekankan pada sifat dan cara alam berkembang yakni secara alami atau secara alamiah. Misalnya, alam berkembang dan terbentuk dengan sendirinya tanpa adanya campur tangan manusia. Jadi maksudnya, kebudayaan itu berkembang secara alamiah mengiringi perkembangan manusia dengan alam serta membudidayakan alam itu sendiri.
Zaman adalah satuan unit waktu, namun dalam pengertian kebudayaan zaman adalah satuan unit waktu yang didalamnya bersisi tentang perkembangan peradaban manusia. Dan manusia membutuhkan perjuangan untuk hidup di dunia dan membuat peradaban hingga sekarang. Inilah kenapa Ki Hajar Dewantara mengatakan hal itu. Karena untuk bertahan hidup, manusia harus berjuang melawan alam, memberdayakan alam, dan melestarikan alam dan untuk menghadapi 2 faktor terberat manusia yaitu alam dan membuat peradaban di alam itu sendiri itulajh yang dimaksud perjuangan dalam menciptakan sebuah kebudayaan atau perdaban dan di ukur dengan zaman.
Jadi sesuai dengan pengertian kebudayan yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara, kebudayaan merupakan hasil puncak dari perpaduan dari akal dan perasaan manusia yang dibentuk secara alamiah dan diproses dalam waktu yang lama hingga menjadi sebuah peradaban (zaman).
C. Mengenal Sosok Ki Hajar Dewantara
Ki Hajar Dewantara Lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889.Terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya.
Perjalanan hidupnya benar-benar diwarnai perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsanya. Ia menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.
Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Pada tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.
Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka. Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum pada pemerintah kolonial Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg berusaha menghalangi kehadiran partai ini dengan menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913. Alasan penolakannya adalah karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan menggerakan kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda.
Kemudian setelah ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische Partij ia pun ikut membentuk Komite Bumipoetra pada November 1913. Komite itu sekaligus sebagai komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda. Komite Boemipoetra itu melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut.
Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik lewat tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker itu antara lain berbunyi:
“Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si Inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa Inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun”.
Akibat karangannya itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman internering (hukum buang) yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh bagi seseorang untuk bertempat tinggal. Ia pun dihukum buang ke Pulau Bangka.
Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo merasakan rekan seperjuangan diperlakukan tidak adil. Mereka pun menerbitkan tulisan yang bernada membela Soewardi. Tetapi pihak Belanda menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk memusuhi dan memberontak pada pemerinah kolonial. Akibatnya keduanya juga terkena hukuman internering. Douwes Dekker dibuang di Kupang dan Cipto Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda.
Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa memperlajari banyak hal dari pada didaerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman.
Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche Akte. Kemudian ia kembali ke tanah air di tahun 1918. Di tanah air ia mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan.
Setelah pulang dari pengasingan, bersama rekan-rekan seperjuangannya, ia pun mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.
Tidak sedikit rintangan yang dihadapi dalam membina Taman Siswa. Pemerintah kolonial Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Tetapi dengan kegigihan memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi itu kemudian dicabut.
Di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Tamansiswa, ia juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan buah. Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.
Sementara itu, pada zaman Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan tetap dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dalam tahun 1943, Ki Hajar duduk sebagai salah seorang pimpinan di samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur.
Setelah zaman kemedekaan, Ki hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959. Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957.
Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal dunia pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana. Kemudian oleh pihak penerus perguruan Taman Siswa, didirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara. Dalam museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar sebagai pendiri Tamansiswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hajar sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional.
Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi.
Hari lahirnya, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya yang terkenal ialah tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan). (wikipedia)
D. Pendidikan sebagai Akulturasi
Sebagai mana pendidikan sudah dijelaskan diatas bahwa pendidikan adalah wadah dari pengapresiasian kebudayaan. Dan dalam pendidikan juga diajarkan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan kebudayaan yang diciptakan oleh manusia untuk memanusiakan manusia.
Menurut Ki Hajar Dewantara (1889-1959), hubungan Pendidikan dan Kebudayaan adalah upaya untuk memajukan perkembangan budi pekerti yang terintegrasi (batin, inteligensi dan tubuh) untuk memajukan kesempurnaan hidup selaras alam dan masyarakat.
Akulturasi menurut KBBI, 1990, memiliki tiga pengertian dan yang pertama adalah proses percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling mempengaruhi. Yang kedua akultirasi juga merupakan proses masuknya kebudayaan asing terhadap suatu masyarakat, sebagian menyerap secara selektif sedikit unsur atau banyak unsur kebudayaan asing itu. Yang ketiga adalah proses atau hasil pertemuan kebudayaan atau bahasa di antara anggota-anggota dua masyarakat bahasa, ditandai dengan peminjaman atau bilingualisme.
Selanjutnya Pendidikan Nasional dinyatakan sebagai pandangan beralas garis hidup bangsanya dan ditujukan untuk keperluan peri kehidupannya yang mengangkat derajat negara dan rakyatnya, agar dapat bekerja sama dengan bangsa lain untuk kemuliaan seluruh dunia.
Akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing (wikipedia). Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri. Misalnya, dalam konteks pola pikir “time is money”, selogan ini di belahan dunia bagian barat sudah dijadikan sebuah kebudayaan hingga dijadikan prinsip hidup oleh orang-orang barat. Sekarang orang Indonesia ingin mengadopsi selogan tersebut, namun tidak menghilangkan kebudayaan ketimuran.
Artinya pemikiran mengenai “time is money” cenderung individualisnya sangat tinggi sedangkan kita cenderung meninggikan sosialis. Maka, dalam proses penyerapannya kita menjalankan prinsip time is money namun tetap bersosialis.
Dengan sub pembahasan pendidikan sebagai akulturasi itu sudah jelas adanya. Karena pendidikan itu sendiri sudah mengajarkan tentang ilmu-ilmu kebudayaan, mulai dari penyerapannya, penyajiannya, akulturasi dan inkulyurasi pun juga termasuk didalamnya. Misalnya, dalam sebuah forum atau sebuah bidang dari pendidikan yakni pembelajaran tentang ilmu teknologi, tanpa sadar kita sudah melakukan proses penyerapan kebudayaan yang kemudian diterapkan ke masyarakat. Dalam penyerapan budaya asing itu kita angkat pembelajaran ilmu teknologi, yang bersifat individualis. Sedangkan sosialisnya adalah menerapkan pada masyarakat atau berbagi pengetahuan dengan masyarakat.
Di dalam Al-Qur’an pun telah diterangkan oleh surat Al-Alaq dengan (iqra’) yang arinya bacalah, dan dalam hadits yang cukup terkenal yaitu carilah ilmu sampai ke negri china, dari dua landasan tersebut dapat disimpulkan bahwa pertama manusia diciptakan memang untuk belajar, dan yang kedua adalah belajar itu tidak ada batasan, artinya tidak ada batasan tempat da waktu untuk menutut lmu bagi manusia.
"العلم ينظروا الى الصين الأراضي" stidaH lA
E. Kesimpulan
Sehubungan dengan kebudayaan sebagai konteks dan konten pendidikan, maka dengan adanya penafsiran seperti itu sudah dapat disimpulkan bahwa simpulan Pendidikan sebagai akulturasi itu memang benar. Karena, pendidikan merupakan sebuah wadah dan isi dari ilmu-ilmu tentang kebudayaan.
F. Referensi
A-Qur’an dan Al-Hadits
Departemen pendidikan dan kebudayaan, 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka.
http.//Wikipedia.com/
Proses presentasi
Pertanyaan Bu Chornia: kriteria kebudayaan yang baik di dalam pendidikan
Jawaban : kebudyaan yang baik di dalam pendidikan itu harus sesuai dengan nilai-nilai atau norma kebudayaan dalam wilayah konteks pendidikan itu sendiri. Nilai-nilai atau norma tersebut meliputi norma agama, norma kebudayaan di wilayah pendidikan tersebut, norma hukum, dll.
Pertanyaan dari Pak Rasmian : kata kunci dari pendidikan sebagai akulturasi
Jawaban : kata kuncinya adalah kebudayaan adalah konten dan konteks pendidikan. Dalam artian bahwa kebudayaan merupakan isi dan wadah dari pendidikan itu sendiri.
Pertanyaan dari Pak Angga: kajian inti dari pendidikan sebagai akulturasi
Jawaban : kajian pendidikan sebagai akulturasi adalah kebudayaan merupakan isi pendidikan dan kebudayaan merupakan wadah dari kebudayaan serta proses penyerapan, pencampuran dan peminjaman kebudayaan yang terjadi di dalam pendidikan.
Saran
Penulisan referensi KBBI harus jelas.
ALIRAN POSITIVISME DALAM METODE PENELITIAN KUALITATIF
Label:
metodologi penelitian
ALIRAN POSITIVISME DALAM
METODE PENELITIAN KUALITATIF
Metodologi Penelitian Kualitatif
Dosen pembimbing :
Dr. Maria Mintowati
Ditulis oleh :
Kelompok 1 Kelas C 2011:
Agus Paramuriyanto 117835008
Rasmian 117835065
PROGRAM PASCASARJANA (S-2)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
TAHUN AJARAN 2011/ 2012
ALIRAN POSOTIVISME DALAM
METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF
A. Pengantar
Ilmu pengetahuan sering dipandang sebagai akumulasi pengetahuan yang sistematis. (Nasution, 2004:2). Ilmu pengetahuan yang memiliki sifat sistematis tersebut pada hakekatnya bersifat tentative atau sementara. Sehingga sewaktu –waktu dapat berubah atau berkembang. Ilmu pengetahuan dapat berubah atau berkembang dikarenakan adanya penegetauan-pengetahuan baru yang dianggap lebih benar. Dalam hal ini, penelitian merupakan salah satu faktor penentu perubahan tersebut.
Dunia penelitian dari waktu ke waktu juga berkembang. Sejak abad ke16-17 paradigma penelitian dipengaruhi oleh pandangan rasionalisme (tahun 1596-1650). Isi pandangan ini antara lain 1) sumber pengetahuan yang dapat dipercaya adalah akal (rasio), 2) pengalaman empiris hanya berfungsi mengukuhkan pengetahuan yang diperoleh oleh akal, 3) akal tidak memerlukan pengalaman indrawi ( Mantra, 2008:34).
Pada tahun 1651-1626 paradigma penelitian dipengaruhi pandangan empirisme. Diantara isi pandangan ini adalah 1) dunia merupakan suatu keseluruhan sebab akibat, 2) perkembangan akal ditentukan oleh perkembangan empiris ( Mantra, 2008:34).
Selanjutnya pada abad ke-19 paradigma penelitian dipengaruhi pandangan positivism yang dipelopori oleh pemikiran Auguste Comte (1798-1857). Dalam usaha untuk memecahkan masalah yang ada dalam masyarakat, kelompok positivisme berusaha untuk mengetahui melalui penelitian ( Mantra, 2008:24). Pendekatan yang dianut oleh kelompok positivisme ini sering disebut sebagai penelitain kuantitatif.
Perkembangan dunia pendidikan sering kita jumpai banyak masalah-masalah yang membutuhkan jalan keluar. Dan tentunya di perlukan suatu penelitian dalam menyelesaikan masalah-masalah itu. Meninjau pemecahan masalah-masalah tersebut membutuhkan sebuah penelitian maka sebaiknya kita menelaah metode-metode penelitian.
Bicara mengenai metode penelitian, metodologi penelitian merupakan bagian dari ilmu penelitian yang mempelajari bagaimana prosedur kerja mencari kebenaran. Dan dalam hal ini metode penelitian di bagi menjadi dua nama besar yaitu metode penelitian kualitatif dan kuantitatif. kita sudah mengenal ada metode penelitian kualiatif dan metode penelitian kuantitatif. Metode penelitian kualitatif itu adalah metode yang menggunakan pembahasan secara deskistif namun penghitungannya tetap menggunkan statistik sedangkan metode kuantitatif cenderung menggunakan perhitungan data atau biasa kita kenal dengan statistik.
Dalam makalah singkat ini akan dibahas secara singkat pula penelitian kualitatif yang memanfaatkan pandangan positivisme.
B. Pengertian Positivisme
Positivisme diperkenalkan oleh Auguste Comte (1798-1859). Dalam karya discour l’esprit positiv (1844) yaitu pembicaraan tentang jiwa positif, Comte menguraikan secara singkat pendapat positivis, yaitu; hukum tiga tahap, klasifikasi ilmu-ilmu pengetahuan dan bagan mengenai tatanan dan kemajuan ilmu pengetahuan. (Atang, dkk. 2008: 296)
Positivisme berasal dari kata “positif”. Disamakan dengan faktual, yaitu semua yang berdasarkan fskta-fakta. Menurut positivisme, pengetahuan empiris menjadi contoh istimewa dalam bidang pengetahuan. Positivisme menolak cabang filsafat metafisika. Penanyaan tentang “hahekat” benda-benda atau “penyebab yang sebenarnya”, bagi positivisme tidaklah berarti apa-apa. Positivisme juga berkaitan erat dengan apa yang dicita-citakan empirisme, positivisme pun mengutakan pengalaman. Hanya saja berbeda dengan empiris yang berkembang di Inggris, karena di Inggris selain menerima pengalaman jasmaniyah juga menerima pengalaman batiniah, sedangkan positivisme tidak menerima pengalaman batiniah karena hanya bertumpu pada fakta-fakta saja. (Juhaya S. Pradja, 2000: 89)
Hukum tiga tahap Comte (1798-1857) merupakan usaha Comte untuk menjelaskan kemajuan evolusioner umat manusia dan masa primitif sampai peradaban prancis abad ke sembilan belas yang sangat maju. Singakatnya hukum ini menyatakan bahwa masyarakat (atau umat manusia) berkembang melalui tahap utama. Tahap-tahap ini ditentukan menurut cara berfikir yang dominan, yaitu teologis, metafisik, dan positif. Lebih lagi, pengaruh cara berfikir yang berbeda-beda ini meluas ke pola-pola kelembagaan dan organisasi sosial masyarakat. Jadi, watak struktur sosial masyarakat bergantung pada gaya epistemologisnya atau pandangan dunia, atau cara mengenal dan menjelaskan gejala yang dominan.(Atang, 2008. 301 )
Comte menjelaskan hukum tiga tahap sebagai berikut.
“ Dari studi mengenai perkembangan inteligensi manusia, dan melalui segala zaman, penemuan muncul dari suatu hukum dasar yang besar. Inilah hukumnya: bahwa setiap konsepsi kita yang paling maju-setiap cabang pengetahuan kita-berturut-turut melewati tiga kondisi teoritis yang berbeda: teologi atau fiktif; metafisik atau abstrak; ilmiah atau positif. Dengan kata lain, pikiran pada dasarnya, dalam pembangunannya, menggunakan tiga metode berfilsafat yang karakternya sangat berbeda dan malah sangat bertentangan .... yang pertama merupakan titik tolak yang harus ada dalam pemahaman manusia; yang kedua suatu keadaan peralihan; dan yang ketiga adalah pemahaman dalam keadaan yang pasti dan tak tergoyahkan. (Atang, 2008, 301)
Jadi menurut uraian di atas positivisme adalah sebuah pemikiran tentang hal-hal yang berbau positif dan berpakotan pada fakta-fakta pengalaman jasmani saja yang rasional dan menolak pengalaman batiniah, yang didasari oleh hukum tiga tahap Comte.
C. Metodologi Penelitian Kualitatif
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990. 920. Metodologi adalah kembangan dari kata metode atau cara jadi metodologi adalah ilmu tentang metode. Sedangkan Penelitian berasal dari kata teliti yang memiliki makna cermat; seksama. Kemudian dikembangkan menjadi meneliti yang berarti memeriksa (menyelidiki, dsb). Kemudian dikembangkan lagi menjadi penelitian yaitu: pemeriksaan yang teliti. Dan kualitatif adalah berdasarkan mutu.
Penelitian adalah suatu kegiatan monopoli para ahli. Dalam artian ahli dibidangnya masing-masing (Arikunto, 2006. 1).
Jadi metodologi penelitian adalah sebuah ilmu tentang metode atau cara untuk melakukan sebuah pemeriksaan secara teliti namun semua itu harus berdasarkan mutu. Maksudnya ilmu tentang cara untuk melakukan pemeriksaan secara teliti namun yang diteliti itu bermutu atau penting untuk diteliti dan dibutuhkan penjelasan terhadap bahan yang akan diteliti tersebut.
Kemudian digabungkan dengan pemikiran aliran positivisme menjadi sebuah ilmu tentang cara untuk melakukan pemeriksaan secara teliti namun yang diteliti itu bermutu atau penting untuk diteliti dan dibutuhkan penjelasan terhadap bahan yang akan diteliti tersebut dengan berpandangan positif atau pada fakta-fakta. Namun dalam hal penyajian, penelitian kualitatif tidak boleh lepas dari cara penyajiannya yakni secara deskriptif.
D. Pendekatan Aliran Positivisme dalam metodologi penelitian kualitatif
Menurut Muhadjir, metodologi penelitian kuantitatif dengan teknik statistikanya diakui mendominasi analisis sejak abad ke-18 hingga abad ini. Dengan semakin canggihnya teknologi komputer, berkembangnya tenik-teknik analisis statistik yang mendukung pengembangan pennelitian kuantitatif. Metodologi kuantitatif menjadi lebih bergengsi daripada penelitian kualitatif, karena diyakini hasil pendataannya lebih akurat. Lebih-lebih bila diperhatikan pada sejumlah kenyataan kebanyakan calon ilmuan menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan alasan dan bukti ketidakmampuannya menguasai tekni-teknik analisis statistik. Jadi mereka menggunakan analisis deskriptif karena dianggap lebih mudah.
Metodologi penelitian kuantitatif statistik bersumber pada wawasan filsafat positivisme Comte, yang menolak metaphisik dan teologi; atau menganggap teologi dan metaphisik sebagai primitif. Melainkan menyakini hukum-hukum inheren atau secara lebih menyakinkan didasarkan pada penelitian empirik daripada teologi dan metaphisik. Karena menurut positivisme, ilmu yang valid adalah ilmu yang dibangun dari empirik.
Dengan pendekatan positivisme dalam metodologi penelitian kuantitatif, menuntut adanya rancangan penelitian yang menspesifikkan objeknya secara eksplisit, dipisahkan dari objek-objek lain yang tidak diteliti. Metodologi penelitian kuantitatif mempunyai batasan-batasan pemikiran yaitu: korelasi, kausalitas, dan interaktif; sedangkan objek data, ditata dalam tatapikir kategorsasi, interfalisasik dan kontinuasi. (Muhadjir,2008. 12).
Jadi intinya, metodologi kuantitatif mulai dengan penetapan objek studi yang spesifik, dipisahkan dari totalitas atau konteks besarnya; sehingga eksplisit jelas objek studinya. Kemudian disusun kerangka teori sesuai dengan objek studi spsifiknya. Dari situ ditelorkan hipotesis atau problematik penelitian, instrumentasi pengumpulan data, dan teknik sampling serta teknik analisisnya; juga rancangan metodologik lainnya, seperti: penetapan batas signifikansi, teknik-teknik penyesuaian bila ada kskurangan atau kekeliruan dalam data. Administrasi, analisis dan semacamnya. Dengan kata lain semua dirancang masak-masak sebelum terjun ke lapangan sebelum meneliti.
Sementara pembaca atau calon peneliti mempertanyakan: mengapa materi pembahasan ini membahas metodologi penelitian kuantitatif, sedangkan pokok bahasan yang sebenarnya adalah pendekatan positivisme dalam metodologi penelitian kualitatif. Sebenarnya, pada pendekatan positivisme dalam metodologi kualitatif, peneliti hanya menggunakan pola pikir dari metodologi penelitian kuantitatif saja. Baik itu sistemnya, cara analisisnya, ataupun penyusunannya. Namun yang menjadi tolak ukurnya adalah memanfaatkan kemampuan metodologi penelitian kuantitatif yaitu: mengakomodasikan teks deskipsi verbal menggantikan angka atau menggabungkan olahan data statistik dengan olahan verbal, namun tetap dengan pola pikir kuantitatif. Intinya kualitatitif positivisme ini hanya mengambil sisi positif dari kemampuan kuantitatif kemudian dijabarkan dengan deskriptif.
Sebagaimana dijelaskan dalam subbabpengantar bahwa Positivisme diperkenalkan oleh Auguste Comte (1798-1857). Auguste Comte berpandangan bahwa ilmu pengetahuan tidak boleh melebihi fakta-fakta(Salahundin, 2011: 74). Dengan demikian ilmu pengetahuan empiris menjadi contoh istimewa dalam bidang pengetahuan. Dalam hal ini Muhajir (2000, 12) menjelaskan bahwa kaum positivisme mengembangkan metodologi aksiomatisasi teori ilmu ke dalam ke dalam logika matematik, dan dikembangkan lebih jauh dalam logika induktif. Oleh karenanya penerapan metode tersebut banyak dipakai oleh ilmu-ilmu alam.
Menurut W. Dilthey dalam Hardiman (2003: 22) ilmu dibedakan menjadi dua yaitu ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu roh/budaya. Ilmu-ilmu alam mepiluti ilmu Fisika, Kimia, Biologi dan lain sebagainya.
Penerapan pandangan positivisme dalam penelitian ilmu alam menurut Hardiman ( 2003:22) dapat dijelas sebagai berikut:
a. Seorang ahli ilmu alam misalnya mengamati benda jatuh, sel atau larutan asam di laboratorium. Ia memandang objek penelitian tersebut dengan sikap bahwa proses-proses alamiah itu hanya sebagai objek belaka.
b. Dengan pandangan bahwa proses alamiah itu hanya sebagai objek belaka, peneliti menghadapi objeknya sebagai fakta netral.
c. Peneliti memanipulasi objeknya dengan eksperimen untuk menemukan pengetahuan menurut model “sebab-akibat”.
d. Hasil manipulasi adalah sebuah pengetahuan tentang hokum-hukum yang niscaya terjadi di alam.
Sedangkan menurut Mantra (2008:24) kaum Positivisme melakukan penelitian melalui beberapa tahap. Tahap pertama membuat hipotesis tentang penyebab terjadinya masalah, tahap kedua menguji hipotesis melalui percobaan, observasi dan komparasi. Tahap ketiga menganalisis apakah hipotesis diterima atau ditolak. Jika hipotesis diterima maka statusnya berubah menjadi tesis, kebenaran atau dalil.
Menurut Moleong (2002:2) penelitian kualitatif diartikan sebagai penelitian yang tidak mengadakan perhitungan. Istilah ini tampaknya digunakan untuk menujukkan kebalikan dari istilah penelitian kuantitatif. Penelitian kuantitatif Menurut Moleng adalah penelitian yang didasarkan pada perhitungan matematik yang meliputi prosentase, rata-rata, ci kuadrat dan perhitungan statistic lain( 2002:2).
Sedangkan Bungin (2010:3) mengemukan bahwa penelitian kualitatif merupakan penelitian sosial yang menggunakan paradigma fenomenologi. Berbeda dengan Bungin, Arikunto (2006:12) memakai istilah penelitian kualitatif naturalistik sebagai padanan istilah kualitatif. Arikunto menjelaskan penelitian kulitatif naturalistik menunjuk bahwa pelaksanaan penelitian ini memang terjadi secara alamiah, apa adanya, dalam situasi normal yang tidak dimanipulasi keadaan dan kondisinya. Dengan kata lain penelitian kualitaif merupakan penelitian yang kesimpulannya tidak diperoleh dari prosedur-prosedur statistik
Kembali pada pertanyaan “apakah yang dimaksud dengan penerapan metode kuantitatif (metode ilmu alam/ metode positivisme) pada penelitian kualitatif”?
Menjawab pertanyaan tersebut terlebih dahulu diingat pendapat Hardiman tentang pandangan positivism dalam penelitian ilmu alam yang telah dikutip pada subbab Mengenal Pisitivisme dan Metodologi Penelitiannya. Langkah-langkah yang dipakai dalam penelitian ilmu alam tersebut diterapkan dalam penelitian social yang objeknya diganti dengan ‘’fenomena-fenomena sosial”. Data dalam penelitian kualitatif diubah menjadi data kuantitatif.
Sebelum itu ada tiga persyaratan penting dalam mengadakan kegiatan penelitian yaitu; sitematis, berencana dan mengikuti konsep- konsep ilmiah yang diterapkan dalam kegiatan penelitian, maka urutan urutannya adalah sebagai berikut;
a. Penelitian dihadapkan pada suatu kebutuhan atau tantangan
b. Merumuskan masalah, sehingga masalah tersebut menjadi jelas batasannya, kedudukannya, dan alternatif carau ntuk pemecahan masalah.
c. Menetapkan hipotesis sebagai titik tolak mengadakan tindakan menetukan alternatif pemecahan yang dipilih
d. Mengumpulkan data untuk menguji hipotesis
e. Mengambil kesimpulan berdasarkan hasil pengolahan data dan dikembalikan kepada hipotesis yang sudah dirumuskan.
f. Menentukan kemungkinan untuk mengadakan generalisasi dari kesimpulan tersebut serta implikasinya dimasa yang akan datang. (arikunto, 2006. 20-21).
Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut dapat disimpulkan langkah-langkah Penelitian Kualitatif dengan Aliran Positivisme adalah:
a. Memfokuskan topik yang akan diteliti
b. Penelitian yang mengunakan ilmu logika matematik,
c. Karena mengunakan logika matematik, maka data-data berupa angka matematik, oleh karena itu penelitian disebut sebagai penelitian kuantitatif
d. Penelitian tidak hanya diterapkan pada ilmu alam yang meliputi fisika, kimia, biologi, melainkan ilmu sosialpun masuk didalamnya
e. Penelitian menggunakan tahap perumusan hipotesis, percobaan, analisis hipotesis dan penyimpulan masalah
f. Jika hipotesis diterima, maka ia berubah menjadi tesis, kebenaran atau dalil.
g. Adanya langkah antisipasi atau peninjauan kembali agar dapat dikembangkan lagi supaya ada perkembang penelitian lebih lanjut dari penelitian tersebut.
Jadi kesimpulannya adalah metodologi penelitian secara tidak sengaja sudah mengadopsi aliran positivime karena metodologi penelitian sistematiknya sudah mencakup semua pemikiran aliran positivisme, yang mana langkah-langkah metodapat dirinci sebagai berikut;
a. Memilih masalah
b. Studi pendahuluan
c. Merumuslan masalah
d. Merumuskan hipotesis
e. Memilih pendekatan
f. Menentukan variabel
g. Menyusun instrumen
h. Mengumpulkan data
i. Analisis data
j. Menarik kesimpulan
k. Menulis laporan
Menurut mantra, 2008. 37-berikut ini adalah beberapa contoh penelitian kualitatifif yang mengunakan pendekatan positivisme, atau biasa dikenal penelitian positivisme;
1. Penelitian survei
Metode penelitian survei umumnya dipergunakan penelitian ekploratif, penelitian deskriptif, dan penelitian eksplanatif.
a. Eksploratif
Penelitian ekploratif bertujuan untuk mengungkap hal-hal baru yang muncul di masyarakat. Misalnya, peristiwa bom bali yang terjadi di Legian (Bali) pada 12 oktober 2002 yang menewaskan lebih dari 180 orang perlu diungkap. Untuk mengungkap hal tersebut polisi memerlukan adanya penelitian eksploratif. Baik siapa saja pelakunya, tujuan mereka, jenis bom yang dipakai, adakah hubungannya dengan teroris internasional, dan sebagainya. Itulah yang dimaksut dengan penelitian.
b. Deskripsi
Penelitian deskriptif bertujuan untuk mendeskripsikan atau melukiskan realita sosial yang komplek yang ada di masyarakat. Misalnya, sensus penduduk yang diselenggarakan oleh negara-negara di seluruh dunia. Para petugas sensus tidak hanya mengumpulkan data berapa jumlah penduduknya dan di dijadikan informasikan ke kegara yang diteliti penduduknya tersebut. Di samping informasi kependudukan juga dikupas keadaan ekonomi rumah tangga di daerah penelitian.dan semua data tersebut dideskripsikan secara menyeluruh.
c. Eksplanatif
Penelitian eksplanatif dibedakan menjadi dua yaitu; penelitian penjelasan dan penelitian prakiraan (prediksi).
Penelitian penjelasan, bertujuan menjelaskan sesuatu yang sudah terjadi. Penelitian ini terjadi karena adanya pertanyaan mengapa “hal” itu terjadi? dan apa yang menyebabkan “hal” itu terjadi? Berangkat dari pertanyaan inilah penelitian penjelasan ini berangkat. Misalnya, kenapa di kota besar seperti jakarta masih terdapat tempat-tempat hunian msyarakat yang masih kumuh, dan apa yang menjadi penyebabnya? ... hal seperti ini membutuhkan penjelasan pastinya.
Penelitian prakiraan (prediksi), bertujuan untuk mencari jawaban. Misalnya apa yang terjadi terhadap masyarakat petani di suatu daerah kalau area pertanian berubah menjadi; pemukiman kawasan industri, dan menjadi prasarana pembangunan lainnya. Seperti adanya rencana pembangunan jembatan Suramadu antara Surabaya-Madura. Jadi dengan adanya hal ini, maka diadakan penelitian prediksi, dengan pertanyaan bagaimana nasib awak kapal penyebarangan dan apakah berdampak pada keadaan sosial ekonomi masyarakat.
2. Penelitian studi kasus
Studi kasus adalah metodologi penelitian yang diuraikan terdahulu berupaya mencari kebenaran ilmiah dengan cara mempelajari secara mendalam dan dalam jangka waktu yang lama. Bukan banyaknya individu dan juga nilai rata-rata yang dijadikan dasar pengambilan kesimpulan, melainkan didasarkan pada ketajaman peneliti dalam melihat: kecendrungan, pola , arah, interaksi banyak faktor, dan hal lain yang memacu atau menghambat suatu perubahan.
E. Kesimpulanya
Jadi kesimpulannya adalah metodologi penelitian secara tidak sengaja sudah mengadopsi aliran positivime karena metodologi penelitian sistematiknya sudah mencakup semua pemikiran aliran positivisme, yang kemudian diterapkan dalam penelitian kualitatif yang mana langkah-langkah tersebut dapat dirinci sebagai berikut;
a. Memilih masalah
b. Studi pendahuluan
c. Merumuslan masalah
d. Merumuskan hipotesis
e. Memilih pendekatan
f. Menentukan variabel
g. Menyusun instrumen
h. Mengumpulkan data
i. Analisis data
j. Menarik kesimpulan
k. Menulis laporan
DAFTAR PUSKATA
Arikunto, suharsimi, 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Abdul Hakim, Atang dan Beni Ahmad Saebani, 2088. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka Setia.
Bungin, M Burhan, 2010. Penelitian Kualitatif, Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana
Hardiman, Budi, 2003. Melampaui Positivisme dalam Modernitas. Yogyakarta: Konisius.
Mantra, Ida Bagoes, 2008. Filsafat dan Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Moleong, Lexy J, 2002. Metodologo Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Posdakarya.
Nasution, S. 2004. Metode Research. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Suyanto, Bagong dan Sutinah, 2010. Metode Penelitian Sosial, Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta: Kencana.
METODE PENELITIAN KUALITATIF
Metodologi Penelitian Kualitatif
Dosen pembimbing :
Dr. Maria Mintowati
Ditulis oleh :
Kelompok 1 Kelas C 2011:
Agus Paramuriyanto 117835008
Rasmian 117835065
PROGRAM PASCASARJANA (S-2)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
TAHUN AJARAN 2011/ 2012
ALIRAN POSOTIVISME DALAM
METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF
A. Pengantar
Ilmu pengetahuan sering dipandang sebagai akumulasi pengetahuan yang sistematis. (Nasution, 2004:2). Ilmu pengetahuan yang memiliki sifat sistematis tersebut pada hakekatnya bersifat tentative atau sementara. Sehingga sewaktu –waktu dapat berubah atau berkembang. Ilmu pengetahuan dapat berubah atau berkembang dikarenakan adanya penegetauan-pengetahuan baru yang dianggap lebih benar. Dalam hal ini, penelitian merupakan salah satu faktor penentu perubahan tersebut.
Dunia penelitian dari waktu ke waktu juga berkembang. Sejak abad ke16-17 paradigma penelitian dipengaruhi oleh pandangan rasionalisme (tahun 1596-1650). Isi pandangan ini antara lain 1) sumber pengetahuan yang dapat dipercaya adalah akal (rasio), 2) pengalaman empiris hanya berfungsi mengukuhkan pengetahuan yang diperoleh oleh akal, 3) akal tidak memerlukan pengalaman indrawi ( Mantra, 2008:34).
Pada tahun 1651-1626 paradigma penelitian dipengaruhi pandangan empirisme. Diantara isi pandangan ini adalah 1) dunia merupakan suatu keseluruhan sebab akibat, 2) perkembangan akal ditentukan oleh perkembangan empiris ( Mantra, 2008:34).
Selanjutnya pada abad ke-19 paradigma penelitian dipengaruhi pandangan positivism yang dipelopori oleh pemikiran Auguste Comte (1798-1857). Dalam usaha untuk memecahkan masalah yang ada dalam masyarakat, kelompok positivisme berusaha untuk mengetahui melalui penelitian ( Mantra, 2008:24). Pendekatan yang dianut oleh kelompok positivisme ini sering disebut sebagai penelitain kuantitatif.
Perkembangan dunia pendidikan sering kita jumpai banyak masalah-masalah yang membutuhkan jalan keluar. Dan tentunya di perlukan suatu penelitian dalam menyelesaikan masalah-masalah itu. Meninjau pemecahan masalah-masalah tersebut membutuhkan sebuah penelitian maka sebaiknya kita menelaah metode-metode penelitian.
Bicara mengenai metode penelitian, metodologi penelitian merupakan bagian dari ilmu penelitian yang mempelajari bagaimana prosedur kerja mencari kebenaran. Dan dalam hal ini metode penelitian di bagi menjadi dua nama besar yaitu metode penelitian kualitatif dan kuantitatif. kita sudah mengenal ada metode penelitian kualiatif dan metode penelitian kuantitatif. Metode penelitian kualitatif itu adalah metode yang menggunakan pembahasan secara deskistif namun penghitungannya tetap menggunkan statistik sedangkan metode kuantitatif cenderung menggunakan perhitungan data atau biasa kita kenal dengan statistik.
Dalam makalah singkat ini akan dibahas secara singkat pula penelitian kualitatif yang memanfaatkan pandangan positivisme.
B. Pengertian Positivisme
Positivisme diperkenalkan oleh Auguste Comte (1798-1859). Dalam karya discour l’esprit positiv (1844) yaitu pembicaraan tentang jiwa positif, Comte menguraikan secara singkat pendapat positivis, yaitu; hukum tiga tahap, klasifikasi ilmu-ilmu pengetahuan dan bagan mengenai tatanan dan kemajuan ilmu pengetahuan. (Atang, dkk. 2008: 296)
Positivisme berasal dari kata “positif”. Disamakan dengan faktual, yaitu semua yang berdasarkan fskta-fakta. Menurut positivisme, pengetahuan empiris menjadi contoh istimewa dalam bidang pengetahuan. Positivisme menolak cabang filsafat metafisika. Penanyaan tentang “hahekat” benda-benda atau “penyebab yang sebenarnya”, bagi positivisme tidaklah berarti apa-apa. Positivisme juga berkaitan erat dengan apa yang dicita-citakan empirisme, positivisme pun mengutakan pengalaman. Hanya saja berbeda dengan empiris yang berkembang di Inggris, karena di Inggris selain menerima pengalaman jasmaniyah juga menerima pengalaman batiniah, sedangkan positivisme tidak menerima pengalaman batiniah karena hanya bertumpu pada fakta-fakta saja. (Juhaya S. Pradja, 2000: 89)
Hukum tiga tahap Comte (1798-1857) merupakan usaha Comte untuk menjelaskan kemajuan evolusioner umat manusia dan masa primitif sampai peradaban prancis abad ke sembilan belas yang sangat maju. Singakatnya hukum ini menyatakan bahwa masyarakat (atau umat manusia) berkembang melalui tahap utama. Tahap-tahap ini ditentukan menurut cara berfikir yang dominan, yaitu teologis, metafisik, dan positif. Lebih lagi, pengaruh cara berfikir yang berbeda-beda ini meluas ke pola-pola kelembagaan dan organisasi sosial masyarakat. Jadi, watak struktur sosial masyarakat bergantung pada gaya epistemologisnya atau pandangan dunia, atau cara mengenal dan menjelaskan gejala yang dominan.(Atang, 2008. 301 )
Comte menjelaskan hukum tiga tahap sebagai berikut.
“ Dari studi mengenai perkembangan inteligensi manusia, dan melalui segala zaman, penemuan muncul dari suatu hukum dasar yang besar. Inilah hukumnya: bahwa setiap konsepsi kita yang paling maju-setiap cabang pengetahuan kita-berturut-turut melewati tiga kondisi teoritis yang berbeda: teologi atau fiktif; metafisik atau abstrak; ilmiah atau positif. Dengan kata lain, pikiran pada dasarnya, dalam pembangunannya, menggunakan tiga metode berfilsafat yang karakternya sangat berbeda dan malah sangat bertentangan .... yang pertama merupakan titik tolak yang harus ada dalam pemahaman manusia; yang kedua suatu keadaan peralihan; dan yang ketiga adalah pemahaman dalam keadaan yang pasti dan tak tergoyahkan. (Atang, 2008, 301)
Jadi menurut uraian di atas positivisme adalah sebuah pemikiran tentang hal-hal yang berbau positif dan berpakotan pada fakta-fakta pengalaman jasmani saja yang rasional dan menolak pengalaman batiniah, yang didasari oleh hukum tiga tahap Comte.
C. Metodologi Penelitian Kualitatif
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990. 920. Metodologi adalah kembangan dari kata metode atau cara jadi metodologi adalah ilmu tentang metode. Sedangkan Penelitian berasal dari kata teliti yang memiliki makna cermat; seksama. Kemudian dikembangkan menjadi meneliti yang berarti memeriksa (menyelidiki, dsb). Kemudian dikembangkan lagi menjadi penelitian yaitu: pemeriksaan yang teliti. Dan kualitatif adalah berdasarkan mutu.
Penelitian adalah suatu kegiatan monopoli para ahli. Dalam artian ahli dibidangnya masing-masing (Arikunto, 2006. 1).
Jadi metodologi penelitian adalah sebuah ilmu tentang metode atau cara untuk melakukan sebuah pemeriksaan secara teliti namun semua itu harus berdasarkan mutu. Maksudnya ilmu tentang cara untuk melakukan pemeriksaan secara teliti namun yang diteliti itu bermutu atau penting untuk diteliti dan dibutuhkan penjelasan terhadap bahan yang akan diteliti tersebut.
Kemudian digabungkan dengan pemikiran aliran positivisme menjadi sebuah ilmu tentang cara untuk melakukan pemeriksaan secara teliti namun yang diteliti itu bermutu atau penting untuk diteliti dan dibutuhkan penjelasan terhadap bahan yang akan diteliti tersebut dengan berpandangan positif atau pada fakta-fakta. Namun dalam hal penyajian, penelitian kualitatif tidak boleh lepas dari cara penyajiannya yakni secara deskriptif.
D. Pendekatan Aliran Positivisme dalam metodologi penelitian kualitatif
Menurut Muhadjir, metodologi penelitian kuantitatif dengan teknik statistikanya diakui mendominasi analisis sejak abad ke-18 hingga abad ini. Dengan semakin canggihnya teknologi komputer, berkembangnya tenik-teknik analisis statistik yang mendukung pengembangan pennelitian kuantitatif. Metodologi kuantitatif menjadi lebih bergengsi daripada penelitian kualitatif, karena diyakini hasil pendataannya lebih akurat. Lebih-lebih bila diperhatikan pada sejumlah kenyataan kebanyakan calon ilmuan menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan alasan dan bukti ketidakmampuannya menguasai tekni-teknik analisis statistik. Jadi mereka menggunakan analisis deskriptif karena dianggap lebih mudah.
Metodologi penelitian kuantitatif statistik bersumber pada wawasan filsafat positivisme Comte, yang menolak metaphisik dan teologi; atau menganggap teologi dan metaphisik sebagai primitif. Melainkan menyakini hukum-hukum inheren atau secara lebih menyakinkan didasarkan pada penelitian empirik daripada teologi dan metaphisik. Karena menurut positivisme, ilmu yang valid adalah ilmu yang dibangun dari empirik.
Dengan pendekatan positivisme dalam metodologi penelitian kuantitatif, menuntut adanya rancangan penelitian yang menspesifikkan objeknya secara eksplisit, dipisahkan dari objek-objek lain yang tidak diteliti. Metodologi penelitian kuantitatif mempunyai batasan-batasan pemikiran yaitu: korelasi, kausalitas, dan interaktif; sedangkan objek data, ditata dalam tatapikir kategorsasi, interfalisasik dan kontinuasi. (Muhadjir,2008. 12).
Jadi intinya, metodologi kuantitatif mulai dengan penetapan objek studi yang spesifik, dipisahkan dari totalitas atau konteks besarnya; sehingga eksplisit jelas objek studinya. Kemudian disusun kerangka teori sesuai dengan objek studi spsifiknya. Dari situ ditelorkan hipotesis atau problematik penelitian, instrumentasi pengumpulan data, dan teknik sampling serta teknik analisisnya; juga rancangan metodologik lainnya, seperti: penetapan batas signifikansi, teknik-teknik penyesuaian bila ada kskurangan atau kekeliruan dalam data. Administrasi, analisis dan semacamnya. Dengan kata lain semua dirancang masak-masak sebelum terjun ke lapangan sebelum meneliti.
Sementara pembaca atau calon peneliti mempertanyakan: mengapa materi pembahasan ini membahas metodologi penelitian kuantitatif, sedangkan pokok bahasan yang sebenarnya adalah pendekatan positivisme dalam metodologi penelitian kualitatif. Sebenarnya, pada pendekatan positivisme dalam metodologi kualitatif, peneliti hanya menggunakan pola pikir dari metodologi penelitian kuantitatif saja. Baik itu sistemnya, cara analisisnya, ataupun penyusunannya. Namun yang menjadi tolak ukurnya adalah memanfaatkan kemampuan metodologi penelitian kuantitatif yaitu: mengakomodasikan teks deskipsi verbal menggantikan angka atau menggabungkan olahan data statistik dengan olahan verbal, namun tetap dengan pola pikir kuantitatif. Intinya kualitatitif positivisme ini hanya mengambil sisi positif dari kemampuan kuantitatif kemudian dijabarkan dengan deskriptif.
Sebagaimana dijelaskan dalam subbabpengantar bahwa Positivisme diperkenalkan oleh Auguste Comte (1798-1857). Auguste Comte berpandangan bahwa ilmu pengetahuan tidak boleh melebihi fakta-fakta(Salahundin, 2011: 74). Dengan demikian ilmu pengetahuan empiris menjadi contoh istimewa dalam bidang pengetahuan. Dalam hal ini Muhajir (2000, 12) menjelaskan bahwa kaum positivisme mengembangkan metodologi aksiomatisasi teori ilmu ke dalam ke dalam logika matematik, dan dikembangkan lebih jauh dalam logika induktif. Oleh karenanya penerapan metode tersebut banyak dipakai oleh ilmu-ilmu alam.
Menurut W. Dilthey dalam Hardiman (2003: 22) ilmu dibedakan menjadi dua yaitu ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu roh/budaya. Ilmu-ilmu alam mepiluti ilmu Fisika, Kimia, Biologi dan lain sebagainya.
Penerapan pandangan positivisme dalam penelitian ilmu alam menurut Hardiman ( 2003:22) dapat dijelas sebagai berikut:
a. Seorang ahli ilmu alam misalnya mengamati benda jatuh, sel atau larutan asam di laboratorium. Ia memandang objek penelitian tersebut dengan sikap bahwa proses-proses alamiah itu hanya sebagai objek belaka.
b. Dengan pandangan bahwa proses alamiah itu hanya sebagai objek belaka, peneliti menghadapi objeknya sebagai fakta netral.
c. Peneliti memanipulasi objeknya dengan eksperimen untuk menemukan pengetahuan menurut model “sebab-akibat”.
d. Hasil manipulasi adalah sebuah pengetahuan tentang hokum-hukum yang niscaya terjadi di alam.
Sedangkan menurut Mantra (2008:24) kaum Positivisme melakukan penelitian melalui beberapa tahap. Tahap pertama membuat hipotesis tentang penyebab terjadinya masalah, tahap kedua menguji hipotesis melalui percobaan, observasi dan komparasi. Tahap ketiga menganalisis apakah hipotesis diterima atau ditolak. Jika hipotesis diterima maka statusnya berubah menjadi tesis, kebenaran atau dalil.
Menurut Moleong (2002:2) penelitian kualitatif diartikan sebagai penelitian yang tidak mengadakan perhitungan. Istilah ini tampaknya digunakan untuk menujukkan kebalikan dari istilah penelitian kuantitatif. Penelitian kuantitatif Menurut Moleng adalah penelitian yang didasarkan pada perhitungan matematik yang meliputi prosentase, rata-rata, ci kuadrat dan perhitungan statistic lain( 2002:2).
Sedangkan Bungin (2010:3) mengemukan bahwa penelitian kualitatif merupakan penelitian sosial yang menggunakan paradigma fenomenologi. Berbeda dengan Bungin, Arikunto (2006:12) memakai istilah penelitian kualitatif naturalistik sebagai padanan istilah kualitatif. Arikunto menjelaskan penelitian kulitatif naturalistik menunjuk bahwa pelaksanaan penelitian ini memang terjadi secara alamiah, apa adanya, dalam situasi normal yang tidak dimanipulasi keadaan dan kondisinya. Dengan kata lain penelitian kualitaif merupakan penelitian yang kesimpulannya tidak diperoleh dari prosedur-prosedur statistik
Kembali pada pertanyaan “apakah yang dimaksud dengan penerapan metode kuantitatif (metode ilmu alam/ metode positivisme) pada penelitian kualitatif”?
Menjawab pertanyaan tersebut terlebih dahulu diingat pendapat Hardiman tentang pandangan positivism dalam penelitian ilmu alam yang telah dikutip pada subbab Mengenal Pisitivisme dan Metodologi Penelitiannya. Langkah-langkah yang dipakai dalam penelitian ilmu alam tersebut diterapkan dalam penelitian social yang objeknya diganti dengan ‘’fenomena-fenomena sosial”. Data dalam penelitian kualitatif diubah menjadi data kuantitatif.
Sebelum itu ada tiga persyaratan penting dalam mengadakan kegiatan penelitian yaitu; sitematis, berencana dan mengikuti konsep- konsep ilmiah yang diterapkan dalam kegiatan penelitian, maka urutan urutannya adalah sebagai berikut;
a. Penelitian dihadapkan pada suatu kebutuhan atau tantangan
b. Merumuskan masalah, sehingga masalah tersebut menjadi jelas batasannya, kedudukannya, dan alternatif carau ntuk pemecahan masalah.
c. Menetapkan hipotesis sebagai titik tolak mengadakan tindakan menetukan alternatif pemecahan yang dipilih
d. Mengumpulkan data untuk menguji hipotesis
e. Mengambil kesimpulan berdasarkan hasil pengolahan data dan dikembalikan kepada hipotesis yang sudah dirumuskan.
f. Menentukan kemungkinan untuk mengadakan generalisasi dari kesimpulan tersebut serta implikasinya dimasa yang akan datang. (arikunto, 2006. 20-21).
Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut dapat disimpulkan langkah-langkah Penelitian Kualitatif dengan Aliran Positivisme adalah:
a. Memfokuskan topik yang akan diteliti
b. Penelitian yang mengunakan ilmu logika matematik,
c. Karena mengunakan logika matematik, maka data-data berupa angka matematik, oleh karena itu penelitian disebut sebagai penelitian kuantitatif
d. Penelitian tidak hanya diterapkan pada ilmu alam yang meliputi fisika, kimia, biologi, melainkan ilmu sosialpun masuk didalamnya
e. Penelitian menggunakan tahap perumusan hipotesis, percobaan, analisis hipotesis dan penyimpulan masalah
f. Jika hipotesis diterima, maka ia berubah menjadi tesis, kebenaran atau dalil.
g. Adanya langkah antisipasi atau peninjauan kembali agar dapat dikembangkan lagi supaya ada perkembang penelitian lebih lanjut dari penelitian tersebut.
Jadi kesimpulannya adalah metodologi penelitian secara tidak sengaja sudah mengadopsi aliran positivime karena metodologi penelitian sistematiknya sudah mencakup semua pemikiran aliran positivisme, yang mana langkah-langkah metodapat dirinci sebagai berikut;
a. Memilih masalah
b. Studi pendahuluan
c. Merumuslan masalah
d. Merumuskan hipotesis
e. Memilih pendekatan
f. Menentukan variabel
g. Menyusun instrumen
h. Mengumpulkan data
i. Analisis data
j. Menarik kesimpulan
k. Menulis laporan
Menurut mantra, 2008. 37-berikut ini adalah beberapa contoh penelitian kualitatifif yang mengunakan pendekatan positivisme, atau biasa dikenal penelitian positivisme;
1. Penelitian survei
Metode penelitian survei umumnya dipergunakan penelitian ekploratif, penelitian deskriptif, dan penelitian eksplanatif.
a. Eksploratif
Penelitian ekploratif bertujuan untuk mengungkap hal-hal baru yang muncul di masyarakat. Misalnya, peristiwa bom bali yang terjadi di Legian (Bali) pada 12 oktober 2002 yang menewaskan lebih dari 180 orang perlu diungkap. Untuk mengungkap hal tersebut polisi memerlukan adanya penelitian eksploratif. Baik siapa saja pelakunya, tujuan mereka, jenis bom yang dipakai, adakah hubungannya dengan teroris internasional, dan sebagainya. Itulah yang dimaksut dengan penelitian.
b. Deskripsi
Penelitian deskriptif bertujuan untuk mendeskripsikan atau melukiskan realita sosial yang komplek yang ada di masyarakat. Misalnya, sensus penduduk yang diselenggarakan oleh negara-negara di seluruh dunia. Para petugas sensus tidak hanya mengumpulkan data berapa jumlah penduduknya dan di dijadikan informasikan ke kegara yang diteliti penduduknya tersebut. Di samping informasi kependudukan juga dikupas keadaan ekonomi rumah tangga di daerah penelitian.dan semua data tersebut dideskripsikan secara menyeluruh.
c. Eksplanatif
Penelitian eksplanatif dibedakan menjadi dua yaitu; penelitian penjelasan dan penelitian prakiraan (prediksi).
Penelitian penjelasan, bertujuan menjelaskan sesuatu yang sudah terjadi. Penelitian ini terjadi karena adanya pertanyaan mengapa “hal” itu terjadi? dan apa yang menyebabkan “hal” itu terjadi? Berangkat dari pertanyaan inilah penelitian penjelasan ini berangkat. Misalnya, kenapa di kota besar seperti jakarta masih terdapat tempat-tempat hunian msyarakat yang masih kumuh, dan apa yang menjadi penyebabnya? ... hal seperti ini membutuhkan penjelasan pastinya.
Penelitian prakiraan (prediksi), bertujuan untuk mencari jawaban. Misalnya apa yang terjadi terhadap masyarakat petani di suatu daerah kalau area pertanian berubah menjadi; pemukiman kawasan industri, dan menjadi prasarana pembangunan lainnya. Seperti adanya rencana pembangunan jembatan Suramadu antara Surabaya-Madura. Jadi dengan adanya hal ini, maka diadakan penelitian prediksi, dengan pertanyaan bagaimana nasib awak kapal penyebarangan dan apakah berdampak pada keadaan sosial ekonomi masyarakat.
2. Penelitian studi kasus
Studi kasus adalah metodologi penelitian yang diuraikan terdahulu berupaya mencari kebenaran ilmiah dengan cara mempelajari secara mendalam dan dalam jangka waktu yang lama. Bukan banyaknya individu dan juga nilai rata-rata yang dijadikan dasar pengambilan kesimpulan, melainkan didasarkan pada ketajaman peneliti dalam melihat: kecendrungan, pola , arah, interaksi banyak faktor, dan hal lain yang memacu atau menghambat suatu perubahan.
E. Kesimpulanya
Jadi kesimpulannya adalah metodologi penelitian secara tidak sengaja sudah mengadopsi aliran positivime karena metodologi penelitian sistematiknya sudah mencakup semua pemikiran aliran positivisme, yang kemudian diterapkan dalam penelitian kualitatif yang mana langkah-langkah tersebut dapat dirinci sebagai berikut;
a. Memilih masalah
b. Studi pendahuluan
c. Merumuslan masalah
d. Merumuskan hipotesis
e. Memilih pendekatan
f. Menentukan variabel
g. Menyusun instrumen
h. Mengumpulkan data
i. Analisis data
j. Menarik kesimpulan
k. Menulis laporan
DAFTAR PUSKATA
Arikunto, suharsimi, 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Abdul Hakim, Atang dan Beni Ahmad Saebani, 2088. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka Setia.
Bungin, M Burhan, 2010. Penelitian Kualitatif, Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana
Hardiman, Budi, 2003. Melampaui Positivisme dalam Modernitas. Yogyakarta: Konisius.
Mantra, Ida Bagoes, 2008. Filsafat dan Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Moleong, Lexy J, 2002. Metodologo Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Posdakarya.
Nasution, S. 2004. Metode Research. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Suyanto, Bagong dan Sutinah, 2010. Metode Penelitian Sosial, Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta: Kencana.
TEORI HERMENEUTIKA
Label:
SASTRA
Dosen pembimbing
Prof. Dr. Setya Yuwana dan Dr. Suyatno
Oleh
Agus Paramuriyanto
Danar Takdir Suprayogi
PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
TAHUN AJARAN 2011/ 2012
TEORI HERMENEUTIKA
A. Pengantar
Secara kodrati, manusia dalam implementasinya pada kehidupan sehari-hari tidak dapat melepaskan diri dari tiga kedudukan fungsi utama, yaitu: pertama: sebagai makluk individu yang harus bertanggungjawab terhadap pengembangan jati diri, kedua: sebagai makluk sosial yang pada esensinya manusia harus dapat membawakan dirinya ke dalam komunitas tertentu bergabung dengan individu-individu lainnya, dan ketiga adalah sebagai makluk tuhan yang pada gilirannya bahwa manusia bukanlah hanya sekedar sebagai makluk individu dan sosial melainkan manusia secara koheren dalam kedua kedudukan fungsionalnya tersebut manusia juga harus menyadari bahwa dirinya hadir dalam dunia ini meyakini adanya Al Khalik yang menciptanya (tesis/pendapat ini disampaikan dalam konteks negara yang mewajibkan warganya untuk beragama, bukan pada negara sekuler, komunis, atau liberal). Ketiga kedudukan ini pada peristiwa kehidupan sehari-hari tidak dapat berdiri sendiri. Satu sama lain menyatu secara simultan dalam rangka untuk memperoleh jatidirinya, sehingga layak untuk disebut bahwa manusia adalah makluk multidimensional.
Menyangkut peristiwa komunikasi tersebut, baik komunikasi internal maupun eksternal, komunikasi vertikal maupun horisontal, maka manusia tidak dapat dilepaskan dari beberapa faktor yang melibatkanya dalam sebuah peristiwa komunikasi. Faktor-faktor itu di antaranya adalah (1) sistem tanda atau bahkan simbol yang digunakannya dan (2) makna yang tersirat di dalamnya. Agar peristiwa komunikasi dapat berjalan secara efektif 1), maka kedua unsur pelibat komunikasi—dalam hal ini komunikator dan komunikan—harus memiliki seperangkat konsep pemahaman yang kompleks sehingga tidak terjadi deviasi pamahaman terhadap pesan yang disampaikan oleh komunikator. Dalam hal inilah kemudian kita memerlukan seperangkat teori tentang interpretasi agar pesan itu tidak diterima secara bias. Mengapa hal ini dipandang perlu? Semua itu dikembalikan pada karakter simbol itu sendiri, di mana simbol itu dapat bersifat monointerpretabel dan dapat pula bersifat poliinterpretabel. Pesan yang bersifat distingtif-denotatif dan pesan yang bersifat konotatif, sehingga dapat ditafsirkan bermacam-macam. Menyangkut permasalahan mono dan poliinterpretabel ini, maka tema ini menjadi penting untuk dipaparkan dan dibahas
Terjadinya pro dan kontra mengenai keberadaan hermeneutika selama ini sebenarnya menurut hemat penulis adalah dalam wilayah produk atas pemaknaan, penafsiran terhadap hermeneutika itu sendiri. Padahal kalau kita cermat dari hermeneutika, ia hanyalah sebuah “alat”. Yang namanya sebuah alat sudah suatu keniscayaan memiliki keberagaman fungsi dan makna.
Suatu contoh, uang atau duit. Dengan uang orang bisa membangun masjid, membantu sesama manusia, bersekolah/kuliah, bahkan dengan uang orang bisa membunuh, dengan uang Yusron bisa naik haji. Jadi alangkah kejamnya kalau hermeneutika, uang atau alat yang lainnya dijadikan sebagai objek kesalahan, tanpa pernah melihat kepada siapa yang menggunakannya
B. Sejarah hermeneutika
Istilah Hermeneutika, berasal dari bahasa Yunani hermeneuine dan kata benda hermenia yang masing berarti “menafsirkan” dan “penafsiran” (interpretasi). Dalam bahasa Yunani hermeios mengarah kepada seorang pendeta bijak Delphic. Kata kerja Hermeios dan kata kerja lebih umum hermeneuein dan kata benda hermeneia diasosiasikan pada Dewa Hermes, dari sanalah kata itu berasal. Pada intinya orang Yunani berhutang budi kepada Hermes dengan penemuan bahasa dan tulisan-sebuah mediasi di mana pemahaman manusia dapat menangkap makna dan menyampaikan kepada orang lain. Hermes “membawa pesan takdir; hermeneuein mengungkap sesuatu yang membawa pesan, sejauh ia diberitakan bisa menjadi pesan. Tindakan “mengungkap” ini menjadi penjelas “yang tertata” terhadap apa yang sudah dikatakan. Dengan menelusuri akar kata palingt awal dalam Yunani, orisionilitas kata modern dari hermenuetika dan hermenutis mengasumsikan proses “membawa sesuatu untuk dipahami”, terutama seperti proses ini melibatkan bahasa, karena bahasa merupakan mediasi paling sempurna dalam proses.
Ada tiga bentuk makna dasar hermeneuein dan hermeneia yang diasosiasikan dengan Hermes dalam mediasi dan proses membawa pesan “agar dipahami”, yaitu; mengatakan, menjelaskan dan menerjemahkan. Ketiga-tiganya bisa diwakili dalm bentuk kata dalam bahasa Inggris “to interpret”
Persoalannya, kata latin hermeneutica belum muncul sampai abad ke-17, namun baru muncul pertama kali saat diperkenalkan oleh seorang teolog Strasborg bernama johann Konrad Danhauer (1603-1666) dalam bukunya yang berjudul : Hermeneutica sacra, Sive methodus Eksponendarums Sacrarum Litterarum, yamg menilai bahwa Hermeneutika adalah syarat terpenting bagi setiap ilmu pengetahuan yang mendasarkan keabsahannya pada interpretasi teks-teks. Ia secara terbuka mendeskripsikan inspirasinya dari Risalah Peri hermeneias (de interpretations) Aristoteles, yang mengklain bahwa ilmu interpretasi yang baru berlaku tidak lain menjadi pelengkap dari Organon Aristotelian.
C. Teori dan konsep
Menurut Gadamer hermeneutik adalah pertemuan dengan Ada (being) yang dapat dipahami dengan bahasa. Karakter linguistik realitas manusia itu sendiri, dan hemeneutika larut ke dalam persoalan-persoalan yang sangat filosofis dari relasi bahasa dengan ada, pemahaman, sejarah, eksistensi, dan realitas.
Paul Ricoeur dalam De I’intretation (1965), mendefinisikan hermeneutik yang mengacu balik pada fokus eksegesis tekstual sebagai elemen distigtif dan sentral dalam hermeneutika.”yang kita maksudkan dalam hermeneutika adalah teori tentang kaidah-kaidah yang menata sebuah eksegesis, dengan kata lain, sebuah interpretasi teks partikular atau kumpulan potensi tanda-tanda keberadaan yang dipandang sebagai sebuah teks.
Istilah Hermeneutika pada masa ini mengandung dua pengertian, yaitu Hermeneutika sebagai seperangkat prinsip metodologis penafsiran dan sebagai penggalian filosofis dari sifat dan kondisi yang tidak bisa dihindari dari kegiatan memahami.
Namun berdasarkan bentuk dasar makna hermeneuein dibagi menjadi tiga. Ricard Palmer (2005; 16-33).
a. Hermeneuein sebagai mengatakan ‘‘to say”
Ini berasal dari asal mula hermes dalam memberitahukan kepada manusia. Hermes merupakan utusan dari Tuhan dalam tugasnya untuk memberitahukan kepada manusia. Ini mengasumsikan bahwa utusan di dalam memberikan kata, adalah mengumumkan dan menyatakan sesuatu, funsinya tidak hanya untuk menjelaskan tetapi untuk menyatakan.
b. Hermeneuein sebagai menjelaskan “to explain”
Hal yang paling esensial dari kata-kata bukanlah mengatakan saja sesuatu saja, menjelaskan sesuatu, merasionalkannya, membuat jelas. Seseorang bisamengekspresikan situasi tanpa harus menjelaskan, ekspresi merupakan interpretasi, dan menjelaskan juga merupakan bentuk interpretasi.
c. Hermeneuein sebagai menerjemahkan “To Translate”
Pada dimensi ini menafsirkan bermakna ‘to translate” (menerjemahkan). Menerjemahkan adalah bentuk khusus dari proses interpretasi dasar “membawa sesuatu untuk dipahami”. Dalam konteks ini seseorang membawa apa yang asing, jauh dan tidak dapat dipahami ke dalam mediasi bahasa orang itu sendiri.
Dan ada enam definisi modern hermeneutik menurut Richard E. Palmer (2005;43-49)
1) Hermeneutika Sebagai Teori Eksegesis Bibel
Bentuk pemahaman yang paling awal dari hermeneutika adalah merujuk pada prisnsip-prinsip interpretasi pada Bibel. Lingkungan Protestan merasa sangat butuh terhadap pedoman interpretasi untuk membantu para pendeta dalam menafsirkan kitab suci. Pada hakekatnya hermeneutika ditunjukkan oleh hermeutika Bibel, dan yang lainnya mengenai persoalan ruang lingkup hermeneutika. Dalam hal ini hermeneutika adalah sistem tafsir untuk mengungkapkan makna “terembunyi” di balik teks.
Dalam teologi, hemermeneutika sebagai tafsir historis pesan Bibel. Sejarah hermeneutika Bibel dapat ditelusuri melalui gereja primitif; interpretasi ganda Bibel abad pertengahan; interpretasi mistik; dogma; humanistik, dan sistem lain dari interpretasi.
2) Hermneutika Sebagai Metodologi Filologhis
Filologi klasik lahir bersamaan dengan perkembangan rasionalisme, dan hal tersebut mempengaruhi hermeneutika Bibel. Di situlah muncul kritik historis dalam teologi dalam memaknai interpretasi Bibel yang beraliran gramatis dan historis. Keduanya menjelaskan bahwa metode interpretasi yang diaplikasikan terhadap Bibel, dapat juga diaplikasikan pada buku yang lain.
Konsep hermeneutik yang bernuansa Bibel akan berubah ke dalam hermeunetika sebagai kaidah umum dari eksegesis filologi, dangan Bibel salah satunya.
3) Hermeneutika Sebagai pemahaman Ilmu linguistik:
Terhadap hermeneutika sebagai ilmu dan seni pemahaman, Schleiermacher memiliki distingsi tersendiri tentang pemahamannya. Konsepsi hermeneutika diimplikasikan sebagai sebuah kritik radikal dari sudut pandang filologi, karena ia berusaha melebihi konsep hermeneutika sebagai sejumlah kaidah dan berupaya membuat hermeneutika menjadi ”sistematis-koheren”, yakni sebuah ilmu yang berusaha mendeskripsikan kondisi-kondisi pemahaman dalam berbagai aneka dialog. Hasilnya bukan ”hermeneutika filologi”, tetapi ”hermeneutika umum” (allgemeine hermeneutik) yang prinsip-prinsipnya dapat digunakan sebagai fondasi bagi semua ragam interpretasi teks, yaitu sebuah hermeneutika yang menandai permulaan ”hermeneutika non-disipliner” yang sangat signifikan.
Untuk dapat disebut sebagai ilmu, maka suatu kajian itu hendaknya memiliki berbagai persyaratan dan prinsip, sedangkan untuk mempermudah pendekatan terhadapnya maka ilmu harus juga memiliki berbagai macam ciri yang menjadi esensi dari sistem ilmu itu sendiri. Terdapat sedikitnya empat persyaratan utama untuk sebuah ilmu, yaitu: (1) harus bersistem, (2) memiliki metode (3) objektif, dan (4) harus memiliki tujuan secara jelas dan dapat memberi manfaat bagi umat manusia. Di samping itu ilmu juga harus memiliki berbagai macam prinsip, di antaranya adalah faktualitas, intelektualitas, konsistensi, kontinuitas, dinamis, dan netralitas, sedangkan untuk memperkuatnya, maka ilmu memiliki berbagai ciri, yaitu empiris, analitis, instrumental dan verifikatif.
Selanjutnya, dilihat dari segi bentuknya, ilmu harus merujuk pada sekumpulan pendapat atau pengetahuan yang disusun secara sistematis, diperoleh melalui proses metodologis dari observasi, eksperimen dan empiri secara objektif tentang alam semesta. Untuk itu, maka ilmu adalah pengetahuan teratur dan terbuktikan, yang secara rasional dan metodis muncul dari data yang diperoleh dari pengamatan, percobaan dan pengalaman, sedangkan konsep-konsep sederhana, dan kaitan-kaitan cerapan menjadi rumusan generalisasi, teori, kaidah, asas, dan penjelasan-penjelasan menjadi konsepsi yang menyeluruh atas sistem konseptualnya. Lantas bagaimana dengan hermeneutika?
Hermeneutika dalam posisinya sebagai ilmu tidak dapat dilepaskan dari berbagai prinsip dan persyaratan seperti dimaksud di atas. Untuk itu, dalam kaitannya dengan pemahaman terhadap hermeneutika sebagai disiplin, maka berikut ada pentingnya dipaparkan posisi hermeneutika lengkap dengan sistemnya sesuai dengan sistem ilmu yang harus dipatuhi, sedangkan untuk pendekatannya digunakan ancangan secara historiografis.
4) Hermeneutika sebagai Fondasi Metodologi bagi Geisteswissenschaften
Hermeneutika dalam hal ini adalah inti disiplin yang dapat melayani sebagai fondasi bagi Geisteswissenschaften atau disiplin yang memfokuskan pada pemahaman seni, aksi, dan tulisan manusia. Hermeneutika ini merupakan disiplin yang memfokuskan pada interpretasi , dan khususnya terhadap interpretasi objek yang senantiasa bersifat historis.
filsafat besar pada akhir abad ke-19, Wilhelm Dilthey, sekaligus sebagai seorang penulis biografi Schleiermacher, yang menyatakan bahwa hermeneutika adalah ”inti” dari disiplin ilmu yang dapat memberikan pelayanan sebagai pondasi bagi geisteswissenschaften (yaitu semua disiplin yang memfokuskan pada pemahaman seni, aksi, dan tulisan manusia).
Dalam menafsirkan ekspresi hidup manusia, apakah itu berupa karya sastra, hukum, maupun kitab suci harus memerlukan metode pemahaman tersendiri, yaitu tindakan pemahaman secara historis. Dilthey memfokuskan pada herhemeneutika sebagai kajian interpretatif terhadap objek yang senantiasa memiliki dimensi historis yang kemudian diformulasikan dengan dasar-dasar humanis menjadi sebuah metodologi humanistik yang nyata bagi geisteswissenschaften.
5) Hermeneutka sebagai Fenomenologi Eksistensi dan Pemahaman Eksistensial.
Hermeneutik dalam konteks ini tidak mengacu pada ilmu atau kaidah interpretasi teks namun penejelasan fenomenologisnya tentang keberadaan manusia itu sendiri. Gadamer dalam pendapatnya menyatakan bahwa karakter linguitik realitas manusia itu sendiri dan hermeneutika larut ke dalam persoalan-pesoalan yang sangat filosofi dari relasi bahasa dengan ada, pemahaman, sejarah, eksistensi, dan realitas.
Martin Heidegger, dalam menyingkapi persoalan ontologis meminjam metode fenomenologis dari gurunya, Edmund Husserl, dan menggunakan studi fenomenologi terhadap cara berada keseharian manusia di dunia. Dia menyebut analisisnya yang dipresentasikan dalam karya Being And Time(1927), sebagai “hermeneutika dasein”.
6) Hermeneutika sebagai Sitem Interpretasi
dalam konteks ini hermeneutika mempunyai makna proses penguraian yang beranjak dari isi dan maknayang nampak ke arah makna terpendam dan tersembunyi. Objek interpretasinya biasanya berupa teks dalam pengertian yang luas , bisa berupa simbol dalam mimpi atau mitos dari simbol masyarakat atau sastra. Freudian menggiring kita kearah ketidakpastian terhadap apa yang telah kita ketahui, antara mitos dan kenyataan, bahkan agama kita sendiri bisa kita curigai atau berkurangnya rasa kepercayaan kita terhadap apa yang kita yakini.
Recoeur mengatakan bahwa ada dua makna sindrom yang sangat berbeda dari hermeneutika pada masa modern : pertama yang dipresentasikan oleh demitologisasi bulltmann, yang harmonis berkaitan dengan symbol dalam usaha untuk memperoleh makna tersembunya didalamnya kedua, berusaha untuk menghilangkan symbol sebagai representasi kesemuan realitas. Ia menghancurkan topeng dan ilusi dalam upaya rasiona yang sunggu-sungguh pada model “demistifikasi”.
Fokus Ganda Hermeneutika
a. Teori Pemahaman
dalam konteks ini teori pemahaman sangat relevan bagi hermeneutika ketika pengalaman hidup, peristiwa pemahaman, dijadikan sebagai pijakan. Berpikir diorinetasikan kepada fakta, sebuah peristiwa di dalam semua kekonkritannya, daripada sekedar gagasan, ia menjadi fenomenologi dari peristiwa pemahaman. Fenomena pemahaman ini tidak boleh dipahami secar sempit dan doktrinal, namun demikian ia harus terbuka bagi semua bidang yang lain di mana ia dapat menyumbangkan sesuatu penangkapan yang utuh tentang apa dan bagaimana pemahaman terjadi, seperti epistimologi, ontologi, teori pembelajaran, analisis logika, dan sebagainya.
b. Problem Hermeneutis
Hermeneutik harus melangkah lebih jauh lagi dalam tindakan kompleks pemahaman ini. Hermeneutik harus dapat memformulasikan teori linguistik dan pemahamn historis seperti fungsi dalam interpretasi teks. Interpretasi yang luas dalam problem hermeneutik ini berusaha melihat peristiwa pemahaman teks sebagai hal yang selalu mencakup momen dalam kaitannya dalam konteks sekarang.
D. Tokoh-tokoh Besar Hermeneuistik
1. Hermeneutik Daniel Schleiermacher
Beliau adalah seorang salah satu raksasa intelektual di jamannya. Namun kendati beliau tidak pernah menulis suatu traktat yang sistematik tentang hermeneutik dan hanya meninggalkan beberapa catatan kecil kompedium kuliah, Schleiermacher telah meletakkan dasar hermenautika modern. Rekonsepsinya tentang hermeneutika, yang terbit dari refleksinya sebagai ahli eksegetika dan filologi, dipengaruhi oleh Plato, dan dinalar dalam konteks sistem idealisme Schelling, Fichte, dan Hegel.
Schleiermacher melihat dua masalah universal dalam hermeneutika, yakni perjumpaan dengan sesuatu yang asing dan kemungkinan salah paham manakala kita harus memahami pikiran atau sejumlah pikiran lewat kata-kata.
Arah baru yang dibicarakan oleh Schleiermacher adalah tekanan pada pemahaman terhadap hal yang dikatakan dalam suatu dialogia. Proses komparatif dan divinatorik yang merupakan penetrasi ke dalam struktur kalimat dan struktur pikiran pencipta hingga mengerti keaslian yang berasal dari dalam karya, yaitu proses hermeneutika. Hermeneutika adalah kegiatan mendengarkan yang penetratif tersebut dan disinilah hakikat hermeneutika harus dikaji dan dipelajari.
Bagi Schleiermacher, pemahaman tidak lain adalah mengalami kembali proses kejiwaan pencipta teks. Kita berangkat dari ungkapan yang sudah pasti dan selesai serta meniti kembali kenyataan kejiwaan yang menjadi pangkal tolak ungkapan tersebut.
Semakin tegaslah Schleiermacher bahwa objek operasi hermeneutika terdapat di dalam dua bidang, yakni bahasa dan pikiran. Schleiermacher mengatakan bahwa pemahaman adalah suatu teknologi, bukan proses mekanikal, bukan ilmu, untuk menyusun kembali pikiran/pemikiran orang lain.
Schleiermacher melihat gaya bukan sebagai masalah hiasan. Gaya menandai kesatuan pikiran dan bahasa, kesatuan umum dan khusus di dalam proyek seorang pencipta. Pemikiran Schleiermacher bergeser dari konsepsi hermeneutika yang terpusat pada bahasa ke konsepsi hermeneutika yang terpusat pada masalah kejiwaan, masalah menentukan atau merekonstruksi suatu proses mental yang yang hakikatnya tidak lagi bersifat kebahasaan. Ia melampaui diskusi tentang bangunan aturan-aturan.
Minatnya pada masalah kejiwaan adalah prestasi khas Schleiermacher, tetapi ia cenderung mengaburkan unsur kesejahteraan dan unsur pentingnya bahasa dalam analisis arti.
Proyek Hermeneutika Umum Schleiermacher
a. Interpretasi Gramatis
Diawali dengan menempatkan pernyataan berdasarkan aturan objektif dan umum. Interpretasi gramatis melihat karya dalam kaitannya dengan bahasa, baik dalam struktur kalimat maupun interaksi bagian-bagian karya, dan juga untuk karya lain dari tipe literatur yang sama. Maka dari itu kita dapat melihat prinsip-prinsip bagian dan keseluruhan karya bekerja dalam interpretasi gramatis.
b. Interpretasi Psikologis
Pendekatan Psikologis menggunakan koparatif dan firasat dalam dalam memahami pengarang. Dalam menggunakan metode firasat diharapkan seseorang dapat keluar dari diri sendiri dan mentransfer formasikan dirinya ke dalam diri pengarang supaya ia dapat menangkap secara langsung proses mental pengarang. Ini tidak hanya untuk memahami pengarang dari sudut pandang psikologis, tapi juga untuk mendapatkan maksud mengarang dari dalam teks.
2. Hermeneutik wilhelm Dilthey
Dalam hidupnya dilthey memiliki pemikiran-pemikiran dalam hermeneuistik sebagai fondasi gesteswissenschften yakni:
a. Pengalaman
Pengalaman hidup dimaknai sebagai suatu unit yang secara bersamaan diyakini mempunyai makna yang umum. Dengan kata lain suatu pengalaman melukis yang penuh makna, misalnya mencakup banyak perjumpaan dengan pangalamn-pengalaman lain yang dipisahkan oleh waktu namun tetap saja disebut sebagai sebuah pengalaman.
b. Ekspresi
bagi Dilthey ekspresi terutama bukan merupakan pembentukan perasaan seseorang, namun lebih sebuah ekspresi hidup, sebuah ekpresi mengacu pada ide, hukum, bentuk sosial, bahasa dan segala sesuatu yang merefleksikan produk kehidupan dalam manusia.
c. Karya seni sebagai Obyektivikasi Pengalaman Hidup
Karya seni tidak hanya menunjuk pada pengarangnya secara keseluruhann namun menunjuk pada hidup (kehidupan itu sendiri).
d. Pemahaman
Pemahaman merupakan proses jiwa yang dapat memperluas pengalaman hidup manusia. Pemahaman memiliki manfaat membebaskan dari teorisasi rasional. Pemahaman bukan hanya merupakan tindakan pemikiran, namun merupakan proses transposisi dan pengalaman dunia kembali. Ia merupakan pengoperasian pikiran-pikiran kosong yang mencapai tranposisi pra-reflekif dari seseorang kepada orang lain.
3. Suwardi
Hermeneutika menurut Suwardi berarti tafsiran. Dalam studi sastra juga mengenal hermeneutik sebagai tafsir sastra. Suwardi mengemukakan enam pokok dalam menafsirkan sastra yang harus diperhatikan yaitu;
a) Penafsiran yang bertolak dari pendapat, bahwa teks sastra sudah jelas. Isyarat-isyarat dan susunan-susunan teks membuka kesempatan bagi pembaca yang kompeten untuk menemukan arti yang tepat. Penghayatan diperlukan dalam penafsiran. Tanpa penghayatan, penafsiran akan dangkal.
b) Penafsiran yang berusaha menyusun kembali arti historik. Penafsir dapat berpedoman pada maksud si pengarang seperti tampak pada teks sendiri atau di luar teks. Penafsiran juga dapat disusun denga “cakrawala harapan” pada pembaca pada waktu itu. Penafsir dapat menyususn kembali pandangan sosio budaya masyarakat terhadap sastra yang hidup dalam batin mereka. Penafsir juga bisa menghubungkan dengan aspek sejarah suatu teks. Contoh; berhubungan dengan masalah politik.
c) Penafsiran hermeneutik baru yang diwakili oleh Gadamer berusaha memadukan masa silam dengan masa kini. Penafsir sadar bahwa ia berdiri ditengah-tengah arus sejarah baik penerima maupun penafsiran; cara ia mengerti sebuah teks turut dihasilkan sebuah tradisi. Penafsiran ditentukan oleh indifidu dan masyarakatnya. Dalam hal ini proses penafsiran sambil “melebur cakrawala masa silam dan masa kini”. Sasaran terakhir adalah agar penafsir memahami teks dan menerapkannya yang baku dan lepas dari keterkaitan waktu pada situasi itu sendiri.
d) Penafsiran yang bertolak pada pandangannya sendiri mengenai sastra. Hal ini sering dilakukan dengan presentasi bahwa kita bisa menunjukkan arti teks yang pokok. Contoh; peneliti menafsirkan dari aspek feminis kary-karya NH. Dhini, Isma Sawitri dan sebagainya. Penafsiran terfokus pada gerakan wanita dalam rangka emansipasi, peneliti dapat pula memahami karya-karya pengarang wanita yang bernafaskan emansipasi.
e) Penafsiran yang berpangkal pada suatu problematik tertentu misalkan dari aspek politik, psikologis, sosiologis, moral, dan senagainya. Harmeneutik ini beranggapan penafsiran karya sastra bersifat parsial, hanya bagian tertentu saja yang sejalan dengan isu strategis. Namun hal ini dilakukan ketika seseorang harus menjadi pembicara pada suatu temu ilmiah yang tematik.
f) Penafsiran yang tak langsung berusaha agar memadahi sebuah teks diartikan, melainkan henya ingin menunjukkan kemungkinan-kemungkinan yang tercantum di dalam teks, sehingga pembaca sendiri dapat menafsirkannya. Pendekatan yang berpedoman pada pembaca ini dinamakan estetik reseptif. Pengarang memepergunakan aspek retorik, stilistika, struktural, tetapi tetap ada juga bidang-bidang yang dibiarkan kosong; peristiwa-peristiwa yang tidak diceritakan secara lengkap, tokoh tidak diajukan secara utuh, dan diajukan teka-teki tetapi tidak dijawab. Hal-hal kosong ini dapat mengaktifkan pembaca
4. Heidegger
Menurut heidegger, Hermeneutika dialogis adalah interpretasi dengan asumsi bahwa pemahaman yang benar akan dapat dicapai malalui dialektika dengan mengajukan banyak pertanyaan. Artinya, pikiran penafsir juga menceburkan diri kedalam pembangkitan kembali makna teks. Dengan demikian, proses pemahaman adalah proses peleburan antara sekurang-kurangnya dua horizon. Pengarang dan konteks historis dari teks dipertimbangkan dalam proses itu bersama dengan prasangka-prasangka penafsir seperti tradisi, kepentingan praktis bahasa dan budaya.
Tokoh dari teori ini adalah murid Martin Heidegger sendiri, seorang filosof kelahiran Marbug bernama Hans-Georg Gadamer (1900-2002). Karier puncak Gadamer pada tahun 1960 ketika ia manulis karya yang cukup monumental berjudul Wahrheit und Methode (kebenaran dan metode) yang kemudian menjadi rujukan kajian Hermeneutika kontemporer sampai saat ini. (ilmu tuhan blogspot)
Kontribusinya terhadap seni berasal dari hakikat seni bukan terletak pada nilai keterampilan manusia, namun justru pada pengungkapannya. Menafsirkan karya seni berarti beralih ke dalam ruang yang terbuka di mana karya tersebut telah ditegakkan. Kebenaran seni bukanlah harmonisasi dangkal dengan sesuatu yang sudah ada (yakni pandangan tradisional akan kebenaran sebagai hal yang benar).
5. Gradamer dalam kritiknya
Hermeneutika kritus adalah interpretasi dengan pemahaman yang ditentukan oleh kepentingan social (social interest) yang melibatkan kepentingan kekuasaan (power interest) sang interpreter. Secara metodologis, teori ini dibangun di atas klaim bahwa setiap bentuk penafsiran dipastikan ada bias-bias dan unsure-unsur kepentingan politik, ekonomi, social, termasuk bias strata kelas, suku, dan gender. Artinya, dengan menggunakan metode ini, konsekkuensinya kita harus curiga dan waspada (kritis) terhadp bentuk tafsir, pengetahuan atau jargon-jargon yang dipakai dalam sains dan agama.
Tokoh dari teori ini adalah Jurgen Habermas (1929-) seorang filosof Jerman yang juga belajar politik. Sejalan dengan Gadamer, ia juga menempatkan bahasa sebagai unsure fundamental Hermeneutika. Sebab, analisis suatu fakta dilakukan melalui hubungan simbol-simbol sebagai simbol dari fakta. Hanya saja Hermeneutika dialogis Gadamer dianggapnya kurang memiliki kesadaran social yang kritis. Kalau menurut Gadamer, pemahaman didahului dengan pra-penilaian (pre-judgement), maka bagi Habermas pemahaman didahului oleh kepentingan. Artinya teori ini lebih mengedepankan refleksi kritis penafsir dan menolak kehadiran prasangka dan tradisi. Sehingga untuk memahami suatu teks, seorang penafsir harus mampu mengambil jarak atau melangkah keluar dari tradisi dan prasangka.
E. Contoh Analisis Hermeneutika
Dalam memahami makna yang terdapat pada sajak Abdul Wachid B.S yang berjudul “Ingat kamu, nun” penulis Abdul Wachid B.S ingin memberikan sebuah kolaborasi antara puisi-puisi modern dengan puisi sufistik yang bersangkutan dengan relegiusitas makna mendalam, dan membuka segi simbol yang tak jelas, pembaca dituntut untuk memahami dan mencari pengertian dan hakekat nun sebenarnya, berikut teks sajak yang dianalisi “Ingat kamu, nun”.
Ingat kamu, nun
Ingat kamu, nun
Jauh jarak tak jua tertempuh
Seperti dari bumi ke langit tujuh
Wajah langit cerah bagai baju birumu
Menjadikan aku selalu diharu biru
Ingat kamu, nun
Jauh dari alam mimpi dibangun dini hari
Lalu kubuka jendela, ku buka pintu
Ku basuhkan air sumber dengan kasih sayang
Seperti mengingat wajahmu
Pada jam-jam tahajut itu
Air suci membawa kesembuhan hati
Ingat kamu, nun
Jauh sekaligus dekat
Diluar ruang-waktu sekaligus
Selalu di dalam taman yang bernama hati
Kamu menggedor-gedor kesadaranku
Kamu mengikut kabut disubuh putih
Kemudian kamu menjelma matahari pagi
Menerobos cela-cela jendela
Kamarku, menjadikan dunia aku
Selalu diharu-biru
Ingat kamu, nun
Dari awal hingga ke ujung jalan waktu
Kamu menguntit langkah kakiku
Kadang menarik-narik bajuku dari belakang
Kadang menghalang-halangi pandanganku ke depan
Bahkan kamu menjegalku
Sekedar agar akau terjatuh
Lau bersimpuh didepan
Mu
Ingat kamu,nun
Jarak tempuh mana lagi akan
Kucari-cari: kamu menghilang
Kamu hanya meninggalkan jejak-jejak keindahan
: kupu-kupu putih yang
Kemudian lenyap dibalik
Perumpung bunga
-Yogyakarta, Januari 2009-
Dalam memahami puisi “Ingat kamu, nun” di atas,sesungguhnya banyak sekali makna yang menarik untuk dipecahkan, pengarang dalam sajaknya berperan sebagai hamba yang mencari ke Agungan Tuhan-Nya. Pencarian itu dimulai dari diksi yang menyimpan rahasia besar dibalik simbol, atau makna Nun sendiri, sebagaimana telah di tulis di dalam Al-Qur’an pada surat Al-Qolam, berangkat dari huruf tersebut penulis Abdul Wachid B.S mengambil satu huruf yang cukup menarik dan mempunyai rahasia besar akan kebesaran Allah. Dalam puisinya yang lain dalam satu antologi puisi berjudul “Yang” terdapat satu sajak yang membicara tentang huruf nun yang berjudul “Di ujung nun”.
…
Di ujung nun
Jalan bercabang dua
…
Di ujung nun
Jalan mengapa menjelma dua?
Di atasnya ada satu titik takdir
-Yogyakarta, Januari 2009-
Rahasia dalam huruf nun di dalam Al-Qur’an pada surat Al-Qolam membawa pengarang dalam sebuah pemikiran hakikat logika yang dicapai seoarang hamba kepada Tuhannya untuk mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah; (ن = Nuun) kemudian dilanjutkan dengan ayat kedua (وَالْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُونَ = Demi qolam dan apa yang mereka tulis).
Ada sekelompok aliran dalam Islam yang menafsirkan bahwa nun hanya Allah yang tahu, dan nun adalah singgasana Tuhan yang terdapat jauh di atas sana. Kalau penafsiran ini benar tentu saja tempat dan kedudukan bagi Tuhan itu menduduki dan haruslah memiliki pennafsiran yang paling tinggi.
Kita sudah pasti tidak akan dapat menjelaskan huruf nun tersebut mempunyai makna apa Wallahu a’lam karena nun adalah esensi yang sangat rahasia dari rahasia Allah dan keagungan Allah, dan bahkan keagungan seluruh makhluk-Nya. seluruh keagungan Tuhan yang digambarkan dengan nun atau dalam arti harfiah kamus bahasa Indonesia berarti yang paling. Dalam penafsiran adalah kemahaberkuasaan (Kamiliyah) dan kebesaran (Jalaliah). Oleh sebab itu sifat-sifat ini kerahasiaan ini menunjukkan betapa agung kedudukan-Nya.
Secara` konteks interen puisi “Ingat kamu, nun” berhubungan dengan sajak “di ujung nun” yang masih dalam satu antologi puisinya Abdul Wackid B.S
Di ujung nun
Jalan bercabang dua
Bila yang satu naik, bila yang satu turun
Lalu langkah kaki bertemu dimana?
Jalan mengapa menjelma dua?
Di atasnya ada satu titik takdir
Matahari: di mana cinta tak harus berakhir
Yogyakarta, Januari 2009
Tingkat penggambaran antara dua cabang yang menuju jalan dimana pengarang menggunakan kalimat “Bila yang satu naik, bila yang satu turun” ketetapan apa yang dilakukan oleh manusia dimuka bumi akan menghantarkan perbuatannya atau tingkatan keimanan dan ibadah yang menentukan kelak dialam baqo’ akan diketahui dia berada di atas atau dibawah, esensi ini sama dengan penegasan Allah, segala amal akan diperhitungkan, yang digambarkan melalui diksi naik dan turun hal ini sama dengan surga dan neraka, dan satu titik tersebut akan menentukan apakah seorang akan ada di bawah atau di atas, dan dibalik itu pengarang mencoba memperjelas dimana jalan yang akan dipilih oleh seoarang hamba yang akan menuntunnya ke dalam sebuah titik dimana Allah ada di sana. Dalam puisi Abdul Wachid B.S yang berjudul “Ingat kamu, nun” juga ditemukan sajak yang lain atau dengan kata lain sajak “Ingat kamu, nun” berkontektual dengan sajak “Nun” karya Fakhrunnas M.A Jabbar dalam antologi puisinya yang berjudul “Airmata Barzanji” secara tidak langsung.
Nun
Inilah kait nun dari julang langit yang jauh
Nun bukit mana dari julang langit yang jauh
Nun dari kata apa dari ujung langit yang jauh
Nun dari ayat mana dari julang langit yang jauh
Inilah lingkaran nun yang tak pernah bersentuh ujungnya
Nun dari ayat dan kitab suci
Dari Zabur
Dari Taurat
Dari Injil
Dari Al-Qur’an
Nun disana dari air lembah eufrat
Nun disana dari Makkah dan madinah mandi cahaya.
Pekanbaru, 1981
Fakhrunnas M.A Jabbar
Dari pandangan perspektif tersebut, maka pemaknaan sebuah sajak “Ingat kamu, nun” karya Abdul Wachid B.S harus didasarkan dengan pemaknaan-pemaknaan secara menyeluruh, sebelum mencari pandangan filosofis dalam pandangan pengarang. Pengambilan simbol nun dalam sajak tersebut merupakan hal yang pertama yang harus diketahui baik arti atau makna, didalam kamus bahasa Indonesia sendiri diksi “Nun” berarti: sana, di sana, atau nama huruf ke-25 dalam abjad Arab. Sebuah gambaran pencarian yang harus di jalani oleh seorang hamba untuk mencapai maqon kedekatan dengan Tuhannya seperti di tulis dalam sajaknya pada bait pertama baris tiga “Seperti dari bumi ke langit tujuh”. Sedangkan untuk mencari kedekatan tersebut penggarang menggambarkan cara untuk mendekatkan diri dengan Tuhan yakni dengan cara bangun ditengah malam untuk sholat tahajud dimana disana seorang hamba mempunyai kedekatan dengan Tuhannya sehingga hati seorang hamba bisa mencapai tingkatam maqom yang dekat atau benar-benar mendialogkan pikirannya dengan Tuhan.
Kedekatan hamba dengan Tuhan inilah yang coba digambarkan oleh Abdul Wachid B.S lewat sajaknya pada bait kedua baris ke empat “Selalu didalam taman yang bernama hati” bahwa konsep kedekatan Tuhan di ukur dimana segala tingkah laku perbuatan adalah dari kedekatan hati (ma’rifat) dan dimana Tuhan berada dihati seoarang hamba , dalam hadis kudsi dijelaskan juga seoarang hamba jika berniat mendekatkan diri kepada Tuhannya maka Tuhan akan dekat dengan hamba tersebut, dan juga sebaliknya jika seoarang hamba jauh dari Tuhan jauh pula Tuhan dengan hamba tersebut, sebuah keyakinan kedudukan dimana seorang ang mencoba mendekatkan diri melalui ibadahnya, seoarang hamba akan benar-benar merasakan kesejukan dalam hatinya dengan keyakinannya Allah selalu menjadi kekasih dan tempat dimana meminta segala pertolongan.
Dengan membongkar dan mencari makna dalam puisi “Ingat kamu, nun” diatas maka akan ditemukan sebuah perpaduan kenyataan seoarang hamba yang megalami perjalanan kehidupan yang semula tidak ada kemudian di ciptakan oleh Allah dimuka bumi dan juga akan dimatikan lagi oleh Allah. Semua perjalanan kehidupan itu di ditulis dalam sajak “Iangat kamu nun” yang ditulis “Dari awal hingga ke ujung jalanan waktu” dan didalam perjalanan hidup manusia adalah hakekatnya untuk beribadah kepada Allah, disinilah tingkat ketakwaan seorang hamba diuji oleh Allah melalui cobaan jegalan, tarikan, halangan dan berbagai tantangan kehidupan didunia lainnya yang kesemuanya itu tak lain untuk mengetahui seberapa besar tingkat kesabaran dan ketakwaannya seoarang hamba. Hal itu ditulis disajak “Ingat kamu, nun” di bait empat baris ke enam “Bahkan kamu menjegalku sekedar aku terjatuh lalu bersimpuh dihadapan-MU”
Setelah seorang hamba melewati ujian dari Allah maka disinalah sang penulis puisi Abdul Wachid B.S melanjutkan dengan “Ingat kamu, nun jarak tempuh mana lagi akan kucari cari” di mana seorang hamba yang mencari kedekatan dan mencari maqom mairifatullah melalui segala kebesaran, keagungan, kekuasaan, dan maha kasihsayang-Nya, segala keindahan tersebut diciptakan-Nya dimuka bumi ini supaya manusia menegetahui kekuasaan-Nya.
F. Simpulan
Hermeneutikanya memberi tekanan pada historisitas, tidak hanya pada manusia saja tetapi juga pada bahasa dan makna. Hermeneutiknya meliputi baik objek maupun subjek sejarah, peristiwa dan sejarawannya, interpreter dan yang diinterpretasikan.
Hermeneutika dalam perjalanan historis memiliki sejarah yang cukup panjang, paling tidak dapat dipetakan dalam enam posisi, yaitu a. hermenetika sebagai teori eksegesis Bibel, b. Sebagai metode dalam kajian filologi, c. Sebagai ilmu pemahaman linguistik, d. Sebagai fondasi metodologis dalam geisteswissenschaften, e. Sebagai pendekatan metodologis dasein dan pemahaman eksistensial, dan f. Sebagai sistem interpretasi dalam menemukan makna dan ikonoklasme.
Fokus ganda hermeneutika dikonsentarsikan pada peristiwa pemahaman dan aneka problematika yang lebih diintensitaskan pada analisis bahasa secara fungsional yang dapat memberikan sumbangan ke bidang ilmu linguistik.
Dalam kajian hermeneutika yang membongkar sajak puisi Abdul wachid B.S dapat digambarkan dengan seorang hamba yang mencari maqom ma’rifat atau usaha seorang hamba untuk mencoba mendekatkan diri kepada Tuhannya melalui berbagai upaya yang dapat dilakukan, diantaranya memelalui tawakal, sabar, dan puncaknya yakni takwa. Hal tersebut ditulis di dalam sajak Abdul Wachid B.S yang berjudul “Ingat kamu, nun” ditulis pada bait ke empat baris ke empat “Kadang menarik-narik bajuku dari belakang/ kadang menghalang-halangi pandanganku kedepan/ nahkan kamu menjegalku/ sekedar agar akau terjatuh/ lalu bersimpuh dihadapan Mu”. Namun dalam proses menuju tawakal, sabar, dan takwa tersebut tidaklah mudah, seorang hamba digambarkan harus susah payah untuk memperolehnya, karena dalam persepektif ini cobaan akan diberikan oleh Tuhan untuk menguji kesabaran dan ketakwaan seorang hamba dengan berbagai macam cobaan dan ketika seorang hamba lalai dalam melaksanakan kewajibannya maka Allah mengingatkan hambanya tersebut dengan cara-Nya sendiri.
Secara pandangan persepektif Islam sajak “Ingat kamu, nun” karya Abdul Wachid B.S mengadung berbagai banyak pemaknaan, berangkat dari Al-Qur’an surat Al-Qolam disana sudah ditulis bawah “nun” adalah sebuah kerahasiaan Allah, tidak banyak juga di jelaskan esensi nun itu sendiri didalam Al-Qur’an, baik segi arti maupun makna. Dari pandangan orang-orang sufi menganggap bahwa di sana merupakan sebuah kerahasiaan besar yang dimiliki Allah, kebesaran akan kekuasaan Allah, dan Maha Indah Allah dengan segala kerahasiaannya yang telah diciptakan, Wallahu a’lam.
Berangakat dari kerasiaan “nun” di dalam Al-Qur’an penulis Abdul Wachid B.S mencoba menerapkan konsep spiritual “manunggaling kaula gusti” yang seolah seoarang hamba yang mencari Tuhannya dengan susah payah dan meski melewati jarak yang cukup jauh dan juga melelahkan untuk bisa menemukan “nun”, “Kebesaran Tuhannya”. Dan diteruskan dibait ketiga baris ke empat Abdul wachid B.S menggambarkan tempat yang dicari oleh seorang hamba tersebut sebetulnya berada didalam hatinya sendiri “Jauh sekaligus dekat/ di luar ruang sekaligus/ selalu didalam taman yang bernama hati”.
DAFTAR PUSTAKA
Palmer, Richard E, 2003. Hermeneutics Interpretation Theory In Schlemacher, Dilthey Heidegger And Gadamer, .Terj.Musnur Hery Dan Damanhuri Muhamed, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Cet III.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Satra, Epistemologi, Model, Teori, dan aplikasi
Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/religion-studies/2177230-enam-pengertian-modern-hermeneutika/#ixzz1bOj16Htq.
Sumber;http://edhudaebillah.blogspot.com/2011/03/sejarah-dan-perkembangan-hermeneutika.html
Prof. Dr. Setya Yuwana dan Dr. Suyatno
Oleh
Agus Paramuriyanto
Danar Takdir Suprayogi
PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
TAHUN AJARAN 2011/ 2012
TEORI HERMENEUTIKA
A. Pengantar
Secara kodrati, manusia dalam implementasinya pada kehidupan sehari-hari tidak dapat melepaskan diri dari tiga kedudukan fungsi utama, yaitu: pertama: sebagai makluk individu yang harus bertanggungjawab terhadap pengembangan jati diri, kedua: sebagai makluk sosial yang pada esensinya manusia harus dapat membawakan dirinya ke dalam komunitas tertentu bergabung dengan individu-individu lainnya, dan ketiga adalah sebagai makluk tuhan yang pada gilirannya bahwa manusia bukanlah hanya sekedar sebagai makluk individu dan sosial melainkan manusia secara koheren dalam kedua kedudukan fungsionalnya tersebut manusia juga harus menyadari bahwa dirinya hadir dalam dunia ini meyakini adanya Al Khalik yang menciptanya (tesis/pendapat ini disampaikan dalam konteks negara yang mewajibkan warganya untuk beragama, bukan pada negara sekuler, komunis, atau liberal). Ketiga kedudukan ini pada peristiwa kehidupan sehari-hari tidak dapat berdiri sendiri. Satu sama lain menyatu secara simultan dalam rangka untuk memperoleh jatidirinya, sehingga layak untuk disebut bahwa manusia adalah makluk multidimensional.
Menyangkut peristiwa komunikasi tersebut, baik komunikasi internal maupun eksternal, komunikasi vertikal maupun horisontal, maka manusia tidak dapat dilepaskan dari beberapa faktor yang melibatkanya dalam sebuah peristiwa komunikasi. Faktor-faktor itu di antaranya adalah (1) sistem tanda atau bahkan simbol yang digunakannya dan (2) makna yang tersirat di dalamnya. Agar peristiwa komunikasi dapat berjalan secara efektif 1), maka kedua unsur pelibat komunikasi—dalam hal ini komunikator dan komunikan—harus memiliki seperangkat konsep pemahaman yang kompleks sehingga tidak terjadi deviasi pamahaman terhadap pesan yang disampaikan oleh komunikator. Dalam hal inilah kemudian kita memerlukan seperangkat teori tentang interpretasi agar pesan itu tidak diterima secara bias. Mengapa hal ini dipandang perlu? Semua itu dikembalikan pada karakter simbol itu sendiri, di mana simbol itu dapat bersifat monointerpretabel dan dapat pula bersifat poliinterpretabel. Pesan yang bersifat distingtif-denotatif dan pesan yang bersifat konotatif, sehingga dapat ditafsirkan bermacam-macam. Menyangkut permasalahan mono dan poliinterpretabel ini, maka tema ini menjadi penting untuk dipaparkan dan dibahas
Terjadinya pro dan kontra mengenai keberadaan hermeneutika selama ini sebenarnya menurut hemat penulis adalah dalam wilayah produk atas pemaknaan, penafsiran terhadap hermeneutika itu sendiri. Padahal kalau kita cermat dari hermeneutika, ia hanyalah sebuah “alat”. Yang namanya sebuah alat sudah suatu keniscayaan memiliki keberagaman fungsi dan makna.
Suatu contoh, uang atau duit. Dengan uang orang bisa membangun masjid, membantu sesama manusia, bersekolah/kuliah, bahkan dengan uang orang bisa membunuh, dengan uang Yusron bisa naik haji. Jadi alangkah kejamnya kalau hermeneutika, uang atau alat yang lainnya dijadikan sebagai objek kesalahan, tanpa pernah melihat kepada siapa yang menggunakannya
B. Sejarah hermeneutika
Istilah Hermeneutika, berasal dari bahasa Yunani hermeneuine dan kata benda hermenia yang masing berarti “menafsirkan” dan “penafsiran” (interpretasi). Dalam bahasa Yunani hermeios mengarah kepada seorang pendeta bijak Delphic. Kata kerja Hermeios dan kata kerja lebih umum hermeneuein dan kata benda hermeneia diasosiasikan pada Dewa Hermes, dari sanalah kata itu berasal. Pada intinya orang Yunani berhutang budi kepada Hermes dengan penemuan bahasa dan tulisan-sebuah mediasi di mana pemahaman manusia dapat menangkap makna dan menyampaikan kepada orang lain. Hermes “membawa pesan takdir; hermeneuein mengungkap sesuatu yang membawa pesan, sejauh ia diberitakan bisa menjadi pesan. Tindakan “mengungkap” ini menjadi penjelas “yang tertata” terhadap apa yang sudah dikatakan. Dengan menelusuri akar kata palingt awal dalam Yunani, orisionilitas kata modern dari hermenuetika dan hermenutis mengasumsikan proses “membawa sesuatu untuk dipahami”, terutama seperti proses ini melibatkan bahasa, karena bahasa merupakan mediasi paling sempurna dalam proses.
Ada tiga bentuk makna dasar hermeneuein dan hermeneia yang diasosiasikan dengan Hermes dalam mediasi dan proses membawa pesan “agar dipahami”, yaitu; mengatakan, menjelaskan dan menerjemahkan. Ketiga-tiganya bisa diwakili dalm bentuk kata dalam bahasa Inggris “to interpret”
Persoalannya, kata latin hermeneutica belum muncul sampai abad ke-17, namun baru muncul pertama kali saat diperkenalkan oleh seorang teolog Strasborg bernama johann Konrad Danhauer (1603-1666) dalam bukunya yang berjudul : Hermeneutica sacra, Sive methodus Eksponendarums Sacrarum Litterarum, yamg menilai bahwa Hermeneutika adalah syarat terpenting bagi setiap ilmu pengetahuan yang mendasarkan keabsahannya pada interpretasi teks-teks. Ia secara terbuka mendeskripsikan inspirasinya dari Risalah Peri hermeneias (de interpretations) Aristoteles, yang mengklain bahwa ilmu interpretasi yang baru berlaku tidak lain menjadi pelengkap dari Organon Aristotelian.
C. Teori dan konsep
Menurut Gadamer hermeneutik adalah pertemuan dengan Ada (being) yang dapat dipahami dengan bahasa. Karakter linguistik realitas manusia itu sendiri, dan hemeneutika larut ke dalam persoalan-persoalan yang sangat filosofis dari relasi bahasa dengan ada, pemahaman, sejarah, eksistensi, dan realitas.
Paul Ricoeur dalam De I’intretation (1965), mendefinisikan hermeneutik yang mengacu balik pada fokus eksegesis tekstual sebagai elemen distigtif dan sentral dalam hermeneutika.”yang kita maksudkan dalam hermeneutika adalah teori tentang kaidah-kaidah yang menata sebuah eksegesis, dengan kata lain, sebuah interpretasi teks partikular atau kumpulan potensi tanda-tanda keberadaan yang dipandang sebagai sebuah teks.
Istilah Hermeneutika pada masa ini mengandung dua pengertian, yaitu Hermeneutika sebagai seperangkat prinsip metodologis penafsiran dan sebagai penggalian filosofis dari sifat dan kondisi yang tidak bisa dihindari dari kegiatan memahami.
Namun berdasarkan bentuk dasar makna hermeneuein dibagi menjadi tiga. Ricard Palmer (2005; 16-33).
a. Hermeneuein sebagai mengatakan ‘‘to say”
Ini berasal dari asal mula hermes dalam memberitahukan kepada manusia. Hermes merupakan utusan dari Tuhan dalam tugasnya untuk memberitahukan kepada manusia. Ini mengasumsikan bahwa utusan di dalam memberikan kata, adalah mengumumkan dan menyatakan sesuatu, funsinya tidak hanya untuk menjelaskan tetapi untuk menyatakan.
b. Hermeneuein sebagai menjelaskan “to explain”
Hal yang paling esensial dari kata-kata bukanlah mengatakan saja sesuatu saja, menjelaskan sesuatu, merasionalkannya, membuat jelas. Seseorang bisamengekspresikan situasi tanpa harus menjelaskan, ekspresi merupakan interpretasi, dan menjelaskan juga merupakan bentuk interpretasi.
c. Hermeneuein sebagai menerjemahkan “To Translate”
Pada dimensi ini menafsirkan bermakna ‘to translate” (menerjemahkan). Menerjemahkan adalah bentuk khusus dari proses interpretasi dasar “membawa sesuatu untuk dipahami”. Dalam konteks ini seseorang membawa apa yang asing, jauh dan tidak dapat dipahami ke dalam mediasi bahasa orang itu sendiri.
Dan ada enam definisi modern hermeneutik menurut Richard E. Palmer (2005;43-49)
1) Hermeneutika Sebagai Teori Eksegesis Bibel
Bentuk pemahaman yang paling awal dari hermeneutika adalah merujuk pada prisnsip-prinsip interpretasi pada Bibel. Lingkungan Protestan merasa sangat butuh terhadap pedoman interpretasi untuk membantu para pendeta dalam menafsirkan kitab suci. Pada hakekatnya hermeneutika ditunjukkan oleh hermeutika Bibel, dan yang lainnya mengenai persoalan ruang lingkup hermeneutika. Dalam hal ini hermeneutika adalah sistem tafsir untuk mengungkapkan makna “terembunyi” di balik teks.
Dalam teologi, hemermeneutika sebagai tafsir historis pesan Bibel. Sejarah hermeneutika Bibel dapat ditelusuri melalui gereja primitif; interpretasi ganda Bibel abad pertengahan; interpretasi mistik; dogma; humanistik, dan sistem lain dari interpretasi.
2) Hermneutika Sebagai Metodologi Filologhis
Filologi klasik lahir bersamaan dengan perkembangan rasionalisme, dan hal tersebut mempengaruhi hermeneutika Bibel. Di situlah muncul kritik historis dalam teologi dalam memaknai interpretasi Bibel yang beraliran gramatis dan historis. Keduanya menjelaskan bahwa metode interpretasi yang diaplikasikan terhadap Bibel, dapat juga diaplikasikan pada buku yang lain.
Konsep hermeneutik yang bernuansa Bibel akan berubah ke dalam hermeunetika sebagai kaidah umum dari eksegesis filologi, dangan Bibel salah satunya.
3) Hermeneutika Sebagai pemahaman Ilmu linguistik:
Terhadap hermeneutika sebagai ilmu dan seni pemahaman, Schleiermacher memiliki distingsi tersendiri tentang pemahamannya. Konsepsi hermeneutika diimplikasikan sebagai sebuah kritik radikal dari sudut pandang filologi, karena ia berusaha melebihi konsep hermeneutika sebagai sejumlah kaidah dan berupaya membuat hermeneutika menjadi ”sistematis-koheren”, yakni sebuah ilmu yang berusaha mendeskripsikan kondisi-kondisi pemahaman dalam berbagai aneka dialog. Hasilnya bukan ”hermeneutika filologi”, tetapi ”hermeneutika umum” (allgemeine hermeneutik) yang prinsip-prinsipnya dapat digunakan sebagai fondasi bagi semua ragam interpretasi teks, yaitu sebuah hermeneutika yang menandai permulaan ”hermeneutika non-disipliner” yang sangat signifikan.
Untuk dapat disebut sebagai ilmu, maka suatu kajian itu hendaknya memiliki berbagai persyaratan dan prinsip, sedangkan untuk mempermudah pendekatan terhadapnya maka ilmu harus juga memiliki berbagai macam ciri yang menjadi esensi dari sistem ilmu itu sendiri. Terdapat sedikitnya empat persyaratan utama untuk sebuah ilmu, yaitu: (1) harus bersistem, (2) memiliki metode (3) objektif, dan (4) harus memiliki tujuan secara jelas dan dapat memberi manfaat bagi umat manusia. Di samping itu ilmu juga harus memiliki berbagai macam prinsip, di antaranya adalah faktualitas, intelektualitas, konsistensi, kontinuitas, dinamis, dan netralitas, sedangkan untuk memperkuatnya, maka ilmu memiliki berbagai ciri, yaitu empiris, analitis, instrumental dan verifikatif.
Selanjutnya, dilihat dari segi bentuknya, ilmu harus merujuk pada sekumpulan pendapat atau pengetahuan yang disusun secara sistematis, diperoleh melalui proses metodologis dari observasi, eksperimen dan empiri secara objektif tentang alam semesta. Untuk itu, maka ilmu adalah pengetahuan teratur dan terbuktikan, yang secara rasional dan metodis muncul dari data yang diperoleh dari pengamatan, percobaan dan pengalaman, sedangkan konsep-konsep sederhana, dan kaitan-kaitan cerapan menjadi rumusan generalisasi, teori, kaidah, asas, dan penjelasan-penjelasan menjadi konsepsi yang menyeluruh atas sistem konseptualnya. Lantas bagaimana dengan hermeneutika?
Hermeneutika dalam posisinya sebagai ilmu tidak dapat dilepaskan dari berbagai prinsip dan persyaratan seperti dimaksud di atas. Untuk itu, dalam kaitannya dengan pemahaman terhadap hermeneutika sebagai disiplin, maka berikut ada pentingnya dipaparkan posisi hermeneutika lengkap dengan sistemnya sesuai dengan sistem ilmu yang harus dipatuhi, sedangkan untuk pendekatannya digunakan ancangan secara historiografis.
4) Hermeneutika sebagai Fondasi Metodologi bagi Geisteswissenschaften
Hermeneutika dalam hal ini adalah inti disiplin yang dapat melayani sebagai fondasi bagi Geisteswissenschaften atau disiplin yang memfokuskan pada pemahaman seni, aksi, dan tulisan manusia. Hermeneutika ini merupakan disiplin yang memfokuskan pada interpretasi , dan khususnya terhadap interpretasi objek yang senantiasa bersifat historis.
filsafat besar pada akhir abad ke-19, Wilhelm Dilthey, sekaligus sebagai seorang penulis biografi Schleiermacher, yang menyatakan bahwa hermeneutika adalah ”inti” dari disiplin ilmu yang dapat memberikan pelayanan sebagai pondasi bagi geisteswissenschaften (yaitu semua disiplin yang memfokuskan pada pemahaman seni, aksi, dan tulisan manusia).
Dalam menafsirkan ekspresi hidup manusia, apakah itu berupa karya sastra, hukum, maupun kitab suci harus memerlukan metode pemahaman tersendiri, yaitu tindakan pemahaman secara historis. Dilthey memfokuskan pada herhemeneutika sebagai kajian interpretatif terhadap objek yang senantiasa memiliki dimensi historis yang kemudian diformulasikan dengan dasar-dasar humanis menjadi sebuah metodologi humanistik yang nyata bagi geisteswissenschaften.
5) Hermeneutka sebagai Fenomenologi Eksistensi dan Pemahaman Eksistensial.
Hermeneutik dalam konteks ini tidak mengacu pada ilmu atau kaidah interpretasi teks namun penejelasan fenomenologisnya tentang keberadaan manusia itu sendiri. Gadamer dalam pendapatnya menyatakan bahwa karakter linguitik realitas manusia itu sendiri dan hermeneutika larut ke dalam persoalan-pesoalan yang sangat filosofi dari relasi bahasa dengan ada, pemahaman, sejarah, eksistensi, dan realitas.
Martin Heidegger, dalam menyingkapi persoalan ontologis meminjam metode fenomenologis dari gurunya, Edmund Husserl, dan menggunakan studi fenomenologi terhadap cara berada keseharian manusia di dunia. Dia menyebut analisisnya yang dipresentasikan dalam karya Being And Time(1927), sebagai “hermeneutika dasein”.
6) Hermeneutika sebagai Sitem Interpretasi
dalam konteks ini hermeneutika mempunyai makna proses penguraian yang beranjak dari isi dan maknayang nampak ke arah makna terpendam dan tersembunyi. Objek interpretasinya biasanya berupa teks dalam pengertian yang luas , bisa berupa simbol dalam mimpi atau mitos dari simbol masyarakat atau sastra. Freudian menggiring kita kearah ketidakpastian terhadap apa yang telah kita ketahui, antara mitos dan kenyataan, bahkan agama kita sendiri bisa kita curigai atau berkurangnya rasa kepercayaan kita terhadap apa yang kita yakini.
Recoeur mengatakan bahwa ada dua makna sindrom yang sangat berbeda dari hermeneutika pada masa modern : pertama yang dipresentasikan oleh demitologisasi bulltmann, yang harmonis berkaitan dengan symbol dalam usaha untuk memperoleh makna tersembunya didalamnya kedua, berusaha untuk menghilangkan symbol sebagai representasi kesemuan realitas. Ia menghancurkan topeng dan ilusi dalam upaya rasiona yang sunggu-sungguh pada model “demistifikasi”.
Fokus Ganda Hermeneutika
a. Teori Pemahaman
dalam konteks ini teori pemahaman sangat relevan bagi hermeneutika ketika pengalaman hidup, peristiwa pemahaman, dijadikan sebagai pijakan. Berpikir diorinetasikan kepada fakta, sebuah peristiwa di dalam semua kekonkritannya, daripada sekedar gagasan, ia menjadi fenomenologi dari peristiwa pemahaman. Fenomena pemahaman ini tidak boleh dipahami secar sempit dan doktrinal, namun demikian ia harus terbuka bagi semua bidang yang lain di mana ia dapat menyumbangkan sesuatu penangkapan yang utuh tentang apa dan bagaimana pemahaman terjadi, seperti epistimologi, ontologi, teori pembelajaran, analisis logika, dan sebagainya.
b. Problem Hermeneutis
Hermeneutik harus melangkah lebih jauh lagi dalam tindakan kompleks pemahaman ini. Hermeneutik harus dapat memformulasikan teori linguistik dan pemahamn historis seperti fungsi dalam interpretasi teks. Interpretasi yang luas dalam problem hermeneutik ini berusaha melihat peristiwa pemahaman teks sebagai hal yang selalu mencakup momen dalam kaitannya dalam konteks sekarang.
D. Tokoh-tokoh Besar Hermeneuistik
1. Hermeneutik Daniel Schleiermacher
Beliau adalah seorang salah satu raksasa intelektual di jamannya. Namun kendati beliau tidak pernah menulis suatu traktat yang sistematik tentang hermeneutik dan hanya meninggalkan beberapa catatan kecil kompedium kuliah, Schleiermacher telah meletakkan dasar hermenautika modern. Rekonsepsinya tentang hermeneutika, yang terbit dari refleksinya sebagai ahli eksegetika dan filologi, dipengaruhi oleh Plato, dan dinalar dalam konteks sistem idealisme Schelling, Fichte, dan Hegel.
Schleiermacher melihat dua masalah universal dalam hermeneutika, yakni perjumpaan dengan sesuatu yang asing dan kemungkinan salah paham manakala kita harus memahami pikiran atau sejumlah pikiran lewat kata-kata.
Arah baru yang dibicarakan oleh Schleiermacher adalah tekanan pada pemahaman terhadap hal yang dikatakan dalam suatu dialogia. Proses komparatif dan divinatorik yang merupakan penetrasi ke dalam struktur kalimat dan struktur pikiran pencipta hingga mengerti keaslian yang berasal dari dalam karya, yaitu proses hermeneutika. Hermeneutika adalah kegiatan mendengarkan yang penetratif tersebut dan disinilah hakikat hermeneutika harus dikaji dan dipelajari.
Bagi Schleiermacher, pemahaman tidak lain adalah mengalami kembali proses kejiwaan pencipta teks. Kita berangkat dari ungkapan yang sudah pasti dan selesai serta meniti kembali kenyataan kejiwaan yang menjadi pangkal tolak ungkapan tersebut.
Semakin tegaslah Schleiermacher bahwa objek operasi hermeneutika terdapat di dalam dua bidang, yakni bahasa dan pikiran. Schleiermacher mengatakan bahwa pemahaman adalah suatu teknologi, bukan proses mekanikal, bukan ilmu, untuk menyusun kembali pikiran/pemikiran orang lain.
Schleiermacher melihat gaya bukan sebagai masalah hiasan. Gaya menandai kesatuan pikiran dan bahasa, kesatuan umum dan khusus di dalam proyek seorang pencipta. Pemikiran Schleiermacher bergeser dari konsepsi hermeneutika yang terpusat pada bahasa ke konsepsi hermeneutika yang terpusat pada masalah kejiwaan, masalah menentukan atau merekonstruksi suatu proses mental yang yang hakikatnya tidak lagi bersifat kebahasaan. Ia melampaui diskusi tentang bangunan aturan-aturan.
Minatnya pada masalah kejiwaan adalah prestasi khas Schleiermacher, tetapi ia cenderung mengaburkan unsur kesejahteraan dan unsur pentingnya bahasa dalam analisis arti.
Proyek Hermeneutika Umum Schleiermacher
a. Interpretasi Gramatis
Diawali dengan menempatkan pernyataan berdasarkan aturan objektif dan umum. Interpretasi gramatis melihat karya dalam kaitannya dengan bahasa, baik dalam struktur kalimat maupun interaksi bagian-bagian karya, dan juga untuk karya lain dari tipe literatur yang sama. Maka dari itu kita dapat melihat prinsip-prinsip bagian dan keseluruhan karya bekerja dalam interpretasi gramatis.
b. Interpretasi Psikologis
Pendekatan Psikologis menggunakan koparatif dan firasat dalam dalam memahami pengarang. Dalam menggunakan metode firasat diharapkan seseorang dapat keluar dari diri sendiri dan mentransfer formasikan dirinya ke dalam diri pengarang supaya ia dapat menangkap secara langsung proses mental pengarang. Ini tidak hanya untuk memahami pengarang dari sudut pandang psikologis, tapi juga untuk mendapatkan maksud mengarang dari dalam teks.
2. Hermeneutik wilhelm Dilthey
Dalam hidupnya dilthey memiliki pemikiran-pemikiran dalam hermeneuistik sebagai fondasi gesteswissenschften yakni:
a. Pengalaman
Pengalaman hidup dimaknai sebagai suatu unit yang secara bersamaan diyakini mempunyai makna yang umum. Dengan kata lain suatu pengalaman melukis yang penuh makna, misalnya mencakup banyak perjumpaan dengan pangalamn-pengalaman lain yang dipisahkan oleh waktu namun tetap saja disebut sebagai sebuah pengalaman.
b. Ekspresi
bagi Dilthey ekspresi terutama bukan merupakan pembentukan perasaan seseorang, namun lebih sebuah ekspresi hidup, sebuah ekpresi mengacu pada ide, hukum, bentuk sosial, bahasa dan segala sesuatu yang merefleksikan produk kehidupan dalam manusia.
c. Karya seni sebagai Obyektivikasi Pengalaman Hidup
Karya seni tidak hanya menunjuk pada pengarangnya secara keseluruhann namun menunjuk pada hidup (kehidupan itu sendiri).
d. Pemahaman
Pemahaman merupakan proses jiwa yang dapat memperluas pengalaman hidup manusia. Pemahaman memiliki manfaat membebaskan dari teorisasi rasional. Pemahaman bukan hanya merupakan tindakan pemikiran, namun merupakan proses transposisi dan pengalaman dunia kembali. Ia merupakan pengoperasian pikiran-pikiran kosong yang mencapai tranposisi pra-reflekif dari seseorang kepada orang lain.
3. Suwardi
Hermeneutika menurut Suwardi berarti tafsiran. Dalam studi sastra juga mengenal hermeneutik sebagai tafsir sastra. Suwardi mengemukakan enam pokok dalam menafsirkan sastra yang harus diperhatikan yaitu;
a) Penafsiran yang bertolak dari pendapat, bahwa teks sastra sudah jelas. Isyarat-isyarat dan susunan-susunan teks membuka kesempatan bagi pembaca yang kompeten untuk menemukan arti yang tepat. Penghayatan diperlukan dalam penafsiran. Tanpa penghayatan, penafsiran akan dangkal.
b) Penafsiran yang berusaha menyusun kembali arti historik. Penafsir dapat berpedoman pada maksud si pengarang seperti tampak pada teks sendiri atau di luar teks. Penafsiran juga dapat disusun denga “cakrawala harapan” pada pembaca pada waktu itu. Penafsir dapat menyususn kembali pandangan sosio budaya masyarakat terhadap sastra yang hidup dalam batin mereka. Penafsir juga bisa menghubungkan dengan aspek sejarah suatu teks. Contoh; berhubungan dengan masalah politik.
c) Penafsiran hermeneutik baru yang diwakili oleh Gadamer berusaha memadukan masa silam dengan masa kini. Penafsir sadar bahwa ia berdiri ditengah-tengah arus sejarah baik penerima maupun penafsiran; cara ia mengerti sebuah teks turut dihasilkan sebuah tradisi. Penafsiran ditentukan oleh indifidu dan masyarakatnya. Dalam hal ini proses penafsiran sambil “melebur cakrawala masa silam dan masa kini”. Sasaran terakhir adalah agar penafsir memahami teks dan menerapkannya yang baku dan lepas dari keterkaitan waktu pada situasi itu sendiri.
d) Penafsiran yang bertolak pada pandangannya sendiri mengenai sastra. Hal ini sering dilakukan dengan presentasi bahwa kita bisa menunjukkan arti teks yang pokok. Contoh; peneliti menafsirkan dari aspek feminis kary-karya NH. Dhini, Isma Sawitri dan sebagainya. Penafsiran terfokus pada gerakan wanita dalam rangka emansipasi, peneliti dapat pula memahami karya-karya pengarang wanita yang bernafaskan emansipasi.
e) Penafsiran yang berpangkal pada suatu problematik tertentu misalkan dari aspek politik, psikologis, sosiologis, moral, dan senagainya. Harmeneutik ini beranggapan penafsiran karya sastra bersifat parsial, hanya bagian tertentu saja yang sejalan dengan isu strategis. Namun hal ini dilakukan ketika seseorang harus menjadi pembicara pada suatu temu ilmiah yang tematik.
f) Penafsiran yang tak langsung berusaha agar memadahi sebuah teks diartikan, melainkan henya ingin menunjukkan kemungkinan-kemungkinan yang tercantum di dalam teks, sehingga pembaca sendiri dapat menafsirkannya. Pendekatan yang berpedoman pada pembaca ini dinamakan estetik reseptif. Pengarang memepergunakan aspek retorik, stilistika, struktural, tetapi tetap ada juga bidang-bidang yang dibiarkan kosong; peristiwa-peristiwa yang tidak diceritakan secara lengkap, tokoh tidak diajukan secara utuh, dan diajukan teka-teki tetapi tidak dijawab. Hal-hal kosong ini dapat mengaktifkan pembaca
4. Heidegger
Menurut heidegger, Hermeneutika dialogis adalah interpretasi dengan asumsi bahwa pemahaman yang benar akan dapat dicapai malalui dialektika dengan mengajukan banyak pertanyaan. Artinya, pikiran penafsir juga menceburkan diri kedalam pembangkitan kembali makna teks. Dengan demikian, proses pemahaman adalah proses peleburan antara sekurang-kurangnya dua horizon. Pengarang dan konteks historis dari teks dipertimbangkan dalam proses itu bersama dengan prasangka-prasangka penafsir seperti tradisi, kepentingan praktis bahasa dan budaya.
Tokoh dari teori ini adalah murid Martin Heidegger sendiri, seorang filosof kelahiran Marbug bernama Hans-Georg Gadamer (1900-2002). Karier puncak Gadamer pada tahun 1960 ketika ia manulis karya yang cukup monumental berjudul Wahrheit und Methode (kebenaran dan metode) yang kemudian menjadi rujukan kajian Hermeneutika kontemporer sampai saat ini. (ilmu tuhan blogspot)
Kontribusinya terhadap seni berasal dari hakikat seni bukan terletak pada nilai keterampilan manusia, namun justru pada pengungkapannya. Menafsirkan karya seni berarti beralih ke dalam ruang yang terbuka di mana karya tersebut telah ditegakkan. Kebenaran seni bukanlah harmonisasi dangkal dengan sesuatu yang sudah ada (yakni pandangan tradisional akan kebenaran sebagai hal yang benar).
5. Gradamer dalam kritiknya
Hermeneutika kritus adalah interpretasi dengan pemahaman yang ditentukan oleh kepentingan social (social interest) yang melibatkan kepentingan kekuasaan (power interest) sang interpreter. Secara metodologis, teori ini dibangun di atas klaim bahwa setiap bentuk penafsiran dipastikan ada bias-bias dan unsure-unsur kepentingan politik, ekonomi, social, termasuk bias strata kelas, suku, dan gender. Artinya, dengan menggunakan metode ini, konsekkuensinya kita harus curiga dan waspada (kritis) terhadp bentuk tafsir, pengetahuan atau jargon-jargon yang dipakai dalam sains dan agama.
Tokoh dari teori ini adalah Jurgen Habermas (1929-) seorang filosof Jerman yang juga belajar politik. Sejalan dengan Gadamer, ia juga menempatkan bahasa sebagai unsure fundamental Hermeneutika. Sebab, analisis suatu fakta dilakukan melalui hubungan simbol-simbol sebagai simbol dari fakta. Hanya saja Hermeneutika dialogis Gadamer dianggapnya kurang memiliki kesadaran social yang kritis. Kalau menurut Gadamer, pemahaman didahului dengan pra-penilaian (pre-judgement), maka bagi Habermas pemahaman didahului oleh kepentingan. Artinya teori ini lebih mengedepankan refleksi kritis penafsir dan menolak kehadiran prasangka dan tradisi. Sehingga untuk memahami suatu teks, seorang penafsir harus mampu mengambil jarak atau melangkah keluar dari tradisi dan prasangka.
E. Contoh Analisis Hermeneutika
Dalam memahami makna yang terdapat pada sajak Abdul Wachid B.S yang berjudul “Ingat kamu, nun” penulis Abdul Wachid B.S ingin memberikan sebuah kolaborasi antara puisi-puisi modern dengan puisi sufistik yang bersangkutan dengan relegiusitas makna mendalam, dan membuka segi simbol yang tak jelas, pembaca dituntut untuk memahami dan mencari pengertian dan hakekat nun sebenarnya, berikut teks sajak yang dianalisi “Ingat kamu, nun”.
Ingat kamu, nun
Ingat kamu, nun
Jauh jarak tak jua tertempuh
Seperti dari bumi ke langit tujuh
Wajah langit cerah bagai baju birumu
Menjadikan aku selalu diharu biru
Ingat kamu, nun
Jauh dari alam mimpi dibangun dini hari
Lalu kubuka jendela, ku buka pintu
Ku basuhkan air sumber dengan kasih sayang
Seperti mengingat wajahmu
Pada jam-jam tahajut itu
Air suci membawa kesembuhan hati
Ingat kamu, nun
Jauh sekaligus dekat
Diluar ruang-waktu sekaligus
Selalu di dalam taman yang bernama hati
Kamu menggedor-gedor kesadaranku
Kamu mengikut kabut disubuh putih
Kemudian kamu menjelma matahari pagi
Menerobos cela-cela jendela
Kamarku, menjadikan dunia aku
Selalu diharu-biru
Ingat kamu, nun
Dari awal hingga ke ujung jalan waktu
Kamu menguntit langkah kakiku
Kadang menarik-narik bajuku dari belakang
Kadang menghalang-halangi pandanganku ke depan
Bahkan kamu menjegalku
Sekedar agar akau terjatuh
Lau bersimpuh didepan
Mu
Ingat kamu,nun
Jarak tempuh mana lagi akan
Kucari-cari: kamu menghilang
Kamu hanya meninggalkan jejak-jejak keindahan
: kupu-kupu putih yang
Kemudian lenyap dibalik
Perumpung bunga
-Yogyakarta, Januari 2009-
Dalam memahami puisi “Ingat kamu, nun” di atas,sesungguhnya banyak sekali makna yang menarik untuk dipecahkan, pengarang dalam sajaknya berperan sebagai hamba yang mencari ke Agungan Tuhan-Nya. Pencarian itu dimulai dari diksi yang menyimpan rahasia besar dibalik simbol, atau makna Nun sendiri, sebagaimana telah di tulis di dalam Al-Qur’an pada surat Al-Qolam, berangkat dari huruf tersebut penulis Abdul Wachid B.S mengambil satu huruf yang cukup menarik dan mempunyai rahasia besar akan kebesaran Allah. Dalam puisinya yang lain dalam satu antologi puisi berjudul “Yang” terdapat satu sajak yang membicara tentang huruf nun yang berjudul “Di ujung nun”.
…
Di ujung nun
Jalan bercabang dua
…
Di ujung nun
Jalan mengapa menjelma dua?
Di atasnya ada satu titik takdir
-Yogyakarta, Januari 2009-
Rahasia dalam huruf nun di dalam Al-Qur’an pada surat Al-Qolam membawa pengarang dalam sebuah pemikiran hakikat logika yang dicapai seoarang hamba kepada Tuhannya untuk mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah; (ن = Nuun) kemudian dilanjutkan dengan ayat kedua (وَالْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُونَ = Demi qolam dan apa yang mereka tulis).
Ada sekelompok aliran dalam Islam yang menafsirkan bahwa nun hanya Allah yang tahu, dan nun adalah singgasana Tuhan yang terdapat jauh di atas sana. Kalau penafsiran ini benar tentu saja tempat dan kedudukan bagi Tuhan itu menduduki dan haruslah memiliki pennafsiran yang paling tinggi.
Kita sudah pasti tidak akan dapat menjelaskan huruf nun tersebut mempunyai makna apa Wallahu a’lam karena nun adalah esensi yang sangat rahasia dari rahasia Allah dan keagungan Allah, dan bahkan keagungan seluruh makhluk-Nya. seluruh keagungan Tuhan yang digambarkan dengan nun atau dalam arti harfiah kamus bahasa Indonesia berarti yang paling. Dalam penafsiran adalah kemahaberkuasaan (Kamiliyah) dan kebesaran (Jalaliah). Oleh sebab itu sifat-sifat ini kerahasiaan ini menunjukkan betapa agung kedudukan-Nya.
Secara` konteks interen puisi “Ingat kamu, nun” berhubungan dengan sajak “di ujung nun” yang masih dalam satu antologi puisinya Abdul Wackid B.S
Di ujung nun
Jalan bercabang dua
Bila yang satu naik, bila yang satu turun
Lalu langkah kaki bertemu dimana?
Jalan mengapa menjelma dua?
Di atasnya ada satu titik takdir
Matahari: di mana cinta tak harus berakhir
Yogyakarta, Januari 2009
Tingkat penggambaran antara dua cabang yang menuju jalan dimana pengarang menggunakan kalimat “Bila yang satu naik, bila yang satu turun” ketetapan apa yang dilakukan oleh manusia dimuka bumi akan menghantarkan perbuatannya atau tingkatan keimanan dan ibadah yang menentukan kelak dialam baqo’ akan diketahui dia berada di atas atau dibawah, esensi ini sama dengan penegasan Allah, segala amal akan diperhitungkan, yang digambarkan melalui diksi naik dan turun hal ini sama dengan surga dan neraka, dan satu titik tersebut akan menentukan apakah seorang akan ada di bawah atau di atas, dan dibalik itu pengarang mencoba memperjelas dimana jalan yang akan dipilih oleh seoarang hamba yang akan menuntunnya ke dalam sebuah titik dimana Allah ada di sana. Dalam puisi Abdul Wachid B.S yang berjudul “Ingat kamu, nun” juga ditemukan sajak yang lain atau dengan kata lain sajak “Ingat kamu, nun” berkontektual dengan sajak “Nun” karya Fakhrunnas M.A Jabbar dalam antologi puisinya yang berjudul “Airmata Barzanji” secara tidak langsung.
Nun
Inilah kait nun dari julang langit yang jauh
Nun bukit mana dari julang langit yang jauh
Nun dari kata apa dari ujung langit yang jauh
Nun dari ayat mana dari julang langit yang jauh
Inilah lingkaran nun yang tak pernah bersentuh ujungnya
Nun dari ayat dan kitab suci
Dari Zabur
Dari Taurat
Dari Injil
Dari Al-Qur’an
Nun disana dari air lembah eufrat
Nun disana dari Makkah dan madinah mandi cahaya.
Pekanbaru, 1981
Fakhrunnas M.A Jabbar
Dari pandangan perspektif tersebut, maka pemaknaan sebuah sajak “Ingat kamu, nun” karya Abdul Wachid B.S harus didasarkan dengan pemaknaan-pemaknaan secara menyeluruh, sebelum mencari pandangan filosofis dalam pandangan pengarang. Pengambilan simbol nun dalam sajak tersebut merupakan hal yang pertama yang harus diketahui baik arti atau makna, didalam kamus bahasa Indonesia sendiri diksi “Nun” berarti: sana, di sana, atau nama huruf ke-25 dalam abjad Arab. Sebuah gambaran pencarian yang harus di jalani oleh seorang hamba untuk mencapai maqon kedekatan dengan Tuhannya seperti di tulis dalam sajaknya pada bait pertama baris tiga “Seperti dari bumi ke langit tujuh”. Sedangkan untuk mencari kedekatan tersebut penggarang menggambarkan cara untuk mendekatkan diri dengan Tuhan yakni dengan cara bangun ditengah malam untuk sholat tahajud dimana disana seorang hamba mempunyai kedekatan dengan Tuhannya sehingga hati seorang hamba bisa mencapai tingkatam maqom yang dekat atau benar-benar mendialogkan pikirannya dengan Tuhan.
Kedekatan hamba dengan Tuhan inilah yang coba digambarkan oleh Abdul Wachid B.S lewat sajaknya pada bait kedua baris ke empat “Selalu didalam taman yang bernama hati” bahwa konsep kedekatan Tuhan di ukur dimana segala tingkah laku perbuatan adalah dari kedekatan hati (ma’rifat) dan dimana Tuhan berada dihati seoarang hamba , dalam hadis kudsi dijelaskan juga seoarang hamba jika berniat mendekatkan diri kepada Tuhannya maka Tuhan akan dekat dengan hamba tersebut, dan juga sebaliknya jika seoarang hamba jauh dari Tuhan jauh pula Tuhan dengan hamba tersebut, sebuah keyakinan kedudukan dimana seorang ang mencoba mendekatkan diri melalui ibadahnya, seoarang hamba akan benar-benar merasakan kesejukan dalam hatinya dengan keyakinannya Allah selalu menjadi kekasih dan tempat dimana meminta segala pertolongan.
Dengan membongkar dan mencari makna dalam puisi “Ingat kamu, nun” diatas maka akan ditemukan sebuah perpaduan kenyataan seoarang hamba yang megalami perjalanan kehidupan yang semula tidak ada kemudian di ciptakan oleh Allah dimuka bumi dan juga akan dimatikan lagi oleh Allah. Semua perjalanan kehidupan itu di ditulis dalam sajak “Iangat kamu nun” yang ditulis “Dari awal hingga ke ujung jalanan waktu” dan didalam perjalanan hidup manusia adalah hakekatnya untuk beribadah kepada Allah, disinilah tingkat ketakwaan seorang hamba diuji oleh Allah melalui cobaan jegalan, tarikan, halangan dan berbagai tantangan kehidupan didunia lainnya yang kesemuanya itu tak lain untuk mengetahui seberapa besar tingkat kesabaran dan ketakwaannya seoarang hamba. Hal itu ditulis disajak “Ingat kamu, nun” di bait empat baris ke enam “Bahkan kamu menjegalku sekedar aku terjatuh lalu bersimpuh dihadapan-MU”
Setelah seorang hamba melewati ujian dari Allah maka disinalah sang penulis puisi Abdul Wachid B.S melanjutkan dengan “Ingat kamu, nun jarak tempuh mana lagi akan kucari cari” di mana seorang hamba yang mencari kedekatan dan mencari maqom mairifatullah melalui segala kebesaran, keagungan, kekuasaan, dan maha kasihsayang-Nya, segala keindahan tersebut diciptakan-Nya dimuka bumi ini supaya manusia menegetahui kekuasaan-Nya.
F. Simpulan
Hermeneutikanya memberi tekanan pada historisitas, tidak hanya pada manusia saja tetapi juga pada bahasa dan makna. Hermeneutiknya meliputi baik objek maupun subjek sejarah, peristiwa dan sejarawannya, interpreter dan yang diinterpretasikan.
Hermeneutika dalam perjalanan historis memiliki sejarah yang cukup panjang, paling tidak dapat dipetakan dalam enam posisi, yaitu a. hermenetika sebagai teori eksegesis Bibel, b. Sebagai metode dalam kajian filologi, c. Sebagai ilmu pemahaman linguistik, d. Sebagai fondasi metodologis dalam geisteswissenschaften, e. Sebagai pendekatan metodologis dasein dan pemahaman eksistensial, dan f. Sebagai sistem interpretasi dalam menemukan makna dan ikonoklasme.
Fokus ganda hermeneutika dikonsentarsikan pada peristiwa pemahaman dan aneka problematika yang lebih diintensitaskan pada analisis bahasa secara fungsional yang dapat memberikan sumbangan ke bidang ilmu linguistik.
Dalam kajian hermeneutika yang membongkar sajak puisi Abdul wachid B.S dapat digambarkan dengan seorang hamba yang mencari maqom ma’rifat atau usaha seorang hamba untuk mencoba mendekatkan diri kepada Tuhannya melalui berbagai upaya yang dapat dilakukan, diantaranya memelalui tawakal, sabar, dan puncaknya yakni takwa. Hal tersebut ditulis di dalam sajak Abdul Wachid B.S yang berjudul “Ingat kamu, nun” ditulis pada bait ke empat baris ke empat “Kadang menarik-narik bajuku dari belakang/ kadang menghalang-halangi pandanganku kedepan/ nahkan kamu menjegalku/ sekedar agar akau terjatuh/ lalu bersimpuh dihadapan Mu”. Namun dalam proses menuju tawakal, sabar, dan takwa tersebut tidaklah mudah, seorang hamba digambarkan harus susah payah untuk memperolehnya, karena dalam persepektif ini cobaan akan diberikan oleh Tuhan untuk menguji kesabaran dan ketakwaan seorang hamba dengan berbagai macam cobaan dan ketika seorang hamba lalai dalam melaksanakan kewajibannya maka Allah mengingatkan hambanya tersebut dengan cara-Nya sendiri.
Secara pandangan persepektif Islam sajak “Ingat kamu, nun” karya Abdul Wachid B.S mengadung berbagai banyak pemaknaan, berangkat dari Al-Qur’an surat Al-Qolam disana sudah ditulis bawah “nun” adalah sebuah kerahasiaan Allah, tidak banyak juga di jelaskan esensi nun itu sendiri didalam Al-Qur’an, baik segi arti maupun makna. Dari pandangan orang-orang sufi menganggap bahwa di sana merupakan sebuah kerahasiaan besar yang dimiliki Allah, kebesaran akan kekuasaan Allah, dan Maha Indah Allah dengan segala kerahasiaannya yang telah diciptakan, Wallahu a’lam.
Berangakat dari kerasiaan “nun” di dalam Al-Qur’an penulis Abdul Wachid B.S mencoba menerapkan konsep spiritual “manunggaling kaula gusti” yang seolah seoarang hamba yang mencari Tuhannya dengan susah payah dan meski melewati jarak yang cukup jauh dan juga melelahkan untuk bisa menemukan “nun”, “Kebesaran Tuhannya”. Dan diteruskan dibait ketiga baris ke empat Abdul wachid B.S menggambarkan tempat yang dicari oleh seorang hamba tersebut sebetulnya berada didalam hatinya sendiri “Jauh sekaligus dekat/ di luar ruang sekaligus/ selalu didalam taman yang bernama hati”.
DAFTAR PUSTAKA
Palmer, Richard E, 2003. Hermeneutics Interpretation Theory In Schlemacher, Dilthey Heidegger And Gadamer, .Terj.Musnur Hery Dan Damanhuri Muhamed, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Cet III.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Satra, Epistemologi, Model, Teori, dan aplikasi
Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/religion-studies/2177230-enam-pengertian-modern-hermeneutika/#ixzz1bOj16Htq.
Sumber;http://edhudaebillah.blogspot.com/2011/03/sejarah-dan-perkembangan-hermeneutika.html
Langganan:
Postingan (Atom)