KEBUDAYAAN SEBAGAI KONTEN DAN KONTEKS PENDIDIKAN
PENDIDIKAN SEBAGAI AKULTURASI
FILSAFAT DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN
Dosen Pembimbing:
Dr. Budinuryanta Yohanes
Oleh:
Agus Paramuriyanto
Nim: 117835008
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
PASCASARJANA UNESA SURABAYA
2011/ 2012
PENDIDIKAN SEBAGAI AKULTURASI
A.Pengantar
Berbicara mengenai pendidikan sebagai akulturasi kita pasti akan berpikir tentang apa itu pendidikan? dan apa itu akulturasi? Pendidikan sebagai akulturasi merupakan anak pembahasan dari kebudayaan sebagai konten dan konteks pendidikan. Alangkah lebih baiknya kita pelajari tentang hal tersebut terlebih dahulu.
B.Pendidikan sebagai konteks dan konten kebudayaan
1.Pendidikan
Dihubungkan dengan pendidikan, yang memiliki pengertian sebagai sarana atau wadah
dari kebudayaan dan tempat berkembangnya sebagian pengungkapan tentang
kebudayaan. Kita kembali pada pemahaman bahwa pembuat kebudayaan adalah manusia.
Dan pendidikan sebagai pamanusiawian karena pendidikan adalah wadah dari
kebudayaan yang diciptakan oleh manusia. Jadi pendidikan itu adalah wadah untuk
memanusiakan manusia, dengan mengajarkan kebudayaan kepada penciptanya.
Menurut Ki Hajar Dewantara Tujuan pendidikan adalah memajukan kesempurnaan hidup peserta didik yaitu selaras dengan kodratnya, serasi dengan adat istiadat, dinamis, memperhatikan sejarah bangsa dan membuka diri pada pergaulan dengan kebudayaan lain. Sesuai maknanya yakni membantu manusia mengembangkan diri dan menyiapkan diri guna mengambil tempat semestinya dalam pengembangan masyarakat dan duniannya dihadapan sang Pencipta. Untuk memahami makna sejati pendidikan, orang harus mendalami arti hidup manusia ditengah alam semesta, diantara sesamanya, dan dihadapan tuhan YME. (wikipedia).
Pendidikan pada hakekatnya adalah proses pemanusiaan dan pemanusiawian, maka petugas utama proses pendidikan adalah si manusia peserta didik sendiri. Dan pembantu utama adalah orang tua, karena dalam setiap terjadinya manusia adalah kehendak Tuhan.
Selain itu adalah sudah menjadi kodrat manusia hak pertama atas proses pendidikan ada di tangan manusia dengan dengan melibatkan orang tua, masyarakat dan pemerintah. Untuk itu manusia membutuhkan pendidik. Sedangkan pendidik harus memiliki ilmu mendidik, psikologi, antropologi, kosmologi, filsafat dan teologi.
Guna membantu anak-anak menjadi manusia, orang tua memerlukan bantuan sekolah. Karena disekolah disediakan sebuah pelatihan menjadi manusia yang sudah terorganisir.
Pendidikan dikatakan berhasil apabila pendidikan itu yang membentuk manusia-manusia yang hidup sebagai manusia, bukan sekedar “mur-baut”, artinya adanya rasa saling menghargai antara manusia satu dengan manusia lainnya. Nah karena itulah kenapa pendidikan dikatakan sebagai pemanusiawian.
2. Kebudayaan
Menurut Ki Hajar Dewantara, Kebudayaan adalah buah budi manusia yang merupakan hasil perjuangan terhadap 2 pengaruh yang kuat, yaitu alam dan zaman yang merupakan kebutuhan hidup manusia untuk mengatasi tantangan hidup dan kehidupan guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang bersifat tertib dan damai.
Dari pengertian diatas, secara filosofis dapat di jabarkan sebagai berikut; buah adalah hasil puncak dari proses kehidupan panjang dari awal hingga akhir yang berlangsung terus menerus. Misalnya, buah mangga dari tumbuhan mangga, buah mangga merupakan hasil puncak dari proses kehidupan tumbuhan mangga yang akan terus berlangsung.
Sedangkan budi adalah perpaduan antara akal dan perasaan. dan inilah yang menjadikan manusia berbeda dengan makhluk lainnya, yang hanya memiliki insting dan nafsu. Misalnya, kita melihat orang dijalanan dan merintih kelaparan, tanpa sengaja kita merasa tersentuh, atau merasa iba, kemudian kita mulai berpikir apakah kita akan membantu atau tidak? Setelah akal dan perasaan kita menyatu dengan sendirinya, akan timbul reaksi dari perpaduan tersebut seperti kita akan membantu orang tersebut atau malah mengacuhkan. Itu kembali pada seberapa besar rasa simpatinya.
akal diartikan sebagai sebuah alat yang digunakan untuk berpikir. Dalam hal menilai, memahami, mangalisis, menyimpulkan, dsb. Dari akal itulah kita dapat berpikir mana yang baik dan mana yang buruk. Misalnya, kita melihat sebuah pencuri, dalam arti mengambil hak milik orang lain. Dari sini kita sudah bisa menilai, apakah hal itu termasuk hal yang baik atau sebaliknya, untuk memutuskan hal itu kita mulai berpikir menggunakan akal kita kemudian kita mengaitkannya dengan pelanggaran hak dan asasi manusia yang merupakan sesuatu yang seharusnya ditegakkan.
Sedangkan perasaan adalah penafsiran dari segala sesuatu yang kita rasakan. Perasaan berasal dari kata rasa yang berarti fell dari bahasa inggris. Namun fell disini bukan berarti insting atau naluri. Rasa sendiri sangat identik dengan yang namanya emosi, baik itu emosi yang positif ataupun yang negatif. Emosi sendiri merupakan bentuk dari rasa itu sendiri, seperti sayang, cinta, senang, suka, benci, dsb. Misalnya, segala sesuatu yang dilakukan orang tua terhadap anaknya, dalam arti positif. Orang tua memiliki rasa sayang yang luar biasa yang kemudian diungkapkan dengan perlakuan mereka terhadap anak mereka.
Manusia adalah yang sudah sedikit dijelaskan dari pengertian kebudayaan secara filosofif diatas bahwa manusia itu merupakan makhluk berbudi yaitu memiliki akal dan perasaan, selain itu juga manusia merupakan makhluk individu yang sosialis. Yang dimaksud dengan makhluk individu yang sosialis adalah manusia memiliki hak untuk hidup secara individu tapi manusia tidak dapat berkembang tanpa adanya interaksi dengan manusia lainnya atau bersosialisasi dengan manusia lainnya. Dan dengan interaksi inilah akan timbul sebuah peradaban dan membentuk sebuah era atau zaman.
Maksud Alam menurut ki hajar dewantara disini adalah tempat hunian manusia namun lebih menekankan pada sifat dan cara alam berkembang yakni secara alami atau secara alamiah. Misalnya, alam berkembang dan terbentuk dengan sendirinya tanpa adanya campur tangan manusia. Jadi maksudnya, kebudayaan itu berkembang secara alamiah mengiringi perkembangan manusia dengan alam serta membudidayakan alam itu sendiri.
Zaman adalah satuan unit waktu, namun dalam pengertian kebudayaan zaman adalah satuan unit waktu yang didalamnya bersisi tentang perkembangan peradaban manusia. Dan manusia membutuhkan perjuangan untuk hidup di dunia dan membuat peradaban hingga sekarang. Inilah kenapa Ki Hajar Dewantara mengatakan hal itu. Karena untuk bertahan hidup, manusia harus berjuang melawan alam, memberdayakan alam, dan melestarikan alam dan untuk menghadapi 2 faktor terberat manusia yaitu alam dan membuat peradaban di alam itu sendiri itulajh yang dimaksud perjuangan dalam menciptakan sebuah kebudayaan atau perdaban dan di ukur dengan zaman.
Jadi sesuai dengan pengertian kebudayan yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara, kebudayaan merupakan hasil puncak dari perpaduan dari akal dan perasaan manusia yang dibentuk secara alamiah dan diproses dalam waktu yang lama hingga menjadi sebuah peradaban (zaman).
C. Mengenal Sosok Ki Hajar Dewantara
Ki Hajar Dewantara Lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889.Terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya.
Perjalanan hidupnya benar-benar diwarnai perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsanya. Ia menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.
Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Pada tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.
Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka. Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum pada pemerintah kolonial Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg berusaha menghalangi kehadiran partai ini dengan menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913. Alasan penolakannya adalah karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan menggerakan kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda.
Kemudian setelah ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische Partij ia pun ikut membentuk Komite Bumipoetra pada November 1913. Komite itu sekaligus sebagai komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda. Komite Boemipoetra itu melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut.
Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik lewat tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker itu antara lain berbunyi:
“Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si Inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa Inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun”.
Akibat karangannya itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman internering (hukum buang) yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh bagi seseorang untuk bertempat tinggal. Ia pun dihukum buang ke Pulau Bangka.
Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo merasakan rekan seperjuangan diperlakukan tidak adil. Mereka pun menerbitkan tulisan yang bernada membela Soewardi. Tetapi pihak Belanda menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk memusuhi dan memberontak pada pemerinah kolonial. Akibatnya keduanya juga terkena hukuman internering. Douwes Dekker dibuang di Kupang dan Cipto Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda.
Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa memperlajari banyak hal dari pada didaerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman.
Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche Akte. Kemudian ia kembali ke tanah air di tahun 1918. Di tanah air ia mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan.
Setelah pulang dari pengasingan, bersama rekan-rekan seperjuangannya, ia pun mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.
Tidak sedikit rintangan yang dihadapi dalam membina Taman Siswa. Pemerintah kolonial Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Tetapi dengan kegigihan memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi itu kemudian dicabut.
Di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Tamansiswa, ia juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan buah. Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.
Sementara itu, pada zaman Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan tetap dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dalam tahun 1943, Ki Hajar duduk sebagai salah seorang pimpinan di samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur.
Setelah zaman kemedekaan, Ki hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959. Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957.
Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal dunia pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana. Kemudian oleh pihak penerus perguruan Taman Siswa, didirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara. Dalam museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar sebagai pendiri Tamansiswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hajar sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional.
Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi.
Hari lahirnya, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya yang terkenal ialah tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan). (wikipedia)
D. Pendidikan sebagai Akulturasi
Sebagai mana pendidikan sudah dijelaskan diatas bahwa pendidikan adalah wadah dari pengapresiasian kebudayaan. Dan dalam pendidikan juga diajarkan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan kebudayaan yang diciptakan oleh manusia untuk memanusiakan manusia.
Menurut Ki Hajar Dewantara (1889-1959), hubungan Pendidikan dan Kebudayaan adalah upaya untuk memajukan perkembangan budi pekerti yang terintegrasi (batin, inteligensi dan tubuh) untuk memajukan kesempurnaan hidup selaras alam dan masyarakat.
Akulturasi menurut KBBI, 1990, memiliki tiga pengertian dan yang pertama adalah proses percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling mempengaruhi. Yang kedua akultirasi juga merupakan proses masuknya kebudayaan asing terhadap suatu masyarakat, sebagian menyerap secara selektif sedikit unsur atau banyak unsur kebudayaan asing itu. Yang ketiga adalah proses atau hasil pertemuan kebudayaan atau bahasa di antara anggota-anggota dua masyarakat bahasa, ditandai dengan peminjaman atau bilingualisme.
Selanjutnya Pendidikan Nasional dinyatakan sebagai pandangan beralas garis hidup bangsanya dan ditujukan untuk keperluan peri kehidupannya yang mengangkat derajat negara dan rakyatnya, agar dapat bekerja sama dengan bangsa lain untuk kemuliaan seluruh dunia.
Akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing (wikipedia). Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri. Misalnya, dalam konteks pola pikir “time is money”, selogan ini di belahan dunia bagian barat sudah dijadikan sebuah kebudayaan hingga dijadikan prinsip hidup oleh orang-orang barat. Sekarang orang Indonesia ingin mengadopsi selogan tersebut, namun tidak menghilangkan kebudayaan ketimuran.
Artinya pemikiran mengenai “time is money” cenderung individualisnya sangat tinggi sedangkan kita cenderung meninggikan sosialis. Maka, dalam proses penyerapannya kita menjalankan prinsip time is money namun tetap bersosialis.
Dengan sub pembahasan pendidikan sebagai akulturasi itu sudah jelas adanya. Karena pendidikan itu sendiri sudah mengajarkan tentang ilmu-ilmu kebudayaan, mulai dari penyerapannya, penyajiannya, akulturasi dan inkulyurasi pun juga termasuk didalamnya. Misalnya, dalam sebuah forum atau sebuah bidang dari pendidikan yakni pembelajaran tentang ilmu teknologi, tanpa sadar kita sudah melakukan proses penyerapan kebudayaan yang kemudian diterapkan ke masyarakat. Dalam penyerapan budaya asing itu kita angkat pembelajaran ilmu teknologi, yang bersifat individualis. Sedangkan sosialisnya adalah menerapkan pada masyarakat atau berbagi pengetahuan dengan masyarakat.
Di dalam Al-Qur’an pun telah diterangkan oleh surat Al-Alaq dengan (iqra’) yang arinya bacalah, dan dalam hadits yang cukup terkenal yaitu carilah ilmu sampai ke negri china, dari dua landasan tersebut dapat disimpulkan bahwa pertama manusia diciptakan memang untuk belajar, dan yang kedua adalah belajar itu tidak ada batasan, artinya tidak ada batasan tempat da waktu untuk menutut lmu bagi manusia.
"العلم ينظروا الى الصين الأراضي" stidaH lA
E. Kesimpulan
Sehubungan dengan kebudayaan sebagai konteks dan konten pendidikan, maka dengan adanya penafsiran seperti itu sudah dapat disimpulkan bahwa simpulan Pendidikan sebagai akulturasi itu memang benar. Karena, pendidikan merupakan sebuah wadah dan isi dari ilmu-ilmu tentang kebudayaan.
F. Referensi
A-Qur’an dan Al-Hadits
Departemen pendidikan dan kebudayaan, 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka.
http.//Wikipedia.com/
Proses presentasi
Pertanyaan Bu Chornia: kriteria kebudayaan yang baik di dalam pendidikan
Jawaban : kebudyaan yang baik di dalam pendidikan itu harus sesuai dengan nilai-nilai atau norma kebudayaan dalam wilayah konteks pendidikan itu sendiri. Nilai-nilai atau norma tersebut meliputi norma agama, norma kebudayaan di wilayah pendidikan tersebut, norma hukum, dll.
Pertanyaan dari Pak Rasmian : kata kunci dari pendidikan sebagai akulturasi
Jawaban : kata kuncinya adalah kebudayaan adalah konten dan konteks pendidikan. Dalam artian bahwa kebudayaan merupakan isi dan wadah dari pendidikan itu sendiri.
Pertanyaan dari Pak Angga: kajian inti dari pendidikan sebagai akulturasi
Jawaban : kajian pendidikan sebagai akulturasi adalah kebudayaan merupakan isi pendidikan dan kebudayaan merupakan wadah dari kebudayaan serta proses penyerapan, pencampuran dan peminjaman kebudayaan yang terjadi di dalam pendidikan.
Saran
Penulisan referensi KBBI harus jelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar