Novel Sang Pencerah dalam Analisis Historis
A. Pendahuluan
Pendekatan Historis menurut Ratna
(2011;65) pendekatan ini menelusuri
arti dan makna bahasa sebagiaimana yang sudah tertulis, dipahami pada
saat ditulis, oleh pengarang yang benar-benar menulis, dan sebaginya. Sehingga pengarang sangat paham akan apa yang
ditulisnya. Dalam hubungan ini perlu juga menghubungkannya dengan karya-karya
lainnya. Pendekata Historis sangat mempertimbangakan relevansi karya sasra
sebagai dokumentasi social. Dengan hakekat imajinasi karya sastra adalah wakil
zamannya dan dengan demikian merupakan refleksi zamannya.
Pendekatan hitoris menonjol pada
abad ke-19, dengan konsekkuensi karya sastra sebagai sarana untuk memahami
aspek-aspek budaya yang luas. Dalam hubungan
inilah pendekatan historis pada umumnya dikaitkan dengan kompetensi sejarah umum
yang dianggap relevan, sastra lama
dengan kerajaan-kerajaan besar, sastra modern dengan gerakan social,
politik, ekonomi dan kebudayaan pada umumnya. Hakikat karya sastra adalah
imajinasi yang memiliki konteks social dan sejarah.
Pendekatan historis mempertimbangan
indicator sejarah dan sastra, adapun objek sasran pendekatan historis,
diantaranya;1) perubahan karya sastra dengan bahasanya sebagai akibat proses
penerbitan ulang. 2) fungsi dan tujuan karyapada saat diterbitkan.3) Kedudukan
pengarang padasaat menulis. 4) karya satra sebagai wakil tradisi zamannya.
B. Analisis Historis dalam Novel
Sang Pencerah
a. fungsi dan tujuan karyapada saat diterbitkan
Novel Sang Pencerah menceritakan
riwayat hidup KH.Ahmad Dahlan. Perjuangan beliau dalam dakwah patut menjadi teladan, kesabaran dan
keistiqomahan tidak diragukan lagi. Beliau melakukan pembaruan dalam dunia
Islam di Indonesia melalui organisasi yang bernama Muhammdiyah (1912),
organisasi tertua yang kemudian disusul dengan berdirinya NU (Nahdatul Ulama) yang
berdiri tahun 1926. Namun, ada hal–hal yang perlu diperhatikan, beberapa
penyimpangan mengenai riwayat KH. Ahmad Dahlan pada novel tersebut. Tulisan ini
bertujuan untuk meluruskan beberapa penyimpangan dalam menulis riwayat KH.
Ahmad Dahlan dalam novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral.
b. Kedudukan pengarang pada saat
menulis.
Akmal Nasery Basal sangant mengagumi KH. Ahmad Dahlan, Bagi Akmal
KH. Ahmad Dahlan dan muhammadiyah
mempunyai pengaruh tersendiri dalam kehidupan, karena Akmal pernah menamatkan pendidikan dasar di
SD Muhammadiyah VI Tebet Timur , Jakarta Selatan. Karena itu penulis
seakan terbawa kembali pada pengalaman
masa kecil ketika hidup dalam suasana kemuhammadiyahan,
c. karya satra sebagai wakil tradisi zamannya.
Sebelumnya,
pada tahun 1883 sampai 1888 KH. Ahmad Dahlan pergi haji sekaligus belajar di
Mekkah, beliau mempelajari buku-buku terbitan Mesir dan Irak selain dari
terbitan Mekkah, dan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran Muhammad
Abduh, Jamaludin Al Afghani, Rasyid Ridha dan Imam Ibnu Taimiyah. Sepulangnya
dari Mekkah pada kepergiannya yang pertama, KH. Ahmad Dahlan menikahi sepupunya
sendiri, Walidah. KH. Ahmad Dahlan tidak pernah bertemu dengan Rasyid Ridho
untuk pergi haji yang kedua kalinya (1902), dan hanya mempelajari pemikiran –
pemikirannya, selama di Mekkah KH. Ahmad Dahlan bertemu dengan Muhammad Khatib
Minangkabau, Nawawi Al Bantani, Kiyai Mas Abdullah Surabaya, Kiyai Faqih
Gresik.
“Pergilah berhaji lagi Kiai Dahlan. Keraton
yang akan membiayai. Perdalam lagi ilmu agama sekaligus menjalin hubungan
dengan para ulama pembaru dari Mesir, Syria, Madinah,
dan tempat-tempat lain.
Saya dengar kiai berhubungan cukup dekat dengan para
syaikh dari
kalangan pembaru seperti Syaikh jamaluddin Al-Afghani
dan Syaikh Muhammad Abduh?”
“Insya Allah, Sinuwun.”
Air muka Kiai Dahlan
kini terlihat lebih cerah.
Suara berat Sri Sultan
terdengar mengisi relung-relung kayu di ruangan
itu. “Saya yakin kepergian Kiai Dahlan ke Tanah Suci setidaknya untuk sementara bisa meredam konflik yang
telanjur
besar saat ini di Kauman. Itu
saja yang ingin
saya sampaikan saat ini, Kiai.”[hal4]
Biola
yang dimiliki beliau seperti yang dikisahkan dalam novel, tidak ada dalam buku
biografi atau mengenai sejarah Muhammadiyah bahwa beliau pernah memiliki alat
musik biola. Di novel tersebut, KH. Ahmad Dahlan mencoba bahwa keislaman
masyarakat saat itu masih dibumbui dengan mitos dan takhayul, sehingga membuat
tidak jelas makna Islam yang disebutnya “agama yang membawa ketenangan dan
keindahan bagi siapa saja”. Ketika ditanya mengenai apa keindahan dan
ketenangan, KH. Ahmad Dahlan hanya
menyuruh muridnya memainkan biola dan meresapinya,.
Setelah acara ruwatan
selesai, aku pergi ke
rumah kakak iparku Kiai Haji Muhammad Saleh
untuk belajar bahasa Arab. Menurut Bapak, kakak iparku itu
adalah salah seorang kiai yang bahasa
Arabnya sangat baik bukan
hanya di Kauman, tapi juga
di seluruh Kasultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat. “Pada waktu Bapak seumur
Haji
Saleh, kemampuan bahasa Arab Bapak belum sebaik dia/’ ujar Bapak.
Dan harus kuakui, apa yang Bapak katakan memang benar. Kalimat-kalimat dalam bahasa
Arab mengalir begitu saja
dari mulutnya seperti tak perlu dipikirkan lagi. Tetapi saat ini bukan topik bahasa
Arab yang membuatku tertarik untuk
berdiskusi.
“Kamu mau minum kopi, Wis? Biar nanti mbakyumu sekalian
bikin,” ujarnya.
“Tidak, terima kasih,
Mas. Air putih saja,”
jawabku. “Aku mau tanya soal ruwatan.” “Ada apa dengan ruwatan?”
“Aku tadi baru
dari Masjid Gedhe, dan mengikuti semua persiapan ruwatan
ini buat pertama kalinya. Kenapa, sih, Mas, Kiai Penghulu tadi menabur bunga melati dan beras di tiap pojokan masjid?”
“Oh, itu hanya tradisi masyarakat saja, Wis. Tidak usah terlalu dipikirkan.”
“Maksudku apakah ruwatan sebelum bulan
Ramadhan itu wajib hukumnya? Ada dalilnya?”
“Tidak wajib. Tetapi apa salahnya kita memasuki bulan
suci dengan kondisi yang lebih bersih, bukan hanya diri kita sendiri,
melainkan juga
lingkungan kita. Terutama masjid tempat kita
akan menghabiskan waktu
lebih banyak di bulan
Ramadhan?”
“Maaf, ya, Mas. Tapi menurut saya ruwatan seperti ini mubazir saja, membuang-buang
dana. Saya kira mestinya dana yang ada
bisa digunakan untuk kebutuhan yang lebih bermanfaat,
yang benar-benar
membantu masyarakat. Apalagi jika
menurut Mas
tadi, ruwatan itu
tidak
wajib.
Mengapa tidak ada keberatan dari para kiai?”
“Darwis, namanya juga tradisi. Kalau tradisi ituft&flKtf tidak ada salahnya kita
lanjutkan. Kalau itu kebiasaan buruk, maka harus
kita hentikan secepatnya.”
“Tapi tetap saja
aku merasakan itu mubazir, membuang-buang beras ketika masyarakat sedang susah karena harga beras naik.”
“Dalam kehidupan bermasyarakat,
hal-hal seperti ini akan
terjadi, Wis.” “Aku, kok, merasa kurang sreg, ya, Mas.”
Mas Saleh hanya tersenyum mendengar
ketidak-puasanku. “Ayo kita lanjutkan pelajaranmu. Sudah sampai mana?” katanya simpatik.
(hal.74-75.)
Pada
kisah penghancuran Langgar Kidul, yang merupakan peninggalan ayah beliau–karena
langgar tersebut langsung mengarah pada kiblat—dihancurkan dengan cara membabi
buta dengan teriakan takbir dan kafir oleh yang tidak setuju dengan perubahan
arah kiblat. Dalam buku Muhammadiyyah sebagai Gerakan Islam, dikatakan bahwa
Penghulu KH. Muhammad Khalil Kamaludiningrat menyampaikan secara lisan agar
membongkar suraunya (Langgar Kidul). KH. Ahmad Dahlan tidak bisa melaksanakan
perintah tersebut, KH. Muhammad Khalil menyuruh 10 orang kuli dengan peralatan
lengklap untuk membongkar. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1898. (Kamal :
2005)1
ROMBONGAN suruhan Kiai Penghulu memasuki halaman Langgar Kidul. Sayup-sayup suara tadarus
masih terdengar sebelum suara
keras tiba-tiba terdengar menghentak. “Mana kiai kafir itu?!”
“Hei! Hati-hati kalau bicara,”
suara Jazuli tak kalah
membentak. ‘Tidak ada
yang kafir
di sini. Kalian
yang seperti orang kafir karena masuk seenaknya ke tempat suci!” katanya emosional. Jamaah tadarusan yang lain menyingkir melihat kedatangan
para tukang yang sudah tak bisa
berlaku santun lagi di rumah Allah.
“Awas minggir, kalau tidak mau cedera semua pada
keluar,” ujar seseorang sambil memberikan
isyarat
kepada para tukang. “Mulai hancurkan! Secepatnya!”
Orang-orang itu pun langsung
mengayunkan linggis, cangkul, martil,
dan apa pun peralatan yang mereka bawa
ke dinding Langgar Kidul.
Benturan benda padat yang bertalu-talu di tengah malam itu menimbulkan efek magis
aneh yang belum pernah didengar warga sebelumnya. Serpihan kayu yang
pecah akibat dilinggis mulai beterbangan. Satu per satu
bagian tembok runtuh,
menimbulkan luka yang semakin besar
di hati para santri. Daniel, Hisyam, Sangidu, dan
para santri lain mulai menangis,
kecuali Jazuli yang melihat dengan tatapan
benci tapi tak bisa berbuat
apa-apa karena para pekerja itu
dikawal oleh beberapa orang polisi Belanda.(Hal.244-245)
Dalam
novel tersebut KH. Ahmad Dahlan sangat dekat dengan Boedi Oetomo, bahkan
mendapat dukungan untuk mendirikan organisasi yang bernama Muhammadiyah pada
tahun 1912. Tidak hanya itu, pada kongres Boedi Oetomo diselenggarakan di rumah
KH. Ahmad Dahlan. KH. Ahmad Dahlan tidak hanya aktif di organisasi tersebut,
tetapi juga ada Jam’iyatul Khair, Syarikat Islam (SI), Tahun 1909 – 1912 KH.
Ahmad Dahlan bergabung dengan Boedi Oetomo, kemudian menarik diri dari Boedi
Oetomo dan mendirikan organisasi Muhammadiyah yang berdiri pada tanggal 18
November 1912.
PERTEMUAN pertama
perkumpulan Budi Utomo yang berlangsung di rumah dr. Wahidin Sudirohusodo
di Ketandan berlangsung ramai.
Mas Wahidin memper-kenalkanku
kepada hadirin. “Kawan-kawan
seperjuangan, saya perkenalkan Kiai Ahmad Dahlan, salah seorang kiai Kauman
yang
namanya saya yakin sudah pernah
kita dengar, namun
mungkin baru sedikit dari kita di sini yang pernah bertemu langsung dengan beliau,” katanya sambil memberikan
isyarat agar aku
memperkenalkan
diri.(hal
330)
“Belajar itu bisa
di mana saja,
Sudja,” jawabku.
“Yang
penting
kunci belajar itu harus
berpikiran terbuka dan berprasangka baik kepada siapa
pun. Ketika Allah menurunkan wahyu pertama kepada
Kanjeng
Nabi Muhammad Iqro’, bacalah, maka suruhan untuk membaca
itu
adalah perintah untuk
belajar, memperhatikan, melihat dengan
teliti. Apa
yang harus
kita
baca, pelajari, perhatikan,
dan lihat
dengan teliti? Apa saja, khususnya yang ada di dekat kita, apa
yang
ada di alam, apa yang ada di kitab.
Apa
yang ada di kalangan Muslim, apa yang ada di kalangan kafir. Tapi soal Budi Utomo, jangan
dengan gampang kamu sebut
itu kelompok kafir,
Sudja. Bahkan sesungguhnya kita harus
sangat hati- hati dalam menggunakan
kata itu ketika menunjuk
orang lain.”(hal 344)
.
Setelah
mendirikan Muhammadiyah, pada tanggal 20 Desember 1912 KH. Ahmad Dahlan
mengajukkan permohonan kepada Hindia Belanda agar organiasasi Muhammdiyah
berbadan hukum, namun baru dipenuhi oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun
1914. Izin tersebut hanya berlaku dan bergerak untuk di daerah Yogyakarta, ada
kekhawatiran dari pemerintah Belanda dengan adanya organisasi Muhammadiyah,
sehingga kegiatan – kegiatannya dibatasi. Ruang gerak dibatasi tidak menghalagi
pergerakan Muhammadiyah, bahkan bertambah menyebar ke Srandakan, Wonogiri dan
Imogiri. Ini sangat bertentangan dengan pemerintah Hindia Belada, KH. Ahmad
Dahlan menyiasatinya dengan menggunakan nama lain untuk cabang Muhammadiyah di
luar Yogyakarta. Nurul Islam di Pekalongan, Al Munir di Ujung Pandang,
Ahmadiyah di Garut, Sidiq Amanah Tabligh Fatanah (SATF) di Solo yang mendapat
pimpinan Muhammdiyah. Pada tanggal 1917, KH. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi
kewanitaan Muhammadiyah yang bernama Aisyiyah.2
AKHIRNYA pada 12 November 1912 sekitar 30 orang muridku dari berbagai umur berkumpul. Sangidu
duduk di samping
kananku, sedangkan Sudja
di sebelah kiriku.
“Muhammadiyah ini bukan untuk
kita
sendiri, tapi untuk orang banyak,” ujarku. “Hidup ini singkat dan hanya sekali, manfaatkan
tidak hanya untuk kepentingan sendiri. Allah beserta
orang-orang yang peduli. Insya Allah usaha
kita ini akan diridhai.”
“Insya Allah,”
jawab mereka berbarengan.
“Sekalipun surat izin
berdirinya Persyarikatan Muhammadiyah ini belum keluar,
tapi hari ini saya tetapkan
sebagai hari lahir Muhammadiyah,”
kataku sambil mengucapkan ayat terakhir dari
Surah Al Fatihah, ihdinash
shiratal mustaqim, shiratal ladzina
an’amta ‘alaihim, ghairil maghdhubi ‘alaihim,
waladh dhallin (Tunjukilah kami jalan yang
lurus. Yaitu jalan orang-orang
yang
telah Engkau beri nikmat,
bukan jalan orang-orang yang Engkau laknat dan bukan juga jalan orang-orang yang sesat).
“Aaamiiin!” jawab para hadirin bersamaan.
“Allahu Akbar!” pekik Fahrudin dengan
nada gembira. “Allahu Akbar!”
sahut yang lain
bersahutan. Dari jauh,
terdengar sesayup suara beduk magrib dari Masjid Gedhe Kauman yang menandakan waktu
magrib sudah masuk.
“Ayo, kita shalat magrib di Masjid Gedhe,” ujarku disambut tatapan heran para murid seniorku yang sudah lama tak
mendengarkan kata-kata
semacam itu keluar dari
mulutku. Akhirnya, rombongan kami yang
cukup besar dengan bersemangat berjalan menuju Masjid
Gedhe, dan mendapatkan banyak
tatapan dari orang-orang
yang berpapasan dengan kami. (hal.450-451)
Melalui
novel Sang Pencerah ini mudah – mudahan bisa menambah wawasan masyarakat
tentang sosok KH. Ahmad Dahlan dan pergerakan dakwah beliau. Akan lebih baik
jika menyajikannya dengan meluruskan sejarah di Indonesia, karena sejarah Islam
di Indonesia sudah banyak yang didistorsi. Jadikan sejarah Islam di Indonesia
ini benar – benar objektif, bukan subjektif.
C.
Daftar Referen
Basral, Akmal Nasery.
2010. Sang Pencerah. Jakarta: Mizan Pustaka.
Teeuw,A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka
Jaya- Giri Mukti Pustaka
Pradopo, Rachmat
Djoko. 1993. Beberapa Teori Sastra,
Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta
: Gadjah Mada University Press.
Ratna, Nyoman
Kutha. 2011. Teori, Metode, dan Teknik
Penelitian Sastra.Yogyakarta:Pustaka Pelajar
Disusun oleh: Novita Rahayu, Angga Priandi, Danar Takdir
Suprayogi
saya suka filmnya, wlopun kayaknya terlalu singkat untuk mengangkat tokohnya sndiri
BalasHapusislam itu HEBAT !
BalasHapustokoh yg luar biasa dalam hal merealisasikan pemikirannya
BalasHapusbanyak yang terinspirasi.. tapi tidak banyak yg mampu bertindak
BalasHapuskisah yang menarik dan inspiratif.. bnyak yg perlu ditiru
BalasHapus