EFEK ROMAN BUKAN PASAR MALAM
KARYA PRAMOEDYA ANANTA
TOER PADA PEMBACA:
Kajian Kritik Judisial
Pendahuluan
Menurut M. H.
Abrams dalam Pradopo (1994: 11), kritik sastra adalah studi yang berhubungan
dengan pendefinisian, penggolongan (Pengklasan), penguraian (analisis), dan
penilaian (evaluasi). Dalam hal ini, kritik sastra dapat dikategorikan menjadi
sembilan ragam. Salah satunya yaitu berdasarkan metode penerapan. Dalam segi penerapan,
kritik sastra terbagi menjadi tiga jenis: 1) kritik judicial, 2) kritik induktif,
dan 3) kritik impresionistik (Suroso dkk, 2008:20).
Melalui makalah ini,
salah satu karya Pramoedya Ananta Toer yaitu Bukan Pasar Malam akan dianalisis
berdasarkan kritik judicial. Kritik judisial adalah kritik sastra yang berusaha
menganalisis dan menerangkan efek-efek karya sastra berdasarkan pokok,
organisasi, teknik dan gaya.
Melalui kritik judicial
tersebut, dalam makalah ini penulis akan menyajikan efek-efek yang timbul
akibat roman Bukan Pasar Malam pada
pembaca.
Teori Kritik Judisial
Kritik judisial (Judicial Criticism) adalah kritik sastra
yang berusaha menganalisis dan menerangkan diseksi,
pokok, organisasi, teknik dan gaya, berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan individu kritikus atas dasar standar-standar umum
tentang kehebatan atau keluarbiasaan sastra (Pradopo, 1994:23).
Efek tersebut
adalah dampak yang secara langsung atau tidak langsung berpengaruh pada
pemikiran bahkan tingkah laku pembaca. Hal tersebut didasarkan pada pokok,
organisasi, teknik, dan gaya karya sastra. Pertama, pokok karya sastra tidaklah
sama dengan tema karya sastra. Berdasarkan KBBI (2011: 619) pokok merupakan
dasar; inti sari; pusat (yang menjadi titik perhatian). Oleh karena itu, pokok
karya sastra merupakan dasar; inti sari; pusat dari karya sastra.
Organisasi merupakan
kesatuan susunan yang terdiri atas bagian-bagian (2011: 564). Berdasarkan pengertian
tersebut, organisasi karya sastra diartikan sebagai kesatuan susunan yang
terdiri atas bagian-bagian cerita. Bagian-bagian cerita tersebut membentuk
suatu plot/alur. Oleh karena itu, organisasi karya sastra identik dengan plot/alur.
Ketiga, yaitu teknik.
Dalam KBBI (2011: 745) teknik merupakan cara membuat atau melakukan sesuatu. Berdasarkan pengertian tersebut, maka teknik
dalam karya sastra merupakan cara pengarang dalam membuat atau melakukan
sesuatu terhadap karya sastra. Salah satu teknik tersebut yaitu berupa teknik
pelukisan tokoh.
Sedangkan gaya
berarti ragam. Dalam sebuah karya sastra, gaya yang dimaksud adalah ragam
bahasa. Ragam bahasa terdiri dari, 1) ragam sindiran: Ironi, Sinisme, dan
Sarkasme, 2) ragam pertentangan: Paradoks, Antitesis, Litotes, dan Oksimoron, 3)
ragam perbandingan: Hiperbola, Metonimia, Personifikasi, dan Metafora, 4) ragam
penegasan: Repetisi, Anafora, dan Epifora. Ragam tersebut dapat muncul menjadi
satu atau hanya salah salah satu dalam sebuah karya sastra.
Pembahasan
Roman Bukan Pasar Malam adalah sebuah cerita
yang mengungkapkan tentang perjalanan kehidupan tokoh aku terhadapat
peristiwa-peristiwa yang dialaminya. Peristiwa-peristiwa tersebut dimulai dari peristiwa
pulang kampung tokoh aku karena ayahandanya jatuh sakit, kemudian bertemu
anggota keluarganya yang miskin, dan peristiwa tentang kehidupan rumah
tangganya yang tidak kuat lagi.
Dalam peristiwa-peristiwa
tersebut terungkap beberapa hal yang menurut penulis merupakan efek roman pada
masyarakat. Efek tersebut berbentuk sikap solidaritas, gotong royong, antipati,
dan toleransi yang juga merupakan reaksi masyarakat terhadap setiap unit cerita
dari roman ini. Dampak-dampak tersebut akan dibahas secara detail, dengan didukung
oleh kutipan-kutipan cerita, sebagai berikut.
1.
Solidaritas
a.
Organisasi
“…Malam itu adikku yang ketujuh itu
masih juga menangis-tiga jam sudah. Di waktu kami berkumpul-kumpul di ruang
depan sambil mengobrol-ngobrol, ia menyendiri di ruang belakang. Berkali-kali
dia ku panggil, tetapi ia tak mau datang. Ia memuasai tangisnya sendiri. Empat
kali ku suruh kakaknya membawanya keruang depan tapi ia menolak. Dari ruang
depan itu ku lihat ia membukai buku-buku pelajarannya sambil menangis. Ia
membaca dengan menangis perlahan aku bangun dari tempat dudukku dan
menghampirinya. Ia sedang mempelajari ilmu bumi. Masih tetap menangis juga dan
ia menghafalkan nama-nama tempat di Asia dengan menangis pula. Malam itu adikku
masih juga menangis. Mengapa engkau menangis saja? Segera ia menutup
buku-bukunya. Tapi menjawab? Tidak! Ia tak mau bicara. Ia menangis terus. Ku
rangkul dia dan ku ciumi pipinya. Aku tahu, adikku, aku tahu: engkau menangis
ayah yang sedang sakit. Dan dari mulut keluar suara: engkau sudah makan? ia
hanya menggeleng dan menghapus air matanya di pangkuan ku itu. Tidur dengan
Masmu, ya? tidak. Mari turut duduk-duduk di ruang depan. Tidak. Ia kuturunkan
dari pangkuanku. Ia lari dengan tangisnya. Hilang ke dalam kamarnya. Dan tak
muncul-muncul lagi. Yang terdengar dari tempat dudukku itu hanya sedu-sedannya
yang mendayu-dayu seperti memanggil sesuatu yang tak terpanggil oleh suara
manusia. …”(Toer, 2006: 37--38).
Dalam
kutipan tersebut tergambar jelas alur yang dihadirkan pengarang. Alur itu
mengisahkan kesedihan dua orang anak karena kesakitan yang dialami ayahandanya.
Dari kutipan tersebut, muncullah rasa kasihan dari diri pembaca. Kasihan
tersebut ditujukan kepada tokoh adik ketujuh dan tokoh aku.
Melalui
rasa kasihan, maka muncullah rasa simpati pembaca. Rasa simpati tersebut
digolongkan dalam rasa solidaritas terhadap sesama. Oleh karena itu, kutipan
itu merupakan bukti solidaritas dalam sebuah organisasi cerita.
b.
Gaya
Berdasarkan
penggunaan gaya bahasa yang digunakan oleh pengarang, berikut ini adalah kutipan yang memberikan efek
solidaritas kepada pembaca.
“…Jangan dekat-dekat . Dan kami menjauh.
Badai batuk menerjang pula. Dan badan yang menyerupai sebilah papan itu
tertarik-tarik karenanya. Dan kami semua memperhatikan –memperhatikan dengan
kepiluan yang memaksa-maksa. Badai batuk itu reda juga dan akhirnya
lenyap…”(Toer, 2006: 32).
Kata “…menyerupai sebilah papan….” Dalam
kutipan tersebut merupakan bentuk gaya bahasa perbandingan. Membandingkan
anatra sebuah badan dan sebilah papan. Berdasarkan hal tersebut tersebut,
perbandingan yang dimunculkan penulis memuncullah rasa sedih dan kasihan
terhadap tokoh ayah yang mengalami sakit. Oleh karena itu, dalam kutipan cerita
tersebut membuktikan bahwa timbullah efek solidaritas dari pembaca, yang berupa
rasa sedih dan kasihan terhadap sesama.
2.
Antipati
a.
Pokok
Pokok
yang merupakan inti dari sebuah cerita digambarkan dalam kutipan berikut ini.
“Surat
yang pedas yang kukirimkan, dan surat balasan yang kuterima itu membuat
airmataku bertitik. Dan berjanjilah aku dalam hati: aku harus memperbaiki
kelancanganku” (Toer, 2006: 8).
Kutipan tersebut merupakan kutipan berpokok
yang memiliki antipasti. Pokok cerita kutipan tersebut yaitu kegelisahan
seorang tokoh aku. Berdasarkan hal tersebut, perasaan pembaca yang muncul
adalah jengkel. Jengkel terhadap tokoh
aku dalam roman, karena telah menyakiti hari ayahnya dengan cara mengirim surat
yang berisi kata-kata pedas. Padahal, seorang anak haruslah sopan dalam tindakan
dan santun dalam ucapan kepada orang tua.
Berdasarkan perasaan tersebut, jengkel
merupakan bentuk dari antipasti. Oleh karena itu, kutipan tersebut merupakan
bukti bahwa terdapat efek antipasti yang timbul dari pokok cerita roman Bukan Pasar Malam.
Selain kutipat tersebut, antipati
yang ditimbulkan dari roman tersebut juga terdapat dalam kutipan di bawah ini.
“...kalau bel itu kubunyikan─kalau aq
ingin buang air. Anakku, mereka bukanlah datang menolong, tapi mereka itu
tambah melarikan diri mendengar panggilan bel itu. O, sungguh terlalu...”(Toer, 2006: 73).
Berdasarkan kutipan
tersebut, pengarang menampilkan bagaimana keadaan yang dialami tokoh bapak
dalam roman. Tokoh bapak merasa dihindari karena penyakitnya, apalagi saat ia
butuh bantuan yang tidak dapat ia kerjakan sendiri. Oleh sebab itu, tokoh bapak
membutuhkan bantuan dari anak-anaknya, namun ternyata anak-anaknya malah
merarikan diri.
Peristiwa tersebut
mampu menghadirkan rasa jengkel yang mendalam kepada anak-anak tokoh bapak.
Rasa jengkel tersebut merupakan bukti dari bentuk antipati pembaca terhadap
tokoh anak. Oleh karena itu, kutipan tersebut merupakan bukti adanya antipati
yang mampu dimunculkan pengarang dari roman Bukan
Pasar Malam.
b.
Teknik
Teknik cerita yang
memiliki efek antipasti terdapat dalam kutipan berikut.
“Dan di sawah-sawah itu dahulu, kadang-kadang
kapal capung Belenda melempari petani dengan granat-tangan. Adakalanya juga
capung itu mendarat di lapoangan tandus dan mencuri kambing penduduk” (Toer,
2006: 13).
“Dengan
tiada tersangka-sangka Belanda menghujani pertahanan kita dari tiga penjuru
dengan delapan atau sepuluh pucuk howister….Rakyat
jadi panik. Mereka melarikan diri ke sawah. Aku masih ingat waktu itu, aku
berteriak dengan bercorong kedua tanganku: Jangan
lari! Rebahkan badan! Tapi mereka itu terlalu banyak” (Toer, 2006: 15).
“…kulihat
sebuah –dua buah, tiga, empat, Lima—peluru jatuh meledak di sekitar bondongan
manusia yang melarikan diri” (Toer, 2006:15).
“Hasil
luar biasa dari penembakan Belanda: empat domba gugur di depan kandangnya”
(Toer, 2006: 15).
Berdasarkan kutipan tersebut, teknik
penggambaran Belanda yang dilakukan pengarang mampu memberikan kesan antipasti.
Antipasti tersebut berasal dari sebuah perasaan benci dan marah pembaca
terhadap apa yang telah dilakukan Belanda kepada rakyat pada zaman itu. Tergambar
betapa menderitanya rakyat pada saat penjajahan Belanda. Bukan hanya rakyat
yang menjadi korban, melainkan juga ladang dan hewan ternak. Oleh sebab itu, kutipan
tersebut merupakan bukti antipasti yang timbul dari roman Bukan Pasar Malam.
c.
gaya
Gaya
bahasa ironi merupakan salah satu bentuk yang mampu menimbulkan antipasti.
Berikut kutipan dengan gaya bahasa ironi dalam roman Bukan Pasar Malam.
“Presiden
memang orang praktis—tidak seperti mereka yang memerjuangkan hidupnya di
pinggir jalan berhari-harian. Kalau engkau bukan presiden, dan juga bukan
mentari, dan engkau ingin mendapat tambahan listrik tigapuluh atau limapuluh
watt, engkau harus berani menyogok dua atau tigaratus rupiah…. Tetapi kalau
engkau tak punya uang, engkau hanya boleh menonton barang yang engkau inginin
itu. in juga semacam kemennagan demokratis” (Toer, 2006: 10).
Berdasarkkan kutipan tersebut, kata
“presiden memang orang praktis” dilanjutkan dengan kalimat “tidak seperti
mereka yang memerjuangkan hidupnya di pinggir jalan berhari-hari…” merupakan
bentuk sindiran kepada presiden. Pengarang melalui kutipan tersebut menyindir
secara halus kedudukan presiden dan pemerintahannya dalam masyarakat. Presiden
yang memiliki kelengkapan sarana dan prasarana berbanding terbalik dengan
kehidupan yang dimiliki oleh rakyatnya.
Oleh karena itu, melalui kutipan tersebut
mampu memicu perasaan pembaca untuk menentang presiden dan pemerintahannya
karena ketidakadilan mereka. Sehingga melalui kutipan tersebut, muncul efek antipati
terhadap presiden dan pemerintahan dari pembaca.
Penutup
Berdasarkan
analisis tersebut, maka roman Bukan Pasar
Malam ini memiliki efek solidaritas dan antipasti pembaca. Hal tersebut
dihadirkan pengarang melalui empat hal, yaitu pokok, organisasi, teknik, dan
gaya bahasa dalam roman Bukan Pasar Malam
ini.
Daftar pustaka
Pradopo,
Joko Rahmat. 1997. Prinsip-PrinsipKritikSastra.
Yokjakarta: Gadjah Mada University Press.
Tim PrimaPena. 2011. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Gitamedia Press.
Toer, Pramudia Ananta. 2006. Bukan Pasar Malam. Jakarta: Gramedia.
di susun oleh idham, Abdul Rajab Suaeri, dan Septy Rizki Amalia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar