Selasa, 07 Januari 2014

Kajian Kritik Judisial


EFEK ROMAN BUKAN PASAR MALAM
KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER PADA PEMBACA:
Kajian Kritik Judisial  


Pendahuluan
Menurut M. H. Abrams dalam Pradopo (1994: 11), kritik sastra adalah studi yang berhubungan dengan pendefinisian, penggolongan (Pengklasan), penguraian (analisis), dan penilaian (evaluasi). Dalam hal ini, kritik sastra dapat dikategorikan menjadi sembilan ragam. Salah satunya yaitu berdasarkan metode penerapan. Dalam segi penerapan, kritik sastra terbagi menjadi tiga jenis: 1) kritik judicial, 2) kritik induktif, dan 3) kritik impresionistik (Suroso dkk, 2008:20).
Melalui makalah ini, salah satu karya Pramoedya Ananta Toer yaitu Bukan Pasar Malam  akan dianalisis berdasarkan kritik judicial. Kritik judisial adalah kritik sastra yang berusaha menganalisis dan menerangkan efek-efek karya sastra berdasarkan pokok, organisasi, teknik dan gaya.  
Melalui kritik judicial tersebut, dalam makalah ini penulis akan menyajikan efek-efek yang timbul akibat roman Bukan Pasar Malam pada pembaca.

Teori Kritik Judisial
Kritik judisial (Judicial Criticism) adalah kritik sastra yang berusaha menganalisis dan menerangkan diseksi, pokok, organisasi, teknik dan gaya, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan individu kritikus atas dasar standar-standar umum tentang kehebatan atau keluarbiasaan sastra (Pradopo, 1994:23).
Efek tersebut adalah dampak yang secara langsung atau tidak langsung berpengaruh pada pemikiran bahkan tingkah laku pembaca. Hal tersebut didasarkan pada pokok, organisasi, teknik, dan gaya karya sastra. Pertama, pokok karya sastra tidaklah sama dengan tema karya sastra. Berdasarkan KBBI (2011: 619) pokok merupakan dasar; inti sari; pusat (yang menjadi titik perhatian). Oleh karena itu, pokok karya sastra merupakan dasar; inti sari; pusat dari karya sastra.
Organisasi merupakan kesatuan susunan yang terdiri atas bagian-bagian (2011: 564). Berdasarkan pengertian tersebut, organisasi karya sastra diartikan sebagai kesatuan susunan yang terdiri atas bagian-bagian cerita. Bagian-bagian cerita tersebut membentuk suatu plot/alur. Oleh karena itu, organisasi karya sastra identik dengan plot/alur.
Ketiga, yaitu teknik. Dalam KBBI (2011: 745) teknik merupakan cara membuat atau melakukan sesuatu.  Berdasarkan pengertian tersebut, maka teknik dalam karya sastra merupakan cara pengarang dalam membuat atau melakukan sesuatu terhadap karya sastra. Salah satu teknik tersebut yaitu berupa teknik pelukisan tokoh.
Sedangkan gaya berarti ragam. Dalam sebuah karya sastra, gaya yang dimaksud adalah ragam bahasa. Ragam bahasa terdiri dari, 1) ragam sindiran: Ironi, Sinisme, dan Sarkasme, 2) ragam pertentangan: Paradoks, Antitesis, Litotes, dan Oksimoron, 3) ragam perbandingan: Hiperbola, Metonimia, Personifikasi, dan Metafora, 4) ragam penegasan: Repetisi, Anafora, dan Epifora. Ragam tersebut dapat muncul menjadi satu atau hanya salah salah satu dalam sebuah karya sastra.

Pembahasan
Roman Bukan Pasar Malam adalah sebuah cerita yang mengungkapkan tentang perjalanan kehidupan tokoh aku terhadapat peristiwa-peristiwa yang dialaminya. Peristiwa-peristiwa tersebut dimulai dari peristiwa pulang kampung tokoh aku karena ayahandanya jatuh sakit, kemudian bertemu anggota keluarganya yang miskin, dan peristiwa tentang kehidupan rumah tangganya yang tidak kuat lagi.
Dalam peristiwa-peristiwa tersebut terungkap beberapa hal yang menurut penulis merupakan efek roman pada masyarakat. Efek tersebut berbentuk sikap solidaritas, gotong royong, antipati, dan toleransi yang juga merupakan reaksi masyarakat terhadap setiap unit cerita dari roman ini. Dampak-dampak tersebut akan dibahas secara detail, dengan didukung oleh kutipan-kutipan cerita, sebagai berikut.
1.      Solidaritas
a.      Organisasi
“…Malam itu adikku yang ketujuh itu masih juga menangis-tiga jam sudah. Di waktu kami berkumpul-kumpul di ruang depan sambil mengobrol-ngobrol, ia menyendiri di ruang belakang. Berkali-kali dia ku panggil, tetapi ia tak mau datang. Ia memuasai tangisnya sendiri. Empat kali ku suruh kakaknya membawanya keruang depan tapi ia menolak. Dari ruang depan itu ku lihat ia membukai buku-buku pelajarannya sambil menangis. Ia membaca dengan menangis perlahan aku bangun dari tempat dudukku dan menghampirinya. Ia sedang mempelajari ilmu bumi. Masih tetap menangis juga dan ia menghafalkan nama-nama tempat di Asia dengan menangis pula. Malam itu adikku masih juga menangis. Mengapa engkau menangis saja? Segera ia menutup buku-bukunya. Tapi menjawab? Tidak! Ia tak mau bicara. Ia menangis terus. Ku rangkul dia dan ku ciumi pipinya. Aku tahu, adikku, aku tahu: engkau menangis ayah yang sedang sakit. Dan dari mulut keluar suara: engkau sudah makan? ia hanya menggeleng dan menghapus air matanya di pangkuan ku itu. Tidur dengan Masmu, ya? tidak. Mari turut duduk-duduk di ruang depan. Tidak. Ia kuturunkan dari pangkuanku. Ia lari dengan tangisnya. Hilang ke dalam kamarnya. Dan tak muncul-muncul lagi. Yang terdengar dari tempat dudukku itu hanya sedu-sedannya yang mendayu-dayu seperti memanggil sesuatu yang tak terpanggil oleh suara manusia. …”(Toer, 2006: 37--38).
Dalam kutipan tersebut tergambar jelas alur yang dihadirkan pengarang. Alur itu mengisahkan kesedihan dua orang anak karena kesakitan yang dialami ayahandanya. Dari kutipan tersebut, muncullah rasa kasihan dari diri pembaca. Kasihan tersebut ditujukan kepada tokoh adik ketujuh dan tokoh aku.
Melalui rasa kasihan, maka muncullah rasa simpati pembaca. Rasa simpati tersebut digolongkan dalam rasa solidaritas terhadap sesama. Oleh karena itu, kutipan itu merupakan bukti solidaritas dalam sebuah organisasi cerita.

b.      Gaya
Berdasarkan penggunaan gaya bahasa yang digunakan oleh pengarang, berikut ini adalah kutipan yang memberikan efek solidaritas kepada pembaca.  
“…Jangan dekat-dekat . Dan kami menjauh. Badai batuk menerjang pula. Dan badan yang menyerupai sebilah papan itu tertarik-tarik karenanya. Dan kami semua memperhatikan –memperhatikan dengan kepiluan yang memaksa-maksa. Badai batuk itu reda juga dan akhirnya lenyap…”(Toer, 2006: 32).

Kata “…menyerupai sebilah papan….” Dalam kutipan tersebut merupakan bentuk gaya bahasa perbandingan. Membandingkan anatra sebuah badan dan sebilah papan. Berdasarkan hal tersebut tersebut, perbandingan yang dimunculkan penulis memuncullah rasa sedih dan kasihan terhadap tokoh ayah yang mengalami sakit. Oleh karena itu, dalam kutipan cerita tersebut membuktikan bahwa timbullah efek solidaritas dari pembaca, yang berupa rasa sedih dan kasihan terhadap sesama.

2.      Antipati
a.      Pokok
Pokok yang merupakan inti dari sebuah cerita digambarkan dalam kutipan berikut ini.
Surat yang pedas yang kukirimkan, dan surat balasan yang kuterima itu membuat airmataku bertitik. Dan berjanjilah aku dalam hati: aku harus memperbaiki kelancanganku” (Toer, 2006: 8).

Kutipan tersebut merupakan kutipan berpokok yang memiliki antipasti. Pokok cerita kutipan tersebut yaitu kegelisahan seorang tokoh aku. Berdasarkan hal tersebut, perasaan pembaca yang muncul adalah jengkel.  Jengkel terhadap tokoh aku dalam roman, karena telah menyakiti hari ayahnya dengan cara mengirim surat yang berisi kata-kata pedas. Padahal, seorang anak haruslah sopan dalam tindakan dan santun dalam ucapan kepada orang tua.
Berdasarkan perasaan tersebut, jengkel merupakan bentuk dari antipasti. Oleh karena itu, kutipan tersebut merupakan bukti bahwa terdapat efek antipasti yang timbul dari pokok cerita roman Bukan Pasar Malam.
Selain kutipat tersebut, antipati yang ditimbulkan dari roman tersebut juga terdapat dalam kutipan di bawah ini.
“...kalau bel itu kubunyikan─kalau aq ingin buang air. Anakku, mereka bukanlah datang menolong, tapi mereka itu tambah melarikan diri mendengar panggilan bel itu. O, sungguh terlalu...”(Toer, 2006: 73).
Berdasarkan kutipan tersebut, pengarang menampilkan bagaimana keadaan yang dialami tokoh bapak dalam roman. Tokoh bapak merasa dihindari karena penyakitnya, apalagi saat ia butuh bantuan yang tidak dapat ia kerjakan sendiri. Oleh sebab itu, tokoh bapak membutuhkan bantuan dari anak-anaknya, namun ternyata anak-anaknya malah merarikan diri.
Peristiwa tersebut mampu menghadirkan rasa jengkel yang mendalam kepada anak-anak tokoh bapak. Rasa jengkel tersebut merupakan bukti dari bentuk antipati pembaca terhadap tokoh anak. Oleh karena itu, kutipan tersebut merupakan bukti adanya antipati yang mampu dimunculkan pengarang dari roman Bukan Pasar Malam.
b.      Teknik
Teknik cerita yang memiliki efek antipasti terdapat dalam kutipan berikut.
 “Dan di sawah-sawah itu dahulu, kadang-kadang kapal capung Belenda melempari petani dengan granat-tangan. Adakalanya juga capung itu mendarat di lapoangan tandus dan mencuri kambing penduduk” (Toer, 2006: 13).
“Dengan tiada tersangka-sangka Belanda menghujani pertahanan kita dari tiga penjuru dengan delapan atau sepuluh pucuk howister….Rakyat jadi panik. Mereka melarikan diri ke sawah. Aku masih ingat waktu itu, aku berteriak dengan bercorong kedua tanganku: Jangan lari! Rebahkan badan! Tapi mereka itu terlalu banyak” (Toer, 2006: 15).
“…kulihat sebuah –dua buah, tiga, empat, Lima—peluru jatuh meledak di sekitar bondongan manusia yang melarikan diri” (Toer, 2006:15).
“Hasil luar biasa dari penembakan Belanda: empat domba gugur di depan kandangnya” (Toer, 2006: 15).

Berdasarkan kutipan tersebut, teknik penggambaran Belanda yang dilakukan pengarang mampu memberikan kesan antipasti. Antipasti tersebut berasal dari sebuah perasaan benci dan marah pembaca terhadap apa yang telah dilakukan Belanda kepada rakyat pada zaman itu. Tergambar betapa menderitanya rakyat pada saat penjajahan Belanda. Bukan hanya rakyat yang menjadi korban, melainkan juga ladang dan hewan ternak. Oleh sebab itu, kutipan tersebut merupakan bukti antipasti yang timbul dari roman Bukan Pasar Malam.

c.       gaya  
Gaya bahasa ironi merupakan salah satu bentuk yang mampu menimbulkan antipasti. Berikut kutipan dengan gaya bahasa ironi dalam roman Bukan Pasar Malam.
“Presiden memang orang praktis—tidak seperti mereka yang memerjuangkan hidupnya di pinggir jalan berhari-harian. Kalau engkau bukan presiden, dan juga bukan mentari, dan engkau ingin mendapat tambahan listrik tigapuluh atau limapuluh watt, engkau harus berani menyogok dua atau tigaratus rupiah…. Tetapi kalau engkau tak punya uang, engkau hanya boleh menonton barang yang engkau inginin itu. in juga semacam kemennagan demokratis” (Toer, 2006: 10).

Berdasarkkan kutipan tersebut, kata “presiden memang orang praktis” dilanjutkan dengan kalimat “tidak seperti mereka yang memerjuangkan hidupnya di pinggir jalan berhari-hari…” merupakan bentuk sindiran kepada presiden. Pengarang melalui kutipan tersebut menyindir secara halus kedudukan presiden dan pemerintahannya dalam masyarakat. Presiden yang memiliki kelengkapan sarana dan prasarana berbanding terbalik dengan kehidupan yang dimiliki oleh rakyatnya.
Oleh karena itu, melalui kutipan tersebut mampu memicu perasaan pembaca untuk menentang presiden dan pemerintahannya karena ketidakadilan mereka. Sehingga melalui kutipan tersebut, muncul efek antipati terhadap presiden dan pemerintahan dari pembaca.

Penutup
Berdasarkan analisis tersebut, maka roman Bukan Pasar Malam ini memiliki efek solidaritas dan antipasti pembaca. Hal tersebut dihadirkan pengarang melalui empat hal, yaitu pokok, organisasi, teknik, dan gaya bahasa dalam roman Bukan Pasar Malam ini.   

Daftar pustaka
Pradopo, Joko Rahmat. 1997. Prinsip-PrinsipKritikSastra. Yokjakarta: Gadjah Mada University Press.
Tim PrimaPena. 2011. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Gitamedia Press.
Toer, Pramudia Ananta. 2006. Bukan Pasar Malam. Jakarta: Gramedia.


 di susun oleh idham, Abdul Rajab Suaeri, dan Septy Rizki Amalia





Tidak ada komentar:

Posting Komentar