Kesungguhan dalam Negeri 5 Menara dan Kehunjaman dalam Jangan Bicara: Suatu Tinjauan Kritik Pragmatik
A. Pengantar
Karya satra menggambarkan pola pikir
masyarakat, perubahan tingkah laku masyarakat, tata nilai dan bentuk kebudayaa
lainnya. Karya sastra merupakan potret dari segala aspek kehidupan masyarakat.
Pengarang menyodorkan karya satra sebagai alternatif untuk menghadapi
permasalahan yang ada mengingat karya satra erat kaitannya dengan kehidupan
masyarakat. Hal ini sesuai dengan asumsi bahwa satra diciptakan tidak dalam
keadaan kekosongan budaya (Teeuw, 1989:20).
Dari sekian karya sastra yang menarik
untuk dikaji di antaranya adalah
novel dan lagu.
Novel merupakan bentuk karya sastra yang paling populer di dunia. Menurut
Zaidan, dkk. (1991:136), novel merupakan karya fiksi yang mengandung unsur
tokoh, alur, latar rekaan yang menggelarkan kehidupan manusia atas dasar sudut
pandang pengarang; mengandung nilai hidup, diolah dengan teknik kisahan dan
ragaan yang menjadi dasar konvensi penulisan. Salah satu karakternya lagi
adalah perubahan nasib para tokoh dan lahirnya sebuah konflik (Lubis,
1994:161).
Beberapa
tahun terakhir ini, ada beberapa novel yang cukup sukses di belantika sastra
Indonesia. Novel tersebut adalah tetrologi Laskar
Pelangi, Negeri 5 Menara, Ayat-ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih. Angka
pembacanya pun menembus angka ratusan ribu. Kesuksean novel tersebut menarik
minat para sineas untuk mengangkatnya dalam sebuah film. Hasilnya pun bagus dan
cukup diapresiasi oleh para penikmat film. Kesuksesan novel-novel
tersebut tidak lepas dari kecerdikan pengarang dalam memanfaatkan pangsa pasar
saat ini, yaitu pembaca. Pengarang cukup memperhatikan diksi yang dipilih,
pengisahan tokoh-tokohnya dan nilai-nilai yang dipesankan. Hal tersebut menjadi
kunci kesuksesan novel tersebut.
Lagu merupakan jenis karya sastra yang paling merakyat.
Bentuknya yang puitis dengan iringan musik menjadikan lagu sebagai produk
sastra bak pedang bermata dua, yakni ekspresi pesan dan seni nada sehingga
diterima semua kalangan. Tidak banyak pengarang dan lagu ciptaannya mendapat
tempat yang dalam di hati masyarakat. Hal itu mengingat tidak banyak pengarang
lagu yang menyuarakan liku kehidupan. Salah satu pengarang dan ciptaan yang
mendapat kehormatan dari masyarakat adalah Iwan Fals dengan suara baladanya.
Negeri 5 Menara adalah karya sastra
mutakhir dalam bentuk novel yang heboh. Novel
ini cukup mencuri perhatian
pembaca. Sedangkan salah satu karya Iwan Fals yang mengakar adalah Jangan Bicara. Animo besar masyarakat
atas Negeri
5 Menara dan mengakarnya Jangan Bicara ini tentu bukan tanpa
sebab. Alasan apa yang mendasari hal itu dapat digali
dengan melakukan kritik
sastra, salah satunya dengan pendekatan pragmatik.
B. Kritik Sastra
C. Pendekatan Pragmatik
B. Kritik Sastra
Kritik sastra
berfungsi untuk memberikan uraian dan penerangan tentang karya sastra yang
konkret, baik mengenai makna karya sastra, strukturnya, maupun nilainya. Dengan
demikian, kritikus sebagai penerap prinsip kritik sastra itu perlu memberikan tafsiran-tafsirannya,
analisis dan seni lainnya. Tanpa itu semua, karya sastra tidak mungkin
dipahami. Jadi, penafsiran, penguraian (analisis), dan penilaian perlu
diuraikan. Ketiganya merupakan aspek kritik sastra yang utama yang saling erat
berjalinan dalam aktivitas penerapan kritik pada karya sastra.
Kritik sastra
merupakan salah satu studi sastra. Kritik sastra adalah cabang ilmu sastra yang
memfokuskan perhatiannya pada pengkajian sastra secara langsung untuk
mengidentifikasi, menganalisis, mengklasifikasi serta memberikan penilaian
tentang berhasil tidaknya suatu cipta sastra. Kritik sastra merupakan studi
sastra yang langsung berhadapan dengan karya sastra. H.B Jassin (dalam Rachmat
Djoko Pradopo, 1995:92) mengatakan kritik sastra adalah pertimbangan baik buruk
karya sastra, penerangan baik buruk karya sastra. Pertimbangan baik buruk ini
tidak berarti baik buruk yang berhubungan dengan moral, namun berhubungan
dengan indah atau jelek. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:761)
menyebutkan bahwa kritik adalah kecaman, kadang-kadang disertai uraian dan
pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dsb. Sedangkan
kritikus adalah 1. orang yang ahli dalam memberikan pertimbangan (pembahasan)
tentang baik buruknya sesuatu. 2. orang yang memberikan pertimbangan (pembahasan)
tentang baik buruknya sesuatu; pengkritik.
Penilaian
terhadap sebuah karya sastra haruslah bersifat objektif sesuai dengan criteria penilaian
yang ada. Mario Pei der Frank (dalam Zainuddin, 2002:20) mengatakan penilaian
dan penghakiman sesuai dengan standar yang telah diakui berdasarkan pengkajian
studi dan analisis. Adanya kriteria yang dijadikan patokan dalam penilaian
sastra, dimaksudkan agar hasil dari kritik sastra itu benar-benar merupakan
penilaian yang dapat dipertanggung-jawabkan, dan bukan hanya pendapat pribadi.
Bagaimanapun tujuan kritik sastra adalah menunjukkan dimana kebaikan dan
kekurangan suatu karya sastra berdasarkan kriteria yang berlaku. Hasil kritik
itu nantinya untuk menjadikan karya sastra itu lebih baik dan juga sebagai
koreksi terhadap penulis, sehingga penulis tidak merasa divonis namun merasa
ditantang untuk meningkatkan kualitas tulisan berikutnya (Zainuddin, 2002:21).
Untuk
mengenal permasalahan kritik sastra lebih lanjut perlu dikemukakan guna kritik sastra.
Adapun kegunaan kritik sastra adalah, pertama untuk perkembangan sastra itu
sendiri, kedua untuk perkembangan kesustraan dan ketiga untuk penerangan
masyarakat pada umunya yang menginginkan penerangan tentang karya sastra. Rachmat
Djoko Pradopo (1995:93) mengemukakan kegunaan karya sastra adalah untuk
membantu perkembangaan kesusastraan suatu bangsa dengan menjelaskan karya
sastra mengenai baik buruknya karya sastra dan menunjukkan daerah-daerah
jangkauan persoalan karya sastra.
Adapun
manfaat bagi sastrawan dari kritik sastra adalah mereka dapat mengembangkan
penulisan karya sastra mereka yang mengakibatkan perkembangan kesusastraan.
Aspek-aspek pokok kritik sastra adalah analisis, interpretasi (penafsiran), dan
evaluasi atau penilaian. Karya sastra merupakan sebuah struktur yang kompleks,
maka untuk memahaminya perlu adanya analis, yaitu penguraian terhadap
bagian-bagian atau unsur-unsurnya (Hill dalam Pradopo, 1995:93). Oleh karena
karya sastra adalah struktur yang kompleks, maka karya sastra itu perlu
ditafsirkan untuk memperjelas artinya. Abrams (dalam Pradopo, 1995:93)
mengemukakan, penafsiran adalah penafsiran karya sastra, dalam arti luasnya
adalah penafsiran kepada semua aspek karya sastra.C. Pendekatan Pragmatik
Salah
satu pendekatan untuk mengkritik karya sastra adalah pendekatan pragmatik. Secara
historis pendekatan ini telah ada tahun 14 SM dan terkandung dalam Ars Poetica (Pratodokusumo, 2008:78).
Beberapa pakar mendefinisikan pendekatan pragmatik. Menurut Teeuw (1994: ), pendekatan
ini menitikberatkan dimensi pembaca sebagai penangkap dan pemberi makna
terhadap karya satra. Senada dengan pendapat Teeuw, Abram menyatakan perhatian
utama pendekatan pragmatik adalah peran pembaca. Dalam
kaitannya dengan salah satu teori modern yang paling pesat perkembangannya
yaitu teori resepsi.
Menurut Pradopo dalam Wiyatmi (2006:85),
pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang memandang karya sastra sebagai
sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca. Dalam hal ini tujuan tersebut
dapat berupa tujuan politik, pendidikan, moral, agama, maupun tujuan yang lain.
Dalam praktiknya pendekatan ini cenderung menilai karya sastra menurut
keberhasilannya dalam mencapai tujuan tertentu bagi pembacanya. Pendekatan ini
mengkaji dan memahami karya sastra berdasarkan fungsinya untuk memberikan
pendidikan (ajaran) moral, agama, maupun fungsi sosial lainnya. Semakin banyak
nilai pendidikan moral dan atau agama yang terdapat dalam karya sastra dan
berguna bagi pembacanya, maka tinggi nilai karya sastra tersebut.
Pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang
memandang karya sastra sebagai sesuatu yang dibangun untuk mencapai efek-efek
tertentu pada audiens (pembaca
maupun pendengar), baik berupa efek kesenangan estetika ataupun efek yang lain. Pendekatan
pragmatik
ini cenderung menilai karya sastra dari hasilnya, tujuannya. Biasanya karya
sastra semacam ini mengunakan strategi estetika untuk menarik dan mempengaruhi
tanggapan-tanggapan dari pembacanya.
Pendekatan
pragmatik mempertimbangkan implikasi pembaca melalui berbagai kompetensinya.
Dengan mempertimbangkan indikator karya sastra dan pembaca, maka
masalah-masalah yang dapat dipecahkan melalui pendekatan pragmatis, di antaranya berbagai
tanggapan masyarakat tertentu terhadap sebuah karya sastra, baik sebagai
pembaca eksplisit, maupun implisit, baik dalam kerangka sinkronis maupun
diakronis. Dalam setiap karya sastra terdapat Unbesttimmtheitsstellen ‘tempat-tempat
yang tidak tertentu atau kosong’, yang tidak terisi oleh karya sastra dan
pengisiannya terserah kepada pembaca menurut kemampuan dan seleranya. Inilah yang disebut
konkretisasi namun, menurut Ingarden, hal ini dibatasi oleh struktur karya seni
yang singkat secara objektif.
Hubungan antara
karya sastra dengan pembaca tampak pada skema berikut:
Karya sastra «
Pembaca
Dalam praktiknya,
pendekatan ini mengkaji dan memahami karya sastra berdasarkan fungsinya untuk
memberikan pendidikan (ajaran) moral, agama, maupun fungsi sosial lainnya.
Pendekatan ini cenderung menilai karya sastra menurut keberhasilannya dalam
mencapai tujuan tertentu bagi pembacanya (Pradopo, 1994). Pendekatan kritik sastra
yang ingin memperlihatkan kesan dan penerimaan pembaca terhadap karya sastra
dalam zaman ataupun sepanjang zaman. Kesan dan penerimaan pembaca itu tidak terlepas
dari strategi pengarang dalam menulis karyanya. Strategi pengarang yang
dimaksud berhubungan dengan penggunaan bahasa, pengisahan tokoh-tokohnya,
kekuatan cerita, nilai yang dikandung.
Dari beberapa
definisi di atas, pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang memandang karya
sastra sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca. Dalam
hal ini tujuan tersebut dapat berupa tujuan politik, pendidikan, moral, agama
maupun tujuan yang lain
melalui kekuatan diksi dalam mengisahkan tokoh-tokohnya dan
nilai-nilai yang dipesankan pada
karya sastra tersebut.
D. Sinopsis Novel Negeri 5 Menara Karya A. Fuadi
Novel
Negeri 5 Menara karya A. Fuadi
merupakan novel yang terinspirasi dari pengalaman dan perjalanan hidup penulis
selama belajar di Pondok Modern Gontor. Cerita ini adalah cerita enam anak dari
seantero nusantara yang menuntut ilmu di sebuah pondok, kemudian bisa mengejar
impian mereka dengan belajar di lima negara berbeda. Novel ini bermula
menceritakan seorang anak bernama Alif yang lahir di pinggir Danau Maninjau dan
tidak pernah menginjak tanah di luar ranah Minangkabau. Masa kecilnya adalah
berburu durian runtuh di rimba Bukit Barisan, bermain bola di sawah berlumpur
dan mandi di air biru Danau Maninjau. Tiba-tiba saja dia harus naik bus tiga
hari tiga malam melintasi punggung Sumatera dan Jawa menuju sebuah desa di
pelosok Jawa Timur. Ibunya ingin dia menjadi Buya Hamka walau Alif ingin
menjadi Habibie. Dengan setengah hati dia mengikuti perintah ibunya belajar di
pondok.
Pada
hari pertama memasuki kelas di Pondok Madani, Alif terkesima dengan mantera
sakti “man
jadda wa jada”
yang berarti ‘Barang
siapa bersungguh-sungguh maka dapatlah ia’. Dia terheran-heran mendengar komentator
sepak bola berbahasa Arab, anak mengigau dalam bahasa Inggris, dan terkesan
melihat pondoknya setiap pagi seperti melayang di udara.
Dipersatukan
oleh hukuman jewer berantai, Alif berteman dekat dengan Raja dari Medan, Said
dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung, dan Baso dari Gowa. Di
bawah menara yang menjulang, mereka menunggu maghrib sambil menatap awan
lembayung berarak pulang ke ufuk. Di mata belia mereka, awan-awan itu menjelma
menjadi negara dan benua impian masing-masing. Ke mana impian membawa mereka?
Mereka tidak tahu, yang mereka tahu adalah: “Jangan pernah meremehkan impian,
walau setinggi apapun. Tuhan sungguh Maha Mendengar”.
E. Pendekatan
Pragmatik dalam Novel Negeri 5 Menara
Dengan pendekatan pragmatik dalam
novel Negeri 5 Menara dapat dipahami
bahwa karya satra (novel) sebagai sarana yang cukup efektif untuk menyampaikan
tujuan-tujuan tertentu pengarang kepada pembaca. Dalam novel ini terdapat
nilai-nilai edukatif yang cukup elegan.
Diksi yang dipilih A. Fuadi dalam
novel Negeri 5 Menara cukup
sederhana. Kesederhanaan tersebut tampak pada keengganan pengarang memakai
istilah-istilah teknis. Kesederhanaan diksi itu memudahkan pembaca untuk
memahami dan menikmati novel ini. Hal
itu tampak pada data berikut ini.
Yang jelas, sesuai aturannya, kami telah bertekad sebelum
Maghrib besok, kami sudah menunaikan misi ini dan siap bahu-membahu menjelajahi PM untuk mencari pelanggar aturan hari
ini. (Fuadi, 2010:80).
Dalam
novel ini, meski ada beberapa istilah asing, misalnya dalam bahasa Arab,
pengarang menandai istilah tersebut dengan italic
dan memberikan arti pada kaki halaman. Namun, istilah-istilah tersebut
bukan petanda ketidaksederhanaan diksi. Sebab, pembaca sudah mengerti maksudnya
dengan menghubungkan koheseitas dan koherenitas kata sebelum dan sesudahnya
tanpa melihat arti di kaki halaman. Hal itu tampak pada data berikut ini.
“Qiyaman
ya akhi!” yang punya tangan ini menggenggam. Geraman yang kukenal. Geraman
Tyson. Ya Tuhan. Tangan kirinya memegang botol air yang digunakan untuk
membasahi mukaku. Melihat aku bangun, sekarang dia menjentikkan air ke muka Dul
yang segera mencelat dan terjengkang dari kusinya karena kaget. (Fuadi,
2010:245).
Novel
ini jarang memakai bahasa metaforis, bahasa berbunga-bunga. Bahasa metaforis
sangat akrab dalam dunia sastra khususnya novel. Bahasa metaforis digunakan
untuk memperindah rangkaian cerita sehingga pembaca terhanyut di dalamnya.
Namun, sedikitnya intensitas pemakaian bahasa metaforis dalam Negeri 5 Menara bukan masalah serius karena kekuatan
daya tarik novel ini terletak pada pengisahan cerita dan nilai-nilai yang diusungnya.
Diakui juga pemakaian bahasa metaforis dalam novel kerapkali membingungkan
pembaca karena pendeskripsianya panjang sehingga maksud intinya tidak ditangkap
pembaca.
Sebagaimana penjelasan
sebelumnya, pengisahan cerita beserta tokoh-tokohnya menjadi pemikat utama
keberhasilan novel ini. Novel ini berkutat pada jalinan persahabatan enam
santri dari daerah berbeda, yakni Alif dari Minangkabau, Raja dari Medan, Said
dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung, dan Baso dari Gowa.
Persahabatn mereka terbentuk setelah menjadi santri di pondok Madani, salah
satu pesantren di daerah Jawa Timur.
Kebersamaan
di Madani membuat mereka berenam menjalin persahabatan yang kuat. Persahabatan
itu diperoleh dari kesamaan rasa dalam menjalani kegiatan pesantren yang padat.
Eratnya persabatan mereka menyebabkan kawan-kawan mereka menyebutnta Sahibul
Menara.
Saking seringnya kami berkumpul di
kaki menara, kawan-kawan lain menggelari kami dengan Sahibul Menara, orang yang
punya menara. Dalam bahasa Arab, kata Sahibul kerap digunakan untuk menyatakan
kepunyaan … (Fuadi, 2010:94)
Keenam
santri tersebut memiliki mimpi masing-masing. Mimpi mereka sering dipanjatkan
saat berada di menara. Hal itu tampak pada data berikut ini.
Di bawah
bayangan menara ini kami lewatkan waktu untuk bercerita tentang impian-impian
kami, membahas pelajaran tadi siang, ditemani Kacang
Sukro. Bagaikan menara, cita-cita kami
tinggi menjulang. Kami ingin sampai di puncak-puncak mimpi kelak. (Fuadi,
2010:94).
Untuk
meraih mimpi tersebut, mereka menjalaninya tidak mudah. Mereka harus melalui
agenda kegiatan di pesantren yang cukup padat, melelahkan, dan mengasyikan.
Pendidikan di Madani yang padat itu membelajari mereka untuk disiplin.
Kedisiplinan yang dibiasakan pada program wajib bahasa, jamaah, salat malam,
belajar, dan lain-lain. Jika kedisiplinan dilanggar, sanksi akan jatuh pada
mereka.
Ada
mantra Arab
terkenal, selalu disimpan rapat-rapat oleh mereka, yaitu Man Jadda Wajad. Mantra ini berarti “barang siapa yang sungguh, dia
akan mendapatkannya”. Mantra tersebut mereka uji dengan kesungguhan belajar di
pesantren. Akhirnya mereka lulus.
Mataku nanar mengikuti jari yang
mencoba dan mencari-cari namaku di papan pengumuman. Dan itu dia. Namaku Alif
Fikri, dan di sebelahnya tertulis huruf nun,
jim dan ha. Artinya lulus ….
Ternyata para Sahibul Menara lulus semua. (Fuadi, 2010:395)
Akhir
cerita para Shahibul Menara bisa meraih impiannya sejak masih di Madani. Mereka
berada di lima negara yang berbeda. Alif berada di Amerika, Raja di Eropa,
Atang di Afrika, Baso di Asia, sedangkan Said dan Dulmajid berada di Indonesia.
… kami
berenam telah berada di lima negara berbeda. Di lima negara impian kami. Jangan
pernah remehkan impian, walau setinggi apa pun. Tuhan sungguh Maha Mendengar. Man Jadda Wajada, siapa yang
bersungguh-sungguh akan berhasil (Fuadi, 2010:405).
Kekuatan
cerita itulah menjadi salah satu faktor novel ini spektakuler. Meski ber-setting
di tempat eksklusif, nilai-nilai yang diusung inklusif. Novel Negara 5 Menara menjadi pemuas dahaga
pembaca sastra Indonesia akan karya sastra yang bermutu.
F. Bait
Syair Lagu Jangan Bicara Karya Iwan
Fals
Jangan Bicara
Jangan bicara soal
idealisme
Mari bicara berapa banyak uang di kantong kita
Atau berapa dahsyatnya ancaman
Mari bicara berapa banyak uang di kantong kita
Atau berapa dahsyatnya ancaman
yang membuat kita terpaksa onani
Jangan bicara soal
nasionalisme
Mari bicara tentang kita
yang lupa warna bendera sendiri
Atau tentang kita yang
buta
Bisul tumbuh subur di ujung hidung yang memang
tak mancung
Jangan perdebatkan soal
keadilan
Sebab keadilan bukan
untuk diperdebatkan
Jangan cerita soal
kemakmuran
Sebab kemakmuran hanya
untuk anjing si tuan Polan
Lihat di sana
Si Urip meratap
Di teras marmer direktur
murtad
Lihat di sana
Si Icih sedih
Di ranjang empuk waktu
majikannya menindih
Lihat di sana
Parade penganggur
Yang tampak murung
ditepi kubur
Lihat di sana
Antrian pencuri
Yang timbul sebab
nasinya dicuri
Jangan bicara soal
runtuhnya moral
Mari bicara tentang
harga diri yang tak ada arti
Atau tentang tanggung
jawab
Yang kini dianggap sepi,.....
G. Pendekatan
Pragmatik Lagu Jangan Bicara Karya
Iwan Fals
Makna pragmatik lagu Jangan Bicara karya Iwan Fals tersebut bisa kita
analisa dari setiap bait, setiap kata yang terangkai. Makna dari lagu ini
adalah kritikan untuk pemerintah, agar pemerintah tidak hanya
mengembar-ngemborkan idealisme, nasionalisme, dan keadilan. Makna
itu dapat digali dengan cara analisai pragmatik.
Dari bait pertama:
Jangan
bicara soal idealisme
Mari bicara berapa banyak uang di kantong kita
Atau berapa dahsyatnya ancaman
Mari bicara berapa banyak uang di kantong kita
Atau berapa dahsyatnya ancaman
yang membuat kita terpaksa onani
Dari bait ini kita bisa memahami kalau rakyat
kecil itu tidak peduli apa idealisme tapi mereka butuh
bantuan yang nyata yang bisa mereka rasakan yang tidak sekedar janji &
mimpi belaka.
Jangan
bicara soal nasionalisme
Mari bicara tentang kita yang lupa warna bendera sendiri
Atau tentang kita yang buta
Bisul tumbuh subur di ujung hidung yang memang tak mancung
Mari bicara tentang kita yang lupa warna bendera sendiri
Atau tentang kita yang buta
Bisul tumbuh subur di ujung hidung yang memang tak mancung
Dari bait kedua ini tersirat tentang rasa
nasionalisme yang sudah mulai pudar. Bait ini penulis ingin
mengigatkan kalau bendera kita ini terdiri atas dua warna merah (berani) dan putih
(lambang kebaikan/benar) yang berarti berani karena benar. Pengarang lagu ini juga
ingin mengatakan kalau negara kita ini merupakan
negara yang masih cacat ”jelek” bahkan
kejelekannya tampak jelas tetapi kita tidak berbuat apa-apa.
Jangan
perdebatkan soal keadilan
Sebab keadilan bukan untuk diperdebatkan
Sebab keadilan bukan untuk diperdebatkan
Dalam bait ini penulis maknai: “Wahai pemimpinku
janganlah engkau memperdebatkan keadilan apalagi sampai adu jotos di depan sidang sebab
keadilan itu bukan untuk diperdebatkan tetapi untuk dijalankan dan
dilaksanakan”. Makna ini didasari bahwa yang mampu menerapkan
keadilan dan yang mendebatkan keadilan adalah mereka para pemimpin baik di legeslatif maupun di eksekutif.
Jangan
cerita soal kemakmuran
Sebab kemakmuran hanya untuk anjing si tuan Polan
Sebab kemakmuran hanya untuk anjing si tuan Polan
Dari kalimat ini penulis lagu ingin mengatakan
kemakmuran hanyalah untuk mereka orang-orang yang mau tunduk dan patuh pada
bosnya/ majikannya/pemimpinnya, yang bekerja sama untuk meraup
keuntung pribadi dari hasil yang tidak halal.
Lihat
di sana
Si Urip meratap
Di teras marmer direktur murtad
Si Urip meratap
Di teras marmer direktur murtad
Dalam bait ini seolah penulis lagu ingin
memberitahukan pada kita tentang orang-orang yang telah di-PHK dan meratapi
kesedihannya karena memikirkan nasib.
Lihat
di sana
Si Icih sedih
Di ranjang empuk waktu majikannya menindih
Si Icih sedih
Di ranjang empuk waktu majikannya menindih
Dari bait ini pencipta lagu ingin memberitahukan
pada kita tentang nasip TKI/TKW kita yang direnggut kehormatannya oleh
majikannya.
Lihat
di sana
Parade penganggur
Yang tampak murung di tepi kubur
Parade penganggur
Yang tampak murung di tepi kubur
Dalam hal
ini penulis lagu ingin mengatakan
pengangguran di negeri ini amat banyak
sampai-sampai mereka pasrah dengan kondisi yang ada karena sulitnya mencari
pekerjaan.
H. Simpulan
Berdasarkan
pembahasan di atas, secara pragmatis, keberhasilan novel Negeri 5 Menara terletak pada beberapa hal. Diksi atau pilihan kata
pengaranganya merupakan faktor
krusial. Diksi yang dipakai cukup sederhana sehingga memudahkan pembaca untuk
menikmatinya. Intinya
A. Fuadi begitu cermat dalam memilih kata-kata. Selain diksi, pengisahan cerita dan
nilai edukatifnya menjadikan novel ini bisa diterima oleh pembaca sastra di
Indonesia. Hal ini karena cerita
dan nilai yang diusung memiliki hubungan
intertek dengan Al-Qur’an dan
Hadist. Hasilnya novel ini menginspirasi banyak orang agar bersungguh-sungguh
dalam berusaha. Meski ber-setting
di pesantren, nilai-nilai novel ini universal.
Demikian
halnya dalam lagu Jangan Bicara karya
Iwan Fals. Lagu tersebut sangat kuat dalam hal diksi dan nilai-nilai yang
disampaikan. Kesan yang didapat adalah betapa menghunjamnya diksi itu dan
mengakarnya nilai-nilai pesannya.
Daftar
Pustaka:
Fuadi, Ahmad. 2010. Negeri 5 Menara. Jakarta:
Gramedia.
Pratodokusumo, Partini S.2008. Pengkajian
Sastra. Jakarta: Gramedia.
Teeuw,
A. 1994. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar teoi Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Wiyatmi.
2006. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Penerbit Pustaka.
Zaidan, Abd. Rozak,dkk.1991. Kamus
Istilah Sastra. Jakarta:
Balai Pustaka.
di susun oleh Bambang Edi P, Joko Yulianto, Endang Sri Maruty, dan Wahyudi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar