Selasa, 07 Januari 2014

Tinjauan Kritik Pragmatik

Kesungguhan dalam Negeri 5 Menara dan Kehunjaman dalam Jangan Bicara:  Suatu Tinjauan Kritik Pragmatik


A.  Pengantar
Karya satra menggambarkan pola pikir masyarakat, perubahan tingkah laku masyarakat, tata nilai dan bentuk kebudayaa lainnya. Karya sastra merupakan potret dari segala aspek kehidupan masyarakat. Pengarang menyodorkan karya satra sebagai alternatif untuk menghadapi permasalahan yang ada mengingat karya satra erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat. Hal ini sesuai dengan asumsi bahwa satra diciptakan tidak dalam keadaan kekosongan budaya (Teeuw, 1989:20).
Dari sekian karya sastra yang menarik untuk dikaji di antaranya adalah novel dan lagu. Novel merupakan bentuk karya sastra yang paling populer di dunia. Menurut Zaidan, dkk. (1991:136), novel merupakan karya fiksi yang mengandung unsur tokoh, alur, latar rekaan yang menggelarkan kehidupan manusia atas dasar sudut pandang pengarang; mengandung nilai hidup, diolah dengan teknik kisahan dan ragaan yang menjadi dasar konvensi penulisan. Salah satu karakternya lagi adalah perubahan nasib para tokoh dan lahirnya sebuah konflik (Lubis, 1994:161).
Beberapa tahun terakhir ini, ada beberapa novel yang cukup sukses di belantika sastra Indonesia. Novel tersebut adalah tetrologi Laskar Pelangi, Negeri 5 Menara, Ayat-ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih. Angka pembacanya pun menembus angka ratusan ribu. Kesuksean novel tersebut menarik minat para sineas untuk mengangkatnya dalam sebuah film. Hasilnya pun bagus dan cukup diapresiasi oleh para penikmat film. Kesuksesan novel-novel tersebut tidak lepas dari kecerdikan pengarang dalam memanfaatkan pangsa pasar saat ini, yaitu pembaca. Pengarang cukup memperhatikan diksi yang dipilih, pengisahan tokoh-tokohnya dan nilai-nilai yang dipesankan. Hal tersebut menjadi kunci kesuksesan novel tersebut.
Lagu merupakan jenis karya sastra yang paling merakyat. Bentuknya yang puitis dengan iringan musik menjadikan lagu sebagai produk sastra bak pedang bermata dua, yakni ekspresi pesan dan seni nada sehingga diterima semua kalangan. Tidak banyak pengarang dan lagu ciptaannya mendapat tempat yang dalam di hati masyarakat. Hal itu mengingat tidak banyak pengarang lagu yang menyuarakan liku kehidupan. Salah satu pengarang dan ciptaan yang mendapat kehormatan dari masyarakat adalah Iwan Fals dengan suara baladanya.
Negeri 5 Menara adalah karya sastra mutakhir dalam bentuk novel yang heboh. Novel ini cukup mencuri perhatian pembaca. Sedangkan salah satu karya Iwan Fals yang mengakar adalah Jangan Bicara. Animo besar masyarakat atas Negeri 5 Menara dan mengakarnya Jangan Bicara ini tentu bukan tanpa sebab. Alasan apa yang mendasari hal itu dapat digali dengan melakukan kritik sastra, salah satunya dengan pendekatan pragmatik.   
B.   Kritik Sastra
Kritik sastra berfungsi untuk memberikan uraian dan penerangan tentang karya sastra yang konkret, baik mengenai makna karya sastra, strukturnya, maupun nilainya. Dengan demikian, kritikus sebagai penerap prinsip kritik sastra itu perlu memberikan tafsiran-tafsirannya, analisis dan seni lainnya. Tanpa itu semua, karya sastra tidak mungkin dipahami. Jadi, penafsiran, penguraian (analisis), dan penilaian perlu diuraikan. Ketiganya merupakan aspek kritik sastra yang utama yang saling erat berjalinan dalam aktivitas penerapan kritik pada karya sastra.
Kritik sastra merupakan salah satu studi sastra. Kritik sastra adalah cabang ilmu sastra yang memfokuskan perhatiannya pada pengkajian sastra secara langsung untuk mengidentifikasi, menganalisis, mengklasifikasi serta memberikan penilaian tentang berhasil tidaknya suatu cipta sastra. Kritik sastra merupakan studi sastra yang langsung berhadapan dengan karya sastra. H.B Jassin (dalam Rachmat Djoko Pradopo, 1995:92) mengatakan kritik sastra adalah pertimbangan baik buruk karya sastra, penerangan baik buruk karya sastra. Pertimbangan baik buruk ini tidak berarti baik buruk yang berhubungan dengan moral, namun berhubungan  dengan indah atau jelek. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:761) menyebutkan bahwa kritik adalah kecaman, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dsb. Sedangkan kritikus adalah 1. orang yang ahli dalam memberikan pertimbangan (pembahasan) tentang baik buruknya sesuatu. 2. orang yang memberikan pertimbangan (pembahasan)  tentang baik buruknya sesuatu; pengkritik.
 
Penilaian terhadap sebuah karya sastra haruslah bersifat objektif sesuai dengan criteria penilaian yang ada. Mario Pei der Frank (dalam Zainuddin, 2002:20) mengatakan penilaian dan penghakiman sesuai dengan standar yang telah diakui berdasarkan pengkajian studi dan analisis. Adanya kriteria yang dijadikan patokan dalam penilaian sastra, dimaksudkan agar hasil dari kritik sastra itu benar-benar merupakan penilaian yang dapat dipertanggung-jawabkan, dan bukan hanya pendapat pribadi. Bagaimanapun tujuan kritik sastra adalah menunjukkan dimana kebaikan dan kekurangan suatu karya sastra berdasarkan kriteria yang berlaku. Hasil kritik itu nantinya untuk menjadikan karya sastra itu lebih baik dan juga sebagai koreksi terhadap penulis, sehingga penulis tidak merasa divonis namun merasa ditantang untuk meningkatkan kualitas tulisan berikutnya (Zainuddin, 2002:21).
Untuk mengenal permasalahan kritik sastra lebih lanjut perlu dikemukakan guna kritik sastra. Adapun kegunaan kritik sastra adalah, pertama untuk perkembangan sastra itu sendiri, kedua untuk perkembangan kesustraan dan ketiga untuk penerangan masyarakat pada umunya yang menginginkan penerangan tentang karya sastra. Rachmat Djoko Pradopo (1995:93) mengemukakan kegunaan karya sastra adalah untuk membantu perkembangaan kesusastraan suatu bangsa dengan menjelaskan karya sastra mengenai baik buruknya karya sastra dan menunjukkan daerah-daerah jangkauan persoalan karya sastra.
Adapun manfaat bagi sastrawan dari kritik sastra adalah mereka dapat mengembangkan penulisan karya sastra mereka yang mengakibatkan perkembangan kesusastraan. Aspek-aspek pokok kritik sastra adalah analisis, interpretasi (penafsiran), dan evaluasi atau penilaian. Karya sastra merupakan sebuah struktur yang kompleks, maka untuk memahaminya perlu adanya analis, yaitu penguraian terhadap bagian-bagian atau unsur-unsurnya (Hill dalam Pradopo, 1995:93). Oleh karena karya sastra adalah struktur yang kompleks, maka karya sastra itu perlu ditafsirkan untuk memperjelas artinya. Abrams (dalam Pradopo, 1995:93) mengemukakan, penafsiran adalah penafsiran karya sastra, dalam arti luasnya adalah penafsiran kepada semua aspek karya sastra.

 C.  Pendekatan Pragmatik
Salah satu pendekatan untuk mengkritik karya sastra adalah pendekatan pragmatik. Secara historis pendekatan ini telah ada tahun 14 SM dan terkandung dalam Ars Poetica (Pratodokusumo, 2008:78). Beberapa pakar mendefinisikan pendekatan pragmatik. Menurut Teeuw (1994: ), pendekatan ini menitikberatkan dimensi pembaca sebagai penangkap dan pemberi makna terhadap karya satra. Senada dengan pendapat Teeuw, Abram menyatakan perhatian utama pendekatan pragmatik adalah peran pembaca. Dalam kaitannya dengan salah satu teori modern yang paling pesat perkembangannya yaitu teori resepsi.
Menurut Pradopo dalam Wiyatmi (2006:85), pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca. Dalam hal ini tujuan tersebut dapat berupa tujuan politik, pendidikan, moral, agama, maupun tujuan yang lain. Dalam praktiknya pendekatan ini cenderung menilai karya sastra menurut keberhasilannya dalam mencapai tujuan tertentu bagi pembacanya. Pendekatan ini mengkaji dan memahami karya sastra berdasarkan fungsinya untuk memberikan pendidikan (ajaran) moral, agama, maupun fungsi sosial lainnya. Semakin banyak nilai pendidikan moral dan atau agama yang terdapat dalam karya sastra dan berguna bagi pembacanya, maka tinggi nilai karya sastra tersebut.
Pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sesuatu yang dibangun untuk mencapai efek-efek tertentu pada audiens (pembaca maupun pendengar), baik berupa efek kesenangan estetika ataupun efek yang lain. Pendekatan pragmatik ini cenderung menilai karya sastra dari hasilnya, tujuannya. Biasanya karya sastra semacam ini mengunakan strategi estetika untuk menarik dan mempengaruhi tanggapan-tanggapan dari pembacanya.
Pendekatan pragmatik mempertimbangkan implikasi pembaca melalui berbagai kompetensinya. Dengan mempertimbangkan indikator karya sastra dan pembaca, maka masalah-masalah yang dapat dipecahkan melalui pendekatan pragmatis, di antaranya berbagai tanggapan masyarakat tertentu terhadap sebuah karya sastra, baik sebagai pembaca eksplisit, maupun implisit, baik dalam kerangka sinkronis maupun diakronis. Dalam setiap karya sastra terdapat Unbesttimmtheitsstellentempat-tempat yang tidak tertentu atau kosong’, yang tidak terisi oleh karya sastra dan pengisiannya terserah kepada pembaca menurut kemampuan dan seleranya. Inilah yang disebut konkretisasi namun, menurut Ingarden, hal ini dibatasi oleh struktur karya seni yang singkat secara objektif.
Hubungan antara karya sastra dengan pembaca tampak pada skema berikut:
Karya sastra « Pembaca
Dalam praktiknya, pendekatan ini mengkaji dan memahami karya sastra berdasarkan fungsinya untuk memberikan pendidikan (ajaran) moral, agama, maupun fungsi sosial lainnya. Pendekatan ini cenderung menilai karya sastra menurut keberhasilannya dalam mencapai tujuan tertentu bagi pembacanya (Pradopo, 1994). Pendekatan kritik sastra yang ingin memperlihatkan kesan dan penerimaan pembaca terhadap karya sastra dalam zaman ataupun sepanjang zaman. Kesan dan penerimaan pembaca itu tidak terlepas dari strategi pengarang dalam menulis karyanya. Strategi pengarang yang dimaksud berhubungan dengan penggunaan bahasa, pengisahan tokoh-tokohnya, kekuatan cerita, nilai yang dikandung.
Dari beberapa definisi di atas, pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca. Dalam hal ini tujuan tersebut dapat berupa tujuan politik, pendidikan, moral, agama maupun tujuan yang lain melalui kekuatan diksi dalam mengisahkan tokoh-tokohnya dan nilai-nilai yang dipesankan pada karya sastra tersebut.

D. Sinopsis Novel Negeri 5 Menara Karya A. Fuadi
Novel Negeri 5 Menara karya A. Fuadi merupakan novel yang terinspirasi dari pengalaman dan perjalanan hidup penulis selama belajar di Pondok Modern Gontor. Cerita ini adalah cerita enam anak dari seantero nusantara yang menuntut ilmu di sebuah pondok, kemudian bisa mengejar impian mereka dengan belajar di lima negara berbeda. Novel ini bermula menceritakan seorang anak bernama Alif yang lahir di pinggir Danau Maninjau dan tidak pernah menginjak tanah di luar ranah Minangkabau. Masa kecilnya adalah berburu durian runtuh di rimba Bukit Barisan, bermain bola di sawah berlumpur dan mandi di air biru Danau Maninjau. Tiba-tiba saja dia harus naik bus tiga hari tiga malam melintasi punggung Sumatera dan Jawa menuju sebuah desa di pelosok Jawa Timur. Ibunya ingin dia menjadi Buya Hamka walau Alif ingin menjadi Habibie. Dengan setengah hati dia mengikuti perintah ibunya belajar di pondok.
Pada hari pertama memasuki kelas di Pondok Madani, Alif terkesima dengan mantera sakti man jadda wa jada yang berarti Barang siapa bersungguh-sungguh maka dapatlah ia. Dia terheran-heran mendengar komentator sepak bola berbahasa Arab, anak mengigau dalam bahasa Inggris, dan terkesan melihat pondoknya setiap pagi seperti melayang di udara.
Dipersatukan oleh hukuman jewer berantai, Alif berteman dekat dengan Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung, dan Baso dari Gowa. Di bawah menara yang menjulang, mereka menunggu maghrib sambil menatap awan lembayung berarak pulang ke ufuk. Di mata belia mereka, awan-awan itu menjelma menjadi negara dan benua impian masing-masing. Ke mana impian membawa mereka? Mereka tidak tahu, yang mereka tahu adalah: “Jangan pernah meremehkan impian, walau setinggi apapun. Tuhan sungguh Maha Mendengar”.

E.   Pendekatan Pragmatik dalam Novel Negeri 5 Menara
Dengan pendekatan pragmatik dalam novel Negeri 5 Menara dapat dipahami bahwa karya satra (novel) sebagai sarana yang cukup efektif untuk menyampaikan tujuan-tujuan tertentu pengarang kepada pembaca. Dalam novel ini terdapat nilai-nilai edukatif yang cukup elegan.
Diksi yang dipilih A. Fuadi dalam novel Negeri 5 Menara cukup sederhana. Kesederhanaan tersebut tampak pada keengganan pengarang memakai istilah-istilah teknis. Kesederhanaan diksi itu memudahkan pembaca untuk memahami dan menikmati novel ini.  Hal itu tampak pada data berikut ini.
Yang jelas, sesuai aturannya, kami telah bertekad sebelum Maghrib besok, kami sudah menunaikan misi ini dan siap bahu-membahu menjelajahi PM untuk mencari pelanggar aturan hari ini. (Fuadi, 2010:80).

Dalam novel ini, meski ada beberapa istilah asing, misalnya dalam bahasa Arab, pengarang menandai istilah tersebut dengan italic dan memberikan arti pada kaki halaman. Namun, istilah-istilah tersebut bukan petanda ketidaksederhanaan diksi. Sebab, pembaca sudah mengerti maksudnya dengan menghubungkan koheseitas dan koherenitas kata sebelum dan sesudahnya tanpa melihat arti di kaki halaman. Hal itu tampak pada data berikut ini.
Qiyaman ya akhi!” yang punya tangan ini menggenggam. Geraman yang kukenal. Geraman Tyson. Ya Tuhan. Tangan kirinya memegang botol air yang digunakan untuk membasahi mukaku. Melihat aku bangun, sekarang dia menjentikkan air ke muka Dul yang segera mencelat dan terjengkang dari kusinya karena kaget. (Fuadi, 2010:245).

Novel ini jarang memakai bahasa metaforis, bahasa berbunga-bunga. Bahasa metaforis sangat akrab dalam dunia sastra khususnya novel. Bahasa metaforis digunakan untuk memperindah rangkaian cerita sehingga pembaca terhanyut di dalamnya. Namun, sedikitnya intensitas pemakaian bahasa metaforis dalam Negeri 5 Menara bukan masalah serius karena kekuatan daya tarik novel ini terletak pada pengisahan cerita dan nilai-nilai yang diusungnya. Diakui juga pemakaian bahasa metaforis dalam novel kerapkali membingungkan pembaca karena pendeskripsianya panjang sehingga maksud intinya tidak ditangkap pembaca.
Sebagaimana penjelasan sebelumnya, pengisahan cerita beserta tokoh-tokohnya menjadi pemikat utama keberhasilan novel ini. Novel ini berkutat pada jalinan persahabatan enam santri dari daerah berbeda, yakni Alif dari Minangkabau, Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung, dan Baso dari Gowa. Persahabatn mereka terbentuk setelah menjadi santri di pondok Madani, salah satu pesantren di daerah Jawa Timur.
Kebersamaan di Madani membuat mereka berenam menjalin persahabatan yang kuat. Persahabatan itu diperoleh dari kesamaan rasa dalam menjalani kegiatan pesantren yang padat. Eratnya persabatan mereka menyebabkan kawan-kawan mereka menyebutnta Sahibul Menara.
Saking seringnya kami berkumpul di kaki menara, kawan-kawan lain menggelari kami dengan Sahibul Menara, orang yang punya menara. Dalam bahasa Arab, kata Sahibul kerap digunakan untuk menyatakan kepunyaan … (Fuadi, 2010:94)

Keenam santri tersebut memiliki mimpi masing-masing. Mimpi mereka sering dipanjatkan saat berada di menara. Hal itu tampak pada data berikut ini.
Di bawah bayangan menara ini kami lewatkan waktu untuk bercerita tentang impian-impian kami, membahas pelajaran tadi siang, ditemani Kacang Sukro. Bagaikan menara, cita-cita kami tinggi menjulang. Kami ingin sampai di puncak-puncak mimpi kelak. (Fuadi, 2010:94).

Untuk meraih mimpi tersebut, mereka menjalaninya tidak mudah. Mereka harus melalui agenda kegiatan di pesantren yang cukup padat, melelahkan, dan mengasyikan. Pendidikan di Madani yang padat itu membelajari mereka untuk disiplin. Kedisiplinan yang dibiasakan pada program wajib bahasa, jamaah, salat malam, belajar, dan lain-lain. Jika kedisiplinan dilanggar, sanksi akan jatuh pada mereka.
Ada mantra Arab terkenal, selalu disimpan rapat-rapat oleh mereka, yaitu Man Jadda Wajad. Mantra ini berarti “barang siapa yang sungguh, dia akan mendapatkannya”. Mantra tersebut mereka uji dengan kesungguhan belajar di pesantren. Akhirnya mereka lulus.
Mataku nanar mengikuti jari yang mencoba dan mencari-cari namaku di papan pengumuman. Dan itu dia. Namaku Alif Fikri, dan di sebelahnya tertulis huruf nun, jim dan ha. Artinya lulus …. Ternyata para Sahibul Menara lulus semua. (Fuadi, 2010:395)

Akhir cerita para Shahibul Menara bisa meraih impiannya sejak masih di Madani. Mereka berada di lima negara yang berbeda. Alif berada di Amerika, Raja di Eropa, Atang di Afrika, Baso di Asia, sedangkan Said dan Dulmajid berada di Indonesia.
… kami berenam telah berada di lima negara berbeda. Di lima negara impian kami. Jangan pernah remehkan impian, walau setinggi apa pun. Tuhan sungguh Maha Mendengar. Man Jadda Wajada, siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil (Fuadi, 2010:405).

Kekuatan cerita itulah menjadi salah satu faktor novel ini spektakuler. Meski ber-setting di tempat eksklusif, nilai-nilai yang diusung inklusif. Novel Negara 5 Menara menjadi pemuas dahaga pembaca sastra Indonesia akan karya sastra yang bermutu.

F.   Bait Syair Lagu Jangan Bicara Karya Iwan Fals
Jangan Bicara
Jangan bicara soal idealisme
Mari bicara berapa banyak uang di
kantong kita
Atau berapa dahsyatnya
ancaman
yang membuat kita terpaksa onani

Jangan bicara soal nasionalisme
Mari bicara tentang kita yang lupa warna bendera sendiri
Atau tentang kita yang buta
Bisul tumbuh subur di ujung hidung yang memang tak mancung

Jangan perdebatkan soal keadilan
Sebab keadilan bukan untuk diperdebatkan

Jangan cerita soal kemakmuran
Sebab kemakmuran hanya untuk anjing si tuan Polan

Lihat di sana
Si Urip meratap
Di teras marmer direktur murtad


Lihat di sana
Si Icih sedih
Di ranjang empuk waktu majikannya menindih

Lihat di sana
Parade penganggur
Yang tampak murung ditepi kubur

Lihat di sana
Antrian pencuri
Yang timbul sebab nasinya dicuri

Jangan bicara soal runtuhnya moral
Mari bicara tentang harga diri yang tak ada arti
Atau tentang tanggung jawab
Yang kini dianggap sepi,.....

G. Pendekatan Pragmatik Lagu Jangan Bicara Karya Iwan Fals
Makna pragmatik lagu Jangan Bicara karya Iwan Fals tersebut bisa kita analisa dari setiap bait, setiap kata yang terangkai. Makna dari lagu ini adalah kritikan untuk pemerintah, agar pemerintah tidak hanya mengembar-ngemborkan idealisme, nasionalisme, dan keadilan. Makna itu dapat digali dengan cara analisai pragmatik. Dari bait pertama:
Jangan bicara soal idealisme
Mari bicara berapa banyak uang di
kantong kita
Atau berapa dahsyatnya
ancaman
yang membuat kita terpaksa onani
Dari bait ini kita bisa memahami kalau rakyat kecil itu tidak peduli apa idealisme tapi mereka butuh bantuan yang nyata yang bisa mereka rasakan yang tidak sekedar janji & mimpi belaka.
Jangan bicara soal nasionalisme
Mari bicara tentang kita yang lupa warna bendera sendiri
Atau tentang kita yang buta
Bisul tumbuh subur di
ujung hidung yang memang tak mancung
                                                 
Dari bait kedua ini tersirat tentang rasa nasionalisme yang sudah mulai pudar. Bait ini penulis ingin mengigatkan kalau bendera kita ini terdiri atas dua warna merah (berani) dan putih (lambang kebaikan/benar) yang berarti berani karena benar. Pengarang lagu ini juga ingin mengatakan kalau negara kita ini merupakan negara yang masih cacat ”jelek” bahkan kejelekannya tampak jelas tetapi kita tidak berbuat apa-apa.
Jangan perdebatkan soal keadilan
Sebab keadilan bukan untuk diperdebatkan

Dalam bait ini penulis maknai:Wahai pemimpinku janganlah engkau memperdebatkan keadilan apalagi sampai adu jotos di depan sidang sebab keadilan itu bukan untuk diperdebatkan tetapi untuk dijalankan dan dilaksanakan”. Makna ini didasari bahwa yang mampu menerapkan keadilan dan yang mendebatkan keadilan adalah mereka para pemimpin baik di legeslatif maupun di eksekutif.
Jangan cerita soal kemakmuran
Sebab kemakmuran hanya untuk anjing si tuan Polan
Dari kalimat ini penulis lagu ingin mengatakan kemakmuran hanyalah untuk mereka orang-orang yang mau tunduk dan patuh pada bosnya/ majikannya/pemimpinnya, yang bekerja sama untuk meraup keuntung pribadi dari hasil yang tidak halal.
Lihat di sana
Si Urip meratap
Di teras marmer direktur murtad

Dalam bait ini seolah penulis lagu ingin memberitahukan pada kita tentang orang-orang yang telah di-PHK dan meratapi kesedihannya karena memikirkan nasib.
Lihat di sana
Si Icih sedih
Di
ranjang empuk waktu majikannya menindih

Dari bait ini pencipta lagu ingin memberitahukan pada kita tentang nasip TKI/TKW kita yang direnggut kehormatannya oleh majikannya.
Lihat di sana
Parade penganggur
Yang tampak murung di
tepi kubur

Dalam hal ini penulis lagu ingin mengatakan pengangguran di negeri ini amat banyak sampai-sampai mereka pasrah dengan kondisi yang ada karena sulitnya mencari pekerjaan.

H. Simpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, secara pragmatis, keberhasilan novel Negeri 5 Menara terletak pada beberapa hal. Diksi atau pilihan kata pengaranganya merupakan faktor krusial. Diksi yang dipakai cukup sederhana sehingga memudahkan pembaca untuk menikmatinya. Intinya A. Fuadi begitu cermat dalam memilih kata-kata. Selain diksi, pengisahan cerita dan nilai edukatifnya menjadikan novel ini bisa diterima oleh pembaca sastra di Indonesia. Hal ini karena cerita dan nilai yang diusung memiliki hubungan intertek dengan Al-Qur’an dan Hadist. Hasilnya novel ini menginspirasi banyak orang agar bersungguh-sungguh dalam berusaha. Meski ber-setting di pesantren, nilai-nilai novel ini universal.
Demikian halnya dalam lagu Jangan Bicara karya Iwan Fals. Lagu tersebut sangat kuat dalam hal diksi dan nilai-nilai yang disampaikan. Kesan yang didapat adalah betapa menghunjamnya diksi itu dan mengakarnya nilai-nilai pesannya.

Daftar Pustaka:

Fuadi, Ahmad. 2010. Negeri 5 Menara. Jakarta: Gramedia.
Pratodokusumo, Partini S.2008. Pengkajian Sastra. Jakarta: Gramedia.
Teeuw, A. 1994. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar teoi Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Wiyatmi. 2006. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Penerbit Pustaka.
Zaidan, Abd. Rozak,dkk.1991. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka. 

di susun oleh Bambang Edi P, Joko Yulianto, Endang Sri Maruty, dan Wahyudi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar